Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia

(1)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi yang cukup besar di bidang perikanan, terutama karena memiliki luas perairan mencapai 5,8 juta km2 atau sama dengan 2/3 dari luas wilayah Indonesia1. Berdasarkan luas perairan yang meliputi 2/3 bagian dari total luas wilayahnya, Indonesia memiliki potensi hasil perikanan yang melimpah baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi salah satu negara yang dapat merajai bisnis perikanan dunia. Adanya keunggulan tersebut membuat Indonesia memiliki peluang yang besar untuk terus melakukan ekspansi perdagangan produk hasil perikanan di pasar dunia.

Berdasarkan data statistik Indonesia, sektor perikanan telah memberikan kontribusi terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 199.219,00 miliar pada tahun 2010. Secara terperinci, potensi sektor perikanan di dalam perekonomian nasional dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pendapatan Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006-2010

Lapangan Usaha

Kontribusi Terhadap PDB (Miliar Rupiah)

2006 2007 2008 2009 2010

Tanaman

Pangan 214.346,3 265.090,9 347.871,70 419.194,8 483.521,1 Perkebunan 63.401,4 81.595,5 106.186,40 11.423,1 135.258,1 Peternakan 51.074,7 61.325,2 82.835,40 104.883,9 119.094,9 Kehutanan 30.065,7 35.883,7 39.992,10 45.119,6 48.050,5 Perikanan 74.335,7 97.697,3 136.435,80 176.620,0 199.219,0 Total PDB 3.339.216,8 3.950.893 4.948.688,4 5.603.871,2 6.422.918,2

Sumber: BPS (2011)

Pada Tabel 1, kontribusi subsektor perikanan menempati urutan kedua setelah subsektor tanaman pangan. Sumbangan sektor perikanan terhadap nilai PDB menunjukkan nilai yang terus meningkat selama selang periode tahun 2006 hingga 2010. Trend PDB subsektor perikanan yang semakin meningkat ini

1

(http://www.mgi.esdm.go.id). Morfologi Dasar Laut Indonesia. Diakses tanggal 10 April 2012.


(2)

2 menunjukkan prospek yang sangat menjanjikan bagi Indonesia dan seluruh

stakeholder yang terlibat dalam kegiatan agribisnis perikanan.

Menurut Suryawati (2007), produksi perikanan Indonesia telah mengalami kenaikan yang cukup pesat. Pertumbuhan produksi tersebut mencapai 6,87 persen/tahun pada periode 1977-1988, 8,25 persen/tahun pada periode 1988-1995, 3,72 persen/tahun pada periode 1995-1998, dan 4,35 persen/tahun pada periode 1998-2003. Pada semua periode, pertumbuhan tinggi yang terjadi di sebagian besar produksi merupakan hasil kontribusi perikanan tangkap laut yang berperan sangat dominan pada perikanan Indonesia.

Ikan dan produk perikanan lainnya merupakan komoditas perdagangan yang sangat prospektif. Pada tahun 2007, total ekspor produk perikanan tangkap dunia telah mencapai 90.063.851 ton, dan telah terjadi peningkatan rata-rata sebesar 0,54 persen apabila dibandingkan dengan tahun 2003. Sedangkan total produksi perikanan budidaya dunia telah mencapai 50.329.007 ton dengan kenaikan rata-rata sebesar 6,65 persen jika dibandingkan dengan total produksi tahun 2003. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumberdaya perikanan, pada tahun 2007 berada di peringkat ketiga untuk perikanan tangkap dunia setelah China dan Peru. (DKP, 2009).

Tanpa mengabaikan upaya pemenuhan kebutuhan domestik, produksi perikanan Indonesia, terutama untuk komoditas bernilai tinggi, didorong untuk memasok keperluan ekspor. Total ekspor produk perikanan Indonesia pada tahun 2007-2011 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Menurut Komoditas Utama Tahun 2007-2011

Komoditas Tahun (ton)

2007 2008 2009 2010 2011

Udang 157.545 170.583 150.989 145.092 158,062 Tuna, Cakalang 121.316 130.056 131.550 122.450 141,774 Ikan lainnya 393.679 424.401 430.513 622.932 618,294 Kepiting 21.510 20.713 18.673 21.537 23,089 Lainnya 160.279 165.923 149.688 191.564 218,130

Sumber: KKP (2012)

Tabel 2 menunjukkan bahwa ekspor produk perikanan Indonesia cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Seluruh komoditas unggulan


(3)

3 sektor perikanan Indonesia antara lain adalah udang, ikan tuna, cakalang, tongkol, rumput laut, ikan hias, dan lain sebagainya memiliki potensi yang besar untuk diperdagangkan di pasar dunia dengan tujuan utama adalah Jepang, Amerika, dan Uni Eropa. Pada Tabel 2 terlihat bahwa udang memiliki volume ekspor terbesar di pasar dunia bila dibandingkan dengan hasil sumberdaya laut Indonesia lainnya.

Peningkatan ekspor yang terjadi tidak terlepas dari meningkatnya konsumsi produk perikanan, karena adanya perubahan pola makan masyarakat dunia dari red meat ke white meat. Hal ini berarti peluang terhadap peningkatan ekspor komoditas perikanan semakin besar. Meskipun jumlah ekspor udang Indonesia masih tergolong fluktuatif dan mengalami penurunan pada tahun 2009 dan 2010, namun udang tetap menjadi salah satu komoditas andalan ekspor perikanan Indonesia. Fluktuasi ekspor udang Indonesia tersebut diduga karena adanya persaingan yang cukup ketat dengan negara eksportir udang lainnya yang diketahui memiliki teknologi, cara pengolahan, dan strategi pemasaran yang lebih baik (Setiyorini, 2010).

Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu dan tekonologi khususnya di bidang pangan, udang semakin akrab dengan para konsumen di negara maju sebagai bahan pangan yang bergizi. Hal ini membuat harga udang di pasar internasional sangat beragam. Keragaman harga ini bukan saja berkaitan dengan ukuran, warna, tekstur, cita rasa, dan bentuk penyajian produknya, tetapi juga berkaitan dengan preferensi konsumen dan negara asal udang tersebut. Udang putih (white shrimps) yang berasal dari laut tropika di pasaran Amerika Serikat dan Eropa memiliki harga yang lebih baik jika dibandingkan dengan udang warna lain diperairan yang sama. Kuruma shrimps (Panaeus japonicus) memiliki harga yang istimewa di pasar Jepang. Di pasaran Eropa, tiger shrimps memiliki harga yang tinggi karena ukuran, tekstur daging, dan cita rasanya banyak digemari oleh para konsumen di pasar yang bersangkutan (Murty, 1991).

Melihat besarnya potensi udang untuk terus diekspor ke dunia, Direktorat Pemasaran Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan jumlah target nilai ekspor yang besar pada produk udang hingga tahun 2014. Secara terperinci, jumlah target nilai ekspor produk hasil perikanan tahun 2012-2014 dapat dilihat pada Tabel 3.


(4)

4 Tabel 3. Target Ekspor Hasil Perikanan Berdasarkan Komoditas Utama Tahun

2012-2014

No Komoditas Nilai Ekspor (US$ 1000)

2012 2013 2014

1 Udang-Shrimp 1.327.954 1.812.891 2.042.576 2 Tuna/Cakalang-Tuna/Skipjack 481.742 540.135 714.256

3 Sarden Kaleng 44.944 46.332 62.787

4 Ikan Dasar (Kakap Merah,Putih, Layur, dll)

818.744 827.788 1.029.043

5 Kerapu 239.235 242.124 302.428

6 Kepiting 262.001 333.424 318.289

7 Tilapia 21.607 21.868 27.314

8 Bandeng 4.358 4.411 5.509

9 Rumput Laut 125.465 125.951 126.097

10 Lainnya 300.842 303.398 372.190

TOTAL 3.600.000 4.200.000 5.000.000

Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri, KKP (2011)

Pada tahun 2011, target yang ditetapkan untuk nilai ekspor produk perikanan sebesar US$ 3,2 miliar disambut dengan optimis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan akan tercapai. Perhitungan dari Januari – Oktober 2011, total nilai ekspor perikanan sudah mencapai US$ 2,8 miliar, sehingga target US$ 3,2 miliar akan tercapai diakhir tahun 20112. Data saat ini ternyata menunjukkan bahwa target tersebut telah tercapai. Tabel 3 menunjukkan bahwa udang ditargetkan akan memperoleh nilai ekspor hasil perikanan yang paling besar dari komoditas perikanan lainnya yaitu sebesar US$ 1.3 miliar pada tahun 2012 dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa udang tetap menjadi komoditas primadona hasil perikanan Indonesia untuk terus ditingkatkan kinerja ekspornya, sehingga mampu memenuhi permintaan dunia akan udang yang terus meningkat.

Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat penting untuk melihat besarnya peluang pasar yang dapat dipenuhi oleh Indonesia. Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa merupakan pasar utama ekspor udang Indonesia. Ketiga negara tujuan ekspor ini memiliki pola konsumsi yang berbeda akan udang, sehingga kebutuhan

2

(http://www.kkp.go.id). Ekspor Udang Ditargetkan Naik 100 persen. Diakses tanggal 09 Mei 2012.


(5)

5 impor tiga negara ini pun berbeda. Kebutuhan tiga negara tujuan ekspor terbesar di dunia akan udang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kebutuhan Impor Udang Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa Tahun 2002 – 2008

Tahun

Jepang Amerika Serikat Uni Eropa Volume

(ribu ton)

Trend (%)

Volume (ribu ton)

Trend (%)

Volume (ribu ton)

Trend (%)

2002 251,19 - 332,88 - 345,73 -

2003 235,49 -0,06 399,62 0,20 412,33 0,19 2004 244,21 0,04 396,96 -0,01 403,75 -0,02 2005 234,73 -0,04 397,38 0,00 433,60 0,07 2006 232,18 -0,01 420,31 0,06 490,08 0,13 2007 208,99 -0,10 417,30 -0,01 495,52 0,01 2008 198,52 -0,05 431,75 0,03 471,29 -0,05 Rata-rata

Pertumbuhan 229,33 -0,04 399,46 0,05 436,04 0,06

Sumber: BPS (2009), (diacu dalam Setiyorini 2010), (diolah)

Tabel 4 menunjukkan kebutuhan konsumsi akan udang di Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Dari tahun 2002-2008, kebutuhan udang di Jepang tidak mencapai 300 ribu ton, sedangkan di Amerika Serikat dan Uni Eropa selalu berada diatas 300 ribu. Rata-rata pertumbuhan volume kebutuhan udang di Amerika Serikat mencapai 399 ribu ton dengan kenaikan rata-rata sebesar 0,05 persen. Meskipun rata-rata peningkatan kebutuhan udang di Uni Eropa hanya berbeda 0,01 persen dengan Amerika Serikat, namun dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa Uni Eropa memiliki kebutuhan udang yang lebih besar dibandingkan Amerika Serikat dan Jepang. Setiap tahunnya, volume kebutuhan udang di Uni Eropa selalu berada di atas Amerika Serikat dan Jepang. Ini menunjukkan bahwa Uni Eropa telah menjadi pasar ekspor terbesar untuk komoditas udang. Banyaknya kebutuhan impor udang di Uni Eropa selalu diupayakan untuk terpenuhi seluruhnya melalui permintaan ke berbagai negara eksportir udang, salah satunya Indonesia. Permintaan impor udang oleh Uni Eropa yang dapat dipenuhi oleh Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.


