43
6.1.2. Penerapan Kebijakan Hambatan Nontarif di Uni Eropa
Semua kebijakan ekspor yang tidak berkaitan dengan pengenaan pajak atau pungutan impor dan menjadi hambatan bagi pelaku eksportir dapat
dimasukkan ke dalam hambatan nontarif yang ternyata menjadi hambatan paling dominan. Kesepakatan akan konsep Sanitary and Phytosanitary SPS yang
mecakup keamanan pangan food safety attributes dan kandungan gizi nutrion attributes
yang ditetapkan oleh Komisi Eropa bila tidak dipenuhi, produk udang Indonesia akan mengalami banyak hambatan yang akhirnya berakibat penolakan
dengan alasan non tariff barrier to trade. Hambatan nontarif ini pada hakekatnya menjadi hambatan utama dan sering melebar ke berbagai hal Purnomo, 2007b.
Perhatian utama Uni Eropa saat ini berada pada bahan pangan yang masuk ke Uni Eropa. Menerapkan persyaratan mutu bagi produk yang diimpor sudah menjadi
hak importir dalam menjamin dan melindungi keselamatan konsumen. Ketentuan- ketentuan dari kelompok negara di Uni Eropa dapat yang diidentifikasikan
sebagai hambatan nontarif adalah sebagai berikut: 1
Kondisi kesehatan dalam produksi dan penempatan di pasar-pasar produk perikanan.
2 Peraturan syarat hygiene minimum yang harus diterangkan pada produk
perikanan tangkap di tempat-tempat pelabuhan kapal perikanan. 3
Pengaturan maksimal kontaminasi-kontaminasi makanan. Kebijakan terkait nontarif yang diterapkan Uni Eropa untuk produk udang
sebagian besar sama dengan peraturan yang diterapkan untuk produk perikanan lainnya khususnya mengenai standar kesehatan, keselamatan konsumen, dan
perlindungan bagi kelestarian lingkungan. Dewasa ini, perhatian publik di negara maju terhadap sanitary dan hygene produk pangan telah meningkat Ahmed,
2006. Hal ini menyebabkan negara pengimpor negara maju melakukan pengetatan atas aturan keamanan produk yang diimpor. Negara-negara
berkembang seperti Indonesia sering mengeluhkan terkena dampak aturan sanitary and phytosanitary
yang ketat dari negara-negara pengimpor utama. Daftar kebijakan nontarif di Uni Eropa yang berpengaruh terhadap produk udang
dapat dilihat pada Tabel 11.
44
Tabel 11. Inventarisasi Kebijakan Nontarif Uni Eropa yang Berpengaruh
Terhadap Produk Ekspor Udang Indonesia
No Regulasi
Deskripsi
1. Council Directive
91493EEC
Mengatur mengenai kondisi kesehatan untuk produk dan pemasaran produk
perikanan
Ketentuan bagi negara dunia ketiga harus mempunyai sistem yang setara dengan
yang ada di UE agar adapat melakukan ekspor hasil perikanan ke Uni Eropa.
2. Council Directive
No. 9248EEC Menenai ketentuan batas minimum higien untuk produk perikanan
3. Regulasi EC No. 4462001 8
Maret 2001 Menetapkan taraf maksimum bagi pencemar
tertentu dalam bahan pangan. 4.
Regulasi EC No. 1782002 dari Dewan dan Parlemen Eropa 28
Januari 2002 Prinsip-prinsip umum
dan persyaratan
hukum pangan,
pembentukan otoritas
keamanan pangan eropa dan penetapan prosedur yang terkait dengan keamanan
pangan 5.
Regulasi EC No. 8522004 29 April 2004
Regulasi ini merupakan ratifikasi SPS
dari WTO dan standar keamanan pangan internasional
yang memuat
Codex Alimentarius
.
Persyaratan umum produksi primer, persyaratan teknis, HACCP, pendaftaran
pengakuan usaha makanan, petunjuk nasional untuk praktik yang baik.
