transfer informasi yang baik dari generasi sebelumnya serta adanya inisiatif WWF pada tahun 2006 yang membantu masyarakat secara partisipatif membuat peta ulayat
dan zona pemanfaatan. Distribusi informan menurut tingkat pemahaman terhadap aturan adat disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Distribusi Informan menurut Tingkat Pemahaman terhadap Aturan Adat Informan
Tingkat Pemahaman Tidak paham
Cukup paham Paham
Distrik Kemtuk -
70 30
Distrik Unurumguay -
- 100
Distrik Kaureh -
40 60
Pemahaman terhadap aturan adat yang mengatur zona pemanfaatan di Distrik Kemtuk dan Distrik Kaureh akan meningkat jika difasilitasi dengan kegiatan-kegiatan
yang mendukung tercapainya transfer informasi. Kegiatan tersebut dapat berupa
kegiatan pemetaan partisipatif yang melibatkan seluruh masyarakat adat atau wakil marga.
5.6. Peta Permasalahan Berdasarkan Temuan Studi
Hasil analisis terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam kegiatan pemanfaatan kayu dirumuskan kedalam bentuk peta permasalahan yang
ditampilkan pada Tabel 21. Tabel 21. Peta Permasalahan Pemanfaatan Kayu oleh Masyarakat Adat
No. Analisis
Permasalahan SintesisAkar
Masalah Masyarakat Adat
Pemerintah Daerah 1.
Isi Kebijakan Perijinan yang
ditawarkan tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat adat
Kebijakan yang ada tidak memberi
ruang kepada Masyarakat adat
untuk mengusahakan
kayu secara legal. Kebijakan yang
ada inkonsisten dan diskriminatif
2. Saluran
Pemasaran 1. Tidak didukung
oleh legalitas produk kayu.
2. Tingginya pungutan liar.
3. Kemampuan kewirausahaan
Kebijakan yg ada belum mendukung
pelaks program pemberdayaan
masy adat wirausaha
1.
Legalitas
2.
Pemberdayaan Masy
3.
Clean good governance
3. Pendapatan
1. Pendapatan masyarakat adat
rendah dibandingkan
dengan pelaku pemasaran lain.
2. Produk illegal sehingga
menimbulkan biaya transaksi tinggi
Trade offs kebijakan antara
Kemenhut dan Pemda
mempengaruhi pendapatan
PEMDA 1. Legalitas
2. Keterampilan Masyarakat
4. Stakeholder
Dukungan stakeholder terhadap kegiatan
pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat sesuai
UU Otsus belum maksimal .
Lambatnya proses penjabaran
Perdasus ttg pengelolaan Hutan
berkelanjutan di Papua.
Profesionalisme stakeholder
5. Efektivitas
Kelembagaan Adat
Kebijakan pemanfaatan hutan
mengabaikan kelembagaan adat.
1. Minimnya pelibatan
kelembagaan adat sbg mitra
pengelola hutan.
2. Aturan tehnis kehutanan
dinilai lebih mampu
menjaga kelestarian
hutan. 1. Kebijakan yg
ada mengabai- kan hubungan
masyarakat dengan hutan.
2. Kurangnya peran
kelembagaan adat dalam
kebijakan pengelolaan
hutan.
Berdasarkan peta permasalahan jelas terlihat bahwa kebijakan pemanfaatan kayu yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat adat dan kebutuhan pembangunan di Papua. Kebijakan yang ada belum mengakomodir kepentingan masyarakat adat untuk memanfaatkan kayu. Dibutuhkan
kejelasan terhadap hak kepemilikan property right masyarakat adat terhadap hutan. Kebijakan yang berhubungan dengan hak kepemilikan perlu untuk disesuaikan
dengan karakteristik masyarakat adat yang masih hidup dalam kelompok-kelompok adat dan masih percaya terhadap aturan-aturan adat.
Memperhatikan karakteristik masyarakat adat maka pengakuan terhadap hak kepemilikan property right dapat diwujudkan dalam bentuk hak komunal common
property sebagai alternatif dalam pengelolaan hutan produksi. Melalui pengakuan
negara atas hak komunal common property dapat mendorong peningkatan kapasitas kelembagaan adat. Pengakuan atas hak komunal juga akan meningkatkan
kepercayaan masyarakat adat terhadap pemerintah. Kondisi ini akan mempermudah
proses kolaborasi kebijakan pengelolaan hutan antara aturan tehnis kehutanan dan aturan-aturan adat. Menurut Nugroho 2003 beberapa manfaat yang dapat diperoleh
jika ada pengakuan terhadap hak komunal dalam pengelolaan hutan khususnya pemanfaatan kayu, yaitu :
1. Menghindari kendala kapasitaskemampuan masyarakat, dengan jumlah masyarakat yang terlihat banyak maka akan saling melengkapi transfer dalam
informasi maupun pengalaman pemanfaatan kayu. 2. Masuknya pihak di luar komunitas adat yang merugikan kepentingan kelompok
akan mudah terdeteksi karena semua anggota masyarakat memiliki kepentingan dan hak yang sama.
3. Kelembagaan adat yang berhubungan dengan norma, sanksi, dan kepercayaan dapat kembali diterapkan.
4. Distribusi manfaat dapat lebih adil sehingga kesejahteraan dalam kelompok masyarakat dapat meningkat secara merata.
5. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah dapat lebih efektif dan efisien, selain itu dalam pengawasan pemerintah dapat memanfaatkan kelembagaan adat.
Alasan di atas tidak berarti bahwa hak komunal akan terbebas dari masalah, beberapa hal yang mungkin muncul dalam pengakuan hak komunal yaitu adanya
struktur adat yang akan mempengaruhi proses dan keputusan secara komunal. Untuk itu tetap dibutuhkan pemberdayaan dan pendampingan pemerintah kepada pemimpin
atau tokoh-tokoh adat dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan dan keterampilan termasuk dalam menghindari konflik internal dalam adat.
VI. SIMPULAN DAN SARAN