Analisis Kebijakan Pemanfaatan Kayu oleh Masyarakat Adat (Kasus di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua)

(1)

MASYARAKAT ADAT

(Kasus di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua)

YAN RICHARD PUGU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebijakan Pemanfaatan Kayu oleh Masyarakat Adat ( Kasus di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011

Yan Richard Pugu NRP E151070111


(3)

YAN RICHARD PUGU. Analysis of Policies in Timber Utilization for Traditional Community (A Case Study In Jayapura Regency, Papua Province)

. Under direction

of

SUDARSONO SOEDOMO,

and

BRAMASTO NUGROHO.

The decentralization policies in Indonesia have not yet specifically designed the decentralization of natural resources management. This condition can be seen from the timber utilization by the traditional community in the Regency of Jayapura in the Province of Papua. They prefer to utilize timber without legal aspects, whereas the local government is faced with difficulties because of different and inconsistent policies. The objective of this study was to examine the implemented policies, activities of traditional community in utilizing timber, the effectiveness of traditional institutions; and formulate alternative policies. Data were collected from observation, document tracing, and in-depth interviews with informants in the Districts of Kemtuk, Kaureh, and Unurumguay. The analyses involved these aspects: policy substance/content, marketing channel, income of people and local government, stakeholders, and effectiveness of traditional bodies/institutions. The study results indicate that the existing policies do have benefits and ignore the rights of traditional community; some marketing channels are without legal aspects; the traditional institutions are not yet effective; and coordination is necessary between the local government and forestry ministry in making policies.


(4)

YAN RICHARD PUGU. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Kayu oleh Masyarakat Adat (Kasus di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua). Dibimbing oleh

SUDARSONO SOEDOMO,

dan

BRAMASTO NUGROHO.

Kebijakan desentralisasi yang berlangsung di Indonesia belum secara spesifik merancang desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun demikian beberapa penulis menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi dapat meningkatkan kualitas pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu alasan yang mereka pakai untuk menguatkan argumen tersebut adalah karakter lingkungan yang berbeda di masing-masing daerah menuntut pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi di tingkat lokal (Suporaharjdo, 2008).

Desentralisasi di Provinsi Papua dilaksanakan sesuai Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Implementasi UU ini merubah berbagai kebijakan dalam birokrasi pemerintahan maupun program-program pembangunan dan pemberian kesempatan kepada masyarakat adat sebagai sasaran pembangunan. Khusus untuk bidang Kehutanan Gubernur Provinsi Papua mengeluarkan kebijakan Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat (IPK-MA). Perijinan ini merupakan bentuk kebijakan pertama yang memberikan akses legal kepada masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumberdaya hutan. (Tokede, 2005). Namun pada Januari 2005 pemberlakukan IPKMA dihentikan karena Departemen Kehutanan menganggap bentuk perijinan ini tidak mengikuti prosedur perijinan yang ada. Menurut Kementerian Kehutanan pemanfaatan kayu oleh masyarakat dapat menggunakan Ijin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) sesuai SK Menhut No. 6886/Kpts-II/2002. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa IPHH digunakan oleh masyarakat adat untuk memanfaatkan hasil hutan non kayu (gaharu, kulit masohi) sedangkan untuk kayu masyarakat adat memilih untuk memanfaatkan tanpa perijinan.

Mencermati kondisi pemanfaatan kayu yang sementara terjadi di Kabupaten Jayapura, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui implementasi kebijakan pemanfaatan kayu; mengetahui aktivitas pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat; dan mengetahui efektivitas kelembagaan adat dalam kegiatan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua yang meliputi wilayah Distrik Kaureh, Distrik Unurumguay, dan Distrik Kemtuk. Beberapa analisis yang digunakan yaitu analisis isi kebijakan, dengan menggunakan pendekatan terhadap Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, Ideology / ROCCIPI; analisis saluran pemasaran, dilakukan terhadap saluran pemasaran kayu tanpa perijinan; analisis pendapatan; analisis stakeholder; dan analisis efektivitas kelembagaan adat.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan) tidak menjadi solusi atas masalah pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat. Kebijakan tersebut justru memberi peluang untuk tidak ditaati karena tidak memberikan manfaat (disinsentif) terhadap kebutuhan masyarakat. Terdapat dua saluran pemasaran kayu illegal atau tanpa ijin yang melibatkan pihak masyarakat adat, kelompok penggesek, industri kayu, kios kayu, dan konsumen lainnya. Pendapatan masyarakat adat di Distrik Kemtuk lebih tinggi


(5)

mempunyai keterampilan dan hubungan kerjasama dengan konsumen. Terjadi fluktuasi pada pendapatan pemerintah daerah dari kegiatan pemanfaatan kayu melalui realisasi penerimaan PSDH dan DR. Sekalipun kegiatan pemungutan kayu sesuai perijinan (IPK/IPK-MA) menurun namun aktifitas illegal dalam pemanfaatan kayu dan dokumen tata usaha kayu terus berlangsung. Alasan yang dikemukakan stakeholder kunci, stakeholder utama, dan stakeholder pendukung menunjukkan bahwa pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat sekalipun tanpa perijinan tetapi ketiga stakeholder memahami adanya peluang melalui otonomi khusus yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat adat.

Masyarakat adat di Distrik Kemtuk, Distrik Unurumguay, dan Distrik Kaureh percaya bahwa hutan memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat. Pemahaman terhadap aturan adat yang mengatur zona pemanfaatan di Distrik Kemtuk dan Distrik Kaureh akan meningkat jika difasilitasi dengan kegiatan-kegiatan yang mendukung tercapainya transfer informasi. Pengaturan pemanfaatan kayu melalui mekanisme kebijakan yang lebih adil dan kejelasan terhadap hak kepemilikan (property right) penting untuk dilakukan. Kejelasan terhadap property rights akan mempengaruhi tindakan masyarakat adat dalam memanfaatkan kayu. Hak kepemilikan (property right) dapat diwujudkan dalam bentuk hak komunal (common property). Pengakuan atas hak komunal juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat adat terhadap pemerintah dan mempermudah proses kolaborasi kebijakan pengelolaan hutan antara aturan tehnis kehutanan dan aturan-aturan adat.


(6)

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

MASYARAKAT ADAT

(Kasus di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua)

YAN RICHARD PUGU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

(Kasus di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua)

Nama : Yan Richard Pugu

NRP : E151070111

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS.M.PPA Ketua

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Kebijakan Pemanfaatan Kayu oleh Masyarakat Adat (Kasus di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua)”.

Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam penyelesaian perkuliahan, penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat dukungan, bantuan, dan kemudahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS, M.PPA dan Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan ikhlas membimbing penulis selama proses penulisan tesis ini.

2. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS selaku penguji luar komisi dan juga sebagai pengajar yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian studi penulis.

3. Bupati Kabupaten Jayapura yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor.

4. Isteri Tercinta Lena Krey yang dengan setia dan sabar mendukung penulis dalam menyelesaikan studi.

5. Bapa dan Mama tercinta serta saudara-saudara Yos sekeluarga, Nelson Rumbiak sekeluarga, Ian sekeluarga, dan Stefanus Saselah sekeluarga atas doa dan bantuan selama penulis menjalani studi.

6. Teman-teman IPH_07 yang selalu setia memberikan dukungan dan semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi.

Semoga tesis ini bermanfaat sesuai maksud penulisannya.

Bogor, September 2011


(11)

Penulis dilahirkan di Abepura pada tanggal 24 Oktober 1973 dari ayah bernama Albert Melianus Pugu dan ibu bernama Juliana Margareth Numberi. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan Sekolah Menengah Atas di Abepura-Jayapura. Pada Tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu dari Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih Jurusan Kehutanan di Manokwari. Pada tahun 2000 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil di Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura dan ditempatkan di Dinas Kehutanan.

Penulis menikah dengan Dina Lena Krey pada Desember 2003. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa program pascasarjana (S2) pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan IPB.


(12)

Halaman PRAKATA ...

DAFTAR ISI ...

DAFTAR TABEL ……….

DAFTAR GAMBAR ……….

DAFTAR LAMPIRAN ...

i ii iii iv v I. PENDAHULUAN

Latar Belakang ... Perumusan Masalah ... Tujuan ... Manfaat ... Kerangka Pemikiran ...

1 2 3 4 4 II. TINJAUAN PUSTAKA

Masyarakat Adat dan Otonomi Khusus ... Pembuatan Kebijakan ... Analisis Isi Kebijakan ... Analisis Para Pihak ... Saluran Pemasaran ... Pendapatan Masyarakat Adat dan Pemerintah Daerah ... Pola Penguasaan Tanah oleh Masyarakat Adat di Kab Jayapura ... Analisis Efektifitas Kelembagaan Adat ... Bentuk Pelanggaran dalam Pemanfaatan Kayu ...

6 7 8 9 11 12 14 15 16 III.METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian ... Metode Penelitian ... Pengumpulan Data ... Analisis Data ...

17 17 17 19 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Geografis ... Penduduk ... Kondisi Hutan ...

22 22 23 V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Isi Kebijakan ... Analisis Saluran Pemasaran ... Analisis Pendapatan Masyarakat Adat dan Pemda ... Analisis Para Pihak ... Analisis Efektifitas Kelembagaan Adat ... Peta Permasalahan Berdasarkan Temuan Studi ...

26 28 32 37 40 44


(13)

Saran ... 47 DAFTAR PUSTAKA ... 48


(14)

1. Standarisasi Kompensasi bagi Masyarakat Adat sesuai Keputusan Gubernur ... 2. Proporsi PNBP Sektor Kehutanan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ... 3. Penetapan Harga Patokan PSDH untuk Wilayah Irian Jaya ... 4. Jenis, Cara Pengumpulan dan Analisis Data ... 5. Tingkat Kepercayaan Informan ... 6. Tingkat Pemahaman terhadap Aturan Adat ... 7. Jarak Ibukota Distrik dengan Ibukota Kabupaten Jayapura ... 8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 9. Komposisi Penduduk berdasarkan Suku ... 10. Luas Lahan Perkebunan Masyarakat di Lokasi Penelitian ... 11. Luas Hutan Kabupaten Jayapura sesuai Fungsi Kawasan Hutan ... 12. Data Potensi Tegakan ... 13. Produksi Kayu Bulat di Kabupaten Jayapura Tahun 2005 s/d 2009 ... 14. Hasil Analisis Isi Kebijakan ... 15. Pendapatan Masyarakat dari Kegiatan IPK-MA dan IPK ... 16. Pendapatan Masyarakat Adat dari Kegiatan Pemanfaatan Kayu ... 17. Realisasi Penerimaan Negara dari Kegiatan Pemanfaatan Kayu ... 18. Kerugian Negara dan Pemerintah Daerah... 19. Distribusi Informan menurut Tingkat Kepercayaan ... 20. Distribusi Informan menurut Tingkat Pemahaman terhadap Aturan Adat.. 21. Peta Permasalahan Pemanfaatan Kayu oleh Masyarakat Adat ...