6. Regulasi EC No. 8532004 29
April 2004 Aturan higienis yang spesifik untuk makanan
dari asal hewan pengakuan dari perusahaan, kesehatan, dan identifikasi pendanaan,
impor, informasi rantai pangan
7. Regulasi EC No. 8542004 29
April 2004 Aturan khusus bagi organisasi pengawasan
resmi atas produk asal hewan yang dimaksudkan untuk konsumsi manusia.
8. Regulasi EC No. 20732005 15
November 2005 Kriteria mikrobiologis untuk bahan pangan
9. Commission Decision
2006236EC 21 Maret 2006 Kondisi khusus untuk produk perikanan asal
Indonesia dan
yang ditujukan
untuk konsumsi manusia dan mengatur systemic
border control yaitu mengecek setiap
consignmentcontainer di setiap port entry
10. Commission Decision 2008660EC 31 Juli 2008
Mengubah keputusan dari CD 2006236EC menjadi persyaratan untuk uji produk
perikanan yang berasal dari Indonesia untuk keberadaan logam berat dan histamin pada
produk tangkap
11. Commission Decision 2010220EU 16 April 2010
Mewajibkan uji sampel terhadap paling sedikit 20 persen dari produk perikanan
budidaya di semua pelabuhan pintu masuk ke Eropa
Sumber: KKP 2011, Commission Decision 2012, diolah
45 Regulasi yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa European Commission
pada Tabel 11 secara umum diberlakukan dua puluh hari setelah diterbitkan dalam Official Journal
OJ. European Commision adalah lembaga eksekutif pemerintah Uni Eropa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan peraturan Uni Eropa
kepada dewan dan parlemen Eropa, termasuk di dalamnya peraturan mengenai pengawasan mutu dan keamaan pangan EU, 2010
Menurut Ababouch 2006 yang diacu dalam Lambaga 2009, peraturan yang disyaratkan negara importir seringkali menjadi penghambat dalam
perdagangan. Negara berkembang yang umumnya merupakan eksportir utama produk perikanan seringkali dihadapkan pada penolakan akibat kompleksitas
program sanitasi dan persyaratan mutu dari negara tujuan eskpor. Selain itu, tidak harmonisnya standar dan sistem yang digunakan pada negara tujuan eskpor juga
menghambat perdagangan internasional. Uni Eropa memberlakukan persyaratan mutu yang lebih ketat terhadap produk perikanan budidaya. Sesuai dengan EC
Food Law No. EC2002178 dan EU Regulation No. 237790 tentang Regulation
on Residue Control and Monitoring of Aqualucture Products, maka semua negara
eksportir produk perikanan budidaya diwajibkan untuk menyampaikan laporan hasil monitoring residu obat-obatan dan antiobiotik kepada Directorate General
of Health and Consumer Protection DG Sanco secara rutin setiap tahun.
Peraturan tersebut pun terus berkembang menjadi ketentuan zero tolerance terhadap residu antibiotik untuk setiap perikanan budidaya yang akan masuk ke
Uni Eropa. Kunci pokok regulasi yang ditetapkan Komisi Eropa menitikberatkan pada
perlindungan konsumen tingkat tinggi terkait standar mutu dan keamanan pangan di Uni Eropa yaitu EC No. 1782002 tentang persyaratan mutu undang-undang
pangan secara prosedur keamanan pangan. Hal ini juga dikatakan oleh Painthe 2008 dalam penelitiannya. Saat peraturan tersebut dikeluarkan, salah satu
kebijakan yang cukup signifikan mempengaruhi perkembangan impor pangan Uni Eropa adalah diterapkannya Rapid Alert System for Food and Feeds RASFF.
