5.3. Analisis Pendapatan Masyarakat Adat dan Pemerintah Daerah
Beberapa Perijinan pemanfaatan kayu yang pernah beroperasi dan menjadi sumber pendapatan di Kabupaten Jayapura adalah Hak Pengusahaan Hutan HPH,
Ijin Pemanfaatan Kayu IPK, dan Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat IPK- MA. Pendapatan yang diterima oleh masyarakat adat atas kayu yang dipungut HPH
tidak dalam bentuk uang tunai tetapi berupa kegiatan-kegiatan HPH Bina DesaPMDH bangunan sekolah, puskesmas, dan perkebunan. Pasca krisis moneter
tahun 1998 dan pemberlakukan Undang-Undang Otonomi Khusus Otsus tahun 2001, 3 tiga HPH yang beroperasi di Kabupaten Jayapura menghentikan
kegiatannya stagnasi. Penghentian kegiatan disebabkan pengaruh krisis moneter dan banyak tuntutan masyarakat adat yang berhubungan dengan ganti rugi atas ulayat
hingga tuntutan kompensasi dalam bentuk uang sesuai volume kayu yang diproduksi. Masyarakat adat Elseng, salah satu kelompok masyarakat adat di bagian Selatan
Kabupaten Jayapura menuntut ganti rugi atas kegiatan HPH dan melakukan pemalangan terhadap areal konsesi HPH Risana Indah Forest Industri RIFI dan
beberapa alat berat. Masyarakat mulai menerima kompensasi dalam bentuk uang tunai saat
pemberlakukan IPK-MA tahun 2002. Hasil wawancara dengan masyarakat adat
pengurus IPK-MA dan masyarakat pemilik ulayat areal IPK diperoleh informasi tentang pendapatan masyarakat adat dari kegiatan IPK-MA dan IPK yang dapat
dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Pendapatan Masyarakat dari kegiatan IPK-MA dan IPK di Kab. Jayapura
No. Jenis Perijinan
Pendapatan Masyarakat Adat Rp.m
3
Sblm OHL Pasca OHL
1. 2.
IPK-MA Sokuota
Dawemna IPK-MA Sentosa
Standarisasi Kompensasi
Kep.Gubernur No.
184 2004, yaitu :
K.Indah : 75.000
K.Merbau: 37.500
Non Merbau : 7.500
Biaya IPK-MA : 5.000
Bervariasi antara : 17.500 – 30.000
3. 4.
IPK VCMWI IPK SMJ
- -
- -
Ket : OHL : Operasi Hutan Lestari dilakukan tahun 2005.
Pendapatan masyarakat adat pemilik ulayat disesuaikan dengan standar kompensasi sesuai SK Bupati Jayapura Nomor 412002 dan SK Bupati Jayapura
Nomor 13 tahun 2005. Biaya IPK-MA Fee IPK-MA merupakan hasil negosiasi antara pengurus IPK-MA dan pihak ketiga investor. Pengurus IPK-MA Ketua,
Sekretaris, Bendahara juga menerima insentif bulanan selama IPK-MA beroperasi yang besarnya bervariasi antara Rp.100.000,- hingga Rp.150.000,-. Hasil kajian
Yulianti 2005 menunjukkan bahwa pemilik KopermasIPK-MA adalah kelompok yang paling sedikit menikmati manfaat dan keuntungan Kopermas. Kebijakan ini
juga dinilai gagal memenuhi fungsi keberlanjutan usaha sustainability. Pendapatan masyarakat dari kegiatan IPK-MA pasca OHL merupakan
pendapatan yang diperoleh dari hasil pelelangan kayu-kayu IPK-MA yang disita. Pendapatan dari hasil lelang kayu IPK-MA bervariasi dan dipengaruhi oleh negosiasi
antara masyarakat adat dan pihak pemenang lelang. Negosiasi antara masyarakat dan pemenang lelang biasanya berlangsung sebelum kegiatan lelang dilakukan. Posisi
masyarakat adat dalam negosiasi lemah sehingga mereka lebih banyak menerima tawaran yang diberikan.
