Proses Process Top-down
P.462009 tidak menjawab kelemahan SK Menhut 68862002 Proses pembentukan aturan ini tidak melalui tahapan
pembuatan kebijakan yang tepat. prosedur pembuatan kebijakan menurut Dunn, 1994, yaitu : Perumusan Masalah,
Peramalan, Rekomendasi, Pemantauan, Penilaian..
Ideologi Ideology
Mengalihkan kegiatan
pemanfaatan kayu ke
pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu. Hasil hutan bukan kayu tidak menyebar merata seperti halnya
kayu sehingga tidak semua masyarakat beralih dari kegiatan pemanfaatan kayu ke pemanfataan hasil hutan bukan kayu.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah pusat Kementerian Kehutanan tidak menjadi solusi atas masalah
pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat. Kebijakan tersebut justru memberi peluang untuk tidak ditaati karena tidak memberikan manfaat disinsentif terhadap kebutuhan
masyarakat. Kebijakan ini juga melemahkan kapasitas lembaga pemerintah di lapangan khususnya Dinas Kehutanan karena masyarakat menilai kehutanan tidak
mampu mengakomodir kepentingan masyarakat adat. Masyarakat juga menilai pemerintah mengabaikan keberadaan mereka bahkan mengingkari legitimasi sistem
hak kepemilikan yang ada sebelumnya atas sumber daya alam berbasis tanah adat. Menurut Peluso 2006 negara sering memaksakan pelaksanaan hukum yang
rumusannya bertentangan dengan kepercayaan, hukum adat, dan desakan kebutuhan materi. Masyarakat sering menanggapinya dengan perlawanan sebagai bentuk protes
terhadap hilangnya akses atas sumber daya.
5.2. Saluran Pemasaran
Pemasaran kayu di Kabupaten Jayapura dibedakan menjadi 2 dua bagian, yaitu pemasaran kayu legal dan pemasaran kayu illegal. Kayu legal atau kayu yang
berasal dari kegiatan Ijin Pemanfaatan Kayu IPK pemasarannya disesuaikan dengan perjanjian kerjasama antara pemegang IPK dan industri kayu. Kayu illegal atau tanpa
ijin pemasarannya melibatkan beberapa pihak yaitu masyarakat adat, kelompok penggesek, industri kayu, kios kayu, dan konsumen lainnya. Pihak-pihak ini
membentuk pola saluran pemasaran seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Pola Saluran Pemasaran Kayu Tanpa Ijin di Kabupaten Jayapura Keterangan :
: Saluran Pemasaran 1 Masyarakat adat – Kelompok penggesek – industrikios kayukonsumen lain
: Saluran Pemasaran 2 Masyarakat adat – industrikios kayukonsumen lain
Masyarakat di Distrik Unurumguay dan Distrik Kaureh memasarkan kayu dengan menggunakan saluran pemasaran 1. Masyarakat di kedua distrik ini banyak
berhubungan dengan kelompok-kelompok penggesek kayu. Kelompok penggesek merupakan masyarakat pendatang dari Sulawesi Utara yang menetap sementara di
hutan dan warga transmigrasi Jawa yang ada di Distrik Nimbokrang. Kelompok penggesek memiliki keterampilan dalam mengoperasikan gergaji rantai chain saw
dan hubungan kerjasama dengan industri maupun kios kayu, kadang merupakan bentukan dari industri atau kios kayu. Penggesek biasanya terdiri dari operator gergaji
rantai, regu saradpemikul dari dalam hutan ke pinggiran jalan. Pada saluran pemasaran 1, masyarakat adat memberikan ijin kepada kelompok
penggesek kayu untuk mengolah kayu pada areal hutan milik masyarakat adat. Pada saluran pemasaran ini penggesek lebih berkepentingan dibandingkan masyarakat adat.
Hal ini dibuktikan dengan keaktifan mereka dalam mencari lokasi maupun membangun kerjasama dengan masyarakat melalui negosiasi-negosiasi yang
memotivasi masyarakat adat untuk memberikan ijin pemanfaatan kayu pada areal hutan masyarakat adat. Ijin yang diberikan oleh masyarakat adat umumnya berupa
ijin lisan verbal, ada pula ijin tertulis yang telah disiapkan oleh kelompok penggesek untuk ditanda tangani oleh masyarakat adat. Ijin tertulis inilah yang kemudian dipakai
oleh penggesek untuk mengamankan setiap kegiatan penebangan hingga pengangkutan kayu ke industri atau kios kayu.
