Implementasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan (Studi Pada Kantor BPN Propinsi Sumatera Utara)
DAFTAR PUSTAKA
Bagong, Suyanto dan Sutinah. 2007. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Bungin, Burhan. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana.
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, ed. 2. Yogyakarta: Gajah Mada Unversity Press.
Effendi, Sofian. 2012. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik: Berbasis Dynamic Policy Analysis. Yogyakarta: Gava Media.
Indrarti, Maria Farida. 2011. Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan) (Yogyakarta: Kanisius) hal. 184-185.
Moleong, L.J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tangkilisan, Hesel Nogi. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: YPAPI.
Wahab, Solichin Abdul. 2001. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Malang: UMM Press.
Wibawa, Samodra, dkk.1994. Evaluasi kebijakan Publik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.
Sumber Perundang-undangan
Surat Keputusan Kepala BPN RI nomor 59 Tahun 2008 Lambang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Peraturan Kepala BPN RI No.3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960
(2)
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011Tentang Kode Etik Pelayanan Publik dan Penyelenggara Pelayanan Publik di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Peraturan Kepala BPN RI No.3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan, Pengkajian dan
(3)
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 3.1. Gambaran Umum Pemerintah Propinsi Sumatera Utara
3.1.1. Visi dan Misi Propinsi Sumatera Utara
Adapun yang menjadi visi Propinsi Sumatera Utara 2014-2018 adalah Menjadi propinsi yang berdaya saing menuju Sumatera Utara sejahtera. Sementara itu terkait misi Propinsi Sumatera Utara 2014-2018 mengacu pada lima (5) poin diantaranya yaitu ;
Pertama adalah Membangun sumber daya manusia yang memiliki integritas dalam berbangsa dan bernegara, religus dan berkompetensi tinggi. Kedua, Membangun dan meningkatkan kualitas infrastruktur daerah untuk menunjang kegiatan ekonomi melalui kerjasama antar daerah, swasta, regional dan internasional.
Ketiga, Meningkatkan kualitas standar hidup layak, kesetaraan dan keadilan serta mengurangi ketimpangan antar wilayah. Keempat, Membansgun dan mengembangkan ekonomi daerah melalui pengolaan sumber daya alam lestari berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dan yang terakhir adalah Reformasi birokrasi berkelanjutan guna mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik dan bersih (good governance dan clean governance).
(4)
3.1.2 Struktur Organisasi
Unsur penyelenggara pemerintahan daerah Provinsi Sumatera Utara terdiri dari Gubernur sebagai Kepala Daerah bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara. Dalam menjalankan tugasnya, Gubernur dibantu oleh Wakil Gubernur yang bertanggung jawab kepada Gubernur. Adapun tugas tugas dan wewenang gubernuradalah sebagai berikut:
• Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi Sumatera Utara berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
• Mengajukan rancangan Peraturan Daerah (Perda);
• Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
• Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
• Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah Provinsi Sumatera Utara; • Mewakili daerah Provinsi Sumatera Utara di dalam dan di luar pengadilan,
dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
(5)
perundang-Sementara itu Wakil Gubernur memiliki enam (6) tugas dan wewenang utama. Antara lain:
• Membantu Gubernur dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah Provinsi Sumatera Utara
• Membantu Gubernur dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup
• Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota;
• Memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara;
• Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh Gubernur; dan
• Melaksanakan tugas dan wewenang Gubernur apabila Gubernur berhalangan Dalam menjalankan peran dan fungsinya, Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki empat belas (14) kewajiban yang harus dilaksanakan. Adapaun kewajiban tersebut antara lain;
(6)
• Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
• Meningkatkan kesejahteraan rakyat
• Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat • Melaksanakan kehidupan demokrasi
• Mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan
• Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi sumatera Utara
• Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah Provinsi Sumatera Utara • Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik
• Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah Provinsi Sumatera Utara
• Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah Provinsi Sumatera Utara dan semua perangkat daerah
• Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD Sumatera Utara
(7)
• Memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi Sumatera Utara kepada Pemerintah (disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sekali dalam satu tahun) sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi Sumatera Utara dan sebagai bahan pembinaan
• Memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD Sumatera Utara; dan
• Menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi Sumatera Utara kepada masyarakat.
Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Gubernur dan Wakil Gubernur dibantu oleh SKPD. Adapun SKPD ini antara lain Sekretaris Daerah Propinsi yang bertugas membantu Kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, Sekda bertanggung jawab kepada kepala daerah. Sekretaris daerah provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sekretaris Daerah ini sendiri diangkat dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memenuhi persyaratan dan arena kedudukannya sekretaris daerah sebagai Pembina PNS ditingkatan propinsi.
Selanjutnya adalah Asisten yang meliputi Asisten. Adapaun asisten di tingkatan propinsi ada empat (4) yang meliputi; Administrasi Umum dan Aset,
(8)
Asisten Kesejahteraan Sosial, Asisten Pemerintahan serta Asisten Perekonomian dan Pembangunan.