(6)

6 Tabel 5. Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Terhadap Kebutuhan Impor

Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa Tahun 2002 – 2008 Tahun

Jepang Amerika Serikat Uni Eropa Volume (ribu ton) Trend (%) Volume (ribu ton) Trend (%) Volume (ribu ton) Trend (%)

2002 59,62 - 16,84 - 16,11 -

2003 60,24 0,01 21,90 0,30 24,10 0,50 2004 49,28 -0,18 40,54 0,85 24,35 0,01 2005 48,05 -0,02 50,70 0,25 27,18 0,12 2006 50,58 0,05 61,24 0,21 35,23 0,30 2007 40,33 -0,20 60,40 -0,01 28,85 -0,18 2008 39,58 -0,02 80,48 0,33 26,83 -0,07 Rata-rata

Pertumbuhan 49,67 -0,06 47,44 0,32 26,09 0,11

Sumber: BPS (2009), (diacu dalam Setiyorini 2010), (diolah)

Tabel 5 menunjukkan kontribusi ekspor udang Indonesia terhadap kebutuhan impor di tiga negara importir utama komoditas udang. Pemenuhan kebutuhan impor udang di Uni Eropa memiliki rata-rata pertumbuhan sebesar 11 persen, namun kontribusi Indonesia terhadap kebutuhan udang di Uni Eropa masih sangat kecil dibandingkan Jepang dan Amerika Serikat. Pemenuhan kebutuhan di Uni Eropa dari udang asal Indonesia cenderung berada dibawah 30.000 ton, sehingga untuk mengatasi hal ini pada tahun 2012 ditargetkan ekspor udang menjadi 300.000 ton3 untuk memenuhi kebutuhan dunia akan udang, khususnya di Uni Eropa.

1.2. Perumusan Masalah

Sektor perikanan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap PDB Indonesia, dimana udang merupakan komoditas unggulan yang mempunyai nilai ekspor terbesar dari nilai perdagangan dunia hasil perikanan. Bagi Indonesia, udang merupakan komoditas ekspor andalan dan sumber perolehan devisa, sehingga kinerja ekspor udang Indonesia perlu dikaji lebih dalam agar di masa yang akan datang dapat memenuhi kebutuhan pasar dunia, khususnya di Uni Eropa. Indonesia sebagai salah satu negara eksportir utama udang dunia telah memiliki sumberdaya yang cukup untuk terus meningkatkan kinerja ekspornya. Produksi udang Indonesia yang tergantung oleh luas lahan tambak dan laut telah

3

(http://www.bisnis.com). Ekspor Udang; Target Volume Naik Jadi 300.000 Ton. Diakses tanggal 09 Mei 2012.


(7)

7 tercukupi, bahkan setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan (Rakhmawan 2009).

Dewasa ini, dalam perdagangan internasional, banyak negara di dunia telah memberikan pembatasan atas jenis dan jumlah komoditas udang yang dapat diimpor negaranya. Pembatasan atas jenis ataupun jumlah yang dilakukan, pada dasarnya untuk melindungi konsumen dari komoditas udang yang diimpor, termasuk dari Indonesia. Atas pembatasan dan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh negara importir, berbagai masalah pun muncul dalam pengembangan ekspor udang Indonesia. Kegiatan perdagangan udang internasional yang terjadi hingga saat ini sangat dinamis, karena negara-negara importir memperhatikan kualitas, harga, jenis udang, dan faktor lainnya dalam mengimpor udang. Selain itu, kebijakan udang internasional terkadang merugikan salah satu negara eksportir dan menguntungkan negara eksportir yang lainnya. Kondisi ini biasanya disebut dengan istilah diskriminasi baik berupa kebijakan tarif atau nontarif.

Ketiga importir terbesar di dunia, yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa memiliki pola konsumsi yang berbeda-beda. Selain itu, kebijakan dan peraturan yang ditetapkan pun berbeda. Uni Eropa memiliki pola perdagangan yang jauh lebih kompleks dan rumit jika dibandingkan pasar Jepang dan Amerika Serikat. Perdagangan udang di Uni Eropa meliputi berbagai bangsa dan negara yang ada di Eropa, hubungan tradisional antara satu negara Eropa dengan pemasok tertentu dari suatu negara juga menentukan pola perdagangan udang impor yang dianutnya (Murty, 1991).

Dikemukakan oleh Nugroho (2007) yang diacu dalam Painthe (2008), terdapat masalah dalam pasar Uni Eropa yang sering dialami oleh eksportir dalam memenuhi standar internasional, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan

Sanitary and Phytosanitary (SPS), Technical Barrier to Trade (TBT), dan tarif.

Berkaitan dengan Sanitary and Phytosanitary (SPS) yaitu ketentuan mengenai

zero tolerance yang ditetapkan Uni Eropa, ternyata masih menjadi bahan

perdebatan di forum internasional mengingat sampai sekarang belum ada standar internasional tentang batas ambang yang diperbolehkan (maximum residu limit) terutama dari Codex Alimentarius. Dalam hal tarif, walaupun dalam KTM III


(8)

8 WTO di Doha telah disepakati bahwa semua hambatan tarif akan segera dievaluasi dan digraduasi, namun dalam kenyataannya komitmen ini masih terus diganjal oleh negara-negara maju (Putro, 2007). Tarif yang diberlakukan bagi komoditas udang ekspor saat ini bervariasi dan bersifat diskriminatif untuk beberapa negara pengekspor. Selain itu, ketatnya standardisasi yang ditetapkan Uni Eropa untuk melindungi konsumennya mengakibatkan banyak terdeteksinya produk-produk perikanan yang masuk ke Uni Eropa oleh European-RASFF dengan berbagai alasan terkait keamanan dan kesehatan konsumen.

Hal inilah yang dialami Indonesia dalam memenuhi permintaan komoditas udang di pasar internasional, khususnya Uni Eropa. Oleh sebab itu, perlu dikaji setiap peraturan atau kebijakan yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor. Kebijakan yang ditetapkan oleh negara pengimpor, khususnya Uni Eropa, diharapkan tidak lagi menjadi hambatan, melainkan dapat dipenuhi, sehingga kinerja ekspor udang Indonesia meningkat. Berdasarkan uraian dan fakta-fakta dalam hambatan perdagangan udang di pasar Uni Eropa dan juga mengacu pada latar belakang yang telah dibuat, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1) Apa saja kebijakan perdagangan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa yang menjadi hambatan bagi ekspor komoditas udang Indonesia?

2) Bagaimana kasus-kasus yang pernah terjadi terkait kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa kepada Indonesia dalam ekspor udang?

3) Apa saja yang telah dilakukan pemerintah sebagai respon untuk penanganan kebijakan yang menjadi hambatan bagi kinerja ekspor udang Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengidentifikasi kebijakan perdagangan di Uni Eropa yang menghambat

kinerja ekspor udang Indonesia.

2) Menganalisis kasus notification oleh European-RASFF terhadap produk ekspor udang Indonesia atas kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa.

3) Mendeskripsikan kebijakan pemerintah dalam penanganan kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa untuk meningkatkan kinerja ekspor udang Indonesia.


(9)

9 1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa:

1) Masukan bagi pemerintah dan pelaku ekspor sebagai rekomendasi suatu kebijakan yang dapat meningkatkan produksi dan ekspor udang Indonesia guna mewujudkan Indonesia sebagai negara eksportir udang utama di dunia. 2) Bagi kaum akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan, masukan, dan sumber informasi untuk penelitian yang akan dilakukan selanjutnya serta meningkatkan motivasi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan guna mendukung peningkatan perdagangan udang Indonesia.

3) Bagi penulis, kegiatan penelitian ini menjadi proses pembelajaran yang baik untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam hal perdagangan internasional komoditas perikanan Indonesia khususnya udang.

4) Bagi masyarakat umum, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi sumber informasi untuk mengetahui kondisi ekspor udang Indonesia.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini berfokus pada komoditas udang Indonesia yang di ekspor ke Uni Eropa. Udang yang diperdagangkan di pasar Uni Eropa tidak dibedakan berdasarkan udang beku dan udang segar ataupun jenisnya. Banyak kebijakan yang yang ditetapkan dalam perdagangan udang Indonesia ke Uni Eropa, namun dalam penelitian ini dilakukan deskripsi dan analisis kebijakan yang dinyatakan menjadi hambatan bagi Indonesia hingga tahun 2011 terhadap ekspor komoditas udang. Kasus yang pernah terjadi dalam setiap kebijakan yang ditetapkan oleh Uni Eropa juga dianalisis. Kebijakan dan Regulasi perdagangan Indonesia juga dideskripsikan sebagai ekuivalen kebijakan dengan Uni Eropa, selanjutnya dilihat pengaruh dari kebijakan-kebijakan tersebut terhadap perkembangan ekspor udang Indonesia.


(10)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komoditas Udang di Pasaran Internasional

Komoditas udang dalam dunia perdagangan biasa disebut dengan istilah

shrimp. Spesies udang sendiri di seluruh dunia tercatat tidak kurang dari 2700

buah. Secara geografis udang bisa dikelompokkan menjadi empat golongan, yakni udang tropis, udang china, udang atlantik utara, udang laut utara. Jenis yang dihasilkan Indonesia tergolong udang tropis. Udang tropis menguasai pasar hingga 70 persen dari angka konsumsi udang, sedangkan golongan lainnya hanya 30 persen saja. Jenis udang yang dipasarkan oleh Indonesia adalah jenis udang tropis (Nazaruddin, 1993).

Beragam spesies udang dikenal dalam dunia perdagangan internasional (Murty, 1991). Keragaman spesies udang ini dapat dipilah-pilah lebih lanjut diantaranya menurut asal habitatnya. Berdasarkan asal habitatnya, spesies udang yang telah dikenal dalam jalur perdagangan internasional dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yakni:

1) Spesies udang laut dingin.