12 13 13 18 21 21 22 23 23 23 24 24 25 27 32 34 36 37 42 44 44


(15)

1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran ... 2. Prosedur Pembuatan Kebijakan ... 3. Pola Saluran Pemasaran Kayu tanpa Ijin ... 4. PendapatStakeholder tentang Kegiatan Pemanfaatan Kayu oleh

Masyarakat Adat ... 5 7 29 38


(16)

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian ... Lampiran 2. Biaya dan Keuntungan Biaya Pemanfaatan Kayu ... Lampiran 3. DaftarStakeholderyang diwawancarai ... Lampiran 4. Panduan WawancaraStakeholder ... Lampiran 5. Persentase JawabanStakeholder...

51 52 53 54 55 Halaman


(17)

(Kasus di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua)

YAN RICHARD PUGU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan desentralisasi yang berlangsung di Indonesia belum secara spesifik merancang desentralisasi dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun demikian beberapa penulis menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi dapat meningkatkan kualitas pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu alasan yang mereka pakai untuk menguatkan argumen tersebut adalah karakter lingkungan yang berbeda di masing-masing daerah menuntut pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang sesuai dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi di tingkat lokal.

Kebijakan desentralisasi untuk Provinsi Papua diatur melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua). Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang Politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 42 ayat (1), menjelaskan bahwa pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dalam pembangunan perekonomian kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat. Masyarakat Adat yang dimaksudkan dalam undang-undang ini adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah yang terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

Implementasi UU Otsus Papua merubah berbagai kebijakan dalam birokrasi pemerintahan maupun program-program pembangunan sehingga lebih mengakomodir kebutuhan lokal dan pemberian kesempatan kepada masyarakat adat sebagai sasaran pembangunan. Salah satu contoh adalah sektor kehutanan yang melakukan perubahan kebijakan dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat adat dalam pemanfaatan kayu di wilayah ulayatnya. Masyarakat adat dalam wadah koperasi bermitra dengan pihak swasta dan melakukan kegiatan pemanfaatan kayu dengan menggunakan Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat (IPK-MA). Menurut Tokede (2005) IPK-MA merupakan bentuk perijinan (legalitas) pertama yang memberikan akses kepada masyarkat adat untuk memanfaatkan kayu dari areal ulayatnya.


(19)

IPK-MA dicabut pemberlakuannya pada 12 Januari 2005 karena adanya perdebatan dengan Departemen Kehutanan yang menganggap IPKMA merupakan ijin ilegal dan memungkinkan terjadinya praktek pembalakan liar. Departemen Kehutanan menawarkan pemanfaatan kayu melalui Ijin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) sesuai SK Menhut No. 6886/Kpts-II/2002. IPHH digunakan oleh masyarakat adat untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (kulit masohi dan gaharu), sedangkan untuk hasil hutan kayu masyarakat tidak memanfaatkan perijinan ini karena ijin ini melarang kayu yang dipungut untuk diperdagangkan.

Kegiatan pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat tanpa legalitas dapat ditemui di Kabupaten Jayapura yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua. Posisi Kabupaten Jayapura cukup strategis dalam kegiatan pemanfaatan kayu karena selain memiliki kawasan hutan dengan luas ± 1.338.390,83 hektar (Dinas Kehutanan Papua, 2007) juga memiliki sarana prasarana yang lebih memadai dibandingkan kabupaten lain dan berada dekat dengan pelabuhan laut. Sekalipun kegiatan pemanfaatan kayu dilakukan oleh masyarakat di areal hutan adat tanpa dilengkapi dokumen perijinan namun kegiatan ini terus berjalan dan melibatkan pihak swasta (industri kayu, kios kayu untuk kebutuhan lokal).

Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang kebijakan dan aktivitas pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat. Penelitian ini akan difokuskan pada kebijakan perijinan pemanfaatan kayu, pendapatan masyarakat adat, pendapatan pemerintah daerah, serta peran para pihak (stakeholders), dan kelembagaan adat. 1.2. Perumusan Masalah

Pasca penghentian perijinan IPK-MA aktivitas pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat terus berlangsung meskipun tanpa legalitas. Kayu tanpa legalitas digunakan untuk memenuhi kebutuhan lokal (pembangunan infrastruktur daerah) maupun untuk kebutuhan industri. Data Dinas Kehutanan Kabupaten Jayapura menunjukkan bahwa sejak tahun 2007 hingga 2009 terdapat 5 (lima) Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang beroperasi di Kabupaten Jayapura. IPK memasok bahan baku untuk menunjang kegiatan 12 (dua belas) Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dengan kapasitas 6.000 meter kubik per tahun. Selain ijin IPK tidak terdapat bentuk perijinan lain yang sah untuk pemanfaatan kayu. Hal ini menyebabkan kayu untuk kebutuhan lokal sulit terpenuhi karena seluruh produk IPK habis terserap oleh kebutuhan industri.


(20)

Menurut Sitorus (2004) pemerintah pusat tidak perlu merespon masa transisi desentralisasi dengan kepanikan terlebih untuk mengembalikannya dengan sistem sentralisasi. Penguatan kelembagaan dan institusi pemerintahan dan non pemerintah di daerah yang menjadi aktor pengusahaan hutan, pranata sosial masyarakat lokal, serta penegakkan hukum merupakan upaya yang sangat dibutuhkan untuk mendorong terwujudnya tujuan desentralisasi. Murray et al. (2006) menjelaskan bahwa faktor utama penentu keberhasilan masyarakat lokal dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan adalah adanya kejelasan property right serta berfungsinya sistem kelembagaan lokal. Sistem kelembagaan dimaksud meliputi norma (norm), sanksi (sanction), dan kepercayaan (belief) yang mengatur interaksi sesama manusia, dan antar manusia dengan sumberdaya alam.

Beberapa kajian yang berhubungan dengan pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam mengelola hutan antara lain yang dilakukan oleh Kawer (2007) mendeskripsikan zona pemanfaatan hutan oleh masyarakat adat di Kabupaten Jayapura yang meliputi Kawasan Pemanfaatan bersama/umum dan Kawasan Pemanfaatan Khusus. Pangkali (2006) menjelaskan bahwa di Distrik Unurumguay Kabupaten Jayapura masyarakat adat mengenal adanya zona-zona pemanfaatan, misalnya untuk dusun sagu, tempat berburu dan tempat keramat.

Mencermati kondisi pemanfaatan kayu yang sementara terjadi di Kabupaten Jayapura maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat yang berhubungan dengan kebijakan pemanfaatan kayu. Beberapa pertanyaan sebagai masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana implementasi kebijakan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura? 2. Bagaimana aktivitas pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat di Kabupaten

Jayapura?

3. Bagaimana peran kelembagaan adat dalam kegiatan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura?

1.3. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui implementasi kebijakan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura. 2. Mengetahui aktivitas pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat di Kabupaten


(21)

3. Mengetahui efektivitas kelembagaan adat (lokal) dalam kegiatan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura.

1.4. Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan mengenai kebijakan pemanfaatan kayu dan sebagai bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat.

1.5. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran pada penelitian ini merupakan model analisis kebijakan yang terintegrasi dimana dilakukan analisis retrospektif yang berorientasi pada aplikasi (Dunn, 1994). Kebijakan pemanfaatan kayu akan dianalisis untuk menjelaskan kondisi pemanfatan kayu yang terjadi di Kabupaten Jayapura, berupa kegiatan yang menggunakan perijinan pemerintah dan kegiatan tanpa perijinan pemerintah. Perijinan pemerintah yang sementara digunakan berupa Ijin Pemanfatan Kayu (IPK), dan Ijin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH). Kegiatan tanpa perijinan dilakukan oleh masyarakat adat (pemilik ulayat) atau pihak lain sesuai ijin pemilik ulayat.

Beberapa analisis akan digunakan untuk mendukung penelitian ini, yaitu Analisis Isi (content analisys), untuk menganalisis isi kebijakan perijinan pemanfaatan kayu yang sementara berlaku.; Analisis Saluran Pemasaran, untuk mengetahui bagaimana produk kayu tanpa ijin mampu dipasarkan dan pelaku (agen) yang terlibat didalamnya;Analisis Pendapatan, untuk memberikan gambaran tentang pendapatan masyarakat dari kegiatan pemanfatan kayu yang menggunakan perijinan dan tanpa perijinan, pendapatan pemerintah yang hilang maupun yang berasal dari kegiatan pemanfaatan kayu tanpa perijinan; Analisis Stakeholder, untuk mengetahui pendapat para pihak (stakeholder) tentang aktivitas pemanfaatan kayu yang sementara terjadi; Analisis Efektivitas Kelembagaan Adat, untuk mengetahui tingkat kepercayaan masyarakat dan pemahaman terhadap aturan adat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.


(22)

Hasil analisis diharapkan mampu menjelaskan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat yang berhubungan dengan kebijakan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura dan alternatif/solusi kebijakan. Bagan alir kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran SUMBER DAYA HUTAN

PAPUA

PEMANFAATAN KAYU TANPA IJIN YANG SAH PEMANFAATAN KAYU DI

KAB. JAYAPURA

• ANALISIS ISI KEBIJAKAN

• ANALISIS SALURAN PEMASARAN • ANALISIS PENDAPATAN

MASYARAKAT DAN PEMDA • ANALISIS STAKEHOLDER • ANALISIS EFEKTIFITAS

KELEMBAGAAN ADAT

MASALAH KEBIJAKAN PEMANFAATAN KAYU DI KAB. JAYAPURA

PEMANFAATAN KAYU DENGAN IJIN YANG SAH

ALTERNATIF KEBIJAKAN


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Masyarakat Adat dan Otonomi Khusus Papua

Istilah ‘adat’ dalam bahasa Indonesia memiliki arti ‘kebiasaan’ atau ‘tradisi’ dan mengandung konotasi tata tertib yang tenteram dan konsensus. Menurut Sangaji (2010), sebutan masyarakat adat cenderung merupakan terjemahan dari indigenous people dan atau tribal people. Kingsbury (1995) dalam Sangaji (2010) memberikan ciri untuk mengenali kelompok-kelompok yang disebut Indigenous people, dengan sejumlah karakteristik pokok, yaitu : (1) mengindentifikasi dirinya secara otonom sebagai kelompok suku yang berbeda; (2) pengalaman historis dalam hubungan dengan kerentanan kondisi kehidupan mereka terhadap gangguan, dislokasi, dan eksploitasi; (3) memiliki hubungan yang panjang dengan wilayah yang didiaminya; dan (4) berkeinginan mempertahankan ideologi yang berbeda. Moniaga (2010) mendefinisikan masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan wilayah sendiri.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mendefinisikan adat sebagai kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun. Sedangkan definisi Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya. Terdapat kurang lebih 250 suku atau masyarakat adat yang mempunyai bahasa berbeda dengan jumlah penduduk dalam tiap kelompok suku yang relatif kecil.

Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua merupakan suatu kebijakan yang mendukung pemberdayaan masyarakat adat, hal ini didukung dengan adanya pembentukan lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) yang beranggotakan wakil dari kelompok adat. Menurut Widjojo (2009), Undang-Undang Otsus Papua merupakan kebijakan afirmatif (affirmative action policy) yang diharapkan mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat adat Papua yang belum memiliki sumberdaya yang memadai guna menghadapi persaingan yang sehat dan normal. Menurut Wanggai (2009), Undang-Undang Otsus merupakan sarana rekonsiliasi paling realistis yang dapat menjembatani antara kepentingan pemerintah


(24)

dengan aspirasi merdeka, dan memberikan pengakuan identitas kultural masyarakat Papua.