Perangkat lainnya yang turut membantu Gubernur dan Wakil Gubernur dalam melakukan kerja-kerjanya adalah Sekretariat Dewan dan Sekretariat Daerah. Sekretariat ini meliputi berbagai biro seperti Biro Administrasi Pembangunan, Hukum, Keuangan dll. Kemudian Lembaga Teknis dan lembaga-lembaga lain yang meliputi berbagai badan seperti Badan Kepegawaian Daerah, Inspektorat, maupun kantor-kantor penghubung dan terakhir adalah dinas-dinas daerah seperti Dinas Bina Marga, Dinas Kehutanan atau pun Dinas Kesehatan.
3.2 Gambaran Umum Kantor Bada Pertanahan Nasional Sumatera Utara
3.2.1. Makna dan Arti Logo Badan Pertanahan Nasional
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) memiliki logo dan tulisan yang memiliki arti dan makna tersendiri. Hal ini berdasarkan Surat Keputusan Kepala BPN RI nomor 59 Tahun 2008 Lambang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Adapun empat (4) gambar yang termuat dalam logo BPN RI adalah sebagai berikut:
• Gambar 4 (empat) butir padi
Gambar keempat butir padi melambangkan Kemakmuran dan kesejahteraan. Hal ini memiliki 4 (empat) makna dari tujuan Penataan Pertanahan yang akan dan
(9)
telah dilakukan BPN RI yaitu kemakmuran, keadilan, kesejahteraan sosial dan keberlanjutan.
• Gambar lingkaran bumi
Gambar lingkaran bumi melambangkan sumber penghidupan manusia yaitu sebagai wadah atau area untuk berkarya bagi BPN RI yang berhubungan langsung dengan unsur-unsur yang ada didalam bumi yang meliputi tanah, air dan udara.
• Gambar sumbu
Gambar sumbu melambangkan poros keseimbangan. 3 (tiga) Garis Lintang dan 3 (tiga) Garis Bujur Memaknai atau melambangkan pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang mandasari lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960.
• Gambar 11(sebelas) bidang grafis bumi
Gambar ini memaknai atau melambangkan 11 (Sebelas) agenda pertanahan yang akan dan telah dilakukan BPN RI. Bidang pada sisi sebelah kiri melambangkan bidang bumi yang berada diluar jangkauan wilayah kerja BPN RI.
Selain gambar terdapat 3 (tiga) corak warna yang terdapat dalam lambang ini. Adapun warna tersebut memiliki arti masing-masing. Warna tersebut antara lain adalah:
• Warna Coklat melambangkan bumi, alam raya dan cerminan dapat dipercaya dan teguh
(10)
• Warna Kuning Emas melambangkan kehangatan, pencerahan, intelektual dan kemakmuran
• Warna Abu-abu melambangkan kebijaksanaan, kedewasaan serta keseimbangan
3.2.2. Visi dan Misi Kantor Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara
Kantor Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara memiliki visi untuk menjadi lembaga yang mampu mewujudkan tanah dan pertanahan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, serta keadilan dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia.
Hal ini disertai dengan misi untuk Mengembangkan dan menyelenggarakan politik dan kebijakan pertanahan untuk:
1. Peningkatan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan.
2. Peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T).
(11)
perangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari.
4. Keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaa dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat. Menguatkan lembaga pertanahan sesuai dengan jiwa, semangat, prinsip dan aturan yang tertuang dalam UUPA dan aspirasi rakyat secara luas.
3.2.3. Tugas dan Fungsi Kantor Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara
Adapun tugas Badan Pertanahan Nasional adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.
Sementara itu Badan Pertanahan Nasional memiliki setidaknya beberapa fungsi antara lain:
• Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan • Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan
• Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan • Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan
• Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan
(12)
• Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah
• Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus
• Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan
• Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah • Kerja sama dengan lembaga-lembaga lain
• Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan
• Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan
• Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan
• Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan • Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan
• Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan
• Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan
(13)
• Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
• Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku
3.2.4. Struktur Organisasi Kantor Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara
Seacara umum, struktur organisasi badan pertanahan di tingkatan propinsi memiliki struktur yang sama. Organisasi ini sendiri dipimpin oleh Kantor wilayah BPN Propinsi. Selanjutnya diikuti oleh Bagian Tata Usaha yang memiliki tiga (3) sub bagian antara lain Subbagian Perencanaan dan Keuangan, Subbagian Kepegawaian dan Subbagian Umum dan Informasi.
Terdapat lima (5) bidang yang bertugas membantu kerja-kerja dari keala badan pertanahan nasional di tingkatan propinsi. Bidang ini antara lain ; Pertama yaitu Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan. Adapun bidang ini membawahi empat (4) seksi yang terdiri dari Seksi Pengukuran dan Pemetaan Dasar, Seksi Pemetaan Tematik, Seksi Pengukuran Bidang serta Seksi Survei Potensi Tanah.