Kelompok ini berasal dari dan hidup pada lautan daerah dingin. Pertumbuhan udang jenis ini cenderung lebih lambat dan bentuk ukuran fisiknya lebih kecil jika dibandingkan dengan udang yang berasal dari daerah laut tropika. Spesies udang laut dingin menyebar dan banyak ditangkap di daerah sebelah utara Jepang, Alaska, Kanada, disebelah barat laut dan timur laut Amerika Serikat, Islandia, Greenland, dan di sebelah utara Eropa. Spesies utama dari perairan laut dingin yang lazim dijumpai dipasar internasional antara lain

Pandalus borealis (deep water prawn/nothern prawn) dan Crangon crangon

(common shrimp).

2) Spesies udang laut tropika

Kelompok spesies ini berasal dari dan hidup pada perairan pantai daerah tropika, serta memiliki ukuran yang lebih besar. Daerah penyebaran udang laut tropika meliputi Teluk Meksiko, pantai tenggara Amerika Serikat, Jepang, Eropa bagian selatan, Thailand, dan Indonesia. Salah satu jenis udang laut tropika yang menjadi primadona adalah udang windu atau giant tiger


(11)

11 dari perairan tropika ini menempati bagian terbesar di pasar udang Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa.

3) Spesies udang air tawar

Umumnya kelompok spesies ini hidup pada danau atau sungai di daerah tropika dan memiliki ukuran yang besar. Spesies udang ini dalam dunia perdagangan internasional umumnya dikenal sebagai giant river prawn, namun jenis udang ini kurang memiliki kedudukan yang penting pada perdagangan udang di pasar internasional, karena daerah pemasarannya terbatas hanya di beberapa negara saja seperti Belgia, Belanda, Prancis, dan Jerman.

Bentuk produk udang yang dijajakan di pasaran internasional cukup beragam dari satu pangsa pasar ke pangsa pasar lainnya. Keragaman bentuk produk ini menandakan bahwa setiap negara konsumen memiliki preferensi yang berbeda-beda dalam mengonsumsi udang. Berikut ini adalah berbagai variasi produk udang yang diperdagangkan di pasar dunia (Murty, 1991):

1) Udang hidup

Jenis udang hidup yang banyak diperdagangkan ini merupakan spesies

Panaeus japonicus. Udang jenis ini banyak dikonsumsi dan diproduksi secara

domestik di Jepang. Mayoritas konsumen di Jepang lebih sering mengonsumsi dalam keadaan mentah setelah dicampur dengan sake dan dikuliti. Udang jenis ini harganya cenderung lebih mahal karena membutuhkan teknik penanganan khusus agar udang tetap segar dan cita rasanya tidak berkurang.

2) Udang segar

Udang dalam bentuk ini terbatas pada daerah-daerah yang dekat dengan pelabuhan perikanan. Umumnya udang segar seperti ini sudah mengalami perlakuan pendinginan di kapal setelah proses penangkapannya. Perlakuan tersebut dimaksudkan untuk menghindari kemunduran mutu dan mencegah atau memperlambat proses pembusukan.

3) Udang beku

Udang beku menempati pangsa pasar terbesar dalam perdagangan udang dunia. Hampir seluruh udang yang diekspor dan diperdagangkan di pasar


(12)

12 dunia adalah udang beku. Udang beku dibedakan menjadi tiga jenis, yakni udang mentah beku (raw frozen), udang matang beku (cooked frozen), dan udang setengah matang yang dibekukan (semi-cooked frozen).

4) Udang kering

Udang mengalami proses pengeringan secara tradisional terlebih dahulu sebelum dipasarkan. Pada umumnya proses pengeringan ini dilakukan oleh para nelayan di negara-negara berkembang. Hongkong merupakan negara importir terbesar udang kering. Di Hongkong, udang kering ini diolah lebih lanjut sebagai bahan baku industri pangan.

2.2. Uni Eropa

Menurut Delegasi Komisi Eropa untuk Indonesia (2010), Uni Eropa merupakan kelompok 27 negara-negara independen yang unik dengan lebih dari 492 juta warga negara yang tinggal dalam batas wilayahnya. Negara-negara anggota terikat dengan serangkaian traktrat yang telah ditandatangani seiring perkembangannya. Semua traktat itu harus disepakati oleh masing-masing negara anggota dan kemudian diratifikasi baik oleh parlemen nasional ataupun melalui referendum (European Union, 2010). Nama Uni Eropa muncul pada tahun 1992 menggantikan nama Komunitas Masyarakat Eropa bersamaan dengan ditandatanganinya Traktat Maastricht (Traktat Uni Eropa) pada tanggal 07 Februari 1992. Urutan masuknya negara-negara dalam keanggotaan Uni Eropa dapat dilihat pada Tabel 6.

Uni Eropa bukanlah sebuah negara federal atau organisasi internasional dalam pengertian tradisional, akan tetapi merupakan sebuah badan otonom di antara keduanya. Uni Eropa bersifat unik karena negara – negara anggotanya tetap menjadi negara berdaulat yang independen, akan tetapi negara-negara tersebut menggabungkan kedaulatannya dan dengan demikian memperoleh kekuatan dan pengaruh kolektif yang lebih besar.

Dalam praktiknya, penggabungan kedaulatan berarti bahwa negara-negara anggota mendelegasikan kuasa dalam hal pengambilan keputusan kepada lembaga yang telah didirikan bersama sehingga keputusan – keputusan mengenai masalah

– masalah tertentu yang melibatkan kepentingan bersama dapat diambil secara demokratis pada tingkat Eropa. Uni Eropa memiliki tiga lembaga utama, yaitu:


(13)

13 1) Parlemen Eropa, memiliki warga negara Uni Eropa.

2) Dewan Uni Eropa, memiliki masing-masing negara anggota.

3) Komisi Eropa, berupaya untuk menegakkan kepentingan Uni Eropa secara menyeluruh.

Segitiga kelembagaan tersebut menghasilkan kebijakan dan undang – undang yang berlaku di seluruh Uni Eropa. Ketiga lembaga utama tersebut didukung oleh Badan Pemeriksa Keuangan Eropa yang mengawasi penggunaan anggaran Uni Eropa dan Mahkamah Eropa yang membantu memastikan bahwa negara – negara anggota mematuhi undang – undang Uni Eropa yang telah dibuat. Tabel 6. Negara-Negara Anggota Uni Eropa

No Negara Tahun Bergabung dengan

Uni Eropa

1 Jerman 1950

2 Belanda 1950

3 Belgia 1950

4 Luksemburg 1950

5 Perancis 1950

6 Italia 1950

7 Inggris Raya 1973

8 Denmark 1973

9 Irlandia 1973

10 Yunani 1981

11 Portugal 1986

12 Spanyol 1986

13 Austria 1995

14 Swedia 1995

15 Finlandia 2004

16 Estonia 2004

17 Hongaria 2004

18 Latvia 2004

19 Lituania 2004

20 Malta 2004

21 Polandia 2004

22 Republik Ceko 2004

23 Siprus Selatan 2004

24 Slovenia 2004

25 Slowakia 2004

26 Bulgaria 2007

27 Rumania 2007


(14)

14 2.3. Hasil Penelitian Terdahulu

2.3.1. Penelitian Mengenai Komoditas Udang

Rakhmawan (2009) melakukan penelitian mengenai analisis daya saing komoditas udang di Indonesia dengan menggunakan dua metode analisis yakni analisis kuantitif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitif dilakukan untuk menjelaskan tingkat daya saing yang dilakukan dengan alat analisis RCA

(Revealed Comparative Advantage). Jika nilai RCA > 1, maka komoditas udang

Indonesia memiliki daya saing yang baik di pasar dunia, dan sebaliknya. Salain itu juga digunakan metode regresi linier berganda dengan menggunakan analisis OLS

(Ordinary Least Square) yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang

mempengaruhi daya saing komoditas udang Indonesia (udang segar dan beku pada jenis udang windu dan vannamei). Sedangkan pada analisis deskriptif kualitatif digunakan Porter’s Diamond Theory untuk mengkaji potensi, kendala, dan peluang yang berarti menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif komoditas udang Indonesia.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komoditas udang Indonesia memiliki daya saing yang kuat karena nilai RCA yang diperoleh lebih besar dari satu. Sedangkan dengan metode analisis Porter’s Diamond Theory, dapat ditunjukkan bahwa komoditas udang Indonesia memiliki potensi dalam faktor input yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal, dan juga infrastruktur yang unggul namun masih memiliki keterbatasan hal penguasaan ilmu pengetahuan dan komoditas udang.

Anwar (2009) mengkaji analisis respon produksi, permintaan domestik, dan penawaran udang Indonesia. Pada penelitian tersebut, persamaan produksi udang tidak dibedakan antara udang tambak ataupun laut, dan penawaran ekspor tidak dibedakan berdasarkan negara tujuan ekspor udang Indonesia. Hasil estimasi menunjukkan bahwa harga domestik dan luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi udang Indonesia. Konsumsi domestik udang dipengaruhi secara nyata oleh pendapatan perkapita dan harga kepiting sebagai komoditas substitusi, sedangkan penawaran ekpsor dipengaruhi secara signifikan oleh jumlah produksi udang Indonesia, dummy krisis, dan jumlah ekspor udang Indonesia satu tahun lalu.


(15)

15 Retnowati (1990) dengan metode analisis Two Stage Least Square (2 SLS), dalam penelitiannya tentang analisis ekonomi udang Indonesia di pasar Jepang dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa variabel bebas yang berpengaruh nyata adalah harga udang di pasar internasional, sedangkan variabel bebas harga komoditas substitusi di Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan pendapatan perkapita Indonesia tidak berpengaruh nyata.

Penelitian tentang perdagangan udang Indonesia di pasar domestik dan internasional juga pernah dilakukan Irwan (1997) dengan menggunakan metode analisis 2 SLS dengan periode tahun 1974 – 1995. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa produksi udang Indonesia dipengaruhi oleh harga udang domestik, tingkat suku bunga rupiah, dan jumlah produksi tahun sebelumnya. Ekspor udang Indonesia ke Jepang hanya dipengaruhi oleh jumlah ekspor udang Indonesia berskala satu tahun, sedangkan ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat hanya dipengaruhi oleh jumlah ekspor udang Indonesia ke negara selain Amerika Serikat dan Jepang.

2.3.2. Penelitian Mengenai Kebijakan Perdagangan

Penelitian terkait mengenai kebijakan perdagangan telah dilakukan oleh Rastikarany dan Painthe pada tahun 2008. Rastikarany (2008) melakukan penelitian mengenai pengaruh kebijakan tarif dan nontarif Uni Eropa terhadap ekspor tuna Indonesia. Pada penelitian ini, digunakan analisis regresi, deskriptif, dan peramalan untuk ekspor tuna beberapa tahun mendatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tarif dan nontarif berpengaruh nyata terhadap volume ekspor tuna Indonesia. Dalam peramalan beberapa tahun mendatang yang dilakukan menunjukkan Indonesia akan terus menjadi salah satu pemasok utama komoditas tuna di pasar Eropa.