2.2. Pembuatan Kebijakan

Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijabarkan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap di tengah (Dunn, 1994).

Pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan tidak hanya didorong oleh kepentingan pemerintah, tetapi juga melibatkan proses pembelajaran bagi pembuat kebijakan dimana gagasan kebijakan memainkan peran utama (Lindayati, 2003). Sutton (1999) menjelaskan tentang urutan pembuatan kebijakan dalam model rasional sebagai berikut :

1. Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah. 2. Merumuskan tindakan untuk mengatasi masalah.

3. Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi.

Perumusan Masalah

Peramalan

Rekomendasi

Pemantauan

Penyusunan Agenda

Penilaian

Formulasi Kebijakan Adopsi Kebijakan Implementasi Kebijakan Penilaian Kebijakan Gambar 2. Prosedur Pembuatan Kebijakan (Dunn,1994)


(25)

4. Memilih tindakan sebagai kebijakan yang paling tepat. 5. Pelaksanaan kebijakan.

6. Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.

Pembuatan kebijakan di bidang kehutanan menurut Kartodihardjo (2006) menggunakan kerangka pemikiran yang lebih bertumpu pada aspek-aspek teknis dan teknologi dan belum memperhatikan arah perilaku aktor-aktor yang terlibat sebagai unit-unit pengambil keputusan. Kebijakan kehutanan lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu kehutanan yang menggunakan pendekatan ilmiah misalnya penerapan manajemen hutan yang mengatur waktu rotasi optimal dengan asumsi hutan milik individu bukan sumberdaya milik publik. Bahkan konsep pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal belum pernah diadopsi pemerintah sebagai bentuk pengelolaan hutan secara legal. Pembuatan kebijakan membutuhkan penyempurnaan visi tentang keberadaan dan pemanfaatan fungsi sumberdaya hutan sebagai sumberdaya milik publik.

2.3. Analisis Isi Kebijakan

Kebijakan publik merupakan instrumen yang dibuat untuk memberikan solusi atas permasalahan, namun seringkali kebijakan yang diambil tidak menyelesaikan masalah bahkan melahirkan masalah baru. Permasalahan atau perilaku bermasalah yang berkaitan dengan suatu kebijakan dapat ditelusuri melalui evaluasi isi kebijakan dengan menggunakan pendekatan Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, Ideology / ROCCIPI (Seidman, et al. 2001).

1. Rule (Peraturan), suatu perilaku bermasalah timbul justru karena peraturan perundang-undangannya sendiri. Peraturan perundang-undangan berpotensi menjadi pemicu munculnya perilaku bermasalah karena beberapa faktor, antara lain : (a) Rumusan normanya rancu dan membingungkan; (b) Peraturan yang bersangkutan malah memberi peluang terjadinya perilaku bermasalah; (c) Peraturan tidak menghilangkan penyebab perilaku bermasalah; (d) Peraturan membuka peluang terjadinya perilaku tidak transparan, tidak akuntabel, dan tidak partisipatif; (e) Peraturan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada pelaksana.

2. Opportunity (peluang), suatu perilaku bermasalah timbul karena peraturan perundang-undangan yang dibuat ternyata tidak dapat mempersempit peluang (baik peluang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun geografis) pelaku yang menjadi


(26)

sasaran (adressat) untuk tidak mentaati suatu peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain peraturan perundang-undangan justru memberi peluang untuk tidak ditaati. 3. Capacity (kapasitas), suatu peraturan perundang-undangan tidak berhasil diimplementasikan karena aktor pelaksana, lembaga pelaksana, pendukung peraturan perundang-undangan yang terkait tidak memiliki kemampuan (baik dari segi politik, ekonomi, yuridis ataupun sosial) untuk mengimplementasikan peraturan perundang-undangan.

4. Communication (komunikasi), pelaku dan para pihak yang menjadi adressat peraturan perundang-undangan seringkali tidak mentaati aturan karena tidak mengetahui adanya suatu peraturan perundang-undangan, sedangkan negara sering tidak tertib dalam mengumumkan peraturannya.

5. Interest (kepentingan), tingkat dukungan dan ketaatan para pelaku yang menjadi adressat suatu peraturan dipengaruhi oleh penilaiannya tentang manfaat dan kerugian politik, ekonomi maupun sosial budaya yang diperolehnya dari suatu peraturan perundang-undangan.

6. Proceess (proses), tingkat ketaatan dan partisipasi terhadap suatu peraturan perundang-undangan sangat dipengaruhi oleh tingkat akses informasi, partisipasi dan keadilan yang dibangun baik dalam proses pembentukan maupun dalam penormaan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

7. Ideology (ideologi), pembentukan peraturan perundang-undangan harus memastikan (a) nilai yang dianut masyarakat untuk merasa berfikir dan bertindak; (b) sikap, baik sikap mental, pandangan hidup, pemahaman keagamaan, budaya, dsb dari para aktor/pelaku yang jadi penyebab perilaku bermasalah masuk dalam objek pengaturan. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan aktor tersebut sampai pada kesimpulan bahwa pemahamannya terhadap nilai dan sikap yang dianut tersebut tidak tepat dan kemudian undang-undang mampu mengarahkan pada nilai dan sikap yang benar.

2.4. Analisis Para Pihak (Stakeholder Analisis)

Analisis Stakeholder adalah suatu pendekatan dan prosedur untuk mencapai pemahaman suatu sistem dengan cara mengidentifikasikan aktor-aktor kunci atau stakeholder kunci di dalam sistem, dan menilai kepentingan masing-masing di dalam sistem tersebut. Stakeholder dapat bersifat individual, masyarakat, kelompok sosial


(27)

atau institusi dalam berbagai ukuran, kesatuan, atau tingkat dalam masyarakat. Analisis stakeholder memandu kita untuk dapat sampai pada persoalan dan memahami alasan yang ada di balik konflik kepentingan yang mengancam keberhasilan suatu proyek atau kebijakan (Grimble dan Chan, 2005).

Selanjutnya Grimbe dan Chan (2005) menjelaskan bahwa analisis stakeholder cenderung relevan jika :

1. Ada Eksternalitas, contohnya jika pengguna air bagian hilir sungai terpengaruh oleh pemanfaatan dan polusi air di daerah hulu. Tidak selalu eksternalitas bersifat negatif.

2. Hak-hak milik terbuka atau tidak jelas (hak kepemilikan), analisis stakeholder cocok untuk situasi dimana sumber daya (contohnya hutan) dikelola sebagai hak bersama dan bukan merupakan sumberdaya milik pribadi.

3. Level Stakeholder yang berbeda-beda dengan kepentingan dan agenda yang berbeda. Ini meliputi kepentingan makro dan mikro dan mulai dari pemerintah, LSM, swasta sampai dengan masyarakat lokal.

4. Trade offs yang perlu dibuat pada tingkat kebijakan atas pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya. Contohnya jika tujuan kebijakan nasional mendorong pelestarian hutan, tetapi masyarakat lokal justru berminat atau berkepentingan terhadap pembabatan hutan untuk lahan perkebunan.

Meyers (2005) menyatakan bahwa dalam analisis stakeholder diperlukan pemahaman tentang posisi orang lain menghadapi isu yang ada, sehingga dapat menakar tingkat dukungan atau oposisi dari orang lain, dan memprediksi langkah yang akan diambil jika terjadi perubahan. Diperlukan suatu pendekatan terorganisir yang disebut analisis kekuatan stakeholder. Analisis stakeholder adalah suatu piranti untuk membantu memahami bagaimana masyarakat mempengaruhi kebijakan dan lembaga dan sebaliknya bagaimana kebijakan dan lembaga mempengaruhi mereka.

Selanjutnya menurut Meyers (2005) stakeholder mempunyai derajat kekuatan yang berbeda-beda untuk mengontrol keputusan yang berpengaruh pada kebijakan dan lembaga, dan mereka memiliki derajat potensi yang berbeda untuk disumbangkan atau derajat kepentingan yang berbeda untuk mencapai tujuan tertentu.


(28)

1. Kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan atau lembaga berakar dari kontrol keputusan dengan efek positif atau negatif. Kekuatan stakeholder dapat dimengerti pada tingkat kemampuan stakeholderuntuk membujuk atau memaksa orang lain membuat keputusan, dan mengikuti serangkaian tindakan tertentu. Kekuatan dapat berasal dari sifat organisasistakeholderatau posisi mereka dalam hubungannya denganstakeholder lain.

2. Potensi untuk mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan dan lembaga berada pada karakteristik yang spesifik terhadap konteks dan lokasi, seperti halnya ilmu pengetahuan dan hak. Yang menjadi perhatian khusus disini adalah stakeholder yang mempunyai potensi besar tetapi kekuatan lemah. Persoalan kebutuhan dan kepentingan stakeholder paling penting dalam banyak inisiatif untuk meningkatkan proses kebijakan dan lembaga.

2.5. Saluran Pemasaran

Dalam pemasaran hasil hutan kayu dari hutan alam terdapat pelaku ekonomi yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam menjalankan fungsi pemasaran dan membentuk saluran pemasaran. Pelaku dalam saluran pemasaran dapat berupa perorangan maupun badan usaha yang berfungsi menyalurkan produk maupun penyediaan jasa dalam mendukung pemasaran hasil hutan kayu serta mampu menjawab keinginan konsumen untuk memperoleh produk yang sesuai dengan waktu (time utility), tempat (place utility), dan bentuk (form utility).

Dalam saluran pemasaran kayu dari hutan alam terdapat beberapa lembaga pemasaran, yaitu: (1) Produsen, lembaga ini sebenarnya tidak memiliki produk tetapi menguasai produk, termasuk dalam kategori ini adalah masyarakat adat, dan pemegang ijin pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu; (2) Pedagang perantara, lembaga ini memiliki jaringan/hubungan yang baik dengan produsen maupun konsumen; (3) Konsumen, lembaga ini terdiri dari pemegang Ijin Usaha Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dengan tujuan ekspor dan pemilik kios kayu dengan tujuan pemenuhuan kayu untuk kebutuhan lokal.