Kedua adalah Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah. Sama halnya dengan Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan, bidang ini sendiri membawahi empat (4) seksi. Antara lain adalah Seksi Penetapan Hak Tanah Perorangan, Sesksi
(14)
Penetapan Hak Tanah Badan Hukum, Seksi Pengaturan Tanah Pemerintah dan Seksi Pendaftaran, Peralihan, Pembebasan Hak dan PPAT.
Ketiga adalah Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan yang juga membawahi empat (4) seksi antara lain Seksi Pengukuran Tanah, Seksi Penataan Kawasan Tertentu, Seksi Landreform dan Seksi Konsolidasi Tanah. Sementara itu dua bidang lain masing-masing membawahi dua (2) seksi. Masing-masing yaitu Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat yang membawahi Seksi Pengendalian Pertanahan dan Seksi Pemberdayaan Masyarakat. Bidang terakhir adalah Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan yang membawahi dua (2) seksi yaitu Seksi Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan serta Sesksi Pengkajian dan Penanganan Perkara Pertanahan.
(15)
(16)
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bentuk penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode wawancara secara terbuka dan mendalam kepada pihak yang berhubungan dengan judul penelitian ini. Adapun informan dalam penelitian ini yaitu antara lain Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi Sumatera Utara Ir. Sudarsono, MM, Kepala Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN Propinsi Sumatera Utara Erwin Ananda, SH, MH, Kepala Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan Ir. Embun Sari, M.Si serta Kepala Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Dr. Boedi Djatmiko Hadi A, SH, M.Hum.
Adapun pemilihan informan tersebut ditentukan berdasarkan peran yang dimiliki dalam mendukung implementasi Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Selain metode wawancara, data yang diperoleh oleh peneliti yakni berupa data sekunder yang dianggap perlu dalam penelitian ini.
4.1. Hasil Wawancara (Variabel Implementasi) 4.1.1. Komunikasi
Sesuai teori implementasi George Edward III yang digunakan penulis dalam penelitian ini salah satu variabelnya ialah komunikasi, menurut G. Edward Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui
(17)
ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran. Komunikasi dan koordinasi dibutuhkan agar terjalin kerjasama dan saling mendukung pada sesama implementor dan yang tak kalah penting yaitu komunikasi informasi dapat tersebar merata kepada subjek yaitu masyarakat, pengusaha, dan swasta guna mendukung tercapainya pelaksanaan implementasi peraturan.
Komunikasi dapat diartikan sebagai proses penyampaian informasi dari si penyampai informasi kepada si penerima. Hal ini dimaksudkan agar informasi yang ada bisa tersampaikan kepada orang lain. Tujuannya adalah agar adanya kesepahaman yang sama antara setiap orang di dalam instansi tersebut dalam memandang satu informasi maupun permasalahan tertentu sehingga dapat diambil tindakan yang tepat
Sementara itu koordinasi bisa dikatakan sebagai bagian dari komunikasi. Namun koordinasi lebih cenderung pada konfirmasi, perintah maupun saran dalam menyikapi suatu permasalahan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan dalam mengambil tindakan dalam melaksanakan atau menangani suatu permasalahan tertentu. Koordinasi juga merupakan kerjasama yang saling berhubungan dan
(18)
mendukung antar para pihak untuk mencapai tujuan dalam implementasi satu kebijakan.
Adapun pola komunikasi yang terjadi di BPN Sumatera Utara terwujud melalui pertemuan resmi seperti rapat atau evaluasi dan melalui komunikasi lain yang berada diluar pertemuan tersebut. Rapat-rapat ini biasanya berbicara mengenai perkembangan, sharing informasi, rencana maupun evaluasi program yang akan dilaksanakan. Rapat ini sendiri tidak hanya terjadi di BPN Sumatera Utara secara keseluruhan namun ada juga rapat yang diadakan di tingkatan bidang. Jika melihat pada struktur BPN Propinsi Sumatera Utara yang terdiri setidaknya atas 6 bidang, maka masing-masing bidang tersebut juga melakukan rapat di bidang masing-masing. Misalnya rapat bidang yang dilaksanakan oleh Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan Tanah ataupun Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Normallnya rapat ini biasanya berlangsung sekali sebulan namun pada prakateknya seringsekali terjadi beberapa kali dalam sebulan sesuai dengan situasi dan kondisi permaslahan yang dihadapi.
Untuk mempermudah proses komunikasi dan kordinasi ini, BPN turut memanfaatkan kecanggihan teknologi yang ada. Hal ini untuk mempermudah komunikasi yang ada diluar rapat. BPN memiliki group whatsapp untuk tingkat eselon III dan dengan BPN Pusat. Umumnya proses komunikasi banyak berlangsung di group ini bahkan proses penyampaian surat dan berbagai undangan juga turut disampaikan di group ini sehingga lebih praktis.
