3.1. Faktor-Faktor Penekan Push Factors
Naim 1982: 247 menyatakan perpindahan penduduk terjadi karena ketidakseimbangan ekonomi antara berbagai wilayah yang ada di Indonesia.
Melalui tulisan tersebut Naim menggambarkan adanya faktor-faktor pendorong dan faktor-faktor penarik di daerah tujuan, Naim menyebutkan faktor-faktor
pendorong tersebut sebagai akibat kekurangan sumber-sumber untuk kebutuhan hidup, adanya kemiskinan dan pola hubungan sosial yang mengekang. Sedangkan
Mantra 1978: 16 menyatakan bahwa mobilitas sirkuler terjadi karena faktor sentripugal kekuatanforce yang terdapat di suatu wilayah yang mendorong untuk
meninggalkan daerahnya dan sentrapugal kekuatan yang mengikat penduduk untuk tetap tinggal di daerah yang sama-sama kuat; kedua, perbaikan dalam
prasarana transportasi: dan , kesempatan kerja di sector informal lebih besar daripada sector formal.
Berangkat dari asumsi bahwa selalu ada faktor pendorong yang menyebabkan seseorang meninggalkan daerah asal, di bawah ini penulis akan
menjelaskan data hasil wawancara terhadap seorang informan yang sudah lama menekuni bidang ini yaitu mulai tahun 1987.
“Sabotulna godang do alasan umbahen na laho hami marripang; parjolo ima alanaminus do pancarian nami di hutaon hinorhon ni otik ni hasil ni
saba. Ala boru do hami dison jadi otik do tano warisan nami, jala otikma tutu tano siulaon. Jadi didok roha laho ma iba laho mangalului tamba ni
pancarian tu luat ni halak Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan kepergian kami dalam melakukan aktifitas marripang; pertama, kami
mempunyai penghasilan yang minim karena sawah tidak luas. Kami adalah boru yang merupakan keturunan menantu yang datang ke daerah
ini, jadi tanah warisan yang akan kami garap tidak luas. Maka kami berinisiatif mencari pendapatan tambahan di negeri orang. Terjemahan
bebas.
Universitas Sumatera Utara
Pada bagian lain kita akan melihat faktor-faktor yang mendorong mereka untuk pergi ke daerah lain, meninggalkan daerah asal. Pada bagian ini kita akan
melihat 4 kategori jawaban berupa motivasi kepergian mereka, yang berasal dari kuesioner yang diajukan oleh peneliti kepada beberapa orang anggota masyarakat.
Tabel 9 Faktor-Faktor Pendorong
n = 16 No
Faktor-Faktor Pendorong Jumlah
Persentase
1 Pendapatan yang
minim 8
50.00 2
Adanya waktu yang luang 2
12.50 3
Keinginan untuk melihat daerah lain 6
37.50 4 Ikut-ikutan
- 0.00
Jumlah 16
100 Sumber: Kuesioner Hasil Penelitian Lapangan 2010
Data di atas menunjukkan bahwa pendapatan yang minim di daerah asal 50.00 sedangkan keinginan untuk melihat daerah lain juga merupakan faktor
penyebab 37.50 . Dua 12.50 jawaban yang lain menunjukkan bahwa waktu yang luanglah yang mendukung keberangkatan mereka meninggalkan
daerah asal. Namun tidak satupun dari jawaban yang menunjukkan bahwa kepergian ke daerah tujuan adalah karena ikut-ikutan. Hal ini menunjukkan bahwa
marripang bukanlah perilaku yang acak namun sungguh adalah suatu pertimbangan rasional atas berbagai faktor.
Universitas Sumatera Utara
Dari data sekunder kuesioner terbuka didapati bahwa pria yang sudah menikah mempunyai alasan yang sama seperti wawancara di atas. Tetapi tidak
demikian halnya dengan jawaban yang diberikan oleh informan pria yang belum menikah. Data menggambarkan bahwa bagi orang yang sudah menikah umumnya
ingin mendapat penghasilan yang lebih baik lagi dengan mengadakan aktifitas marripang. Bagi mereka hasil dari marripang adalah untuk memenuhi kebutuhan
mereka di daerah asal dalam rangka pemenuhan tanggung jawab sosial dan tanggung jawab keluarga. Hal ini berhubungan dengan jumlah penghasilan di
daerah tujuan yang dirasa cukup untuk menambahi keuangan mereka di daerah asal dimana 87,50 dari responden menyatakan tanggapan yang positif dalam
arti bahwa penghasilan selama marripang cukup baik dalam menambah penghasilan mereka lihat lampiran.