Painthe (2008) melakukan penelitian dengan topik yang sama dengan komoditas udang menggunakan analisis regresi, deskriptif, dan peramalan. Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan di pasar Eropa baik kebijakan tarif dan nontarif. Hasil penelitian juga mendeskripsikan kebijakan-kebijakan apa yang telah diterapkan oleh Indonesia sebagai respon atas persyaratan dan peraturan yang ditetapkan oleh pasar Eropa. Dalam penelitiannya dengan analisis regresi menunjukkan bahwa


(16)

16 kebijakan tarif di pasar Eropa berpengaruh nyata terhadap volume ekspor udang Indonesia di pasar Eropa. Hal ini terlihat dalam data yang menunjukkan bahwa pernah terjadi penurunan volume ekspor dikarenakan udang yang di ekspor Indonesia tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pasar Eropa.

Lambaga (2009) juga melakukan penelitian mengenai kebijakan perdagangan. Dalam analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa dengan ditetapkannya peraturan EC No 882/2004 yang mewajibkan pemerintah untuk melakukan pengawasan, ternyata menunjukkan pengaruh negatif. Ini berarti jika importir menetapkan kebijakan nontarif maka volume ekspor perikanan akan menurun. Sedangkan Painthe (2008) dan Rastikarany (2008) melakukan analisis yang sama namun dengan komoditas yang berbeda yaitu udang dan tuna terhadap ditetapkannya peraturan EC 178/2002 tentang persyaratan mutu undang-undang pangan serta prosedur keamanan pangan. Hasil analisis menunjukkan pengaruh positif terhadap hambatan nontarif bagi penelitian Painthe dan tidak berpengaruh nyata terhadap model dugaan bagi penelitian Rastikarany. Dalam penelitiannya dikatakan bahwa hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang seharusnya karena pada saat yang sama volume ekspor udang ke Uni Eropa ternyata mengalami peningkatan.

Untuk itu penelitian dengan menganalisis pengaruh kebijakan perdagangan yang diterapkan seperti yang dilakukan oleh Painthe (2008), Rastikarany (2008), dan Lambaga (2009), harusnya menempatkan variabel dalam blok-blok perdagangan dengan menambahkan variabel lain yang diduga juga memiliki hubungan dengan kebijakan yang diterapkan pada saat itu seperti nilai tukar mata uang dan pertumbuhan ekonomi negara tujuan ekspor seperti yang telah dilakukan Koeshendrajana dan Aisya (2006). Penelitian dengan melihat pengaruh kebijakan perdagangan juga bisa menggunakan analisis deskriptif-tabulatif untuk melihat pengaruh nyata penerapan kebijakan pada saat itu terhadap kinerja produk ekspor pada saat itu seperti yang dilakukan Hartono (2005).

2.3.3. Keterkaitan dengan Peneltian Terdahulu

Pada penelitian-penelitian terdahulu, khususnya skripsi menggunakan analisis kuantitatif, namun pada penelitian kali ini menggunakan analisis kualitatif deskriptif untuk membahas kebijakan yang diberlakukan Uni Eropa serta kasus


(17)

17 penolakan yang terjadi akibat kebijakan tersebut. Penelitian terdahulu yang telah dilakukan menjadi bahan perbandingan dalam mendeskripsikan kondisi ekspor udang Indonesia di pasar internasional, khususnya di Uni Eropa. Dalam kaitannya dengan penelitian terdahulu, penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekpor udang di pasar internasional digunakan untuk melihat signifikansi volume ekspor udang yang terjadi saat ini dengan kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa terkait perdagangan udang.

Penelitian ini terdapat kesamaan dengan penelitian sebelumnya, yaitu dalam gambaran umum mendeskripsikan kondisi ekspor udang Indonesia di pasar internasional. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada tujuan ekspor yang lebih difokuskan pada pasar Eropa, yaitu mengkaji kebijakan-kebijakan yang diberlakukan di Uni Eropa dan menganalisis kasus-kasus yang terjadi terkait penetapan kebijakan yang diberlakukan Uni Eropa. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat pengaruhnya terhadap kinerja ekspor pada saat itu, serta melihat respon pemerintah dalam mengatasi kebijakan yang berlaku. Penggunaan data terbaru yang digunakan untuk membandingkan kondisi ekspor udang Indonesia di Uni Eropa dari tahun sebelumnya hingga saat ini.


(18)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Pembentukan kerangka pemikiran dalam penelitian ini didukung oleh teori-teori yang terkait dengan tujuan penelitian. Teori-teori tersebut meliputi teori perdagangan internasional, kebijakan perdagangan, dan analisis kebijakan.

3.1.1. Teori Perdagangan Internasional

Setiap negara memiliki sumberdaya alam, letak geografis, iklim, karakteristik penduduk, keahlian, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan struktur ekonomi, dan sosial yang berbeda-beda. Perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing negara tersebut menghasilkan produk yang berbeda baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Perbedaan tersebut secara tidak langsung mengharuskan suatu negara untuk melakukan perdagangan, baik dengan alasan perluasan pasar, mendapatkan sumberdaya, mendapatkan keuntungan, ataupun mendapatkan teknologi yang lebih modern.

Perdagangan merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi di setiap negara karena perdagangan akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara dan meningkatkan output dunia. Perdagangan juga cenderung meningkatkan pemerataan atas distribusi pendapatan dan kesejahteraan dalam lingkup domestik ataupun internasional. Perdagangan dapat membantu semua negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunannya melalui promosi serta mengutamakan sektor-sektor ekonomi yang mengandung keunggulan komparatif (Todaro, 2003).

Menurut Kindleberger (1995) diacu dalam Anwar (2009), perdagangan internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya interaksi antara permintaan dan penawaran bersaing. Pada prinsipnya, perdagangan antara dua negara timbul akibat adanya perbedaan permintaan dan penawaran. Perbedaan permintaan disebabkan oleh selera dan tingkat pendapatan, sedangkan perbedaan penawaran disebabkan oleh jumlah dan kualitas faktor produksi serta tingkat teknologi. Perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan pendapatan nasional suatu negara.


(19)

19 3.1.2. Pergeseran Pola Perdagangan Internasional

Salah satu hal yang sangat mempengaruhi kinerja industri perikanan Indonesia adalah adanya pergeseran pola perdagangan dunia. Saat ini, pola perdagangan internasional tidak lagi hanya tunduk pada prinsip-prinsip

supply-demand, tetapi juga dibentuk oleh isu-isu, konvensi, dan berbagai macam

kesepakatan internasional. Banyak konvensi yang telah disepakati, diratifikasi, dan mengikat. Menurut Putro (2001), perjanjian internasional yang berpengaruh langsung bahkan cenderung mengatur mekanisme perdagangan komoditas perikanan di pasar internasional dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu:

1) Perjanjian internasional yang bernuansa menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, seperti Code of Conduct for Responsible Fisheries, International Convention for The Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT), Indian Ocean Tuna Commission, Agreement on Straddling Stocks and Highly Migratory

Fish Species, dan sebagainya. Dengan adanya perjanjian ini maka ikan-ikan

komersial penting yang dijual di pasar internasional harus ditangkap dari sumberdaya yang lestari.

2) Perjanjian internasional tentang perlindungan satwa yang terancam punah yaitu Convention of International Trade of Endanger Species (CITES). Melalui perjanjian ini maka beberapa jenis ikan/fauna laut dan air tawar dibatasi pemasarannya karena populasinya dikhawatirkan akan punah.

3) Perjanjian internasional tentang perdagangan yaitu perjanjian General

Agreement on Tariff and Trade (GATT oleh WTO), termasuk di dalamnya

perjanjian Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), dan

Agreement on Technical Barrier on Trade (TBT oleh WTO). Perjanjian

GATT/WTO mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap perdagangan global komoditas perikanan.

Dari satu sudut pandang, oleh beberapa negara, pemberlakuan kesepakatan-kesepakatan tersebut dimanfaatkan sebagai suatu peluang untuk melaksanakan strategi perang dagang. Kecenderungannya, dimasa-masa mendatang kesepakatan semacam itu akan bertambah banyak karena perang dagang akan berlangsung semakin intensif. Biasanya, suatu kesepakatan


(20)

20 internasional dikemas dalam kerangka justifikasi ilmiah atau isu-isu global yang telah disepakati sebelumnya secara universal.

Indonesia harus mengikuti semua aturan yang terkandung dalam konvensi-konvensi tersebut. Kecepatan dan konsistensi merespon kesepakatan dalam konvensi tersebut akan berdampak langsung pada perdagangan internasional produk-produk perikanan Indonesia.

3.1.3. Kebijakan Perdagangan

Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek mikro ilmu ekonomi sebab berhubungan dengan masing-masing negara sebagai individu yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta berhubungan dengan harga relatif suatu komoditas. Dalam arti luas, kebijaksanaan ekonomi internasional adalah tindakan atau kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi komposisi, arah serta bentuk dari perdagangan internasional. Kebijakan ini tidak hanya berupa tarif, kuota, dan sebagainya, tetapi juga meliputi kebijaksanaan pemerintah di dalam negeri yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap perdagangan internasional seperti misalnya kebijaksanaan moneter dan fiskal (Nopirin, 1999) diacu dalam (Rastikarany, 2008).

Kebijakan perdagangan dilakukan sebagai proses proteksi terhadap produk-produk yang dianggap sebagai penghambat dalam proses perdagangan bebas. Hambatan dalam arus perdagangan ada dua macam, yaitu hambatan yang bersifat tarif (tariff barrier) dan hambatan yang bersifat nontarif (non tariff

barrier). Hambatan yang bersifat tarif merupakan hambatan terhadap arus barang

ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh diberlakukannya tarif bea masuk dan tarif lainnya, sedangkan hambatan yang bersifat nontarif merupakan hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang disebabkan oleh tindakan-tindakan selain penerapan pengenaan tarif atas suatu barang.

3.1.3.1. Kebijakan Hambatan Tarif (Tariff barrier)

Tarif adalah pajak yang dikenakan atas barang yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Ditinjau dari aspek asal komoditas, ada dua macam tarif yaitu tarif ekspor (export tariff) dan tarif impor (import tariff). Tarif impor adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk untuk


(21)

21 dipakai/dikonsumsi habis di dalam negeri. Sedangkan tarif ekspor merupakan pajak untuk suatu komoditas yang di ekspor (Salvatore, 1997).