(19)
Selain komunikasi di tingkatan internal bidang ataupun lembaga, juga terdapat komunikasi di tingkatan eksternal yang melibatkan lembaga maupun dinas-dinas lain diluar BPN Sumatera Utara. Komunikasi ini dapat dibagai menjadi dua apabila melihat komunikasi yang dibagun dengan lembaga tersebut. Pertama adalah Komunikasi dengan sesama BPN. Hal ini meliputi BPN di Tingkatan Kota maupun Kabupaten yang ada di Sumatera Utara juga kepada BPN Pusat sendiri. Kedua adalah komunikasi yang dijalin dengan lembaga-lembaga lain yang berhubungan dengan kerja-kerja yang dilakukan oleh BPN Propinsi Sumatera Utara. Adapun lembaga tersebut misalnya Kepolisian, Dinas Kehutanan, Lembaga Swadaya Masyarakat atau bahkan sampai pada tingkatan kepala desa. Komunikasi ini mislanya melakukan rapat satu kali dalam 3 bulan dengan pemerintah daerah atau rapat mingguan dengan DPRD Tingkat satu.
Lebih jauh pola komunikasi internal yang dilaksanakan pada umumnya tidak hanya terkait rapat koordinasi maupun rutinitas. Diluar itu pola komunikasi dapat terjadi lebih banyak secara momentuman. Hal ini misalnya komunikasi yang dilakukan ketika muncul permasalahan penyelesaian kasus konflik pertanahan yang membutuhkan penanganan dengan segera. Disinilah proses komunkasi tersebut dibangun diluar rapat rutin tersebut.
Demikian halnya dengan lembaga lain. Sebagai sebuah lembaga besar tentunya BPN Propinsi perlu memiliki jejaring yang luas, sebab dalam penyelesaian kasus-kasus yang dihadapi tentunya bersinggungan dengan lembaga lain dan perlu
(20)
yang dibangun dalam hal ini dapat terjadi dengan lembaga lain berdasarkan kasuistik atau ketika satu kasus terjadi. Ke berbagai dinas semisal Dinas Pertanian, Peternakan, UKM dan Koperasi, Kelautan dna dinas lain akan disampaikan surat dengan tembusan kepada DPRD Propinsi. Adapun proses sosialisasi kepada tingkatan masyarakat umumnya dilakukan lewat pertemuan yang dilakukan di kantor camat atau tempat lain yang disepakati. Kepala desa sebagai struktur pemerintahan ditingkatan desa akan mengundang masyarakat untuk mengikuti sosialisasi tersebut dan akan disosialisasikan oleh BPN di tingkat kabupaten lewat kordinasi dengan BPN Propinsi. Sosialisasi ini biasaya terkait program yang bisa diakses oleh masyarakat serta berbagai peraturan terbaru. Adapun alat dan metode sosialisasinya tentu mengacu pada peraturan-peraturan maupun Standar Operasional Kebijakan yang sudah ada dan berlaku.
Sementara itu sebagai alat kontrol dari semua tentang perkembangan kinerja, penanganan kasus dan hal-hal lain yang berhubungan dengan proses yang berjalan di BPN Propinsi Sumatera Utara biasanya dilakukan lewat laporan bulanan masing-masing orang sehingga dapat dilihat dan dievaluasi setiap perkembangan yang ada. 4.1.2. Disposisi
Disposisi merupakan sifat atau karakteristik yang harus dimiliki oleh implementor dalam implementasi kebijakan. Disposisi ini misalnya seperti komitmen, kejujuran, komunikatif, cerdik dan sifat demokratis. Ketika disposisi ini mampu
(21)
dijalankan oleh implementor dengan baik, tentunya sasaran ataupun tujuan dari organisasi tersebut akan dapat dicapai.
Menurut Bapak Erwin Ananda salah satu disposisi penting yang harus dimiliki oleh implementor adalah ketelitian. Dalam konteks penanganan kasus dan sengketa pertanahan, hal ini tentunya menjadi salah satu modal penting yang wajib dimiliki. Hal ini didasarkan pada penanganan kasus dan sengketa pertanahan yang berhubungan dengan kehidupan banyak orang. Tidak hanya individu, namun juga kelompok, instansi maupun lembaga yang tentunya mempengaruhi kebutuhan banyak orang di dalamnya.
Salah satu contoh kasus yang membutuhkan ketelitian dalam penanganan kasus pertanahan adalah ketelitian dalam melihat berkas. Seringkali kedua belah pihak yang bersengketa maupun berkonflik dalam kasus pertanahan sama-sama meiliki surat kepemilikan yang diklaim sah oleh kedua pihak. Untuk itu perlu ketelitian dalam melihat berkas ataupun sertifikat yang asli dari kedua pihak tersebut. Apalagi mengingat pada jaman sekarang ini dimana kemudahan untuk meniru ataupun memalsukan berkas cukup mudah dilakukan. Ketelitian dalam hal ini diperlukan untuk melihat berbagai aspek termasuk ejaan pada surat sertifikat apakah sesuai dengan ejaan pada jaman ketika surat tersebut dikeluarkan.
