Pendapat ragu-ragu dikemukakan dengan alasan : 1. Pemanfaatan kayu tanpa ijin oleh masyarakat adat merupakan bentuk konspirasi
antara pemerintah dan swasta untuk memenuhi kepentingan pihak swasta. 2. Kondisi tanpa perijinan tidak memberikan proses belajar tentang bagaimana
pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan. Kondisi ini justru merusak kelembagaan adat dan masyarakat adat ikut terpengaruh dengan kebiasaan
eksploitatif yang dilakukan oleh perusahaan atau pihak luar. Alasan yang dikemukakan stakeholder kunci, stakeholder utama, dan
stakeholder pendukung jelas menunjukkan bahwa pemanfaatan kayu oleh masyarakat
adat sekalipun tanpa perijinan tetapi ketiga stakeholder memahami adanya peluang melalui otonomi khusus yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat adat.
Stakeholder kunci khususnya Dinas Kehutanan memahami adanya kelemahan
kebijakan dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Pengalaman IPK-MA
membuktikan bahwa pemanfaatan sumber daya hutan sesuai Undang-Undang Otonomi Khusus Papua harus tetap mengacu pada undang-undang atau peraturan
sektor kehutanan sekalipun peraturan tersebut bertentangan dengan semangat otonomi khusus.
Rancangan PERDA Kabupaten Jayapura untuk mengatasi masalah pemanfaatan kayu oleh masyarakat mengalami kendala karena tidak memiliki
dukungan dari peraturan yang lebih tinggi Peraturan Menteri Kehutanan. Butuh keberanian dan profesinalisme dari aparatur di Kabupaten Jayapura untuk melakukan
terobosan-terobosan guna menjawab permasalahan trade offs kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut Dwiyanto 2011 aparatur
pemerintah yang memiliki profesionalisme tinggi cenderung tidak toleran terhadap proseduralisme yang membelenggu dan menjauhkan mereka dari kreativitas dan
inovasi.
5.5. Analisis Efektifitas Kelembagaan Adat
Menurut Berkes dan Farvar 1989 dalam Suharjito 1999, pandangan ilmiah Barat menganggap common-property resources adalah sumberdaya yang tidak
dipertangungjawabkan kepada pribadi private, tidak dimiliki oleh seseorang, open access
dan tersedia bebas bagi para pengguna. Sedangkan menurut pandangan tradisional, common-property resources adalah sumberdaya yang dimiliki secara
komunal communally owned resources. Masyarakat adat di lokasi penelitian memiliki pandangan tentang sumberdaya alam milik bersama dalam suatu marga atau
dalam suku yang terdiri dari beberapa marga. Sumberdaya milik bersama ini biasanya merupakan sumberdaya yang jumlahnya tidak terbatas misalnya sumber air.
Selain itu sumberdaya milik bersama dapat berupa sumberdaya bergerak seperti satwa atau hewan buruan. Untuk sumberdaya yang tidak bergerak dan jumlahnya terbatas
seperti kayu masuk dalam kategori sumberdaya milik marga, yang dihubungkan dengan lokasi tumbuhnya pohonkayu tersebut dengan pemilik tanah adatulayat. Hal
ini menunjukkan bahwa common-property sumberdaya hutankayu pada lokasi penelitian maupun pada umumnya di setiap tanah ulayat milik masyarakat adat di
Papua sifatnya tidak open access. Masyarakat adat di Distrik Kemtuk, Distrik Unurumguay, dan Distrik Kaureh
percaya bahwa hutan memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat. Semua informan yakin bahwa hutan memberikan manfaat bagi kehidupan, apabila hutan
tidak ada maka keberlangsungan hidup mereka terganggu. Kepercayaan tersebut didasarkan pada pengalaman hidupnya yang merasa manfaat hutan sebagai penyedia
bahan makanan berburu, menyediakan sagu, dan didasarkan pada nasehat-nasehat orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat, dan adat-istiadat yang ada dalam masyarakat.
Masyarakat adat yakin terhadap aturan tertulis dan aturan tidak tertulis dapat berfungsi untuk menjaga dan mengatur kegiatan pemanfaatan kayu, namun tingkat
kepercayaannya berbeda-beda. Terhadap aturan tertulis formal pemerintah 20 informan percaya bahwa aturan tertulis yang ada efektif untuk mengatur kegiatan
pemanfaatan kayu, sebagian informan 80 ragu-ragu terhadap efektivitas aturan tertulis. Sedangkan terhadap aturan tidak tertulis aturan adat 80 informan percaya
bahwa aturan tersebut efektif mengatur kegiatan pemanfaatan kayu, hanya 20 informan yang ragu-ragu terhadap aturan tidak tertulis.
Tingkat kepercayaan masyarakat adat terhadap aturan tidak tertulis aturan adat untuk mengelola sumber daya hutan khususnya untuk memanfaatkan kayu lebih
tinggi dari kepercayaannya terhadap aturan tertulis formal. Hal ini dikarenakan aturan tidak tertulis sudah berlaku secara turun-temurun dan terinternalisasi dalam
kehidupan masyarakat adat. Sedangkan aturan tertulis yang disusun oleh pemerintah hanya sebagian kecil yang mengakomodir kepentingan masyarakat adat untuk
memanfaatkan kayu.
