Selanjutnya Ismawan 2003 mengemukakan lebih dalam tentang kelompok economically active poor
, secara umum kegiatan-kegiatan yang digeluti oleh kelompok ini dapat dibagi menjadi empat jenis kegiatan, yaitu :
1 Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder semua dilaksanakan dalam skala
terbatas dan subsisten dalam bidang perikanan tangkap skala kecil dan pengolahan produk perikanan skala rumah tangga;
2 Kegiatan-kegiatan tersier seperti bengkel, pembuat perahu tradisional;
3 Kegiatan distribusi seperti bakul ikan di pasar, kios penjual kebutuhan
nelayan, serta usaha sejenisnya; dan 4
Kegiatan-kegiatan jasa lain, seperti kuli pengangkut ikan manol, penjaga perahu, buruh di tempat pelelangan ikan dan sebagainya. Dalam
kenyataannya, berbagai kegiatan yang termasuk dalam jenis kegiatan ini merupakan suatu ”jaring pengaman sosial” bagi kelompok masyarakat
bawah. Jaring pengaman sosial inilah yang berfungsi menggantikan ketiadaan pelayanan dasar yang semestinya disediakan oleh pemerintah.
Sebagian besar masyarakat yang berada dalam kelompok kegiatan ini berada dalam tahapan bertahan hidup survival dan menjadikan aktivitas yang
dijalaninya sebagai persiapan untuk masuk kedalam kegiatan ekonomi lain yang lebih mapan.
2.3 Penelitian Terdahulu
Dalam Penelitian Sutomo 2003 tentang Evaluasi Program PEMP di Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa pelaksanaan program
PEMP tahun 2001 belum optimal dikarenakan pengelola program belum memahami dengan baik konsep program pemberdayaan. Terdapat enam kategori
132
pencapaian kinerja dalam penelitian ini yakni, 1 input terdiri dari SDM, Kelembagaan, Sosialisasi, Bantuan Modal, dan Tenaga Pendamping, 2 proses
terdiri dari Pemilihan Lokasi, Kelompok dan penyaluran, 3 output terdiri dari keragaan produksi, 4 outcome terdiri dari pendapatan dan perguliran dana, 5
benefit terdiri dari pendapatan agregat, dan 6 impact terdiri dari dampak positif
dan negatif. Berdasarkan
penelitian ini
didapati pencapaian kinerja input = 48 persen, proses
= 59 persen, output = 16 persen, outcome, benefit, impact = 0 persen. Dijelaskan bahwa program PEMP hanya berjalan pada tahap awal pelaksanaan
yang semakin memburuk pada tahap-tahap selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : moralitas pelaksana program, fasilitas pendukung
yang diberikan tidak digunakan secara optimal, dan solidaritas sesama pengguna program.
Dalam penelitian yang dilaksanakan oleh Cahyadinata 2005 di kota Bengkulu terhadap pelaksanaan Program PEMP tahun 2002 – 2003, dijelaskan
bahwa input program adalah masyarakat pesisir dengan usia produktif antara 25- 65 tahun dengan kisaran pinjaman antara Rp. 400.000 hingga Rp. 70.000.000.
Namun akibat dari kurangnya waktu pelaksanaan program dalam pengolahan input SDM dan kurangnya pengalaman dalam menjalankan usaha membuat hasil
yang diharapkan kurang optimal. Hal ini ditunjukkan dengan belum mampunya program PEMP meningkatkan skala usaha peserta program.
Namun dari sisi pendapatan, Dana Ekonomi Produktif DEP PEMP menunjukkan pengaruh nyata antara pinjaman dan pendapatan, yakni setiap Rp. 1
yang dipinjam akan meningkatkan pendapatan sebesar 0,04 perbulan. Berdasarkan
133
empat jenis usaha yang dilaksanakan oleh para peminjam, manfaat yang diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan rata-rata NPV dan BC untuk usaha
penangkapan adalah Rp. 43.611.935 dan 1,2784 untuk usaha tambak udang adalah Rp. 226.500 dan 1,0034 untuk usaha pemasaran adalah Rp. 33.350.869 dan
1,1353 untuk usaha pengolahan adalah Rp. 105.857.669 dan 1,2892 dan untuk usaha Pengadaan BBM Rp. 68.067.391 dan 1,2673.
Farid 2005 mengkaji pelaksanaan Program PEMP dan partisipasi masyarakat pemanfaat program Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan Jawa
Timur. Kondisi lapangan menunjukkan bahwa input program adalah mayoritas belum pernah sekolah, istri nelayan menyokong perekonomian usaha rumput laut
dan bakulan sederhana, tingkatan stratifikasi sosial telah terpetakan sejak lama berdasarkan kepemilikan alat produksinya, tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap
pemuka agama, dan rasa sosial yang tinggi. Pelaksanaan Program PEMP dilakukan dengan metode partisipatif
partnership sudah tepat karena lebih mudah dalam inisiasi di lapangan, namun didapati bahwa tingkat partisipasi masyarakat terhadap program masih tergolong
sedang yakni 71,10 persen. Hal ini didasarkan pada adanya hambatan bahwa persepsi masyarakat yang menganggap program pemberdayaan merupakan hibah
dari pemerintah. Hambatan lainnya adalah Kurangnya akses informasi dan pendidikan informal bagi peserta program, sehingga membuat inovasi masyarakat
menjadi lamban untuk berkembang. Penelitian yang dilakukan saat ini memiliki persamaan dan perbedaan
dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Persamaanya adalah mengkaji bagaimana pelaksanaan pogram PEMP terhadap Masyarakat Pesisir di tiap lokasi
134
yang berbeda. Sedangkan perbedaannya adalah dalam penelitian ini mengkaji seberapa besar program PEMP mempengaruhi peningkatan pendapatan dengan
melihat seberapa besar pinjaman yang diterima digunakan untuk meningkatkan biaya usaha dan atau aset usaha dari sisi ekonomi, dan efeknya terhadap sisi
sosial budaya dan lingkungan.
135
III. KERANGKA PEMIKIRAN