Hal lain adalah Konsistensi. Konsistensi merupakan salah satu bentuk komitmen yang harus dimiliki oleh implementor. Banyaknya kasus pertanahan yang harus ditangani dengan berbagai tingkat kesulitan maupun urgensi dari kasus
(22)
tersebut, maka implementor haruslah memiliki komitmen yang baik untuk menyelesaikannya. Selain itu, banyaknya kasus-kasus pertanahan yang sudah tergolong lama bahkan puluhan tahun tentunya membutuhkan konsistensi untuk menyelesaikannya.
Saat ini BPN Propinsi Sumatera Utara tengah menginventarisir berbagai kasus-kasus maupun sengketa pertanahan yang terjadi sepanjang tahun 2006 sampai saat ini. Hal ini masuk dalam program yang dilakukan oleh BPN Propinsi Sumatera Utara sejak tahun 2011. Masuknya propinsi Sumatera Utara dalam salah satu propinsi dimana jumlah kasus pertanahannya yang cenderung menurun tentunya menjadi salah satu bentuk konsistensi. Walaupun pada tahun pertama keluarnya Peraturan Kepala BPN RI No 3 Tahun 2011 tersebut jumlah kasus cenderung meningkat, tetapi pada tahun berikutnya jumlah kasus terus mengalami penurunan. Namun apabila mengacu pada masa penanganan kasus, banyak dantaranya kasus-kasus lama yang cenderung belum bisa diselesaikan sampai saat ini.
Sikap professional merupakan salah satu sikap yang juga penting dalam penanganan kasus maupun sengketa pertanahan. Berdasarkan penuturan informan, sikap professional belum sepenuhnya berjalan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sumber daya finansial yang dimiliki untuk menjalankan tugas.
Dalam menyelesaikan kasus ataupun sengketa pertanahan memerlukan sikap yang komunikatif dengan semua elemen maupun lembaga lain diluar BPN sendiri.
(23)
yang ada diluar lembaga tersebut. BPN terus melakukan komunikasi dengan berbagai pihak seperti kepolisisan, kejaksaan, gubernur dan juga instansi lainnya.
Selain itu hal penting dalam disposisi adalah bagimana pemahaman implementor yang akan berpengaruh pada pencapaian tujuan dari kebijakan tersebut. Terkait pemahaman ini, menurut Bapak Erwin Ananda S.H, M.H, dalam proses penyelesaian kasus yang ditangani oleh BPN Propinsi, secara umum setiap staff memahami alur dan langkah-langkah dalam menangani kasus tersebut.
4.1.3. Sumber Daya
Sumber daya, yaitu menunjuk setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Berikut ini merupakan kriteria sumber daya yang dibutuhkan dalam proses implementasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan di Propinsi Sumatera Utara.
a. Sumber Daya Manusia (SDM)
Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran. Bidang lima (5) atau Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan merupakan bidang yang secara langsung mengurusi terkait sengketa dan konflik pertanahan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Kepala Bidang ini yaitu Bapak
(24)
Erwin Ananda S.H, M.H, saat ini masih terdapat beberapa kekurangan terkait sumber daya yang ada di bidang tersebut. Tidak hanya soal kuantitas namun juga termasuk soal kualitas dari masing-masing staff yang ada.
Dari segi kuantitas, saat ini terdapat sebanyak sepuluh (10) orang staff yang berada di bidang ini. Masing-masing terbagi atas analis perkara dan analis konflik. Jumlah staff ini tentunya masih kurang apabila melihat jumlah kasus yang kini ditangani oleh pihak Badan Pertanahan Propinsi Sumatera Utara.
b. Sumber Daya Finansial
Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah program/kebijakan. Dengan adanya sumber daya finansial juga akan mendukung segala fasilitas yang dibutuhkan untuk mendukung terlaksananya kebijakan/program. Sama halnya dengan sumber daya manusia yang ada, sumber daya finasial juga masih belum memadai. Selaku organisasi vertikal, anggaran yang dimanfaatkan oleh BPN Propinsi merupakan APBN dari kementrian sesuai dengan target program yang sudah disiapkan oleh BPN Propinsi. Anggaran ini digunakan sesuai dengan anggaran tahun berjalan dilaksanakannya program. Adapun anggaran ini akan dikelola oleh kepala BPN Propinsi selaku kepala pengelola anggaran di tingkatan propinsi. Selama ini anggaran yang sudah ada dan digunakan oleh BPN Propinsi Sumatera Utara dapat dikatakan masih belum mecukupi.
(25)
c. Fasilitas
Dalam implementasi suatu kebijakan perlu didukung juga dengan fasilitas yang memadai agar nantinya proses implementasinya dapat berjalan dengan maksimal. Selain fasilitas umum yang biasanya ada semisal kantor atau sekretariat, BPN Propinsi juga ditunjang dengan fasilitas lainnya. Adapun fasilitas ini misalnya kendaraan dinas baik sepeda motor maupun mobil, komputer, laptop, printer, foto kopi, teodolit, ruang rapat, meja kursi dll.
4.1.4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi penting dalam implementasi kebijakan. Aspek struktur birokrasi ini mencakup dua hal penting pertama adalah mekanisme dan struktur organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui standar operating procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline program/kebijakan.
Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Pelayanan Publik dan Penyelenggara Pelayanan Publik di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, standar pelayanan merupakan tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggara pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur. Keluarnya peraturan ini menjadi salah satu acuan yang dilaksanakan oleh BPN Propinsi Sumatera Utara dalam menjalankan tugas-tugasnya. Selain itu juga terdapat
(26)
standard operasional kebijakan yang selama ini dilakukan dalam melakukan penanganan kasus-kasus pertanahan.
Secara umum dapat dilihat adapun struktur implementor berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 mulai dari tingkatan nasional sampai ke tingkatan kabupaten/kota. Ditingkatan teratas organisasi bisa dilihat Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sebagai pimpinan tertinggi yang memimpin BPN Indonesia yang bertanggung jawab secara langsung kepada presiden. Kemudian dibawahnya berada Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan sebagai unsur pelaksana dalam pengkajian dan penanganan kasus pertanahan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala BPN Indonesia. Selanjutnya pada tingkatan propinsi sebagai unsur pelaksana yang menyelenggarakan tugas dan fungsi BPN di tingkatan propinsi. Adapun di tingkatan propinsi ini dipimpin oleh kepala BPN Propinsi.
Di tingkatan daerah selanjutnya adalah posisi kepala kantor BPN di tingkatan kabuaten maupun kota. Selanjutnya Kepala Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan yang berada di kantor wilayah propinsi yang bertugas membantu kakanwil dalam rangka pengkajian dan penanganan kasus pertanahan dan terakhir adalah Kepala Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara yang bertugas membantu kepala BPN Kabupaten ataupun Kota dalam rangka pengkajian dan penanganan kasus pertanahan tersebut.
(27)
Pada tingkatan propinsi, dapat dijelaskan implementor yang terlibat. Posisi teratas dipimpin oleh kepala kantor wilayah (kanwil) yang bertanggung jawab atas keseluruhan proses penanganan kasus pertanahan yang ada di kantor pertanahan propinsi. Selanjutnya berada dibawahnya yaitu kepala bidang lima selaku bidang yang menangani kasus-kasus pertanahan untuk membantu melaksanakan tugas-tugas kepala kantor wilayah tersebut. Selanjutnya dibawah bidang lima ini terdapat dua seksi yang membantu kepala bidang diantaranya adalah seksi pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan serta seksi pengkajian dan penanganan perkara pertanahan. Sementara itu yang berada di level daerah dibedakan menjadi dua yaitu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten dan Kepala Kantor Pertanahan Kota. Inilah keseluruhan analisis implementor yang ada ditingkatan internal BPN sesuai dengan peraturan kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tersebut.
4.2. Data Sekunder
Selain hasil wawancara kepada para informan, peneliti juga memperoleh data-data sekunder. seperti Peraturan Kepala BPN RI No.3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan di Propinsi Sumatera Utara. Peraturan inilah yang menjadi acuan utama peneliti dalam melakukan penelitian di BPN Propinsi Sumatera Utara.
Pada pasal 14, ayat 1, BAB V terkait pengkajian kasus pertanahan dijelaskan bahwa kantor wilayah baik bersama-sama atu secara sendiri-sendiri melaksanakan pengkajian secara sistematik terhadap akar dan sejarah kasus pertanahan. Selanjutnya
(28)
pada ayat 2 hasil kajian ini akan dituangkan dalam Peta Kasus Pertanahan yang menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan umum dan/atau kebijakan teknis penanganan kasus pertanahan.
Sementara itu pada bagian lain yaitu BAB VI tentang penanganan kasus pertanahan, penanganan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Selanjutnya akan dilakukan penelitian/pengolahan data engaduan, penelitian lapangan, penyelenggaraan gelar kasus, penyususnan risalah pengolahan data, penyiapan berita acara dan kemudian monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan sengketa.
Pada bab VII terkait penyelesaian kasus pertanahan menjelaskan bagaimana proses penyelesaian kasus pertanahan yang harsu dilakukan. Hal ini meliputi penyelesaian kasus pertanahan untuk melaksanaan putusan pengadilan, penyelesaian kasus pertanahan di luar pengadilan maupun bentuk dan kriteria penyelasian kasus pertanahan.
Peneliti juga mendapatkan dokumen Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011Tentang Kode Etik Pelayanan Publik dan Penyelenggara Pelayanan Publik di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Juga Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan.
(29)
Data sekunder lannya yang didapat peneliti Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Adapun kedua peraturan ini membahas terkait proses pendaftaran tanah yang bisa diakses atau dilakukan oleh berbagai pihak untuk mendaftarkan tanahnya. Ada juga Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional.
Dokumen lain yang digunakan sebagai data sekunder dalam penelitian ini adalah Surat Keputusan Kepala BPN RI nomor 59 Tahun 2008 Lambang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Peraturan Kepala BPN RI No.3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan. Termasuk juga Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 yang menjadi salah satu sumber data penting yang digunakan oleh peneliti.