Pengaruh ini berdampak kepada peredaran produk negara eksportir di Uni Eropa. RASFF merupakan jejaring kerja dalam sistem siaga cepat untuk pemberitahuan
risiko langsung atau tak langsung pada kesehatan manusia yang berasal dari
46 pangan atau pakan. Melalui RASFF yang diacu dalam Saputra 2011, produk
pangan Indonesia yang teridentifikasi membahayakan kesehatan di Eropa akan menerima tiga notification yaitu alert notification, information
notification, dan border rejection notification . Alert notification merupakan
sebuah “pemberitahuan peringatan” atau peringatan yang dikirim melalui RASFF ke negara anggota apabila pangan atau pakan memiliki risiko serius di pasar atau
ketika tindakan cepat diperlukan, sedangkan information notification merupakan sebuah “pemberitahuan informasi” menyangkut suatu pangan atau pakan di pasar
negara yang memberitahukan dimana risiko telah diidentifikasi dan tidak memerlukan tindakan cepat. Border rejection notification merupakan notification
untuk produk pangan yang teridentifikasi membahayakan sebelum masuk ke pasar Eropa atau mengalami penolakan di Eropa.
Peraturan lain pada EC8532004 yang juga dikeluarkan oleh Komisi Eropa, menempatkan persyaratan kesehatan makanan untuk produk yang berasal
dari hewan, mencakup sistem prosedur HACCP. Aturan ini memberikan tanggung jawab pada produsen pangan utama untuk keamanan pangan melalui pengecekan
sendiri dan teknik pengendalian terhadap bahaya. Peraturan ini diberikan karena pengembangan budidaya produk perikanan, khususnya udang, hanya
mengutamakan peningkatan produksi dan menyampingkan aspek mutu dan keamanan pangan, padahal menurut Putro 2008 produk udang budidaya sangat
rentan terhadap
kontaminasi bakteri-bakteri
patogen maupun
residu antibiotikobat-obatan dan pestisida yang membahayakan kesehatan konsumen.
Oleh karena itu, ditetapkannya konsep HACCP oleh Komisi Eropa juga perlu diterapkan dalam industri udang nasional dalam standardisasi budidaya untuk
mencegah residu obat-obatan dan kontaminasi berbagai senyawa kimia dalam produk udang budidaya, serta mencegah terjadinya kontaminasi mikrobiologi
ketika udang dibudidayakan di kolamtambak maupun di tempat pengolahan menjadi produk beku untuk di ekspor.
Berdasarkan peraturan atau regulasi yang ditetapkan oleh Uni Eropa sebagai hambatan nontarif Tabel 11, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan
menetapkan kewajiban dasar bagi pengolah, buyer, dan competent authority dari negara pengekspor yang akan melakukan ekspor produk udang ataupun produk
47 perikanan lainnya ke Uni Eropa untuk memenuhi persyaratan-persyaratan
tersebut, diantaranya: 1
Pengolah Unit pengolahanperusahaaneksportir harus menerapkan dan memantau kegiatan pengolahan berdasarkan:
a. Article 3 sampai 6 dari EC 8522004, secara umum kewajiban bagi
perusahaan untuk mengawasi atau memonitor keamanan pangan produk dan proses pengolahan yang menjadi tanggung jawabnya.
b. Menerapkan keadaan umum hygienic primary production article 4.1 dan
PART A annex I dari EC 8522004. c.
Menerapkan detail detail requirements setelah primary production article 4.2 dan Annex II EC 8522004.
d. Persyaratan Mikrobiologi pada Article 4.3 EC 8522004 dan EC No.
20732005. e.
Menerapkan prosedur prinsip-prinsip HACCP article 5 dari EC 8522004
. f.
Unit pengolah harus teregistrasi sesuai article 6 dari EC 8522004. 2
BuyerImporter food business operators importing products melaksanakan pengawasan sesuai dengan persyaratan EC 8532004, dan harus menjamin
bahwa produk-produk tersebut telah memiliki dan menerapkan sistem penanganan pengolahan yang sehat dan produk tersebut diperiksa di border
inspection posts .