Kebijakan tariff barrier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut (Hady, 2004):

1) Pembebanan bea masuk atau tarif rendah antara nol sampai lima persen dikenakan untuk bahan kebutuhan pokok dan vital, alat-alat militer/pertahanan/keamanan, dan lainnya.

2) Tarif sedang antara nol sampai dua puluh persen dikenakan untuk barang setengah jadi dan barang-barang lain yang belum cukup diproduksi dalam negeri.

3) Tarif tinggi di atas dua puluh persen dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan barang kebutuhan pokok.

Tarif dan bea masuk pada hakekatnya merupakan diskriminatif yang digunakan untuk mencapai berbagai tujuan, antara lain melindungi produk dalam negeri dari persaingan dengan produk sejenis asal impor, meningkatkan penerimaan negara, mengendalikan konsumsi barang tertentu, dan lain-lain. Penggunaan tarif bea masuk yang ditujukan untuk melindungi produk dalam negeri sangat besar pengaruhnya terhadap globalisasi ekonomi (Rastikarany, 2008).

3.1.3.2. Kebijakan Hambatan Nontarif (Non Tariff Barrier)

Bentuk hambatan lain yang berbeda dengan pengenaan tarif adalah hambatan nontarif yang berarti hambatan masuk sebuah produk yang bukan disebabkan karena adanya pengenaan tarif impor, tetapi akibat adanya pelarangan yang dilakukan oleh negara/organisasi internasional yang menerima komoditas dari negara lain. Kebijakan non tariff barrier terdiri atas beberapa bagian yaitu: 1) Pembatasan spesifik, terdiri dari larangan impor secara mutlak; pembatasan

impor atau quota system; peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu; peraturan kesehatan atau karantina, peraturan pertahanan dan keamanan negara; peraturan kebudayaan, perizinan impor/import licenses; embargo; dan hambatan pemasaran seperti VER (Voluntary Export


(22)

22 2) Peraturan Bea Cukai (Custom Administration Rules), terdiri dari tata laksana

impor tertentu; penetapan harga bea; penetapan forres rate (kurs valas) dan pengawasan devisa; consultan formalities; packaging/labelling regulation;

documentation hended; quality and testing standard; pungutan administrasi

(fees); dan tariff classification.

3) Partisipasi pemerintah, terdiri dari kebijakan pengadaan pemerintah; subsidi dan insentif ekspor; countervailing duties; domestic assistance programs; dan trade-diverting.

4) Import charges, terdiri dari import deposits; supplementary duties; dan

variable levies.

Menurut Koo dan Kennedy (2005), beberapa negara menggunakan bermacam kebijakan perdagangan (tarif dan nontarif) untuk melindungi industri yang tidak efisien. Hal ini berlaku pada pertanian. Rata-rata tarif untuk produk pertanian (tiga puluh persen) lebih besar daripada untuk produk industri (enam persen). Tarif adalah pajak yang dibebankan pemerintah untuk suatu komoditas sebagai batas garis nasional. Tarif digunakan untuk melindungi ekonomi domestik dari kompetisi luar negeri.

Hambatan nontarif bisa mengandung rintangan dengan angka yang besar selain tarif, seperti kebijakan, peraturan, dan prosedur yang mempengaruhi perdagangan. Hambatan nontarif yang paling banyak digunakan untuk mengontrol impor pertanian yaitu (Koo dan Kennedy, 2005): (1) pembatasan kuantitatif dan pembatasan sepesifik sejenis (misalnya kuota, voluntary export restraints, dan kartel internasional); (2) beban nontarif dan kebijakan yang berhubungan mempengaruhi impor (misalnya kebijakan antidumping dan kebijakan

countervailing); (3) kebijakan umum pemerintah yang membatasi (misalnya

kebijakan kompetisi dan penetapan perdagangan); (4) prosedur umum dan kegiatan administrasi (misalnya prosedur evaluasi dan prosedur perizinan); dan (5) hambatan teknis (peraturan dan standar kualitas kesehatan dan sanitasi, keamanan, peraturan dan standar industrial, dan peraturan pengemasan dan pelabelan.


(23)

23 3.1.4. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan merupakan suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberikan landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn, 1999) diacu dalam (Rastikarany, 2008). Dunn (1999) mengatakan bahwa analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Analisis kebijakan diambil dari berbagai disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan perspektif.

Analisis kebijakan dapat menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif ini di rancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sedang berlangsung). Metode ini digunakan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sedang berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-akibat dari suatu gejala. Teknik pengolahan data kualitatif yang umum digunakan dalam metode deskriptif adalah analisis isi (content analysis).

Deskripsi yang diberikan para ahli sejak Janis (1949), Berelson (1952) sampai Lindzey dan Aronson (1968) tentang content analysis, selalu menampilkan tiga syarat, yaitu: objektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi (Bungin, 2003). Analisis ini dalam Julianingsih (2003) adalah suatu teknik untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi karakter-karakter khusus suatu pesan secara objektif dan sistematis.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Sebagai salah satu negara pemasok utama udang ke Uni Eropa, Indonesia memiliki prospek yang baik untuk terus dikembangkan. Adanya peningkatan permintaan dan penawaran komoditas udang di pasar internasional menjadikan persaingan semakin banyak menghadapi tantangan yang diberlakukan oleh negara tujuan ekspor Indonesia, khususnya Uni Eropa. Setiap kebijakan yang diberlakukan Uni Eropa sangat mempengaruhi perdagangan internasional.


(24)

24 Kebijakan tersebut berkaitan dengan Sanitary and Phytosanitary (SPS), Technical

Barrier toTtrade (TBT), dan tarif.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa bertujuan untuk melindungi konsumen negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa terhadap setiap komoditas ekspor Indonesia. Kebijakan perdagangan yang diterapkan di Uni Eropa akan dikaji dalam analisis deskriptif dengan membandingkan juga respon kebijakan yang telah dilakukan Indonesia untuk memenuhi kebijakan perdagangan ini. Gambaran penelitian ini secara menyeluruh dapat dilihat pada Gambar 1.


(25)

25 Perairan Indonesia

yang Luas

Potensi Perikanan Indonesia

Kelimpahan Tenaga Kerja

= Ruang Lingkup Kajian Peneltian

Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia

Jumlah Produksi Perikanan Indonesia

Penawaran Udang untuk Konsumsi Domestik Komoditas & Produk

Non Udang

Komoditas & Produk Udang

Penawaran Udang untuk konsumsi Luar Negeri

Uni Eropa Pasar Ekspor Lainnya

Total Ekspor

Udang Indonesia ke

Uni Eropa Kebijakan

Perdagangan

Sanitary and

Phytosanitary (SPS)

Technical barrier

to trade (TBT),

Tariff

Analisis Kualitatif Deskriptif

Respon Kebijakan Perdagangan Indonesia

dan Penerapannya di Indonesia


(26)

IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian yang dilakukan meliputi perancangan penelitian, perumusan masalah, pengumpulan data dari berbagai instansi terkait, pengolahan data, analisis data, interpretasi data, dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini dilakukan di Indonesia dengan menggunakan data nasional dan internasional. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam waktu tiga bulan, yaitu dari bulan Maret hingga Mei 2012.

4.2. Desain Penelitian

Desain penelitian dalam penelitian ini, yaitu metode deskriptif yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antarfenomena yang diselidiki. Dalam penelitian ini, metode deskriptif digunakan untuk memaparkan kebijakan perdagangan di Uni Eropa, kebijakan perdagangan Indonesia, dan menganalisis kasus-kasus penolakan yang pernah terjadi, pengaruh kebijakan terhadap ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa, maupun penjelasan atau narasi singkat atas tabulasi dan tampilan grafik.

4.3. Data dan Instrumentasi

Berdasarkan sumbernya, data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data/informasi yang diperoleh dari hasil diskusi dan wawancara dengan stakeholders seperti pejabat dinas kelautan dan perikanan mengenai produksi dan ekspor udang Indonesia serta permasalahan ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa. Selain itu data primer melalui wawancara/diskusi di pakai untuk mengkonfirmasi kesesuaian kasus

notification oleh European-RASFF dari Directorates General of Health and

Consumers (DG Sanco) terhadap produk perikanan asal Indonesia. Data sekunder

yang merupakan data teks berupa keterangan mengenai prosedur ekspor, kondisi pasar Uni Eropa, peraturan perdagangan Uni Eropa, dan data-data lain yang relevan dengan penelitian ini. Data-data tersebut diperoleh melalui informasi dan laporan tertulis dari lembaga atau instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik


(27)

27 (BPS), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Food and Agriculture

Organization (FAO), World Trade Organization (WTO), European Commission

(EC), dan Directorates General of Health and Consumers (DG Sanco). Selain itu, data juga diperoleh dari literatur berupa skripsi, buku teks, dan website yang yang terkait dengan penelitian. Rincian data yang diperlukan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perincian Sumber Data Penelitian

No Data Yang Diperlukan Sumber Data

1 Total Ekspor dan Impor Uni Eropa KKP,

2 Total Ekspor dan Impor Perikanan Uni Eropa DKP, Kemendag 3 Total Ekspor dan Impor Udang dari ke Uni Eropa Direktorat P2HP 4 Total Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa DKP, Depdag/BPEN 5 Kebijakan Perdagangan Uni Eropa yang terkait

dengan perikanan

Direktorat P2HP, European

Commission. 6 Kebijakan Indonesia yang terkait dengan ekspor

Perikanan Indonesia

KKP, BKIPM 7 Prosedur umum ekspor perikanan DKP

8 Kasus Penolakan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa

Direktorat P2HP, DG Sanco

4.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan sebagai langkah awal untuk mengelompokkan data yang akan di bahas. Data berupa kebijakan baik yang diterapkan Uni Eropa maupun pemerintah Indonesia terkait produk perikanan khususnya udang diobservasi lalu dikumpulkan berdasarkan jenisnya, tahun pelaksanaannya, dan ketentuan dalam kebijakan tersebut. Selain itu, mengenai kasus notification oleh European-RASFF, data diobservasi melalui website dikumpulkan dan dikonfirmasi kepada stakeholder di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan dikelompokan berdasarkan jenis produk perikanan (khususnya ikan dan udang), tahun ekspor, dan alasan notification. Kelompok berdasarkan ikan dan udang dilakukan untuk membandingkan jumlah notification antara ikan dan udang oleh European-RASFF. Kelompok berdasarkan tahun dikelompokan untuk melihat perkembangan notification yang dialami produk ikan dan udang Indonesia, mengetahui perbedaan terjadinya kasus penolakan yang mengalami penaikan, penurunan, atau fluktuatif setiap tahunnya. Kelompok berdasarkan alasan penolakan produk dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan jumlah alasan paling banyak.