Tetapi perilaku
marripang itu sebenarnya tidak hanya didasari oleh faktor ekonomi saja alias minusnya pendapatan, banyak faktor lain yang sangat
mendukung, dan mobilitas ini sendiri merupakan keputusan karena berbagai alternatif, seperti hasil wawancara berikut terhadap seseorang responden pria yang
menikah yang sudah lama ikut marripang: “Tingki na masa panen di Percut, dang adong ulaon na sandok borat di
huta on, taringot tu ulaon di saba hauma. Jala angka kobunladang dang sandok dirawati jadi molo laho pe iba dang pola mabiar iba gabe sega
suan-suanan i molo ni tinggalhon. Pada waktu panen di Percut tidak ada pekerjaan yang sangat penting di sawah. Kebunladang tidak begitu
membutuhkan perawatan yang intensif. Jadi bila saya pergi, saya tidak terlalu takut bila sawah saya akan rusak. Terjemahan bebas.
Tetapi akan halnya responden pria yang belum menikah memberikan jawaban yang sedikit berbeda dengan responden pria yang sudah menikah. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa ada motivasi yang berbeda dimana 75 dari parripang yang belum menikah mengatakan bahwa yang mendorong keberangkatan mereka
ke daerah lain adalah keinginan untuk melihat daerah lain tetapi seorang informan pria yang belum menikah mengucapkan:
“Bapa nungga mate didok roha boha manian asa adong laho mambantu keperluan ni angka tinodohonkon. Jadi ala otik pancarian di huta laho ma
iba mancari tu luat ni halak dung binege sian angka dongan taringot tu na marripang on. Bapak saya sudah meninggal, jadi saya ingin membantu
adek-adek. Karena sedikitnya pendapatan di kampung ini maka saya pergi mencari tambahan pendapatan ke kampung orang setelah saya dengan
informasi mengenai marripang ini. Terjemahan bebas.
Data di atas menunjukkan status dalam keluarga menentukan sikapnya terhadap suatu masalah. Seorang kepala keluarga bertanggungjawab bukan saja
untuk pemenuhan kebutuhan keluarga tetapi juga untuk memenuhi kewajibannya sebagai anggota masyarakat, karena ia hidup dalam sistem sosial. Data yang
diperoleh dari kuesioner terbuka menyatakan bahwa aktifitas adat dan agama tidak akan terganggusangat terganggu bila mereka pergi ke daerah lain.
Tetapi berdasarkan semua jawaban yang diberikan tidak satu jawabanpun yang ditemukan bahwa para parripang dalam melakukan mobilitas ini hanya
sekedar ikut-ikutan saja. Mengenai faktor-faktor di atas umumnya berbicara tentang faktor ekonomi
saja yaitu kurangnya atau rendahnya pendapatan, yang mana rendahnya pendapatan tersebut dianggap dapat ditanggulangi dengan cara pergi ke daerah
lain. Dimana di suatu masa mereka kelebihan tenaga kerja sedangkan di tempat lain ada kemungkinan bekerja untuk mendapatkan upah yang lebih baik. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
memang berhubungan positif sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh para informan.
Tetapi para informan sendiri menyebutkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan mereka pergi ke daerah lain. Dari hal ini dapat kita simpulkan
bahwa mereka berusaha mempertimbangkan sebaik mungkin segala keputusan yang mereka lakukan. Dalam arti mobilitas ini bukan merupakan perilaku yang
acak, namun merupakan pertimbangan atas berbagai faktor, terutama mengenai hal-hal yang berhubungan dengan cita-cita dan nilai yang mereka anut. Hal ini
dapat kita katakana karena tidak semua dari penduduk yang bermigrasi adalah orang yang miskin dalam arti tidak dapat memenuhi kebutuhan sandang
pangannya tetapi ada di antara mereka telah dapat dikatakan keluarga yang cukup untuk ukuran di kampung.