(29)

2.6. Pendapatan Masyarakat Adat dan Pemerintah Daerah

Masyarakat adat tidak memperoleh pendapatan dari kegiatan pemanfaatan kayu yang dilakukan oleh pemegang ijin (investor). Pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat adat berupa kompensasi atas pemanfaatan kayu oleh investor. Standarisasi kompensasi diatur sesuai Keputusan Gubernur Propinsi Papua, dan Peraturan Bupati Kabupaten Jayapura. Besarnya kompensasi dibedakan menurut kelompok jenis, yaitu : merbau, non merbau, kayu indah, dan kayu bakau, seperti dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1. Standarisasi Kompensasi bagi Masyarakat Adat sesuai Keputusan Gubernur Kel. Jenis Kep.Gub No.50/2001

(Rp./m3)

Kep.Gub No.184/2004 (Rp./m3)

Kayu Indah 50.000 100.000

Kayu Merbau 25.000 50.000

Kayu Non Merbau 10.000 10.000

Kayu Bakau 1.000 3.000

Keputusan Bupati Jayapura No.41 tahun 2002 dan Keputusan Bupati Jayapura No.13 tahun 2005 merupakan penjabaran Keputusan Gubernur Papua yang lebih detail mengatur tentang distribusi kompensasi dalam kelompok masyarakat adat/pemilik ulayat. Distribusi kompensasi sesuai Keputusan Bupati Jayapura diatur sebagai berikut :

1. Pemilik hak ulayat dari blok penebangan : 75 % 2. Pemilik hak ulayat jalan logging : 10 % 3. Tempat Penimbunan Kayu (TPK),logpond: 10 % 4. Penunjang Pembangunan Desa/Kampung : 5 %

Besar kecilnya pendapatan masyarakat dari kegiatan pemanfaatan kayu dengan perijinan yang sah maupun tanpa perijinan sah dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat (pengenalan jenis, pengukuran volume kayu), komitmen investor (transparansi), dan peran pemerintah dalam mengawasi jalannya suatu kebijakan dan kesepakatan yang dibangun antara masyarakat dan investor.

Pendapatan Pemerintah Kabupaten Jayapura dari Sektor Kehutanan bersumber dari Dana Perimbangan sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pendapatan


(30)

pemerintah daerah diperoleh dari badan bagi hasil sesuai hasil pungutan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi yang disesuaikan dengan volume produksi. Proporsi pembagian antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dijelaskan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Proporsi PNBP Sektor Kehutanan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

No. Sumber PNBP Alokasi Keuangan Keterangan

Pusat (%) Daerah (%)

1. PSDH 20 80 32 % Kab. Penghasil

32 % Kab. Pengahasil dlm Prop. 16 % Propinsi

2. DR 60 40 Daerah penghasil/kabupaten

Sumber : UU No. 33 Tahun 2004

Tarif Dana Reboisasi (DR) diatur sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 tentang Perubahan kedua atas PP No. 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Tarif DR disesuaikan peraturan tersebut untuk wilayah Irian Jaya (Papua) adalah sebagai berikut :

1. Kelompok Jenis Meranti : US $ 13 / meter3 2. Kelompok Rimba Campuran : US $ 10,5 / meter3 3. Kelompok Kayu Indah : US $ 18 / meter3

Untuk PSDH diatur sesuai Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang penetapan harga patokan PSDH sesuai pengelompokan jenis, seperti dijelaskan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Penetapan Harga Patokan PSDH untuk Wilayah Irian Jaya (Papua)

Kelompok Jenis

Harga Patokan PSDH dalam rupiah/meter3 SK.Menperindag

No. 268/2000

SK.Menperindag No. 57/2001

SK.Menperindag No. 444/2003

Permendag No. 08/2007 Meranti 530.000 530.000 414.000 504.000 Rimba

Campuran

265.000 265.000 221.000 270.000

Merbau - - - 1.500.000


(31)

Pola Penguasaan Tanah oleh Masyarakat Adat di Kabupaten Jayapura

Pola penguasaan tanah di Papua umumnya menggambarkan adanya hak pemilikan oleh marga dan pengaturan penggunaan suatu areal untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup suatu kelompok suku yang terdiri dari beberapa marga. Pemilikan tanah adat oleh marga biasanya merupakan warisan generasi sebelumnya. Dalam setiap suku terdapat beberapa marga yang dalam struktur kelembagaan adat terdiri dari beberapa level antara lain level pemimpin/kepala suku yaitu marga-marga besar yang menguasai lebih banyak tanah adat, level bawah yaitu marga-marga kecil yang dalam struktur adat bukan merupakan pemimpin namun memiliki hak pemilikan atas tanah adat dengan luasan yang lebih rendah. Dalam suatu marga biasanya telah dilakukan pembagian penguasaan lahan kepada masing-masing individu penerus marga.

Menurut Kawer (2007) terdapat lima pola penguasaan tanah masyarakat hukum adat Namblong (genyem), yaitu :

1. Tanah Warisan (Kunare Sip), yaitu tanah yang dimiliki berdasarkan garis keturunan ayah/tanah warisan dari generasi sebelumnya.

2. Tanah Pinjaman(Ambuangdong Usu Sip), yaitu tanah yang diberikan sementara dengan jangka waktu tertentu atau dipinjamkan oleh pihak pemilik suku/marga kepada pihak lain diluar marga untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila tanah tersebut sudah tidak dimanfaatkan maka tanah tersebut kembali kepada pihak pemilik (marga).

3. Tanah Hadiah/Tanda Jasa (Ulu Didong Usu Sip), yaitu tanah yang diserahkan atau dipindahtangankan oleh pemilik ulayat/marga kepada orang lain diluar marga karena jasa baik dan prestasi yang diberikan kepada para pemilik ulayat.

4. Tanah dikuasai karena Perkawinan(Ki Tang De Sip), yaitu tanah yang dimiliki karena perkawinan. Pemilik tanah adalah anak perempuan, hak anak perempuan atas tanah berlaku hanya selama dia masih hidup. Setelah anak perempuan meninggal hak itu tidak dapat dipindahkan ke pihak suaminya,tetapi dikembalikan kepada saudara laki-laki penerus marga.


(32)

5. Tanah Denda (Lugeambu / Rumdu), yaitu tanah yang diserahkan sebagai pembayaran atau sebaliknya diterima sebagai pembayaran atas suatu perkara pembunuhan dari pihak marga kepada keluarga korban dan kemudian dikuasai secara turun-temurun.

2.7. Analisis Efektivitas Kelembagaan Adat

Analisis ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan modal sosial (social capital) yang dimiliki dan diterapkan oleh masyarakat adat pada kegiatan pengelolaan hutan. Masyarakat adat sesuai Moniaga (2010) adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan wilayah sendiri. Tata aturan adat adalah aturan yang diproduksi oleh masyarakat sendiri, diwarisi dan dipelajari dari generasi sebelumnya, diajarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya, bukan diproduksi oleh pemerintah.

Menurut Uphoff (2000) untuk memahami modal sosial dapat dilakukan dengan memperhatikan dua fenomena yaitu struktural dan kognitif. Kategori struktural dikaitkan dengan berbagai bentuk organisasi yang mengatur tentang peran, aturan, preseden, dan prosedur serta berbagai macam jaringan yang berkontribusi kepada kerjasama atau tindakan kolektif yang saling menguntungkan (mutually beneficial collective action,MBCA). Kategori kognitif yaitu norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang dipakai untuk menjalankan tindakan kolektif yang saling menguntungkan (MBCA).

Terdapat dua orientasi dalam penerapan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan, yaitu orientasi kearah pihak lain dan orientasi untuk mewujudkan tindakan sendiri. Orientasi kearah orang lain dengan melihat bagaimana orang lain menerapkan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan sehingga hubungan sosial dapat berjalan sebagai hasil dari tindakan solidaritas. Orientasi untuk tindakan sendiri dengan kepercayaan bahwa pembalasan (reciprocation) terhadap sikap orang lain yang menjunjung norma, nilai, sikap, dan kepercayaan akan tercipta kerjasama yang bersifat kedermawanan. Kedermawanan dalam melaksanakan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan memberikan harapan bahwa moralitas yang tinggi akan mendapatkan pahala (virtue will be rewarded).


(33)

2.8. Bentuk Pelanggaran dalam Pemanfaatan Kayu

Pemanfaatan kayu dalam konteks ilegal adalah kegiatan pemanfaatan kayu yang tidak sesuai dengan perangkat hukum atau peraturan yang berlaku. Dalam kegiatan pengelolaan hutan termasuk pemanfaatan kayu, peraturan atau kebijakan yang digunakan selalu mengacu pada penetapan fungsi suatu kawasan hutan. Menurut Casson (2007), di Indonesia fungsi kawasan hutan ditetapkan berdasarkan hasil analisis terhadap beberapa faktor antara lain kelerengan, intensitas curah hujan, kondisi tanah, dan faktor biofisik lainnya tanpa memperhitungkan faktor sosial (masyarakat dalam dan sekitar hutan). Minimnya pelibatan masyarakat dalam penetapan fungsi kawasan hutan menyebabkan hak masyarakat dalam mengakses sumberdaya hutan tidak terakomodasi peraturan/kebijakan pengelolaan hutan.

Selanjutnya Casson (2007) juga menjelaskan bahwa pelanggaran-pelanggaran dalam pemanfaatan kayu tidak hanya berasal dari kegiatan-kegiatan yang melanggar peraturan pengelolaan hutan sesuai fungsi kawasan hutan tetapi juga terjadi pada kegiatan pengangkutan kayu meliputi dokumen yang digunakan, kegiatan pengolahan, kegiatan perdagangan, dan administrasi keuangan termasuk pajak. Pelanggaran dalam pemanfaatan kayu juga terjadi sebagai akibat buruknya penegakan hukum. Operasi penegakan hukum cenderung meresahkan masyarakat setempat dan mendorong mereka untuk tidak mendukung upaya mengatasi pembalakan liar, karena akan berdampak pada hilangnya kesempatan kerja, pendapatan dalam jangka pendek, dan masyarakat hanya akan menjadi korban dari aktifivitas aktor intelektual yang ada di balik kegiatan pembalakan liar dan operasi penegakan hukum. Penegakan hukum yang buruk cenderung memberikan ruang bagi terjadinya korupsi dan kolusi yang justru merugikan negara, sebagai contoh kegiatan Operasi Hutan Lestari II di Papua Tahun 2005 yang diperkirakan menghabiskan biaya sebesar Rp. 12 milyar tidak memberikan hasil yang maksimal karena hasil kayu yang disita selama operasi ini justru mengalami penurunan nilai karena proses hukum yang membutuhkan waktu lama serta metode pelelangan yang legal tetapi penuh dengan kolusi dan korupsi. Sadino (2002) dalam Casson (2007) menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan polisi kehutanan bersifat apatis untuk menangkap atau menuntut pelaku tindak kejahatan hutan karena mereka terlibat secara langsung atau mendukung dan mendapatkan keuntungan dari kegiatan pembalakan liar, serta tidak memperoleh apapun dari operasi penegakan hukum.


(34)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua yang meliputi 3 (tiga) wilayah distrik/kecamatan yaitu : Distrik Kaureh, Distrik Unurum guay, dan Distrik Kemtuk. Penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai Maret 2010 hingga Mei 2010. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. 3.2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yang menekankan pada penggambaran dan penjelasan terhadap fenomena yang ada serta hubungan antar faktor yang berpengaruh (Yin, 1997). Validasi data penelitian menggunakan metode triangulasi yaitu penelusuran data atau infromasi dari tiga sisi, pertama,data primer dari hasil observasi lapangan, hasil wawancara dan survei terhadap informan; kedua, data sekunder berupa dokumen kebijakan, dokumen perijinan pemanfaatan kayu, dan dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan pemanfaatan kayu; ketiga, dari analisis data yang dilakukan terhadap data primer dan sekunder.

