2.8. Bentuk Pelanggaran dalam Pemanfaatan Kayu
Pemanfaatan kayu dalam konteks ilegal adalah kegiatan pemanfaatan kayu yang tidak sesuai dengan perangkat hukum atau peraturan yang berlaku.
Dalam kegiatan pengelolaan hutan termasuk pemanfaatan kayu, peraturan atau kebijakan
yang digunakan selalu mengacu pada penetapan fungsi suatu kawasan hutan. Menurut Casson 2007, di Indonesia fungsi kawasan hutan ditetapkan berdasarkan
hasil analisis terhadap beberapa faktor antara lain kelerengan, intensitas curah hujan, kondisi tanah, dan faktor biofisik lainnya tanpa memperhitungkan faktor sosial
masyarakat dalam dan sekitar hutan. Minimnya pelibatan masyarakat dalam
penetapan fungsi kawasan hutan menyebabkan hak masyarakat dalam mengakses sumberdaya hutan tidak terakomodasi peraturankebijakan pengelolaan hutan.
Selanjutnya Casson 2007 juga menjelaskan bahwa pelanggaran-pelanggaran dalam pemanfaatan kayu tidak hanya berasal dari kegiatan-kegiatan yang melanggar
peraturan pengelolaan hutan sesuai fungsi kawasan hutan tetapi juga terjadi pada kegiatan pengangkutan kayu meliputi dokumen yang digunakan, kegiatan pengolahan,
kegiatan perdagangan, dan administrasi keuangan termasuk pajak. Pelanggaran
dalam pemanfaatan kayu juga terjadi sebagai akibat buruknya penegakan hukum. Operasi penegakan hukum cenderung meresahkan masyarakat setempat dan
mendorong mereka untuk tidak mendukung upaya mengatasi pembalakan liar, karena akan berdampak pada hilangnya kesempatan kerja, pendapatan dalam jangka pendek,
dan masyarakat hanya akan menjadi korban dari aktifivitas aktor intelektual yang ada di balik kegiatan pembalakan liar dan operasi penegakan hukum. Penegakan hukum
yang buruk cenderung memberikan ruang bagi terjadinya korupsi dan kolusi yang justru merugikan negara, sebagai contoh kegiatan Operasi Hutan Lestari II di Papua
Tahun 2005 yang diperkirakan menghabiskan biaya sebesar Rp. 12 milyar tidak memberikan hasil yang maksimal karena hasil kayu yang disita selama operasi ini
justru mengalami penurunan nilai karena proses hukum yang membutuhkan waktu lama serta metode pelelangan yang legal tetapi penuh dengan kolusi dan korupsi.
Sadino 2002 dalam Casson 2007 menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan polisi kehutanan bersifat apatis untuk
menangkap atau menuntut pelaku tindak kejahatan hutan karena mereka terlibat secara langsung atau mendukung dan mendapatkan keuntungan dari kegiatan
pembalakan liar, serta tidak memperoleh apapun dari operasi penegakan hukum.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua yang meliputi 3 tiga wilayah distrikkecamatan yaitu : Distrik Kaureh, Distrik Unurum
guay, dan Distrik Kemtuk. Penelitian dilaksanakan selama 3 tiga bulan, mulai
Maret 2010 hingga Mei 2010. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yang menekankan pada penggambaran dan penjelasan terhadap fenomena yang ada serta hubungan antar
faktor yang berpengaruh Yin, 1997. Validasi data penelitian menggunakan metode triangulasi yaitu penelusuran data atau infromasi dari tiga sisi, pertama, data primer
dari hasil observasi lapangan, hasil wawancara dan survei terhadap informan; kedua, data sekunder berupa dokumen kebijakan, dokumen perijinan pemanfaatan kayu, dan
dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan pemanfaatan kayu; ketiga, dari analisis data yang dilakukan terhadap data primer dan sekunder.
3.3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam in depth interview, survei, dan penelusuran dokumen. Informan adalah orang yang
diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta dari suatu objek penelitian Bungin, 2007. Penentuan informan dilakukan secara purposive
dengan pertimbangan informan tersebut memahami kondisi pemanfaatan kayu yang terjadi, memiliki kapasitas yang mewakili kelompok stakeholders tertentu dan atau
terlibat aktif dalam kegiatan pemanfaatan kayu. Klasifikasi informan sebagai berikut : Masyarakat adat, yang terdiri dari pemilik ulayat yang terlibat kegiatan
pemanfaatan kayu tanpa perijinan, dan yang pernah terlibat dalam kegiatan IPK-MA. Swasta,
yang terdiri dari pedagang perantara, perwakilan pemegang ijin pemanfaatan kayu, pemegang ijin industri pengolahan hasil hutan kayu, dan pemegang ijin
penjualan kayu untuk kebutuhan lokal. Pemerintah, Dinas Kehutanan, Bapedalda, dan Bagian Hukum Setda Kab.Jayapura. Kelompok Interest lain, perwakilan anggota
DPRD Kabupaten Jayapura, perwakilan lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan, dan di bidang pemberdayaan masyarakat adat. Jenis data, cara
pengumpulan data, dan analisis data dapat dilihat pada Tabel 4.