Dari hasil observasi rata-rata, baik informan maupun responden mempunyai rumah sendiri, listrik, anak-anak yang sedang bersekolah di SD
maupun di Sekolah Menengah, mempunyai TV, DVD, magic com dan bahkan ada yang mempunyai kereta. Kalau kita ukurkan tingkat kesejahteraan mereka
menurut Soemitro Djojohadikusumo, yaitu pada hakekatnya tingkat kesejahteraan hidup tercermin pada tingkat dan pola yang meliputi unsur pangan, sandang,
pemukiman, kesehatan dan pendidikan Djojohadikusumo, 1975: 3. Menurut Suparlan 1993, menyatakan bahwa kemiskinan sebagai suatu
standar tingkat hidup yang rendah, suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standart umum yang berlaku di
dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara
Universitas Sumatera Utara
langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan rasa karya dari diri mereka sendiri yang tergolong sebagai orang
miskin. Suparlan 1993, menyatakan bahwa di dalam pemahaman nilai-nilai
sosial pengertian kemiskinan dilakukan dengan mempergunakan tolak ukur. Tolak ukur yang umum dipakai adalah yang berdasarkan tingkat perwaktu kerja di
Indonesia digunakan ukuran waktu kerja sebulan. Tolak ukur yang lain adalah yang dinamakan tolak ukur kebutuhan relative per keluarga, yang batas-batasnya
dibuat berdasarkan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi sebuah keluarga agar dapat melangsungkan kehidupannya secara sederhana tetapi memadai sebagai
warga masyarakat yang layak. Adapun tolak ukur yang digunakan di Indonesia untuk menentukan tingkat miskin adalah tingkat pendapatan pada waktu kerja
Rp. 30.000,- perbulan atau lebih rendah serta dilihat dari persamaannya dengan beras, dimana batas kemiskinan adalah mereka yang makan kurang dari 350 kg
beras per kapita per tahunnya Sajogja, 1977. Dengan demikian dapat disimpulkan mereka tidak miskin. Dari hasil
wawancara terdahulu kita melihat bahwa mereka ingin mencukupi kebutuhan sendiri dengan hasil marripang sesuai dengan standart nilai kebutuhan yang hidup
dalam masyarakat mereka. Sementara orang-orang muda menjawab bahwa mereka ingin sekali melihat daerah lain yang dapat memberi suasana baru bagi
mereka. Setelah mereka mendengar berbagai cerita dan ajakan dari orang-orang
atau teman dan saudara yang telah kembali dari daerah tujuan. Sebenarnya mereka
Universitas Sumatera Utara
sendiri tidak dapat memastikan apakah mereka akan berhasil atau tidak di daerah tujuan tersebut, tetapi mereka mempunyai semangat dan keyakinan untuk
berhasil, seperti yang diuraikan oleh salah seorang informan dalam wawancara berikut:
“Godang do alasan umbahen na laho iba marripang, didok roha naeng nian adong manungkupi haporluan niba, songon angka tu adat-adat dohot
haporluon ni sikkola dohot na asing dope.” Banyak alasan kenapa saya pergi, saya ingin mencukupi kebutuhan-kebutuhan, seperti adat-adat
maupun keperluan anak-anak yang sedang sekolah dan keperluan lainnya: Terjemahan bebas.
Tetapi di pihak lain mereka juga tahu sesuai dengan informasi yang menyebutkan bahwa mereka harus menanggung resiko, yaitu meninggalkan sanak saudara dan
perjalanan darat yang akan mereka lakukan dan sangat melelahkan. Berikut data mengenai sikap dalam menghadapi resiko perjalanan:
Tabel 10 Sikap Terhadap Resiko Perjalanan
n = 16 No Sikap
Jumlah Persentase
1 Tidak takut sama sekali
4 25.00
2 Takut tetapi tekat sudah bulat
11 68.75
3 Kadang-kadang takut
1 6.25
4 Takut -
-
Jumlah 16
100 Sumber: Kuesioner Penelitian Lapangan 2010
Universitas Sumatera Utara
Umumnya 68,75 menyebutkan bahwa mereka takut dalam menghadapi resiko yang melelahkan dan resiko mereka akan meninggalkan
orang-orang yang mereka cintai. Kalau demikian mengapa mereka bertekat untuk pergi dengan mengesampingkan resiko perjalanan. Apa yang menjadi motivasi
mereka bukanlah semata-mata karena alasan ekonomi, karena mereka dapat saja mencari pekerjaan lain dengan resiko yang lebih rendah.