3.3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam (in depth interview), survei, dan penelusuran dokumen. Informan adalah orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta dari suatu objek penelitian (Bungin, 2007). Penentuan informan dilakukan secara purposive dengan pertimbangan informan tersebut memahami kondisi pemanfaatan kayu yang terjadi, memiliki kapasitas yang mewakili kelompok stakeholders tertentu dan atau terlibat aktif dalam kegiatan pemanfaatan kayu. Klasifikasi informan sebagai berikut : Masyarakat adat, yang terdiri dari pemilik ulayat yang terlibat kegiatan pemanfaatan kayu tanpa perijinan, dan yang pernah terlibat dalam kegiatan IPK-MA. Swasta,yang terdiri dari pedagang perantara, perwakilan pemegang ijin pemanfaatan kayu, pemegang ijin industri pengolahan hasil hutan kayu, dan pemegang ijin penjualan kayu untuk kebutuhan lokal. Pemerintah, Dinas Kehutanan, Bapedalda, dan Bagian Hukum Setda Kab.Jayapura.Kelompok Interest lain, perwakilan anggota DPRD Kabupaten Jayapura, perwakilan lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan, dan di bidang pemberdayaan masyarakat adat. Jenis data, cara pengumpulan data, dan analisis data dapat dilihat pada Tabel 4.


(35)

Tabel 4. Jenis, Cara Pengumpulan, dan Analisis Data

No. Jenis Data Pengumpulan Data Analisis Data

1. Kebijakan Perijinan IPHH Penelusuran Dokumen Kebijakan Analisis Isi Kebijakan (ROCCIPI) 2. Pendapat Masyarakat

dan pemerintah ttg Kebijakan IPHH

Wawancara Mendalam

3. Pihak-Pihak yg terlibat dalam kegiatan pemanfaatan kayu tanpa legalitas

Observasi dan Wawancara Mendalam

Analisis Saluran Pemasaran

4. Bentuk kerjasama antara masyarakat adat & konsumen kayu (Industri/kios kayu)

Observasi dan Wawancara Mendalam

5. Bentuk Kayu yang di jual, volume kayu, dan harga kayu

Observasi dan Wawancara mendalam

6. Pendapatan Masy adat dr keg IPK-MA, IPK, tanpa perijinan

Observasi, Wawancara Mendalam dan Penelusuran dokumen yg berhubungan dengan kompensasi kpd Masy adat

Analisis Pendapatan

7. Pendapatan PEMDA dari keg pemanfaatan kayu tanpa ijin oleh masyarakat

Observasi dan Wawancara mendalam

8. Pendapatan PEMDA dari keg pemanfaatan kayu sesuai perijinan yg ada (IPK/ IUIPHHK)

Wawancara dan penelusuran dokumen setoran DR/PSDH

9. Pendapat Stakeholder ttg keg Pemanfaatan Kayu tanpa legalitas oleh Masyarakat adat

Wawancara Mendalam Analisis Stakeholder

10. Kepercayaan

masyarakat terhadap manfaat hutan, aturan tertulis,tidak tertulis, kepatuhan, kerjasama, dan perusahaan

Wawancara dan Survei Analisis Efektifitas Kelembagaan Adat

11. Pemahaman

masyarakat terhadap aturan adat yang mengatur hubungan masyarakat dengan hutan


(36)

3.4. Analisis Data

3.4.1. Analisis Kebijakan (Content Analysis)

Analisis isi kebijakan dilakukan terhadap kebijakan perijinan pemanfaatan kayu sesuai SK Menhut No. 6886/Kpts-II/2002 dan P.46/2009. Analisis isi kebijakan menggunakan pendekatan terhadap Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, Ideology / ROCCIPI (Seidman, et al. 2001). Hasil analisis ini diharapkan memberikan informasi tentang kendala-kendala yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam menanggapi kebijakan kehutanan yang ada.

3.4.2. Analisis Saluran Pemasaran

Saluran pemasaran kayu di Kabupaten Jayapura diinventarisir melalui observasi dan wawancara dengan masyarakat maupun pihak-pihak yang terlibat pemasaran kayu dari hutan hingga ke konsumen atau industri. Hasil inventarisasi akan menjelaskan berapa banyak lembaga/pihak yang terlibat, bentuk kerjasama yang dibangun, dan pola saluran pemasaran. Dengan analisis saluran pemasaran, dapat diketahui bagaimana produk kayu tanpa ijin yang sah mampu dipasarkan. Hasil analisis dapat diestimasi untuk memperoleh data jumlah dan jenis kayu berijin dan tanpa ijin sah yang diserap oleh industri maupun kebutuhan lokal..

3.4.3. Analisis Pendapatan Masyarakat dan Pemerintah Daerah

Analisis pendapatan masyarakat dilakukan terhadap data hasil wawancara dengan masyarakat yang memperoleh pendapatan dari kegiatan pemanfaatan kayu dengan ijin IPK, IPK-MA, IPHH, maupun tanpa perijinan. Hasil analisis diharapkan mampu memberikan penjelasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan masyarakat adat dari kegiatan pemanfaatan kayu.

Analisis pendapatan pemerintah dilakukan dengan menganalisis data Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) dari kegiatan pemanfaatan kayu di Kabupaten Jayapura. Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang penerimaan negara yang hilang maupun yang bersumber dari kegiatan pemanfaatan kayu tanpa perijinan sah.


(37)

3.4.4. Analisis Para Pihak (Stakeholder Analysis)

Analisis stakeholder dilakukan untuk mengetahui tanggapan stakehoder terhadap kegiatan pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat di Kabupaten Jayapura. Stakeholder berasal dari pemerintah, masyarakat adat, swasta (pemegang IPK,IUIPHHK, kios kayu), wakil rakyat (DPRD),dan LSM yang bergerak di bidang lingkungan, dan pengembangan masyarakat adat. Hasil wawancara dengan stakeholder dan pengamatan dilapangan diharapkan dapat dipakai sebagai bahan untuk menganalisis peran stakeholder dalam kegiatan pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat di Kabupaten Jayapura (Meyers, 2005).

3.4.5. Analisis Efektifitas Kelembagaan Adat

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kondisi konkrit tentang modal sosial khususnya kepercayaan (trust) dan aturan-aturan adat yang mengatur hubungan hutan dan masyarakat (Suharjito dan Saputro, 2008). Informan dipilih secara purposive dengan pertimbangan mewakili marga/clan besar dalam lokasi penelitian dan pernah atau sedang melakukan kegiatan pemanfaatan kayu. Jumlah informan sebanyak 30 orang dengan perincian tiap distrik lokasi penelitian diwakili oleh 10 informan. Tingkat efektifitas dideskripsikan berdasarkan hasil analisis data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari hasil survei terhadap pendapat informan yang meliputi tingkat kepercayaan dan pemahaman terhadap aturan adat yang mengatur hubungan hutan dengan masyarakat.

Data kuantitatif merupakan persentase jawaban informan sesuai hasil survei terhadap tingkat kepercayaan dan pemahaman tentang aturan adat. Tingkat kepercayaan informan dikategorikan kedalam tiga kategori yaitu : percaya, ragu-ragu, dan tidak percaya seperti pada Tabel 5.


(38)

Tabel 5. Tingkat Kepercayaan Informan

No. Kepercayaan Informan terhadap

Distribusi Informan (%) Tidak

percaya Ragu-ragu Percaya 1. Manfaat hutan

2. Fungsi aturan tertulis 3. Fungsi aturan tidak tertulis

4. Kepatuhan & kemampuan warga menjaga batas ulayat

5. Kemampuan kerjasama warga masyarakat

6. Perusahaan (IPK /HPH)

Tingkat pemahaman informan terhadap aturan dikelompokan dalam tiga kategori yaitu tidak paham, cukup paham, dan paham seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Tingkat Pemahaman terhadap Aturan Adat

Informan Tingkat Pemahaman (%)

Tidak paham Cukup paham Paham Distrik Kemtuk

Distrik Unurumguay Distrik Kaureh Keterangan :

Tidak paham: informan tidak mengetahui tentang aturan adat;

Cukup paham: informan mengetahui tentang aturan adat namun kurang detail;

Paham : informan mengetahui dengan detail tentang aturan adat yg mengatur zona pemanfaatan hutan.


(39)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Letak Geografis

Kabupaten Jayapura terletak di antara 129o00’16” – 141o01’47” Bujur Timur dan 2o23’10” Lintang Utara dan 9o15’00” Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayah admisnistrasi sebagai berikut :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik dan Kabupaten Sarmi;

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Tolikara;

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom; d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sarmi.

Luas wilayah Kabupaten Jayapura 17.514 Km2 yang berbagi dalam 19 Distrik (kecamatan) dan 139 Kampung (Desa) dan 5 Kelurahan. Jarak ibukota distrik yang menjadi lokasi penelitian dengan Ibukota Kabupaten Jayapura (Kota Sentani) dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini.

Tabel 7. Jarak Ibukota Distrik dengan Ibukota Kabupaten Jayapura

No. Distrik Jarak (±KM) Keterangan

1. Kemtuk 22 Permukaan jalan telah diaspal

2. Unurumguay 79 Permukaan jalan telah diaspal

3. Kaureh 224 ± 70 Km telah diaspal, ±150 Km

permukaan tanah/kerikil. Sumber : Data Profil Kab. Jayapura, 2009

4.2. Penduduk

Penduduk Kabupaten Jayapura tahun 2009 berjumlah 134.013 jiwa. Dengan jumlah laki-laki sebanyak 72.629 jiwa dan perempuan sebanyak 61.384 jiwa. Jumlah penduduk dan sebaran penduduk berdasarkan jenis kelamin pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.


(40)

Tabel 8. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin

No. Distrik Kep.Keluarga Laki-laki Perempuan Jumlah

1. Kemtuk 811 2.134 2.016 4.150

2. Unurumguay 508 1.186 970 2.156

3. Kaureh 3.831 9.178 5.414 14.592

Sumber : Data Profil Kab. Jayapura, 2009

Jumlah penduduk di Distrik Kaureh lebih tinggi dibanding Distrik Kemtuk dan Unurumguay hal ini disebabkan di Distrik Kaureh terdapat Perkebunan PT. Sinas Mas Group. Karyawan perkebunan berasal dari kabupaten-kabupaten lain di Papua maupun dari luar Papua. Komposisi penduduk berdasarkan suku (papua dan non papua) dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini.

Tabel 9. Komposisi Penduduk berdasarkan Suku (Papua dan Non Papua)

No. Distrik Papua Non Papua Jumlah

1. Kemtuk 3.744 406 4.150

2. Unurumguay 1.828 328 2.156

3. Kaureh 9.655 4.937 14.592

Sumber : Data Profil Kab. Jayapura, 2009

Mayoritas mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian adalah berkebun dengan mengusahakan komoditi kakao, pinang, dan kelapa. Luas lahan kakao, pinang, dan kelapa dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Luas Lahan Perkebunan Masyarakat di Lokasi Penelitian

No. Distrik Luas Lahan Perkebunan Masyarakat (Hektar)

Kakao Pinang Kelapa

1. Kemtuk 928 27 31

2. Unurumguay 184 8 12

3. Kaureh 563 16 17

Sumber : Data Profil Kab. Jayapura, 2009

4.3. Kondisi Hutan

Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat oleh BPKH Wilayah X Papua tahun 2004, luas Hutan Kabupaten Jayapura adalah 1.338.390,83 ha. Rincian berdasarkan fungsi kawasan hutan dapat dilihat pada Tabel 11.