3 Pemerintah competent authority di negara pengekspor berkewajiban:
a. Competent authority melakukan pengawasan official control yang
memenuhi kriteria yang tercantum dalam EC 8822004 b.
Competent authority mengawasi perusahaan yang diberi wewenang untuk ekspor ke Uni Eropa agar tetap memenuhi European Community
Requirements c.
Competent authority
mempertahankan, memperbaharui,
dan mengkomunikasikan kepada Komisi Eropa mengenai perusahaan yang
tidak memenuhi atau tidak lagi memenuhi European Community Requirements. Compentent authority
melakukan ini sesuai dengan Article 12 paragraf 2 EC 8542004.
48 d.
Sertifikat-sertifikat yang dipersyaratkan harus diterbitkan sebelum pengapalan atau meninggalkan pelabuhan.
Kewajiban lain dapat diterapkan seiring dengan perkembangan kebijakan yang diberikan oleh Komisi Eropa dalam memberikan regulasi bagi negara-negara
eksportir. Pada tahun 2008, Komisi Eropa menetapkan kebijakan CD 2008660EC
dimana keputusan dari CD 2006236EC tidak hanya mengatur systemic border control
yang mengecek setiap consignmentcontainer di setiap port entry, melainkan menjadi persyaratan untuk uji produk perikanan yang berasal dari
Indonesia untuk keberadaan logam berat dan histamin pada produk perikanan tangkap. Kebijakan yang ditetapkan Komisi Eropa mengharuskan eksportir
Indonesia melakukan pengujian terhadap setiap komoditas perikanan. Kebijakan yang diterapkan Uni Eropa ini secara nyata juga menyebabkan volume ekspor
produk perikanan Indonesia khususnya tuna sebagai produk perikanan tangkap mengalami penurunan sejak diberlakukannya kebijakan tersebut yaitu dari 12,610
ton pada tahun 2007 menjadi 12,132 ton pada tahun 2008. Meskipun pada tahun berikutnya terjadi kenaikan volume menjadi 13,370 ton, namun pada tahun 2010
kembali mengalami penurunan menjadi 8,434 ton. Regulasi yang ditetapkan oleh Komisi Eropa terhadap produk perikanan
Indonesia, pada dasarnya telah membawa para pelaku eksportir untuk meningkatkan kualitasnya. Keseriusan pelaku eksportir tersebut telah didukung
oleh pemerintah Indonesia dalam pemenuhan standardisasi yang ditetapkan Uni Eropa. Pada tanggal 15 Maret 2010 melalui CD 2010219EU, Komisi Eropa
mencabut CD 2006236EC dan CD 2008660EC untuk uji logam berat dan histamin pada produk perikanan tangkap. Pencabutan ini didasari karena hasil tes
yang dilakukan Komisi Eropa terhadap produk perikanan di Indonesia tidak melebih tingkat maksimum kandungan logam berat dan histamine. Oleh karena
itu, setiap kali pengiriman produk perikanan ke Uni Eropa tidak perlu dilakukan tes uji logam berat dan histamin. Pada tahun 2011, pencabutan peraturan tersebut
membuat para pelaku ekspor perikanan tangkap kembali mengekspor secara besar-besaran ke Uni Eropa, sehingga terjadi peningkatan volume ekspor untuk
produk perikanan tangkap seperti tuna, yakni dari 8,434 ton menjadi 30,134 ton.