Selain dokumen-dokumen peraturan maupun undang-undang tersebut, peneliti juga memperoleh data-data sekunder lain baik dari buku, website maupun sumber dari internet lainnya. Untuk lebih mendukung penelitian ini peneliti turut memperoleh foto-foto sebagai pelengkap dalam penelitian ini.
(30)
BAB V
ANALISIS DATA
Pada bab ini seluruh data yang telah disajikan pada bab sebelumnya akan dianalisis sesuai dengan kelompok masalah yang dikaji peneliti dan indikator yang digunakan. Hal ini dapat dikaji melalui berbagai data yang diperoleh. Adapun data tersebut antara lain data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang didapat berasal dari hasil wawancara, dan observasi lapangan. Sementara itu data sekunder yaitu data didapat dari sumber-sumber pendukung lain semisal peraturan, undang-undang, buku maupun informasi lain yang didapat selama proses penelitian. Dari hasil analisis data-data inilah nantinya akan diperoleh kesimpulan mengenai implementasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penangan Kasus Pertanahan di Sumatera Utara.
5.1. Proses Implementasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penangan Kasus Pertanahan di Sumatera Utara
Suatu proses implementasi kebijakan publik merupakan tahapan yang sangat penting dan wajib dilewati agar dapat mencapai tujuan kebijakan. Melalui implementasi kebijakan publiklah suatu keluaran kebijakan peraturan perundang-undangan dilaksanakan oleh organisasi pelaksana kebijakan. Proses implmentasi
(31)
kebijakan yang panjang tidak akan dapat tercapai tanpa adanya tindakan implementasi.
Tujuan penting dalam proses implementasi kebijakan ialah untuk mengidentifikasi variabel-variabel apa saja yang menjadi indikator keberhasilan dan kegagalan suatu kebijakan berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan sehingga kedepannya dapat ditemukan upaya perbaikan dan penyempurnaan dalam proses implementasi kebijakan.
Teori kebijakan George C. Edward III mengemukakan empat variabel yang menjadi faktor yang mempengaruhi suatu implementasi kebijakan. Yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Teori ini mengemukakan bahwa implementasi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan mengkaji terlebih dahulu bagaimana dampak positif dan negatifnya bagi masyarakat.
Implementasi kebijakan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penangan Kasus Pertanahan berangkat dari adanya mandat yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Pokok ini mengistruksikan pelaksanaan reforma agraria dimana ini sekaligus sebagai pengganti Agrarische Wet tahun 1870.
Sementara peraturan lain yang perlu dicatat adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Presiden Nomor 10
(32)
Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, Pereaturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalah Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, maupun Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan.
Secara otomatis paska penetapan peraturan ini pada 4 Februari 2016, beberapa peraturan lain yang sebelumnya menjadi acuan dinyatakan menjadi tidak berlaku. Adapun peraturan-peraturan tersebut yaitu Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara, Ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah serta ketentuan dan peraturan lain yang bertentangan dengan pearaturan tersebut.
Dalam peraturan terbaru ini mengatur berbagai hal seperti pelayanan pengaduan dan informasi kasus pertanahan, pengkajian kasus pertanahan, penanganan kasus pertanahan, penyelesaian kasus pertanahan serta bantuan hukum
(33)
mengetahui akar, sejarah dan tiologi kasus pertanahan dalam rangka merumuskan kebijakan strategis penyelesaian kasus pertanahan di Indonesia dan menyelesaiakan kasus pertanahan yang disampaikan kepada Kepala BPN RI agar tanah dapat dikuasai, dimiliki, dipergunakan dan dimanfaatkan oleh pemiliknya serta dalam rangka kepastian dan perlindungan hukum. Dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum akan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia.
Pada setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah maka harus diimplementasikan agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhatikan variabel-variabel yang mempengaruhi kebijakan tersebut. Maka dalam penelitian ini adapun variabel-variabel tersebut ialah sebagai berikut:
5.2 Komunikasi
Sesuai teori implementasi George Edward III yang digunakan dalam penelitian ini salah satu variabelnya ialah komunikasi, menurut G. Edward Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan melalui komunikasi kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran. Sehingga melalui komunikasi diharapkan informasi dapat tersebar merata kepada masyarakat,
(34)
pengusaha, dan swasta guna mendukung tercapainya pelaksanaan implementasi peraturan.
Komunikasi terkait dengan penyampaian informasi atau peraturan kepada semua stakeholders agar suatu kebijakan dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik. Sedangkan koordinasi sebagai implikasi dari organisasi yang tidak tunggal akan terlihat dalam pola hubungan kerja antar aktor yang terlibat, sehingga implementasi akan efektif dengan mekanisme yang terkoordinasi.