Kepatuhan seseorang terhadap aturan dapat diperlemah dan diperkuat oleh kepatuhan orang lain terhadap aturan tersebut. Oleh karena itu penting untuk
meninjau kepercayaan seseorang bahwa orang lain mematuhi aturan Suharjito dan Saputro, 2008. Tingkat kepercayaan informan bahwa masyarakat lain mematuhi
batas ulayat dalam kegiatan pemanfaatan kayu 93,3 percaya sedangkan sebagian kecil 6,7 ragu-ragu. Tingkat kepercayaan informan bahwa anggota masyarakat lain
dapat mematuhi aturan adat dalam pemanfaatan kayu diperkuat oleh tingkat kepercayaan bahwa masyarakat adat dapat bekerjasama dalam menjaga batas-batas
ulayat. Sebagian besar informan 73,3 percaya dan 26,7 informan ragu-ragu. Sebagaimana dijelaskan Uphoff 2000 bahwa kepercayaan trust dan pembalasan
reciprocation merupakan cara untuk membangun hubungan dengan orang lain. Informan yang ragu-ragu terhadap kepatuhan dan kemampuan bekerjasama menjaga
batas ulayat dalam kegiatan pemanfaatan kayu didasarkan atas kekhawatiran
kehadiran kelompok-kelompok masyarakat adat lain yang mulai banyak menetap dan bersama-sama memanfaatkan hutan.
Tingkat kepercayaan masyarakat adat terhadap kegiatan pemanfaatan kayu oleh IPK, dan IUPHHKHPH tergolong rendah, yaitu 86,7 informan tidak percaya,
dan 13,3 informan ragu-ragu. Secara ringkas distribusi informan menurut tingkat kepercayaannya terhadap manfaat hutan, fungsi aturan, kepatuhan, kerjasama, dan
hubungan dengan perusahaan disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Distribusi Informan menurut Tingkat Kepercayaan
No Kepercayaan informan terhadap
Distribusi Informan Tidak
Percaya Ragu-
ragu Percaya
1 Manfaat hutan
- -
100 2
Fungsi aturan tertulis 80,0
20,0 3
Fungsi aturan tidak tertulis -
20,0 80,0
4 Kepatuhan terhadap batas ulayat dalam
pemanfaatan kayu -
6,7 93,3
5 Kemampuan kerjasama warga masyarakat
- 26,7
73,3 6
Perusahaan IPKIUPHHK 86,7
13,3 -
Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap HPH maupun IPK disebabkan oleh aktivitas HPHIPK yang kurang menghormati bahkan merusak
kearifan lokal yang telah ada dalam menjaga hubungan masyarakat dengan hutan. Masyarakat adat juga melihat bagaimana perusahaan dapat dengan mudah
memanfaatkan kayu dalam jumlah yang banyak dan didukung oleh aparat keamananmiliter yang selalu melihat masyarakat adat sebagai ancaman terhadap
perusahaan. Sekalipun masyarakat tidak percaya dengan kegiatan-kegiatan
IPKIUPHHK namun tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan untuk menghindari kerjasama dalam pemanfaatan kayu. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Maring
2010 yang menjelaskan bahwa konflik, perlawanan, dan kolaborasi merupakan realitas yang silih berganti berlangsung di lapangan, melibatkan pihak-pihak yang
sama, tempat yang sama, dan terjadi pada kasus yang sama yaitu penguasaan hutan. Di lokasi penelitian dan di Papua pada umumnya aturan adat merupakan
aturan verbal yang mempunyai kekuatan untuk mengikat setiap individu yang hidup dalam wilayah hukum adat. Aturan adat yang kerapkali dijumpai berupa aturan-aturan
yang berhubungan dengan masalah perkawinan, upacara-upacara adat, dan hak ulayat. Aturan adat tentang pemanfaatan kayu ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-
hari dan menyangkut kearifan lokal dalam memanfaatkan suatu jenis kayu menjadi peralatan tertentu, misalnya untuk membuat perahu masyarakat menggunakan kayu
perahu Octomeles sumatrana atau untuk membuat rumah menggunakan kayu matoa Pometia spp. Dalam aturan adat diatur tentang zona-zona pemanfaatan, misalnya
areal hutan untuk berkebun, berburu, sumbet air, pemukiman kampung lama dan sebagainya.
Tingkat pemahaman informan terhadap aturan adat yang mengatur zona pemanfaatan hutan cukup beragam. 70 informan di Distrik Kemtuk cukup paham
dan 30 informan paham dengan zona pemanfaatan hutan. Di Distrik Kaureh 40 informan cukup paham dan 60 informan paham dengan zona pemanfaatan hutan
secara adat. Informan yang dikategorikan cukup paham tentang zona pemanfaatan adalah mereka yang mengetahui adanya aturan adat tentang zona pemanfaatan hutan
namun tidak bisa memberikan keterangan secara detail tentang zona-zona tersebut. Kebanyakan dari mereka beralasan bahwa orang tua mereka lebih paham tentang hal
tersebut atau sebagai akibat tidak adanya transfer informasi dari generasi sebelumnya. Informan di Unurumguay semuanya paham tentang zona pemanfaatan karena terjadi
transfer informasi yang baik dari generasi sebelumnya serta adanya inisiatif WWF pada tahun 2006 yang membantu masyarakat secara partisipatif membuat peta ulayat
dan zona pemanfaatan. Distribusi informan menurut tingkat pemahaman terhadap aturan adat disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Distribusi Informan menurut Tingkat Pemahaman terhadap Aturan Adat Informan
Tingkat Pemahaman Tidak paham
Cukup paham Paham
Distrik Kemtuk -
70 30
Distrik Unurumguay -
- 100
Distrik Kaureh -
40 60
Pemahaman terhadap aturan adat yang mengatur zona pemanfaatan di Distrik Kemtuk dan Distrik Kaureh akan meningkat jika difasilitasi dengan kegiatan-kegiatan
yang mendukung tercapainya transfer informasi. Kegiatan tersebut dapat berupa
kegiatan pemetaan partisipatif yang melibatkan seluruh masyarakat adat atau wakil marga.
5.6. Peta Permasalahan Berdasarkan Temuan Studi