49 Hingga saat ini, kebijakan nontarif untuk produk ekspor perikanan
Indonesia ke Uni Eropa diberatkan oleh ketentuan yang diterapkan Komisi Eropa dalam CD 2202010. Kebijakan yang ditetapkan Uni Eropa memberikan dampak
yang berbeda untuk setiap produk perikanan, khususnya udang yang adalah produk perikanan budidaya. Peraturan CD 2202010 ini mewajibkan uji sampel
bebas antibiotik terhadap paling sedikit 20 persen dari produk perikanan budidaya di semua pelabuhan pintu masuk ke Eropa. Kebijakan ini didasari karena
ditemukannya kandungan antibiotik pada penjual pakan ikan yang berada sekitar tempat budidaya perikanan Indonesia. Kewajiban uji atas produk ekspor
perikanan budidaya dapat mengancam daya saing ekspor dan mengurangi pendapatan negara dari produk udang yang biasanya diekspor ke Uni Eropa..
Berdasarkan data statistik ekspor udang Indonesia ke Uni Eropa, terbukti bahwa pada tahun 2010 volume ekspor udang Indonesia mengalami penurunan
sebesar 43,51 persen. Penurunan ini terjadi selain karena produksi rendah pada tahun tersebut, adalah akibat kebijakan yang diterapkan oleh Uni Eropa dalam CD
2202010. Peraturan ini mewajibkan sampel yang diperiksa diambil 20 persen dari total volume udang yang diekspor. Oleh sebab itu, jika ada lima kontainer udang,
maka satu kontainer harus diperiksa. Satu kontainer biayanya bisa mencapai 3.500 euro dan ditanggung sendiri oleh eksportir. Akibatnya, pengusaha atau pelaku
ekspor harus menanggung beban dengan mengurangi margin keuntungan
4
. Hal ini berarti kewajiban untuk uji sampel bebas antibiotik mengharuskan para pengusaha
ekspor membayar lebih untuk setiap kontainer yang diuji, sehingga untuk mengimbangi biaya pengujian yang ditetapkan Uni Eropa, pengusaha ekspor
Indonesia bisa saja melakukan kenaikan harga ekspor. Namun, menurut Darmawan 2011 sebagai Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran
Produk Perikanan Indonesia AP5I, kenaikan harga ekspor udang hampir tidak mungkin dilakukan Indonesia karena akan sulit bersaing dengan produk udang
dan perikanan lainnya dari Thailand dan Vietnam yang juga menjadi pemasok terbesar ekspor perikanan di Asia Tenggara. Selain itu, produk perikanan dari
kedua negara itu pun tidak dikenai kewajiban pemeriksaan residu antibiotik seperti Indonesia. Kewajiban uji sampel bebas antibiotik menjadi alasan kuat
4
http:www.bbrse.kkp.go.id. Ekspor Udang ke Uni Eropa Bakal Turun 11 persen. Diakses tanggal 20 Mei 2012.
50 banyaknya pelaku eksportir yang mengganti tujuan ekspornya ke negara lain,
sehingga pada tahun 2010 terjadi penurunan volume ekspor udang ke Uni Eropa dibandingkan tahun sebelumnya.
Berdasarkan analisis deskriptif tentang penerapan kebijakan Uni Eropa terhadap seluruh produk perikanan yang diimpor, seluruh kebijakan nontarif oleh
Uni Eropa haruslah dipenuhi oleh seluruh eksportir karena menyangkut kesehatan dan keamanan konsumen. Meskipun kebijakan yang ditetapkan oleh Uni Eropa
sangat ketat terhadap produk perikanan, khususnya udang yang adalah produk perikanan budidaya, namun pasar Eropa masih tetap prospektif untuk terus
dimasuki oleh negara-negara pengekspor udang di dunia seperti Indonesia. Ketetapan adanya zero tolerance yang diangkat oleh Uni Eropa terhadap produk
udang budidaya akan antibiotik seharusnya tidaklah menjadi masalah bagi pelaku- pelaku eksportir jika ingin memasuki pasar Eropa. Bagi Indonesia, adanya zero
tolerance harusnya membawa seluruh stakeholder untuk mencermati secara
intensif setiap tahapan dalam budidaya udang di tingkat petambakpembudidaya hingga unit pengolah.
6.1.3. Penerapan Kebijakan Adminstratif di Uni Eropa