(41)

Tabel 11. Luas Hutan Kabupaten Jayapura sesuai Fungsi Kawasan Hutan No. Fungsi Kawasan Hutan Luas (Hektar) Keterangan

1. Hutan Konservasi 86.906,61 CA.Cycloops, SM. Mambramo Foja

2. Hutan Lindung 492.668,52 HL.Sobger, HL. Mansiap, HL. Nimboran

3. Hutan Produksi 139.627,52 Distrik Unurumguay, Kaureh 4. Hutan Produksi Terbatas 274.570,02 Distrik Kemtuk,Unurumguay,

Kaureh 5. Hutan Produksi dapat

dikonversi

313.119,12 Distrik Kemtuk,Unurumguay, Kaureh

6. Areal Penggunaan Lain 31.499,04 Transmigrasi, Perkebunan

Jumlah : 1.338.390,83

Sumber :Statistik Kehutanan Prov.Papua, 2007

Potensi tegakan pada hutan produksi di Kabupaten Jayapura berdasarkan kelas diameter untuk beberapa jenis tegakan komersial dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini.

Tabel 12. Data Potensi Jenis Tegakan (komersial) pada Hutan Produksi di Papua

No. Nama Jenis

Kelas Diameter (cm)

30 - 40 40 - 50 50 - 60 >60

N/ha V/ha N/ha V/ha N/ha V/ha N/ha V/ha

1 Bintangur 0,23 0,218 0,63 0,871 0,404 0,882 0,10 0,318

2 Bipa 1,37 1,002 0,83 1,056 0,07 1,126 0,27 0,933

3 Dahu 0,47 0,359 0,10 0,112 0,07 0,132 0,03 0,131

4 Hopea 0,90 0,756 0,40 0,518 0,33 0,678 0,30 1,321

5 Kenari 0,83 0,631 0,37 0,437 0,13 0,238 0,03 0,191

6 Ketapang 0,70 0,541 0,40 0,496 0,07 0,112 0,07 0,197

7 Matoa 2,20 1,721 1,20 1,487 0,63 1.206 0,37 1,209

8 Merbau 1,27 0,994 1,23 1,462 0,60 1,083 1,13 4,753

9 Mersawa 0,73 0,566 0,67 0,881 0,33 0,674 0,30 1,005

10 Nyatoh 0,47 0,339 0,23 0,333 0,20 0,424 0,10 0,316

11 Resak 1,37 1,042 0,40 0,528 0,03 0,059 0,00 0,00


(42)

Data produksi kayu bulat di Kabupaten Jayapura dari kegiatan HPH, IPK-MA, IPK, IPKL dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini.

Tabel 13. Produksi Kayu Bulat di Kabupaten Jayapura Tahun 2005 s/d 2009

TAHUN PRODUKSI KAYU BULAT (m

3 )

JUMLAH

HPH IPK IPKL IPK-MA

2005 47.445,36 - 20.933,96 60.995,50 129.374,82

2006 25.212,00 1.018,12 30.848,36 - 57.078,48

2007 - - 9.169,38 - 9.169,38

2008 - 30.701,31 - - 30.701,31

2009 - 21.300,56 - - 21.300,56


(43)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Isi Kebijakan Pemanfaatan Kayu di Kabupaten Jayapura

Kebijakan perijinan pemanfaatan kayu pada hutan alam di Kabupaten Jayapura dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) periode waktu, yaitu :

a. Kebijakan sebelum Otonomi Khusus (sebelum tahun 2001) :

Perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu meliputi perijinan Hak Pengusahaan Hutan (HPH)/Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA), Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), Ijin Pemanfaatan Kayu Limbah (IPKL). Perijinan-perijinan ini membutuhkan persyaratan administrasi dan tekhnis yang sulit untuk dipenuhi oleh masyarakat adat. Misalnya dalam perijinan IPK, pemohon wajib menyetor dana sebagai garansi bank yang jumlahnya sama dengan jumlah tarif PSDH dan DR sesuai target produksi IPK. Persyaratan-persyaratan ini membatasi masyarakat untuk dapat memanfaatkan perijinan yang ada.

b. Kebijakan saat Otonomi Khusus hingga Operasi hutan Lestari II (2001 – 2005) Pada periode ini perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu berupa perijinan IPK, Ijin Pemungutan Hasil Hutan (IPHH) di hutan produksi, dan perijinan yang dibangun sesuai semangat UU Otsus Papua yaitu Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPK-MA)/Kopermas. Pada periode ini masyarakat adat banyak terlibat dalam kegiatan pemanfaatan kayu sesuai perijinan IPK-MA.

c. Kebijakan saat Otonomi Khusus pasca Operasi hutan Lestari II (2005 – sekarang) Pada periode ini perijinan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan atau pemungutan hasil hutan kayu berupa perijinan IPK, dan IPHH. Perijinan IPK-MA telah dicabut pemberlakuannya. Kegiatan pemanfaatan kayu banyak diarahkan pada areal penggunaan lain (APL) seperti areal lahan usaha dua transmigrasi dengan menggunakan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK).

Penghentian perijinan IPK-MA oleh Kementerian Kehutanan tidak diikuti oleh kebijakan yang menjawab kelemahan-kelemahan IPK-MA dan penguatan kelembagaan lokal. Kementerian Kehutanan justru membatasi perijinan pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat. Masyarakat hanya diberi kesempatan untuk memanfaatkan kayu dengan menggunakan perijinan IPHH pada hutan produksi.


(44)

Kenyataan di lapangan IPHH tidak dipakai oleh masyarakat adat, masyarakat lebih memilih untuk memanfaatkan kayu tanpa perijinan. Untuk mengetahui penyebab masyarakat tidak memanfaatkan perijinan IPHH dalam kegiatan pemanfaatan kayu maka dilakukan analisis terhadap isi kebijakan IPHH sesuai SK Menhut No.6886/Kpts-II/2002 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemberian IPHH dan perubahannya sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.46/Menhut/2009. Analisis isi kebijakan menggunakan pendekatan terhadap Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, Ideology / ROCCIPI (Seidman, et al. 2001) disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 . Hasil Analisis Isi Kebijakan SK.Menhut 6886/2002 dan P.46/Menhut/2009

Isi Peraturan Hasil Analisis

SK. Menhut 6886/2002 & P.46/Menhut/2009 Peraturan (Rule)

Inkonsisten & Diskriminatif

IPHHK-HA tdk diperdagangkan, sementara aturan ini mengacu pada PP No.6 /2007 yang menjelaskan : IPHHK adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, pengangkutan, dan pemasaran untuk jangka waktu dan volume tertentu.

Kayu dari perijinan lain seperti IUPHHK-HA, IPK, dapat diperdagangkan namun memiliki persyaratan yang sulit dipenuhi oleh masyarakat, sementara IPHHK-HA yang persyaratannya dapat dipenuhi oleh masyarakat tidak diijinkan untuk diperdagangkan.

Peluang (Opportunity) Disinsentif

Peraturan ini tidak memberikan manfaat (pendapatan) berupa uang dan justru menambah biaya karena pemegang ijin IPHHK wajib membayar PSDH.

Kapasitas (Capacity) Memadai

Dinas Kehutanan dapat menjalankan tugas administrasi sesuai perijinan IPHH, hal ini dapat dilihat dengan kelancaran pengurusan IPHH-bukan kayu (gaharu, kulit masohi).

Komunikasi (Communication)

Sosialisasi peraturan ini telah dilakukan dan mendapat respon yang baik dari masyarakat adat berupa pengurusan perijinan IPHH-bukan kayu.

Kepentingan (Interest)

Hak kepemilikan kayu

Masyarakat adat menilai aturan ini tidak mengakui hak kepemilikan mereka atas hutan adat, sehingga untuk menggunakan kayu (kebutuhan sendiri tanpa dijual) dari areal ulayatnya mereka harus memohon ijin kepada pemerintah.


(45)

Proses (Process) Top-down

P.46/2009 tidak menjawab kelemahan SK Menhut 6886/2002 Proses pembentukan aturan ini tidak melalui tahapan pembuatan kebijakan yang tepat. (prosedur pembuatan kebijakan menurut Dunn, 1994, yaitu : Perumusan Masalah, Peramalan, Rekomendasi, Pemantauan, Penilaian.).

Ideologi (Ideology) Mengalihkan kegiatan

pemanfaatan kayu ke pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.

Hasil hutan bukan kayu tidak menyebar merata seperti halnya kayu sehingga tidak semua masyarakat beralih dari kegiatan pemanfaatan kayu ke pemanfataan hasil hutan bukan kayu.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan) tidak menjadi solusi atas masalah pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat. Kebijakan tersebut justru memberi peluang untuk tidak ditaati karena tidak memberikan manfaat (disinsentif) terhadap kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini juga melemahkan kapasitas lembaga pemerintah di lapangan khususnya Dinas Kehutanan karena masyarakat menilai kehutanan tidak mampu mengakomodir kepentingan masyarakat adat. Masyarakat juga menilai pemerintah mengabaikan keberadaan mereka bahkan mengingkari legitimasi sistem hak kepemilikan yang ada sebelumnya atas sumber daya alam berbasis tanah adat. Menurut Peluso (2006) negara sering memaksakan pelaksanaan hukum yang rumusannya bertentangan dengan kepercayaan, hukum adat, dan desakan kebutuhan materi. Masyarakat sering menanggapinya dengan perlawanan sebagai bentuk protes terhadap hilangnya akses atas sumber daya.

5.2. Saluran Pemasaran

Pemasaran kayu di Kabupaten Jayapura dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu pemasaran kayu legal dan pemasaran kayu illegal. Kayu legal atau kayu yang berasal dari kegiatan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) pemasarannya disesuaikan dengan perjanjian kerjasama antara pemegang IPK dan industri kayu. Kayu illegal atau tanpa ijin pemasarannya melibatkan beberapa pihak yaitu masyarakat adat, kelompok penggesek, industri kayu, kios kayu, dan konsumen lainnya. Pihak-pihak ini membentuk pola saluran pemasaran seperti pada Gambar 3.


(46)

Gambar 3. Pola Saluran Pemasaran Kayu Tanpa Ijin di Kabupaten Jayapura Keterangan :

: Saluran Pemasaran 1 (Masyarakat adat – Kelompok penggesek – industri/kios kayu/konsumen lain)

: Saluran Pemasaran 2 (Masyarakat adat – industri/kios kayu/konsumen lain)

Masyarakat di Distrik Unurumguay dan Distrik Kaureh memasarkan kayu dengan menggunakan saluran pemasaran 1. Masyarakat di kedua distrik ini banyak berhubungan dengan kelompok-kelompok penggesek kayu. Kelompok penggesek merupakan masyarakat pendatang dari Sulawesi Utara yang menetap sementara di hutan dan warga transmigrasi (Jawa) yang ada di Distrik Nimbokrang. Kelompok penggesek memiliki keterampilan dalam mengoperasikan gergaji rantai (chain saw) dan hubungan kerjasama dengan industri maupun kios kayu, kadang merupakan bentukan dari industri atau kios kayu. Penggesek biasanya terdiri dari operator gergaji rantai, regu sarad/pemikul dari dalam hutan ke pinggiran jalan.