(28)

28 4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data

4.5.1. Metode Pengolahan Data

Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan pengelompokan data dari data-data yang telah dikumpulkan. Data-data yang berupa gambaran umum kondisi perdagangan udang dan produk perikanan lainnya diolah dari berbagai sumber yang di dapat untuk disederhanakan dalam bentuk grafik ataupun tabel. Kemudian data-data tersebut dimasukkan sebagai bahan untuk dikelompokkan sesuai kebutuhan penelitian sebelum dianalisis. Selanjutnya data kebijakan terkait produk udang dan perikanan lainnya yang ditetapkan Uni Eropa dikelompokkan untuk disederhanakan sebagai bahan menghubungkan terhadap fakta ekspor udang dan perikanan lainnya yang terjadi. Pengolahan selanjutanya, untuk mengkonfirmasi pengaruh kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa terhadap produk ikan dan udang Indonesia, maka data mengenai kasus notification oleh European-RASFF diolah menjadi lebih sederhana untuk mengelompokkan kasus yang terjadi berdasarkan tahunnya serta alasan notification yang diterima. Data yang sudah dikumpulkan dari website tersebut kemudian dimasukkan sebagai input computer lalu di olah menjadi lebih sederhana dalam bentuk gambar dan grafik dengan bantuan program Microsoft

Excel untuk dianalisis dengan metode kualitatif deskriptif.

4.5.2. Analisis Data Kualitatif

Analisis data kualitatif yang digunakan yaitu analisis deskriptif. Deskriptif artinya melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu. Metode deskriptif bertujuan untuk:

1) Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada,

2) Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku,

3) Membuat perbandingan atau evaluasi,

4) Menentukan apa yang dilakukan pihak lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.


(29)

29 Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, diarahkan untuk memahami (understand) suatu fenomena sosial (Bungin, 2003). Fenomena sosial yang akan dipahami dalam penelitian ini adalah kondisi ekspor udang Indonesia terhadap kebijakan yang diterapkan Uni Eropa. Pendekatan ini digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau keadaan yang terjadi dalam perdagangan udang Indonesia, dalam hal ini fokus pada kebijakan.

Analisis kualitatif deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk menghubungkan fakta perkembangan ekspor udang Indonesia dengan adanya kebijakan yang diterapkan Uni Eropa. Selain itu, analisis ini juga mengkonfirmasi kebijakan yang dikeluarkan Uni Eropa terhadap kaitannya atas alasan fakta

notification yang dikeluarkan European-RASFF terhadap produk ikan dan udang

Indonesia, sehingga dari analisis ini dapat dipahami apa yang terjadi pada penerapan kebijakan perdagangan yang ditetapkan Uni Eropa terhadap produk perikanan Indonesia, khususnya udang. Analisis yang dilakukan juga untuk mengetahui bagaimana penanganan yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi.


(30)

V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA

5.1. Perdagangan Internasional Hasil Perikanan

Selama lebih dari beberapa dekade ini, sektor perikanan dunia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan. Berdasarkan data International

Trade Centre (ITC) dan Kementerian Perdagangan tahun 2010, perdagangan

internasional dalam komoditas perikanan mencapai US$ 103 miliar, mengalami kenaikan 13,2 persen dari tahun 2009 (US$ 91 miliar). Meskipun pada tahun 2009 nilai total ekspor mengalami penurunan dari tahun 2008 (US$ 96 miliar), namun angka yang dicapai tersebut masih terhitung tinggi. Sejak tahun 2000, perdagangan internasional di sektor perikanan dunia telah menunjukkan peningkatan secara signifikan (Aisya, et al. 2006). Secara terperinci, data ekspor komoditas perikanan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai Ekspor Perikanan Dunia Tahun 2007-2010

No Negara Nilai (juta US$) Share (%)

2007 2008 2009 2010 2010

1 China 9,508.86 10,364.12 10,500.16 13,539.77 13.03 2 Norway 6,089.74 6,722.43 6,923.22 8,660.35 8.33 3 Thailand 5,614.68 6,487.52 6,208.88 7,012.62 6.75 4 USA 4,387.76 4,364.02 4,075.66 4,544.43 4.37 5 Vietnam 3,764.00 4,510.57 4,253.37 4,368.40 4.20 6 Canada 3,657.84 3,672.86 3,211.09 3,804.87 3.66 7 Netherlands 2,713.90 2,865.08 2,627.14 3,439.00 3.31 8 Spain 3,285.14 3,490.64 3,131.11 3,293.28 3.17 9 Indonesia 2,258.92 2,699.68 2,466.20 2,863.83 2.76 10 Chile 3,166.16 3,409.71 3,010.62 2,846.10 2.74 11 Lainnya 43,678.83 47,780.89 45,209.56 49,575.63 47.69 Total 88,125.83 96,367.51 91,616.99 103,948.26 100.00

Sumber: ITC Comtrade (2011), Kemendag (2011), BPS (2011), (diolah)

Berdasarkan Tabel 8, ekspor perikanan dunia dikuasai oleh China sebesar US$ 13,5 miliar pada tahun 2010 dengan kontribusi sebesar 13,03 persen dari ekspor perikanan dunia. Asia Tenggara berkontribusi sebesar 13,71 persen dari ekspor perikanan dunia melalui Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Melalui sepuluh negara eksportir terbesar perikanan dunia tersebut, dapat dilihat bahwa perdagangan internasional hasil perikanan terus meningkat setiap tahunnya. Jika dilihat dari data FAO 2004, perdagangan internasional dalam ekspor komditas


(31)

31 perikanan telah mencapai mencapai US$ 58,2 miliar pada tahun 2002, mengalami kenaikan relatif lima persen pada tahun 2000 dan 45 persen sejak tahun 1992.

Peningkatan ekspor perikanan dunia tidak terlepas dari impor perikanan dunia yang tercatat juga terus meningkat setiap tahunnya. Data impor perikanan dunia dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai Impor Perikanan Dunia Tahun 2007-2010

No Negara Nilai (Juta US$) Share (%)

2007 2008 2009 2010 2010

1 USA 12,852.19 13,207.72 12,127.38 13,588.34 13.85 2 Japan 12,099.44 13,305.58 12,114.15 13,463.85 13.72 3 Spain 6,953.18 7,038.11 5,795.99 6,294.02 6.41 4 France 5,091.72 5,507.90 5,257.19 5,590.74 5.70 5 Italy 5,213.11 5,511.88 5,040.30 5,271.60 5.37 6 China 3,505.68 3,716.65 3,660.07 4,449.14 4.53 7 Germany 3,849.13 4,100.53 4,365.10 4,437.00 4.52 8 UK 3,707.57 3,782.90 3,096.68 3,137.74 3.20 9 Hongkong 2,472.44 2,685.91 2,734.49 3,118.58 3.18 10 Sweden 2,333.70 2,569.66 2,451.18 3,086.56 3.15 11 Lainnya 31,203.03 35,445.66 32,540.99 35,678.39 36.36 Total 89,281.19 96,872.50 89,183.52 98,115.95 100.00

Sumber: ITC Comtrade (2011), Kemendag (2011), (diolah)

Tabel 9 menunjukkan bahwa sepuluh negara importir perikanan dunia terdiri dari USA, Jepang, Spanyol, Prancis, Italia, Cina, Jerman, Inggris, Hongkong, dan Swedia. Negara lainnya yang termasuk dalam importir perikanan dunia umumnya dikuasai oleh negara-negara Uni Eropa. Lebih dari 70 persen nilai impor dunia telah terkonsentrasi pada tiga wilayah utama, yaitu: Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Importir terbesar dari Tabel 9 terlihat dikuasai oleh Amerika Serikat, namun jumlah ini tidak begitu jauh jika dibandingkan dengan Jepang yang juga berkontribusi di atas tiga belas persen terhadap impor perikanan dunia. Pada tahun 2002, melalui data FAO yang diacu dalam data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2009, Jepang pernah menjadi importir perikanan terbesar, yaitu dengan menguasai 22 persen dari nilai impor perikanan dunia. Uni Eropa tercatat tidak jauh berbeda dengan saat ini, dimana impor perikanannya dikuasai oleh Spanyol, Prancis, Italia, Jerman, dan Inggris.


(32)

32 5.2. Perkembangan Ekspor Produk Perikanan Indonesia

Berdasarkan data statistik ekspor hasil perikanan, selama sepuluh tahun terakhir (2001-2011) volume ekspor produk hasil perikanan Indonesia mengalami kenaikan volume yang cukup baik, namun mengalami penurunan pada tahun tertentu dimana salah satu penyebabnya karena terjadinya krisis keuangan di negara importir utama produk perikanan. Grafik perkembangan volume ekspor produk perikanan Indonesia ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Perkembangan Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Tahun 2001-2011 Sumber: BPS (2012), KKP (2012), (diolah)

Berdasarkan Gambar 2, total ekspor hasil perikanan Indonesia menunjukkan perkembangan yang sangat baik dari tahun 2001-2011. Meskipun pada tahun 2003-2009 mengalami fluktuasi yang stagnan, namun setelah tahun 2009 volume ekspor hasil perikanan Indonesia kembali meningkat mencapai 1,10 juta ton pada tahun 2010 dan 1,15 juta ton pada tahun 2011 dengan nilai sebesar US$ 2,8 miliar dan US$ 3,5 miliar. Dari total nilai hasil ekspor produk hasil perikanan Indonesia tahun 2011, 66 persen ekspor produk perikanan Indonesia masuk ke pasar tradisional yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Jumlah ini mengalami penurunan dibanding tahun 2010 yang mencapai 70 persen, namun mengalami peningkatan di pasar prospektif (Asia Tenggara dan Asia Timur) dan pasar potensial (Timur Tengah, Afrika, dan eks Eropa Timur) sebesar 34 persen pada tahun 2011.

487,116 565,739

857,783 907,970 857,922 926,478

854,328 911,674 881,413

1,103,576 1,159,349

200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Vo

lum

e

(T

o


(33)

33 Komoditas hasil produk perikanan Indonesia yang diekspor meliputi udang, tuna, ikan ekonomis penting lainnya (kerapu, kakap, tenggiri, tilapia, dll),

cephalopoda (squid, ocopus, cuttlefish), daging kepiting rajungan, kepiting,

rumput laut, teripang, dan lobster. Komoditas perikanan tersebut diolah menjadi produk perikanan (produk akhir) yang dapat dikelompokkan menurut proses penanganan dan atau pengolahannya sebagai berikut:

1) Produk hidup,

2) Produk segar (fresh product) melalui proses pendinginan,

3) Produk beku (frozen product) baik mentah (raw) atau masak (cooked) melalui proses pembekuan,

4) Produk kaleng (canned product) melalui proses pemanasan dengan suhu tinggi (sterilisasi) dan pasteurisasi,

5) Produk kering (dried product) melalui proses pengeringan alami, atau mekanis,

6) Produk asin kering (dried salted product) melalui proses penggaraman dan pengeringan alami, atau mekanis,

7) Produk asap (smoked product) melalui proses pengasapan, 8) Produk fermentasi (fermented product) melalui fermentasi, 9) Produk masak (cooked product) melalui pemasakan/pengukusan,

10) Surimi (based product) melalui proses leaching atau pengepresan (minced). Secara lebih detail, jumlah share ekspor produk hasil perikanan Indonesia berdasarkan kelompok komoditas tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 3.