Kegiatan IPK
VCMWI dan
IPK SM
tidak memberikan
pendapatankompensasi kepada masyarakat pemilik ulayat lokasi IPK. Hal ini mungkin terjadi karena lokasi kedua IPK berada pada areal penggunaan lain APL
yang merupakan lokasi perkebunan kelapa sawit dan lokasi lahan usaha dua pada areal transmigrasi. Hasil wawancara dan pengamatan di salah satu lokasi IPK
menunjukkan bahwa tidak terdapat kegiatan pemanfaatan kayu pada areal yang dimaksud, bahkan rencana perkebunan tidak terealisasi. Hal ini membuktikan bahwa
investor sebenarnya hanya memburu dokumen-dokumen perijinan untuk melegalkan kegiatan-kegiatan illegalnya. Casson 2003 menjelaskan bahwa kebanyakan
perusahaan di Irian Jaya Papua lebih berminat memungut kayu dari konsesi mereka daripada benar-benar membangun perkebunan.
Pendapatan masyarakat adat dari kegiatan pemanfaatan kayu tanpa perijinan dibedakan sesuai dengan saluran pemasaran seperti pada pembahasan sebelumnya.
Pendapatan masyarakat adat di Distrik Kemtuk diperoleh dari aktifitas masyarakat secara langsung dalam memanfaatkan kayu, sedangkan di Distrik Unurumguay dan
Distrik Kaureh pendapatan masyarakat adat merupakan hasil kerjasama antara masyarakat adat dan kelompok penggesek kayu. Pendapatan masyarakat adat dari
kegiatan pemanfaatan kayu di Distrik Kemtuk, Distrik Unurumguay, dan Distrik Kaureh dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Pendapatan Masyarakat Adat dari Kegiatan Pemanfaatan Kayu di Kab Jayapura.
No. Jenis Kayu dan Tujuan
Pemasaran Pendapatan Masyarakat Adat Rpm
3
Kemtuk Unurumguay
Kaureh 1.
Merbau : a. Industri kayu
b. Kios Kayu c. Proyek Pembangunan
- 1.195.917
1.079.250 75.000
100.000 -
100.000 100.000
- 2.
Non Merbau : a. Kios Kayu
b. Proyek Pembangunan 291.300
341.300 40.000
- 40.000
- Pendapatan masyarakat adat di Distrik Kemtuk lebih tinggi dari masyarakat di
Distrik Unurumguay dan Distrik Kaureh karena masyarakat di Distrik Kemtuk mengusahakan kayu sendiri tanpa melibatkan pihak luar kelompok penggesek. Di
Distrik Unurumguay dan Disrik Kaureh, perhitungan kompensasi antara kelompok penggesek kayu dan masyarakat didasarkan atas jumlah pengangkutan dengan
menggunakan truk. Setiap pengangkutan kayu merbau masyarakat mendapat kompensasi sebesar Rp.300.000,- dengan perhitungananggapan masyarakat bahwa
jumlah kayu yang diangkut sebanyak 3 m
3
. Untuk kayu non merbau masyarakat memperolah Rp.200.000,- setiap truk, dengan anggapan masyarakat jumlah kayu
yang diangkut 5 m
3
. Perhitungan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar kompensasi sesuai aturan yang berlaku, namun sesungguhnya kondisi di lapangan
menunjukkan bahwa pendekatan perhitungan ini sangat merugikan masyarakat. Masyarakat sering dikelabui, baik dengan jenis kayu maupun volume yang diangkut.
Kelompok penggesek juga sering menggunakan aparat keamanan dalam kegiatannya sehingga masyarakat adat kadang sulit untuk melakukan protes atas kompensasi yang
diterima. Perbedaan pendapatan masyarakat juga dipengaruhi oleh banyaknya pungutan
liar yang dilakukan aparat di setiap pos maupun yang sedang melakukan patroli. Semakin jauh jarak pengangkutan kayu dari lokasi ke tempat tujuan pemasaran,
semakin banyak jumlah pos yang dilewati sehingga biaya pungutan liar semakin tinggi. Biaya pungutan ini kadang sulit diprediksi karena pungutan tidak hanya
dilakukan oleh petugas di pos keamanan tapi juga oleh petugas yang sedang
melakukan patroli. Pengaruh pungutan ini dapat dilihat pada perbedaan pendapatan masyarakat di Distrik Kemtuk yang menjual kayu ke kios kayu dan yang menjual
kepada pihak yang melakukan kegiatan pembangunan proyek pembangunan. Untuk proyek pembangunan, pembeli menjemput kayu ke Distrik Kemtuk, sehingga biaya
pengangkutan dan pungutan liar dapat dikurangi dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Akses jalan dan jarak antara Distrik ke Kota Kabupaten Jayapura Sentani juga mempengaruhi keputusan masyarakat dalam menentukan tujuan pemasaran
kayu. Masyarakat di Distrik Kemtuk memiliki akses kerjasama dengan kios kayu maupun konsumen lain karena berada dekat dengan Kota Sentani. Konsumen lain
developer pembangunan lebih memilih untuk membeli kayu di lokasi-lokasi yang dekat dengan kegiatannya Sentani untuk menghindari biaya transportasi yang tinggi
dan pungutan liar. Jarak antara masing-masing distrik ke Kota Sentani dapat dilihat pada Lampiran 1.
