program di enam kecamatan pesisir Kabupaten Sukabumi pada taraf kesalahan 5 persen. Kesimpulan lainnya adalah meskipun terjadi peningkatan
biaya usaha rata-rata seluruh responden sebesar 30,27 persen Tabel 13 ternyata mampu untuk meningkatkan pendapatan rata-rata seluruh responden sebesar 31,19
persen Tabel 15.
7.2 Pengaruh Sosial Budaya dan Lingkungan dari Program PEMP
7.2.1 Sosial Budaya
Seperti dikatakan para ahli bahwa kemiskinan yang telah mengakar di masyarakat pesisir pada umumnya disebabkan oleh faktor eksternal yang
berkembang di masyarakat. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, program PEMP juga dilakukan pendekatan sosial budaya untuk menumbuhkan budaya
baru yang lebih memberikan manfaat, walaupun tidak terdapat indikator pasti yang dapat digunakan untuk mengukur pengaruh program PEMP terhadap sisi
sosial budaya. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah menumbuhkan budaya bekerja secara kelompok melalui lembaga yang telah dipersiapkan dalam
hal ini Koperasi dan budaya lainnya seperti menabung. Dalam pelaksanaannya dilapangan, koperasi LEPP M2R mencoba
menjalin hubungan sama dengan para peserta program antara lain dalam memasarkan hasil tangkapan maupun olahannya, informasi teknologi dan pasar.
Namun seperti diketahui ternyata hubungan kerjasama ini tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya. Hanya sebagian saja peserta program yang mau
bekerjasama. Sebesar 51,72 persen atau Sebanyak 30 orang responden menyatakan sangat jarang melakukan kerjasama dengan koperasi, responden
205
kelompok ini hanya menganggap kerjasama dengan koperasi dalam hal bantuan pinjaman modal, sisanya sebesar 48,28 persen atau sebanyak 28 orang saja yang
menyatakan pernah beberapa kali melakukan kerjasama dalam bidang pemasaran hasil produksi dengan koperasi.
Dapat digambarkan bahwa secara sosial belum terlihat kemauan untuk berusaha bersama dalam wadah kelembagaan formal yang sudah ada Koperasi.
Namun dalam hal ini peserta program tidak dapat semata-mata dapat disalahkan, minimnya inovasi dari pengurus koperasi membuat program kerja koperasi
terlihat monoton yang secara tidak langsung membuat anggota enggan untuk bekerjasama. Sehingga manfaat sosial dari kelembagaan yang terlihat hanyalah
sebatas pinjaman modal semata. Salah satu pengaruh budaya dari Program PEMP adalah dapat dilihat dari
munculnya kebiasaan untuk menabung sebagian dari pendapatan mereka, dari 58 responden yang telah mengikuti program PEMP, sebesar 43,10 persen atau
sebanyak 25 orang memiliki tabungan baik itu ditabung sendiri di rumah maupun di tabung unit simpan pinjam koperasi Koperasi. Bahkan beberapa responden
mengakui telah menabung di Bank Konvensional lainnya. Tidak diketahui pasti berapa besaran sebagian pendapatan yang di tabung, namun Seluruh responden
menyatakan besaran tabungan biasanya menyesuaikan dengan jumlah cicilan perbulannya yakni antara Rp 50.000 hingga Rp 500.000, besaran tersebut juga
sangat sensitif terhadap keuntungan perbulan yang diperoleh. Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa syarat awal menjadi peserta program PEMP adalah
wajib membuka tabungan di Unit Simpan Pinjam Koperasi LEPP M2R, usaha ini dilakukan agar paserta program mulai memiliki kebiasaan untuk menabung,
206
disamping juga sebagai cadangan apabila terdapat kendala dalam mencicil, maka tabungan tadi diharapkan dapat menggantikan cicilan yang tertunggak dengan
memotongnya langsung dari tabungan yang ada. Namun pada kenyataannya dilapangan, hanya sebagian saja yang memanfaatkan fasilitas ini.
Selanjutnya diketahui juga bahwa dari tabungan yang ada, tidak dipergunakan untuk peningkatan kualitas SDM keluarga seperti nutuk biaya
pendidikan anggota keluarga ataupun biaya kesehatan. Tabungan yang ada lebih digunakan untuk biaya usaha atau cadangan membayar cicilan bulan yang akan
datang. Berdasarkan total 25 orang responden yang menabung, sebanyak enam orang atau sebesar 24 persen responden menyatakan tabungan yang ada
digunakan untuk modal usaha saat musim paceklik, dan sisanya sebesar 76 persen atau sebanyak 19 orang menggunakan tabungan yang ada untuk cadangan
membayar cicilan dan keperluan lainnya seperti biaya keperluan sehari-hari, membeli alat-alat elektronik atau kendaraan bermotor. Tentunya hal ini cukup
ironis mengingat budaya yang berkembang ternyata adalah budaya konsumtif.
7.2.2 Lingkungan