Pada saluran pemasaran 1, masyarakat adat memberikan ijin kepada kelompok penggesek kayu untuk mengolah kayu pada areal hutan milik masyarakat adat. Pada saluran pemasaran ini penggesek lebih berkepentingan dibandingkan masyarakat adat. Hal ini dibuktikan dengan keaktifan mereka dalam mencari lokasi maupun membangun kerjasama dengan masyarakat melalui negosiasi-negosiasi yang memotivasi masyarakat adat untuk memberikan ijin pemanfaatan kayu pada areal hutan masyarakat adat. Ijin yang diberikan oleh masyarakat adat umumnya berupa ijin lisan (verbal), ada pula ijin tertulis yang telah disiapkan oleh kelompok penggesek untuk ditanda tangani oleh masyarakat adat. Ijin tertulis inilah yang kemudian dipakai oleh penggesek untuk mengamankan setiap kegiatan penebangan hingga pengangkutan kayu ke industri atau kios kayu.

Masyarakat Adat Kel. Penggesek

• Industri Kayu; • Kios Kayu; • Konsumen lain

1


(47)

Setelah memperoleh ijin dari masyarakat adat, kelompok penggesek dapat mulai melakukan kegiatan penebangan pohon, penggergajian, dan pengangkutan kayu. Masyarakat adat menerima kompensasi sesuai laporan lisan tentang volume dan jenis yang telah diambil dari areal hutannya. Kelompok penggesek memasarkan kayu dalam bentuk kayu pacakan dengan jenis dan ukuran sesuai permintaan industri maupun kios kayu. Jenis kayu merbau (Intsia,sp.) dijual ke industri kayu dengan ukuran 3m x 14cm x 14cm, untuk yang dijual ke kios kayu selain merbau juga kayu dari kelompok rimba campuran seperti matoa (Pometia sp.) dan lain-lain dengan ukuran bervariasi yaitu 4m x 5cm x 10cm ; 4m x 5cm x 15cm; 4m x 10cm x 10cm .

Kelompok penggesek dalam melakukan kegiatannya mampu mencapai jarak ± 2 km dari pinggiran jalan. Pengerjaan pohon menjadi kayu pacakan dilakukan di lokasi penebangan dengan menggunakan gergaji rantai. Pengangkutan kayu dari lokasi penebangan ke pinggiran jalan menggunakan tenaga manusia (dipikul), ternak (sapi), mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi untuk digunakan pada rel yang telah disiapkan. Dalam sehari setiap operator gergaji rantai mampu menghasilkan 1 – 2 meter kubik kayu pacakan jenis merbau. Jenis non merbau pengerjaannya lebih mudah sehingga dalam sehari mampu mencapai 3 – 4 meter kubik.

Pengangkutan kayu dari pinggiran jalan ke industri atau kios kayu menggunakan truk. Kapasitas angkut truk untuk kayu merbau ± 4 meter kubik dan kayu non merbau ± 5 meter kubik. Dalam perjalanan truk akan melewati pemeriksaan di pos polisi kehutanan dan beberapa pos keamanan (TNI/polisi). Di pos polisi kehutanan pemeriksaan dilakukan terhadap surat angkutan kayu (faktur angkutan), volume dan jenis kayu yang diangkut. Untuk menghindari pemeriksaan dan kemungkinan penahanan kayu illegal dan truk pengangkut, supir truk atau pemilik kayu biasanya membayar sejumlah uang di setiap pos yang dilewati. Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk melewati pos kehutanan, Pos TNI, dan Pos Polisi selama perjalanan dari hutan hingga Kota Sentani berkisar antara Rp. 750.000 hingga Rp. 900.000,-. Biaya ini dapat bertambah jika dalam perjalanan ada pemeriksaan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian yang sedang melakukan patroli.

Masyarakat di Distrik Kemtuk memasarkan kayu mereka dengan menggunakan saluran pemasaran 2. Masyarakat yang mengusahakan kayu di distrik ini merupakan mantan karyawan perusahaan kehutanan/HPH yang mempunyai pengalaman dalam mengoperasikan gergaji rantai dan mengenal pihak pihak pemilik


(48)

kios kayu dan konsumen lain . Konsumen lain yang membeli kayu dari masyarakat berasal dari pelaksana pembangunan perumahan dan proyek pembangunan lainnya di kabupaten dan kota Jayapura. Areal hutan yang dikelola masyarakat dapat mencapai ± 1 km dari pinggiran jalan dengan medan yang relatif datar. Pengangkutan kayu dari dalam hutan ke pinggiran jalan menggunakan tenaga manusia (dipikul). Pemanfaatan kayu biasanya dilakukan jika ada kebutuhan mendesak misalnya untuk kebutuhan perayaan natal dan kebutuhan sekolah anak pada saat tahun ajaran baru. Tingginya biaya angkutan dan pungutan oleh pihak berwenang yang tidak bertanggungjawab menyebabkan masyarakat di distrik ini lebih memilih untuk menunggu pihak kios kayu atau konsumen lain yang mendatangi mereka daripada membawa sendiri atau mendatangi konsumen ke Kota Sentani. Masyarakat yang menggunakan saluran pemasaran 2 jarang menjual kayu ke industri. Hal ini disebabkan menurut mereka pengukuran yang dilakukan oleh tenaga pengukur kayu (grader) sering merugikan mereka.

Kedua pola saluran pemasaran ini dan produk IPK menjadi sumber pemenuhan kebutuhan kayu industri hasil hutan kayu untuk kepentingan ekspor dan kebutuhan kayu lokal di kabupaten dan kota Jayapura. Kenyataan di lapangan sulit sekali membedakan kayu yang berasal dari IPK dan kayu ilegal. Hasil pengamatan di lapangan terdapat IPK yang tidak beroperasi namun memiliki dokumen-dokumen penatausahaan kayu dari IPK ke beberapa industri yang ada di Kabupaten Jayapura. Kondisi ini dapat terjadi karena rendahnya kredibilitas petugas kehutanan yang bertugas di IPK, di pos pengendalian peredaran kayu, dan di industri kayu. Rendahnya kredibilitas petugas disebabkan oleh kurangnya dukungan dana dan fasilitas dari pemerintah. Dalam melaksanakan tugas fungsional sebagai petugas di perusahaan (IPK/IUIHHK) pembiayaan berupa honor/insentif ditanggung oleh perusahaan sehingga petugas ikut merasa bertanggungjawab untuk mengamankan aktivitas perusahaan sekalipun melanggar aturan. Dwiyanto (2011) menjelaskan bahwa salah satu masalah dalam birokrasi pemerintah adalah rendahnya penghasilan aparatur birokrasi. Pemerintah bahkan sering membiarkan aparaturnya berburu rente dari kewenangan pelayanan yang dimilikinya.


(49)

5.3. Analisis Pendapatan Masyarakat Adat dan Pemerintah Daerah

Beberapa Perijinan pemanfaatan kayu yang pernah beroperasi dan menjadi sumber pendapatan di Kabupaten Jayapura adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), dan Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPK-MA). Pendapatan yang diterima oleh masyarakat adat atas kayu yang dipungut HPH tidak dalam bentuk uang tunai tetapi berupa kegiatan-kegiatan HPH Bina Desa/PMDH (bangunan sekolah, puskesmas, dan perkebunan). Pasca krisis moneter tahun 1998 dan pemberlakukan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) tahun 2001, 3 (tiga) HPH yang beroperasi di Kabupaten Jayapura menghentikan kegiatannya (stagnasi). Penghentian kegiatan disebabkan pengaruh krisis moneter dan banyak tuntutan masyarakat adat yang berhubungan dengan ganti rugi atas ulayat hingga tuntutan kompensasi dalam bentuk uang sesuai volume kayu yang diproduksi. Masyarakat adat Elseng, salah satu kelompok masyarakat adat di bagian Selatan Kabupaten Jayapura menuntut ganti rugi atas kegiatan HPH dan melakukan pemalangan terhadap areal konsesi HPH Risana Indah Forest Industri (RIFI) dan beberapa alat berat.

Masyarakat mulai menerima kompensasi dalam bentuk uang tunai saat pemberlakukan IPK-MA tahun 2002. Hasil wawancara dengan masyarakat adat pengurus IPK-MA dan masyarakat pemilik ulayat areal IPK diperoleh informasi tentang pendapatan masyarakat adat dari kegiatan IPK-MA dan IPK yang dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Pendapatan Masyarakat dari kegiatan IPK-MA dan IPK di Kab. Jayapura No. Jenis Perijinan Pendapatan Masyarakat Adat (Rp./m

3 )

Sblm OHL Pasca OHL

1. 2.

IPK-MA Sokuota Dawemna

IPK-MA Sentosa

Standarisasi Kompensasi Kep.Gubernur No. 184/ 2004, yaitu :

K.Indah : 75.000

K.Merbau: 37.500

Non Merbau : 7.500 Biaya IPK-MA : 5.000

Bervariasi antara : 17.500 – 30.000

3. 4. IPK VCMWI IPK SMJ -Ket : OHL : Operasi Hutan Lestari dilakukan tahun 2005.


(50)

Pendapatan masyarakat adat (pemilik ulayat) disesuaikan dengan standar kompensasi sesuai SK Bupati Jayapura Nomor 41/2002 dan SK Bupati Jayapura Nomor 13 tahun 2005. Biaya IPK-MA (Fee IPK-MA) merupakan hasil negosiasi antara pengurus IPK-MA dan pihak ketiga (investor). Pengurus IPK-MA (Ketua, Sekretaris, Bendahara) juga menerima insentif bulanan selama IPK-MA beroperasi yang besarnya bervariasi antara Rp.100.000,- hingga Rp.150.000,-. Hasil kajian Yulianti (2005) menunjukkan bahwa pemilik Kopermas/IPK-MA adalah kelompok yang paling sedikit menikmati manfaat dan keuntungan Kopermas. Kebijakan ini juga dinilai gagal memenuhi fungsi keberlanjutan usaha (sustainability).

Pendapatan masyarakat dari kegiatan IPK-MA pasca OHL merupakan pendapatan yang diperoleh dari hasil pelelangan kayu-kayu IPK-MA yang disita. Pendapatan dari hasil lelang kayu IPK-MA bervariasi dan dipengaruhi oleh negosiasi antara masyarakat adat dan pihak pemenang lelang. Negosiasi antara masyarakat dan pemenang lelang biasanya berlangsung sebelum kegiatan lelang dilakukan. Posisi masyarakat adat dalam negosiasi lemah sehingga mereka lebih banyak menerima tawaran yang diberikan.