Masyarakat di Distrik Kemtuk tidak menjual kayu ke industri karena jarak ke industri yang jauh, harga yang diperoleh lebih rendah, dan penilaian terhadap volume
kayu sering merugikan masyarakat. Pasokan kayu untuk kebutuhan industri banyak diperoleh dari Distrik Unurumguay dan Distrik Kaureh. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa penjualan kayu merbau dari kedua distrik tersebut ke industri kayu di Distrik Unurumguay lebih menguntungkan dibandingkan penjualan ke kios
kayu di Kota Sentani. Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya pungutan pada saat kayu diangkut menuju Kota Sentani. Detail tentang biaya dan pendapatan yang
diperoleh masyarakat dari kegiatan pemanfaatan kayu di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.
Data realisasi penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan PSDH dan Dana Reboisasi DR dari kegiatan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura pada tahun
2005 sd 2009 dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Realisasi Penerimaan Negara dari Kegiatan Pemanfaatan Kayu di Kab. Jayapura Tahun 2005 sd 2009
Tabel 17 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi penerimaan PSDH dan DR dari tahun 2005 akhir pemberlakuan ijin IPK-MA hingga tahun 2009. Perijinan
pemungutan kayu berupa IPK di Kabupaten Jayapura mengalami penurunan jumlah namun penerimaan PSDH tahun 2009 meningkat, hal disebabkan oleh peningkatan
standarisasi PSDH untuk setiap kelompok jenis dan adanya pemisahan jenis kayu merbau. Sekalipun kegiatan pemungutan kayu sesuai perijinan IPKIPK-MA
menurun namun aktifitas illegal dalam pemanfaatan kayu dan dokumen tata usaha kayu terus berlangsung. Hasil penelusuran dokumen dan wawancara dengan
masyarakat ditemukan adanya dokumen realisasi penyetoran PSDH dan DR yang berasal dari kegiatan IPK yang belum aktif di lapangan. Modus ini dipakai untuk
memanipulasi dokumen agar dapat memanfaatkan kayu tanpa perijinan. Kayu untuk kebutuhan lokal dipenuhi dari kegiatan tanpa perijinan illegal
sehingga tidak memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara PSDH dan DR. Data tentang peredaran kayu dari hutan ke Kota Sentani untuk kebutuhan kios kayu
dan kebutuhan lokal lainnya ditelusuri melalui pengamatan dan wawancara dengan petugas di pos kehutanan serta pemilik dari beberapa kios kayu di Kota Sentani.
Estimasi kerugian negara dari pemanfaatan kayu tanpa perijinan dapat dilihat pada Tabel 18.
No. Tahun
Pemerintah Pusat Pemda Jayapura
PSDH Rp. DR US
PSDH Rp. DR US
1. 2005
1.653.552.676 585.092,28
529.136.856,3 234.036,91
2. 2006
176.945.184 91.899,34
56.622.458,8 36.755,74
3. 2007
907.751.945 264.301,40
290.480.622,4 105.720,56
4. 2008
876.442.184 216.656,68
280.461.498,9 86.662,67
5. 2009
1.287.420.238 176.220,42
411.974.476,2 70.488,17
Sumber : Data Dinas Kehutanan Kab. Jayapura diolah.
Tabel 18. Kerugian Negara dan Pemerintah Daerah dari Kegiatan Pemanfaatan
Kayu di Kab. Jayapura.
No. Kelompok
Jenis Volume
Bulan m
3
Kerugian Negara Kerugian Pemda
PSDH Rp. DR US
PSDH Rp.
DR US 1.
Merbau 200
30.000.000 2.600
9.600.000 1.040
2. Meranti
600 30.240.000
7.800 9.676.800
3.120 Jumlah
800 60.240.000
10.400 19.276.800 4.160
Hasil pencatatan di pos kehutanan menunjukkan bahwa rata-rata volume kayu yang diangkut ke Kota Sentani sebanyak ± 800 m
3
per bulan. Jumlah ini sesungguhnya masih lebih rendah dibanding data rata-rata jumlah kayu yang diterima
8 delapan kios kayu yang berada di Kota Sentani yaitu sekitar ± 1.000 m
3
per bulan.
5.4. Analisis Para Pihak Stakeholder Analisys