Seperti yang dikemukakan oleh Tobing Pelly, 1994 yang mengatakan bahwa konflik di dalam kantong etnik Batak harus dalam konteks gugatan cultural
mereka mengenai Sahala Hasangapon. Sahala adalah sifat tondi semangat sebagai esendi manusia, yaitu watak alami selain kekuatan dan wewenang
manusiawi. Sedangkan Vergowen Pelly, 1994 menguraikan bahwa sahala seseorang sebagai kekuatan tondinya. Hasangapon berarti suatu kualitas yang
dihormati sebagai akibat dari dimilikinya sahala. Demikianlah maka sahala hasangapon adalah kualitas kehormatan diri yang juga berarti bahwa seseorang
itu patut dihargai oleh orang lain, supaya memperoleh kualitas ini, orang harus mengembangkan sahala harajaonnya kerajaan pribadinya. Selanjutnya Pelly
1994 mengemukakan, bahwa sahala hasangapon itu baru menjadi kenyataan apabila seseorang telah memperlihatkan prestasinya, misalnya seorang laki-laki
dengan banyak anak dan cucu serta berhasil dalam pertanian atau pekerjaan- pekerjaan lain, maka dia dipandang memiliki sahala hasangapon yang tinggi.
Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Dusun XV Desa Kota Datar, aktifitas-aktifitas adat seperti pernikahan, pesta peresmian rumah dan pesta
lainnya biasanya dilangsungkan sekitar bulan juni-juli maka sangat logis bila
Universitas Sumatera Utara
hasil dari marripang dapat membantu pemenuhan kebutuhan adat dan kebutuhan sosial lainnya. Bila adat dipenuhi oleh seseorang maka ia akan sangat senang
karena seseorang biasanya sangat takut disebut naso maradat orang yang tidak beradat. Mochtar Naim berdasarkan studi yang dilakukan oleh W I Thomas dan
Florian Znaniecki tahun 1927 terhadap petani Polandia menyebut migrasi sebagai cultural transmitter penyalur arus budaya. Naim mengatakan bahwa dalam hal
merantau, pengaruh ini terasa lebih kuat lagi oleh karena ini bukanlah perpindahan secara permanen, tetapi suatu gejala sementara yang tujuannya ialah
membuat tempat asal menjadi tempat yang lebih baik untuk kembali Naim, 1984.
Bila kita melihat masyarakat Dusun XV Desa Kota Datar, dapat terlihat bahwa hasil dari mobilitas sirkuler yang mereka lakukan adalah untuk
membangun serta untuk memperkuat daerah asal. Bila pekerjaan mereka berhasil di perjalanan tersebut maka mereka akan membawa hasilnya kembali yang
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhannya di daerah asal, ini berbeda dengan mobilitas permanenmigrasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Batak Toba
dimana hasil yang mereka capai di rantau dipergunakan untuk membangun harajaonkerajaan pribadinya di negeri orang yang mereka capai di rantau
dipergunakan untuk membangun harajaon kerajaan pribadinya di negeri orang. Tetapi walaupun mereka tidak membangun kerajaan pribadi di tanah asal namun
mereka akan berusaha menambah sangap kemuliaan dengan menambah kemakmuran di tanah asal. Sitompul 1991 mengatakan bahwa disamping
identitas kerajaan orang Batak, kita juga melihat adanya cita-cita atau pandangan falsafah hidup manusia tentang hamoraon, hagabeon, hasangapon kekayaan,
Universitas Sumatera Utara
keturunan yang banyak, kemuliaan. Hal ini masih hidup dalam masyarakat Batak, namun sudah dikurangi dengan ajaran Injil.
Kemiskinan itu sendiri dipandang karena kemalasan, sehingga orang malas disuruh belajar kepada semut Ale sigurbak ulu tu porhis ho marguru.
Orang Batak menganut falsafah mencari hidup yang makmur dan sebagai “manusia yang bertaqwa” mereka malu bermalas-malasan dan mengusahakan
pekerjaan untuk mencukupi kebutuhannya. Tetapi walaupun demikian ukuran kemakmuran tersebut bukanlah hanya terpenuhinya kebutuhan ekonomi, tetapi
juga kebutuhan sosial budaya dan sebagainya. Agaknya falsafah hidup ini mendorong mencari alternatif lainpekerjaan di daerah lain dan sebagainya, guna
memenuhi kebutuhan tersebut.
3.2. Faktor-Faktor Penarik dari Daerah Tujuan Push Factors