Kegiatan IPK VCMWI dan IPK SM tidak memberikan pendapatan/kompensasi kepada masyarakat pemilik ulayat lokasi IPK. Hal ini mungkin terjadi karena lokasi kedua IPK berada pada areal penggunaan lain (APL) yang merupakan lokasi perkebunan kelapa sawit dan lokasi lahan usaha dua pada areal transmigrasi. Hasil wawancara dan pengamatan di salah satu lokasi IPK menunjukkan bahwa tidak terdapat kegiatan pemanfaatan kayu pada areal yang dimaksud, bahkan rencana perkebunan tidak terealisasi. Hal ini membuktikan bahwa investor sebenarnya hanya memburu dokumen-dokumen perijinan untuk melegalkan kegiatan-kegiatan illegalnya. Casson (2003) menjelaskan bahwa kebanyakan perusahaan di Irian Jaya (Papua) lebih berminat memungut kayu dari konsesi mereka daripada benar-benar membangun perkebunan.

Pendapatan masyarakat adat dari kegiatan pemanfaatan kayu tanpa perijinan dibedakan sesuai dengan saluran pemasaran seperti pada pembahasan sebelumnya. Pendapatan masyarakat adat di Distrik Kemtuk diperoleh dari aktifitas masyarakat secara langsung dalam memanfaatkan kayu, sedangkan di Distrik Unurumguay dan Distrik Kaureh pendapatan masyarakat adat merupakan hasil kerjasama antara masyarakat adat dan kelompok penggesek kayu. Pendapatan masyarakat adat dari


(51)

kegiatan pemanfaatan kayu di Distrik Kemtuk, Distrik Unurumguay, dan Distrik Kaureh dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Pendapatan Masyarakat Adat dari Kegiatan Pemanfaatan Kayu di Kab Jayapura.

No. Jenis Kayu dan Tujuan Pemasaran

Pendapatan Masyarakat Adat (Rp/m3)

Kemtuk Unurumguay Kaureh

1. Merbau : a. Industri kayu b. Kios Kayu

c. Proyek Pembangunan

-1.195.917 1.079.250 75.000 100.000 -100.000 100.000 -2. Non Merbau :

a. Kios Kayu

b. Proyek Pembangunan

291.300 341.300 40.000 -40.000 -Pendapatan masyarakat adat di Distrik Kemtuk lebih tinggi dari masyarakat di Distrik Unurumguay dan Distrik Kaureh karena masyarakat di Distrik Kemtuk mengusahakan kayu sendiri tanpa melibatkan pihak luar (kelompok penggesek). Di Distrik Unurumguay dan Disrik Kaureh, perhitungan kompensasi antara kelompok penggesek kayu dan masyarakat didasarkan atas jumlah pengangkutan dengan menggunakan truk. Setiap pengangkutan kayu merbau masyarakat mendapat kompensasi sebesar Rp.300.000,- dengan perhitungan/anggapan masyarakat bahwa jumlah kayu yang diangkut sebanyak 3 m3. Untuk kayu non merbau masyarakat memperolah Rp.200.000,- setiap truk, dengan anggapan masyarakat jumlah kayu yang diangkut 5 m3. Perhitungan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar kompensasi sesuai aturan yang berlaku, namun sesungguhnya kondisi di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan perhitungan ini sangat merugikan masyarakat. Masyarakat sering dikelabui, baik dengan jenis kayu maupun volume yang diangkut. Kelompok penggesek juga sering menggunakan aparat keamanan dalam kegiatannya sehingga masyarakat adat kadang sulit untuk melakukan protes atas kompensasi yang diterima.

Perbedaan pendapatan masyarakat juga dipengaruhi oleh banyaknya pungutan liar yang dilakukan aparat di setiap pos maupun yang sedang melakukan patroli. Semakin jauh jarak pengangkutan kayu dari lokasi ke tempat tujuan pemasaran, semakin banyak jumlah pos yang dilewati sehingga biaya pungutan liar semakin tinggi. Biaya pungutan ini kadang sulit diprediksi karena pungutan tidak hanya dilakukan oleh petugas di pos keamanan tapi juga oleh petugas yang sedang


(1)

Moniaga S. 2010. Dari Bumiputera ke Masyarakat Adat : Sebuah Perjalanan Panjang dan Membingungkan. Di dalam Davidson JS (editor). Adat Dalam Politik Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.

Murray G, Neis B, Johnsen JP. 2006. Lessons Learned from Reconstructing Interaction Between Local Ecological Knowledge, Fisheries Science, and Fisheries Management in the Commercial Fisheries of Nwefoundland and Labrador, Canada. Di dalam : Human Ecology. Vol 34. No 2. Hlm : 549 – 571.

Nugroho B. 2003. Kajian Institusi Pelibatan Usaha Kecil-Menengah Industri Pemanenan Hutan untuk Mendukung Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Disertasi Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Pangkali L. 2006. Laporan Kegiatan Pemetaan Partisipatif diWilayah Adat Desa Garusa Distrik Unurumguay Kabuaten Jayapura. WWF Indonesia Region Sahul. Jayapura. Tidak diterbitkan.

Peluso, N. L. 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat, (edisi Indonesia). Kophalindo. Jakarta.

Resosudarmo IAP, Dermawan A. 2003. Hutan dan Otonomi Daerah:Tantangan Berbagi Suka dan Duka. Di dalam: Resosudarmo, editor. Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sangaji A. 2010. Kritik terhadap Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia. Di dalam Davidson JS (editor). Adat Dalam Politik Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Seidman A, Seidman R, Abeyeskene N. 2001. Penyusunan Rancangan

Undang-Undang dalam Masyarakat yang Demokratis : Sebuah Panduan untuk Pembuatan Undang-Undang. ELIPS.

Sitorus, S. 2004. Politik-Ekonomi Desentralisasi Pengusahaan Hutan : Studi Kasus IPPK di Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Tesis Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Sudiyono, A. 2001. Pemasaran Pertanian. Malang Universitas Muhammadiyah Malang Press.

Suharjito D. 1999. Hak-Hak Penguasaan Atas Hutan di Indonesia. Fakutas Kehutanan IPB. Bogor.

Suharjito D, Saputro GE. 2008. Modal Sosial Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Pada Masyarakat Kasepuhan, Banten Kidul. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol 5 No. 4 Desember 2008. Hal 317-335.


(2)

50

Sutton, R. 1999. The Policy Process : an Overveiw. Working Paper 118. Overseas Development Institute. Portland House Stag Place, Chameleon Press Ltd. London SW1E 5DP.

Uphoff N. 2000. Understanding Social Capital: Learning from the Analisys and Experience of Participation. P.Dasgupta and I.Seradelgin, editors. Social Capital Multifaceted Perspective. Washington DC.World Bank.

Tokede MJ, et al. 2005. Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua. CIFOR. Bogor.

Wanggai VV. 2009. New Deal for Papua : Menata kembali Papua dengan hati. Indonesia Press.

Widjojo MS. 2009. Papua Road Map : Negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future. Yayasan Obor Indonesia.

Tokede MJ, et al. 2005. Dampak Otonomi Khusus di Sektor Kehutanan Papua. CIFOR. Bogor.

Yin, RK. 1997. Studi Kasus : Desain dan Metode. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Yulianti A. 2005. Kopermas Masyarakat Hukum Adat sebagai Tameng Pihak yang Berkepentingan. Forest and Governance Programme. CIFOR. Bogor.


(3)

UNURUMGUAY

KEMTUK

JAYAPURA

KAUREH

Jalan Aspal Jalan Belum Aspal


(4)

Lampiran 3. Daftar Stakeholder yang diwawancarai

No. Kelompok Sub Kelmpok Jumlah Hubungan dg pemanfatan kayu oleh

Mastrakat Adat

1 Pemerintah Dinas Kehutanan 5 Instansi teknis yang mengurus kehutanan

Bapedalda 1 Instansi terkait LH

Bag HUkum 1 Intsnsi terkait perijinan

2 Masyarakat kemtuk 1 Penerima dampak/manfaat keg PK

kaureh 1

Unurumguay 1

3 Swasta IPK /IUIPHHK 1 Pemegang Ijin

IPK-MA 1 Pernah sbg Pemegang Ijin

Kios

kayu/Penggesek

1 Sementara aktif dlm keg PK

Industri Kayu 1 Aktif keg industri

4 LSM WWF 2 Lembaga Konservasi

DPRD 3 Bidang Lingkungan,ekonomi,Hukum

PPMA 2 Lembaga perberdayaan Masyarakat Adat


(5)

No. Topik Sub Topik Metode Wawancara

1 Aktor Indetifikasi Aktor Indepth

interview

2 Posisi dalam keg PKMA

Internal / Eksternal s.d.a

3 Tanggapan thd Kondisi PKMA

Support / Oposisi / Netral s.d.a

4 Kepentingan Bentuk Kpentingan aktor s.d.a

Prioritas Kepentingan

Cara Pencapaian kepentingan

5 Pengaruh thd kebijakan PKMA

Tinggi / Rendah s.d.a


(6)

Lampiran 5. Persentase Jawaban Stakeholder tentang Pemanfaatan Kayu oleh Masyarakat Adat

No. Tanggapan thd PKMA SK % SU % SP %

1. Setuju: 4 57,2 7 100 2 28,6

a. Karena masy adat jg memp hak yg sama u PK sesuai UU Otsus

2 28,6 3 42,8 2 28,6

b. Karena untuk penuhi keb masy

2 28,6 4 57,2

c. Karena pemerintah membiarkan kndisi PK

2. Ragu-ragu 1 14,2 5 71,4

a. Karena PKMA mjwb keb ky lokal dan kepentingan swasta

3 42,8

b. Karena memenuhi keb masy tp keg tdk lestari & merusak kearifan lokal

2 28,6

c. Karena pengalaman IPK-MA

1 14,2

3. Tidak Setuju 2 28,6

a. Karena melanggar hukum, sulit

pemantauan thd lokasi keg

2 28,6

b. Karena kepentingan investor u pemanfaatn kayu

c. Karena masy sangat dirugikan

Jumlah 7 100 7 100 7 100

Ket :

SK = stakeholder kunci

SU = stakeholder utama


Dokumen yang terkait

Kajian Patologi Hog Cholera Kasus Outbreak Tahun 2006 Di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua

0 18 274

Pola Konsumsi Pangan Masyarakat Papua (Studi Kasus di Kampung Tablanusu, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua)

2 15 162

Kajian Patologi Hog Cholera Kasus Outbreak Tahun 2006 Di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua

7 37 132

TESIS KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI PAPUA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BERDASARKAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA.

0 4 14

PENDAHULUAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI PAPUA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BERDASARKAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA.

0 2 20

TINJAUAN PUSTAKA KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI PAPUA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BERDASARKAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA.

0 4 41

KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI PAPUA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT BERDASARKAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA.

0 4 7

Analisis kelayakan finansial dan ekonomi perusahaan kayu gergajian merbau dan woodworking terintegrasi di Papua studi kasus di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom

0 30 138

ANALISIS PEMANFAATAN FASILITAS KESEHATAN PUSKESMAS OLEH MASYARAKAT Analisis Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan Puskesmas Oleh Masyarakat Di Kecamatan Ngrampal Kabupaten Sragen.

0 1 14

PENGAMBILALIHAN TANAH YANG DITERLANTARKAN OLEH MASYARAKAT ADAT DI SENTANI, KABUPATEN JAYAPURA, PROVINSI PAPUA DITINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR.

0 0 1