(34)

34

Gambar 3. Share Ekspor Perikanan Indonesia Tahun 2010 Per Kelompok Komoditas.

Sumber: BPS (2011), (diolah)

Pada Gambar 3, diketahui bahwa share ekspor perikanan Indonesia berdasarkan kelompok komoditas didominasi oleh kelompok crustaceae (udang dan kepiting) yaitu sebesar 34,19 persen. Sisanya dipenuhi oleh kelompok ikan olahan (kalengan) 19,82 persen, ikan beku 11,87 persen, fillet dan daging ikan 9,32 persen, ikan segar atau dingin 8,50 persen, dan di bawah lima persen terdiri dari rumput laut, molusca, ikan kering, mutiara, ikan hidup, ikan hias, dan lainnya.

5.3. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia

5.3.1. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia di Pasar Internasional

Indonesia merupakan salah satu negara eksportir terbesar di dunia untuk komoditas udang. Berdasarkan total ekspor perikanan Indonesia tahun 2011, komoditas udang memberikan kontribusi hasil ekspor sebesar 37,19 persen dari total nilai ekspor perikanan Indonesia yang mencapai US$ 3,5 miliar (KKP, 2012). Perkembangan ekspor udang Indonesia menurut negara tujuan utama dapat dilihat pada Gambar 4.


(35)

35

Gambar 4. Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Menurut Pasar Utama Tahun 2005-2011

Sumber: BPS (2012), KKP (2012), (diolah)

Gambar 4 menunjukkan perbedaan kontribusi ekspor udang Indonesia di ketiga pasar utama tersebut, yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa tahun 2005-2011. Periode tersebut menunjukkan bahwa volume ekspor udang Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2008 yaitu sebesar 170,5 ribu ton dan terendah pada tahun 2010 yaitu sebesar 145 ribu ton. Jika dilihat menurut negara tujuan ekspornya, Amerika Serikat memberikan perkembangan yang baik sebagai importir udang Indonesia. Meskipun dalam periode tahun 2008-2010 mengalami penurunan yang cukup besar, namun pada tahun 2011 ekspor udang Indonesia ke Amerika Serikat kembali meningkat menjadi 70 ribu ton dengan nilai US$ 615 juta. Kondisi ini berbeda dengan periode 1993-2002, dimana Amerika Serikat sebagai tujuan utama ekspor dengan pangsa rata-rata 11,46 persen, berada jauh dibawah Jepang dengan rata-rata 57,34 persen (Aisya, et al. 2006). Peningkatan yang terjadi dalam periode ini didukung kuat oleh peningkatan konsumsi udang Amerika Serikat, dimana sejak periode tahun 1997-2005, kebutuhan Amerika Serikat untuk konsumsi rumah tangga tercatat sebesar 355.000 ton dan data statistik menunjukkan konsumsi udang Amerika Serikat selama kurun waktu tahun 1997-2000 rata-rata meningkat tujuh persen lebih tinggi dari konsumsi

0 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Vo

lum

e

(T

o

n)

Tahun

Jepang

Amerika Serikat Uni Eropa


(36)

36 tahun 1996 dan melewati rekor tertinggi sebelumnya sebesar dua persen (Infofish, 2003).

Perkembangan nilai ekspor udang Indonesia sama halnya seperti perkembangan volumenya yang berfluktuatif, namun nilai ekspor komoditas ini tidak selalu sejalan dengan perkembangan volumenya. Volume udang seperti yang disebutkan sebelumnya tertinggi pada tahun 2008, akan tetapi nilai ekspor tertingginya justru terjadi pada tahun 2011 yaitu senilai US$ 1,3 miliar, sedangkan pada tahun 2008 hanya US$ 1,1 miliar. Sementara itu, nilai ekspor terendah terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar US$ 948,1 juta. Fenomena ini menunjukkan bahwa nilai ekspor udang Indonesia secara implisit lebih respon terhadap perubahan harga udang dunia (Aisya, et al. 2006).

5.3.2. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa

Uni Eropa (UE) dengan 27 negara anggota saat ini menjadi pasar terbesar di dunia untuk komoditas perikanan. Penduduk yang diperkirakan mencapai hampir setengah miliar akan membutuhkan pasokan bahan pangan yang luar biasa. Diperkirakan konsumsi komoditas perikanan selama enam tahun terakhir mengalami pertumbuhan sebesar 18 persen (Purnomo, 2007a). Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang banyak masuk ke Uni Eropa adalah udang. Perkembangan volume ekspor udang selama 12 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Perkembangan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa Tahun 2000-2011.

Sumber: KKP (2012), (diolah)

17,734 20,056 16,140

23,689

26,317 27,775 31,016

28,845 27,834 23,689

13,383 16,659

0 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Vo

lum

e

(T

o

n)


(37)

37 Produk udang yang diekspor ke Uni Eropa terdiri dari bentuk segar (fresh

atau chilled), bentuk beku (frozen), dan bentuk olahan (preserved) baik dalam

kemasan kedap udara (in airtight containers) maupun kemasan tidak kedap udara

(in not airtight containers). Volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa

didominasi oleh udang beku dan segar.

Uni Eropa setiap tahunnya mengimpor udang tidak kurang dari 300 ribu ton dan merupakan pasar udang terbesar bersama Jepang dan Amerika Serikat, namun selama periode tahun 2000-2011 (Gambar 5), ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa tidak pernah berkontribusi lebih dari 10 persen kebutuhan impor udang Uni Eropa. Meskipun demikian, jika dilihat perkembangan pada periode 1974-1999, volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa telah menunjukkan peningkatan yang sangat baik, dimana pada periode tersebut meningkat sebesar 2.545,46 persen yaitu dari 0,55 ribu ton menjadi 14,55 ribu ton (DKP 2009). Hingga periode 2011 ini, volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa tertinggi berada pada tahun 2006 yaitu sebesar 31 ribu ton. Importir udang terbesar di pasar Uni Eropa ini adalah Spanyol, Inggris, dan Perancis.

Penurunan volume ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa dalam lima tahun terakhir ini, menurut Yusuf dan Tajerin (2007) disebabkan oleh melemahnya harga rata-rata udang di pasar internasional sebagai akibat dari lonjakan produksi, terutama udang vannamae. Disamping itu, banyak muncul berbagai hambatan perdagangan perdagangan yang bernuansa tarif seperti isu “dumping” dan hambatan-hambatan nontarif seperti bioterrorism act, traceability, zero tolerance terhadap residu antibiotik, isu lingkungan, dan sebagainya.


(38)

VI PENERAPAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DI UNI EROPA DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKSPOR UDANG INDONESIA

6.1. Kebijakan Perdagangan Internasional

Pada dasarnya, suatu kebijakan yang ditetapkan berdasarkan suatu kesepakatan adalah untuk melindungi pihak tertentu sebagai pelaku perdagangan. Koo dan Kennedy (2005) juga mengatakan bahwa beberapa negara yang menggunakan bermacam-macam kebijakan perdagangan adalah untuk melindungi industri yang tidak efisien. Suatu kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi tertentu akan menjadi hambatan bagi pihak lain jika tidak dapat memenuhi kebijakan tersebut. Dalam bidang perdagangan internasional dikenal adanya hambatan-hambatan perdagangan atau trade barriers yang dapat digolongkan menjadi tiga bidang yaitu tariff barrier, non tariff barrier, dan administrative barrier.

Tariff barrier adalah kebijakan penetapan kuota dan tarif bea masuk oleh

suatu negara pengimpor terhadap suatu produk tertentu. Non tariff barrier merupakan standar internasional dalam food safety sebagaimana dirumuskan oleh

Codex Alimentarius Commission yaitu suatu badan internasional antarnegara.

Persyaratan yang penting antara lain adalah konsep HACCP (Hazard Analysis

Critical Control Point) sebagai instrumen untuk mengaplikasikan SPS (Sanitary

and Phytosanitary Agreement) dimana untuk dapat memenuhi standar tersebut

dibutuhkan biaya yang besar yang nantinya akan menambah biaya produksi. Selain itu, dalam technical barrier yang menetapkan health and sanitary

regulations, setiap negara memiliki standar yang berbeda-beda kriteria atau

ambang batasnya. Sedangkan yang termasuk dalam administrative barrier adalah

health certificate dari competent authority negara pengekspor dan ecolabelling

yang bertujuan untuk mempromosikan ramah lingkungan. Menurut Pruto (2001), salah satu kelompok perjanjian internasional yang berpengaruh langsung bahkan cenderung mengatur mekanisme perdagangan komoditas perikanan di pasar internasional tentang perdagangan adalah perjanjian General Agreement on Tariff

and Trade (GATT oleh WTO), dimana terdapat perjanjian Agreement on Sanitary

and Phytosanitary Measures (SPS), dan Agreement on Technical Barrier on


(39)

39 6.1.1. Penerapan Kebijakan Hambatan Tarif di Uni Eropa

Penetapan kuota dan tarif bea masuk merupakan kebijakan tarif yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Semua tarif produk perikanan Uni Eropa telah ditetapkan dalam Persetujuan Umum Perdagangan dan Tarif atau General

Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang sekarang digantikan oleh Organiasi

Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO). Tujuan utama dibentuknya GATT/WTO adalah:

1) Liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan volume perdagangan dunia sehingga produksi meningkat.

2) Memperjuangkan penurunan dan bahkan penghapusan hambatan-hamban tarif bea masuk (tariff barrier) maupun hambatan lainnya (non tariff barrier). 3) Mengatur perdagangan jasa yang mencakup tentang intellectual property

rights dan investasi.