Masyarakat Adat Kel. Penggesek
• Industri Kayu; • Kios Kayu;
• Konsumen lain
1
2
Setelah memperoleh ijin dari masyarakat adat, kelompok penggesek dapat mulai melakukan kegiatan penebangan pohon, penggergajian, dan pengangkutan
kayu. Masyarakat adat menerima kompensasi sesuai laporan lisan tentang volume dan jenis yang telah diambil dari areal hutannya. Kelompok penggesek memasarkan kayu
dalam bentuk kayu pacakan dengan jenis dan ukuran sesuai permintaan industri maupun kios kayu. Jenis kayu merbau Intsia,sp. dijual ke industri kayu dengan
ukuran 3m x 14cm x 14cm, untuk yang dijual ke kios kayu selain merbau juga kayu dari kelompok rimba campuran seperti matoa Pometia sp. dan lain-lain dengan
ukuran bervariasi yaitu 4m x 5cm x 10cm ; 4m x 5cm x 15cm; 4m x 10cm x 10cm . Kelompok penggesek dalam melakukan kegiatannya mampu mencapai jarak ±
2 km dari pinggiran jalan. Pengerjaan pohon menjadi kayu pacakan dilakukan di lokasi penebangan dengan menggunakan gergaji rantai. Pengangkutan kayu dari
lokasi penebangan ke pinggiran jalan menggunakan tenaga manusia dipikul, ternak sapi, mobil jeep, dan motor yang telah dimodifikasi untuk digunakan pada rel yang
telah disiapkan. Dalam sehari setiap operator gergaji rantai mampu menghasilkan 1 – 2 meter kubik kayu pacakan jenis merbau. Jenis non merbau pengerjaannya lebih
mudah sehingga dalam sehari mampu mencapai 3 – 4 meter kubik. Pengangkutan kayu dari pinggiran jalan ke industri atau kios kayu
menggunakan truk. Kapasitas angkut truk untuk kayu merbau ± 4 meter kubik dan kayu non merbau ± 5 meter kubik. Dalam perjalanan truk akan melewati pemeriksaan
di pos polisi kehutanan dan beberapa pos keamanan TNIpolisi. Di pos polisi kehutanan pemeriksaan dilakukan terhadap surat angkutan kayu faktur angkutan,
volume dan jenis kayu yang diangkut. Untuk menghindari pemeriksaan dan
kemungkinan penahanan kayu illegal dan truk pengangkut, supir truk atau pemilik kayu biasanya membayar sejumlah uang di setiap pos yang dilewati. Jumlah biaya
yang dikeluarkan untuk melewati pos kehutanan, Pos TNI, dan Pos Polisi selama perjalanan dari hutan hingga Kota Sentani berkisar antara Rp. 750.000 hingga Rp.
900.000,-. Biaya ini dapat bertambah jika dalam perjalanan ada pemeriksaan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian yang sedang melakukan patroli.
Masyarakat di Distrik Kemtuk memasarkan kayu mereka dengan menggunakan saluran pemasaran 2. Masyarakat yang mengusahakan kayu di distrik
ini merupakan mantan karyawan perusahaan kehutananHPH yang mempunyai pengalaman dalam mengoperasikan gergaji rantai dan mengenal pihak pihak pemilik
kios kayu dan konsumen lain . Konsumen lain yang membeli kayu dari masyarakat berasal dari pelaksana pembangunan perumahan dan proyek pembangunan lainnya di
kabupaten dan kota Jayapura. Areal hutan yang dikelola masyarakat dapat mencapai ± 1 km dari pinggiran jalan dengan medan yang relatif datar. Pengangkutan kayu dari
dalam hutan ke pinggiran jalan menggunakan tenaga manusia dipikul. Pemanfaatan kayu biasanya dilakukan jika ada kebutuhan mendesak misalnya untuk kebutuhan
perayaan natal dan kebutuhan sekolah anak pada saat tahun ajaran baru. Tingginya biaya angkutan dan pungutan oleh pihak berwenang yang tidak bertanggungjawab
menyebabkan masyarakat di distrik ini lebih memilih untuk menunggu pihak kios kayu atau konsumen lain yang mendatangi mereka daripada membawa sendiri atau
mendatangi konsumen ke Kota Sentani. Masyarakat yang menggunakan saluran pemasaran 2 jarang menjual kayu ke industri. Hal ini disebabkan menurut mereka
pengukuran yang dilakukan oleh tenaga pengukur kayu grader sering merugikan mereka.
Kedua pola saluran pemasaran ini dan produk IPK menjadi sumber pemenuhan kebutuhan kayu industri hasil hutan kayu untuk kepentingan ekspor dan
kebutuhan kayu lokal di kabupaten dan kota Jayapura. Kenyataan di lapangan sulit sekali membedakan kayu yang berasal dari IPK dan kayu ilegal. Hasil pengamatan di
lapangan terdapat IPK yang tidak beroperasi namun memiliki dokumen-dokumen penatausahaan kayu dari IPK ke beberapa industri yang ada di Kabupaten Jayapura.
Kondisi ini dapat terjadi karena rendahnya kredibilitas petugas kehutanan yang
bertugas di IPK, di pos pengendalian peredaran kayu, dan di industri kayu. Rendahnya kredibilitas petugas disebabkan oleh kurangnya dukungan dana dan
fasilitas dari pemerintah. Dalam melaksanakan tugas fungsional sebagai petugas di perusahaan IPKIUIHHK pembiayaan berupa honorinsentif ditanggung oleh
perusahaan sehingga petugas ikut merasa bertanggungjawab untuk mengamankan aktivitas perusahaan sekalipun melanggar aturan. Dwiyanto 2011 menjelaskan
bahwa salah satu masalah dalam birokrasi pemerintah adalah rendahnya penghasilan aparatur birokrasi. Pemerintah bahkan sering membiarkan aparaturnya berburu rente
dari kewenangan pelayanan yang dimilikinya.
5.3. Analisis Pendapatan Masyarakat Adat dan Pemerintah Daerah