Penetapan tarif bea masuk yang ditetapkan oleh ketiga importir terbesar dunia perlu diketahui untuk melihat dan membandingkan penerapan yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan negara lainnya. Tarif bea masuk yang dikenakan Amerika Serikat pada produk udang yang tidak di olah (beku, direbus, digarami, dan dikeringkan) adalah nol persen atau free. Untuk produk udang olahan, tarif bea masuk yang dikenakan adalah lima persen sampai sepuluh persen, bahkan kadang udang diterapkan “special rate” yang lebih tinggi yaitu 20 persen. Sebelum Indonesia bergabung dalam EPA (Economic Partnership

Agreement) tahun 2007, tarif umum yang ditetapkan Jepang pada komoditas

udang olahan adalah sebesar 4,8 - 6 persen sementara tarif dari WTO diwajibkan sebesar 4,8 - 5,3 persen. “Special rate” yang diberikan negara Jepang untuk produk olahan sebesar 3,2 persen, tetapi untuk produk olahan yang termasuk kategori “other” diberikan tarif nol persen atau free. Setelah Indonesia bergabung dalam EPA, penetapan tarif yang diberlakukan Jepang untuk produk udang olahan Indonesia adalah free. Untuk produk udang non olahan (beku, direbus, digarami, dan dikeringkan) juga diberikan tarif bea masuk nol persen atau free.

Penerapan tarif bea masuk produk perikanan ke negara-negara Uni Eropa berkisar nol persen untuk belut hidup (live eels) sampai 25 persen untuk produk kaleng (canned mackerel, bonito and anchovies). Secara umum, tingkat tarif yang


(1)

71 Lampiran 2. Alur Prosedur Ekspor Hasil Perikanan

Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri, KKP 2012. Perikanan

Tangkap/Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan:

 IUP  SIUP

Kementerian Kehutanan/KKP CITES

Kementerian Perdagangan/Dinas Perdagangan Certificate of Origin

Kementerian Keuangan via Ditjen Bea & Cukai Pemberitahuan Ekspor Barang

Ijin Usaha (Dinas KP Prov/Kabupaten/Kota

Pengembangan Traceability

 Pengendalian di rantai supplai bahan baku: register supplier bahan baku

Eksportir:

Trader/Forwarder Produsen/

Establishments

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP):

Sertifikat Kelayakan Pengolahan – (PRG/GMP) – P2HP Sertifikasi HACCP-based Integrated Quality Management

Program –BKIPM

Approval Number for EU-BKIPM

List of Establishment/exporter - Korea, China, Rusia, Kanda. Catch Certification (EU) since 1 January 2010 DJPT

CDS untuk SBT (DJPT)

LPPMHP, Diskanla Provinsi/Kabupaten

Health Certifiate for sanitary measure of fishery product DS 2031 (for USA)

Stasiun Karantina Ikan (Pusat Karantina Ikan – BKIPM) Health Certificate for phytosanitary measures of live

fish/seed

EKSPOR

Verifikasi/Validasi/Kotrol


(2)

72 Lampiran 3. Dokumen dalam Perdagangan Internasional Hasil Perikanan

Menurut Direktorat Pemasaran Luar Negeri, KKP (2010), jenis dokumen sebagai persyaratan ekspor dan lembaga yang menerbitkan dokumen dapat dilihat sebagai berikut:

1) Produsen

 Kontrak Penjualan

Manufacturer Certificate

 Instruktur Manual  Brosur

2) Eksportir  Brosur

Offersheet

Sale’s Contract

Invoice

Consular Invoice

Packing List

Weight Note – Measuement List

Etter of Indemnity

Letter of Subrogation

 Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)  Pemberitahuan Ekspor barang Tertentu 3) Bank

 Akad Kredit

Letter of Credit

 Surat Setoran Pajak (SPP)  Surat Setoran Bea Cukai (SSBC)

 Nota Perhitungan Pembayaran Wesel Ekspor

4) Balai/Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan

Health certificate atau sertifikat kesehatan produk perikanan eskpor untuk tujuan konsumsi manusia


(3)

73  Health certificate atau sertifikat kesehatan produk perikanan ekspor

untuk hama dan penyakit ikan atau media pembawanya 6) Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan

 Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP)

7) Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.  Surat Keterangan Audit Verifikasi penerapan HACCP

Approval number khusus untuk ekspor ke Uni Eropa

8) Usaha Jasa Transportasi (Freight Forwarder)

Packing List

Measurement List

Weight Note

9) Bea dan Cukai

 Fiat (izin) muat barang

10) Independent Surveyor

Certificate of Quality

Certificate of Weight

Chemical Analysis

Survey Report

Inspection Certifcate

Test Certificate

11) Perusahaan Asuransi

Cover Note

Insurace Policy

12) BPEN, CBI, dan SIPPO

General Information

Trade Promotion and Exibithion

Trade Mission

Trade Fairs

Trade Consultation

13) Perusahaan Pelayaran (Shipping Company)


(4)

74

Bill of lading

Exept Bewijs (EB)

Cllaims Constatering Beweijs (CCB)

14) Angkutan Udara

Airways Bill (AWB)

15) Dinas Perdagangan Provinsi  Kuota produk perikanan

 Surat Keterangan Negara Asal (SKA) atau Certificate of Origin)

 Angka Pengenal Ekspor (APE)

 Angka Pengenal Impor umum (API-U)

 Angka Pengenal Impor – Terdaftar (Approved Traders)

16) Kantor Inspeksi Pajak

 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 17) Kedutaan Negara Asing

Consular Invoice


(5)

ii RINGKASAN

SAMUEL CHRISTIAN NABABAN. Penerapan Kebijakan Perdagangan Internasional di Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan ANDRIYONO KILAT ADHI).

Udang sebagai salah satu komoditas utama ekspor perikanan Indonesia telah memberikan kontribusi paling besar dibandingkan dengan hasil sumberdaya laut lainnya. Meskipun jumlah eskpor udang Indonesia masih tergolong fluktuatif, namun udang tetap menjadi salah satu komoditas andalan ekspor perikanan Indonesia. Dalam perdagangan yang telah dilakukan, banyak negara-negara importir memberikan batasan dan aturan yang pada dasarnya untuk melindungi konsumen dari setiap komoditas yang akan diimpor. Uni Eropa sebagai salah satu impotir terbesar dunia akan produk udang memiliki pola perdagangan yang jauh lebih kompleks dan rumit jika dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi kebijakan perdagangan di Uni Eropa yang menghambat kinerja ekspor udang Indonesia, (2) menganalisis kasus

notification oleh European-RASFF terhadap produk ekspor udang Indonesia atas kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa, dan (3) mendeskripsikan kebijakan pemerintah dalam penanganan kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa untuk meningkatkan kinerja ekspor udang Indonesia. Kajian penelitian ini dilakukan menggunakan data sekunder dalam skala nasional dan internasional dengan menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif. Kajian terhadap ekspor udang Indonesia dilakukan dengan memperbandingkan kontribusi ekspor udang Indonesia ketiga negara tujuan utama ekspor. Tahun 2005-2011 menunjukkan perbedaan kontribusi ekspor udang Indonesia di ketiga pasar utama, yaitu: Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Pada periode tersebut ekspor udang Indonesia di Amerika Serikat memberikan trend peningkatan yang baik, berbeda dengan Jepang dan Uni Eropa yang perlahan mengalami penurunan. Hasil kajian dari tahun 2006 menggambarkan kinerja ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa mengalami penurunan yaitu dari 31,016 ton pada tahun 2006 menjadi 13,383 ton pada tahun 2010.

Indonesia sebagai salah satu eksportir utama udang ke Uni Eropa diberikan kebijakan-kebijakan khusus terkait Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT) yang penerapannya dapat dikelompokkan menjadi tarif, nontarif, dan administratif. Berdasarkan analisis deskriptif, tarif yang ditetapkan Uni Eropa bagi produk udang Indonesia tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara tujuan ekspor lainnya yang pada umumnya menetapkan tarif free. Penerapan tarif yang diberikan Uni Eropa tidaklah adil bagi Indonesia dan sangat diskriminatif. Indonesia perlu melakukan trade creation

antara Indonesia dengan Uni Eropa yang nantinya akan memberikan produk ekspor perikanan Indonesia yang masuk ke Uni Eropa dikenakan tarif yang berbeda dengan negara-negara di luar kerja sama antara Indonesia dan Uni Eropa. Kebijakan nontarif dan administratif yang memberatkan Indonesia untuk meningkatkan nilai ekspor produk perikanannya ke Uni Eropa adalah CD 2010/220 dan catch certification untuk perikanan tangkap. Adanya ketetapan zero tolerance dari Uni Eropa perlu dicermati dan diadopsi sebagai standar mutlak bagi


(6)

iii pelaku eksportir udang di Indonesia dengan penanganan intensif setiap tahapan dalam budidaya udang baik di tingkat petambak/pembudidaya hingga unit pengolah yaitu dengan melakukan farm registration, farm inspection, feed quality control, farm monitoring, dan raw materials control.

Melalui data kasus notification selama tahun 2004-2011, tercatat bahwa Indonesia mengalami kasus notification dari European-RASFF sebanyak 149 kasus dengan 169 alasan penolakan untuk produk ikan dan 34 kasus dengan 37 alasan penolakan untuk produk udang. Notification yang diterima oleh Indonesia adalah karena melebihi batas kandungan maksimum logam berat dan histamin untuk produk ikan dan mengandung antibiotik untuk produk udang. Perkembangan kasus penolakan produk perikanan khususnya udang yang dialami Indonesia sudah mengalami penurunan setiap tahunnya. Produk udang dari tahun 2009-2011 sudah tidak terdeteksi lagi adanya kandungan antibotik

Menurunnya kasus penolakan produk perikanan di Uni Eropa dalam lima tahun terakhir telah menunjukkan kinerja yang baik bagi pelaku eksportir dalam memenuhi persyaratan yang diterapkan oleh Komisi Eropa. Hal ini juga tidak terlepas dari peran pemerintah yang juga menerapkan kebijakan dan peraturan dalam merespon setiap regulasi ataupun peraturan yang ditetapkan Uni Eropa. Penetapan peraturan tambahan dalam peningkatan mutu dan keamanan hasil perikanan Indonesia oleh Menteri Kelautan dan Perikanan terutama mengenai Organisasi dan Tata Kerja Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan diharapkan dapat melakukan pembinaan yang baik terhadap seluruh stakeholder

melaui BKIPM sebagai Competent Authority. Selain itu, penetapan mekanisme pelaksanaan NRCP (National Residu Control Plan) yang dikeluarkan oleh Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan dalam rangka memenuhi pemberlakuan ketentuan zero tolerance telah menunjukkan progres yang baik. Hal ini terbukti tidak ditemukan lagi adanya kandungan antibiotik terlarang seperti

chloramphenicol dan nitrofuran oleh European-RASFF terhadap komoditas udang asal Indonesia. Kondisi ini diharapkan dapat dipertahankan, sehingga pada tahun selanjutnya volume ekspor udang Indonesia dapat memenuhi target yang sudah ditetapkan.