Dalam peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dapat dilihat beberapa poin yang berkaitan dengan kordinasi dan komunikasi yang harus dijalankan oleh BPN Propinsi. Pada bagian pengaduan dan informasi kasus pertanahan misalnya, pelayanan pengaduan dan informasi kasus di kantor pertanahan wilayah BPN dilaksanakan oleh kepala bidang (kabid) dan dikordinasikan dengan kepala kantor wilayah (kakanwil). Selanjutnya pelayanan pengaduan dan informasi kasus ini akan dilaksanakan oleh kepala seksi (kasi) dan dikordinasikan oleh kepala kantor wilayah (kakan). Setelah itu seluruh informasi mengenai perkembangan kasus pertanahan yang disampaikan secara tertulis akan disampaikan dalam bentuk Surat Informasi Perkembangan Penanganan Kasus Pertanahan yang berisi tentang penjelasan pokok masalah, posisi kasus dan tindakan yang telah. Selanjutnya dalam konteks pemberian informasi perkembangan kasus ini akan disampaiakn oleh kakan, kakanwil atau deputi sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
(35)
Pada bagian pelayanan pengaduan dan informasi kasus pertanahan ini sesuai dengan peraturan tersebut dapat dilihat bahwa hal-hal terkait komunikasi dan kordinasi ini masih sangat umum. Artinya tidak ada penjelasan lebih jauh dan mendetail terkait kordinasi dan komunikasi ini. Dalam proses kordinasi yang dilakukan oleh kakanwil misalnya, proses pengaduan dan informasi kasus ini tidak digambarkan bagaimana seharusnya pola ataupun proses komunikasi tersebut berlangsung. Pada umumnya memang dalam peraturan tidak dijelaskan terkait hal teknis seperti hal tersebut. Namun jika melihat lebih jauh, soal rujukan kordinasi maupun komunikasi yang harus dilakukan juga tidak ada. Hanya disebutkan bahwa seluruh rangkain proses tersebut harus dilaksanakan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku tanpa menyebut salah satu peraturan ataupun undang-undang mana yang harus diikuti tersebut. Hal inilah yang membuat proses komunikasi dan kordinasi ini menjadi membingungkan. Demikian halnya dalam proses pengkajian kasus pertanahan terkait administrasi data. Sistem infromasi dibangun secara terintegrasi antara BPN RI, Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan. Tidak juga disebutkan bagaimana lebih lanjut terkait proses komunikasi diantara bagian-bagian tersebut.
Demikian halnya dengan poin-poin lain dalam peraturan tersebut. Secara umum bisa dilihat masih sangat umum. Hal ini kemudian bisa menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda di kalangan implementor dalam proses pelaksanaannya. Tidak rincinya peraturan ini serta tidak menyebutkan peraturan lain sebagai acuan pelaksanaanya menjadi salah satu kekurangan yang bisa dilihat. Pada akhirnya BPN
(36)
Propinsi menggunakan mekanisme kordinasi dan komunikasi yang selama ini ada dan dijalankan.
Adapun komunikasi dan kordinasi yang selama ini dilaksanakan di Kantor BPN Propinsi Sumatera Utara secara umum dapat dibagi dalam tiga bagian. Pertama adalah kepada tingkatan masyarakat. Salah satu media yang digunakan sebagai sosialisasi kepada masyarakat adalah melalalui website. Dengan adanya website ini tentunya akan sangat mendukung proses sosialisasi yang maksimal kepada masyarakat. Apalagi mengingat masyarakat yang sudah melek teknologi dalam mengakses internet. Namun sosialisasi media ini dapat dikatakan belum berjalan maksimal sebab ada beberapa ikon di dalam website yang tidak dapat dibuka. Selain itu, proses sosialisasi yang belum maksimal juga terlihat dalam proses penanganan kasus. Seperti penuturan infroman bahwa seringkali masyarakat menuntut proses penyelesaian kasus kepada BPN Propinsi sekalipun kewenangan penyelesaian kasus tersebut ada pada BPN Pusat.
Selanjutnya adalah kepada Instansi diluar BPN. Proses ini juga termasuk pembangunan jaringan kepada instansi diluar BPN yang memiliki hubungan dengan BPN dalam proses penanganan dan penyelesaian kasus pertanahan. Adapun instansi ini misalnya Kepolisian, DPRD, Kejaksaan maupun pengadilan. Pola komunikasi yang dibangun umumnya mulai dari sosialisasi ataupun rapat kordinasi bersama dengan instansi tersebut. Hal ini dilakukan untuk menyatukan pemahaman bersama dalam proses penanganan kasus pertanahan. Komunikasi ini juga belum berjalan
(37)
Komunikasi terakhir adalah komunikasi ditingkatan internal BPN yang diwujudkan mellui rapat-rapat bidang maupun bagian di tingkatan BPN Propinsi. Rapat ini mulai dari rapat kordinasi umum maupun rapat lain yang dilakukan secara momentuman semisal dalam proses panaganan kasus. Hal ini bisa terjadi ketika munculnya kasus-kasus yang membutuhkan penanganan yang cepat. Proses komunikasi ini dapat berjalan dengan baik sebab masing-masing tupoksi sudah memiliki tugas dan fungsi masing-masing sehingga masing-masing bisa fokus dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
5.3 Disposisi
Disposisi implementor merupakan kecenderungan sikap dan pemahaman implementor yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan kebijakan. Watak dan karakter yang dimiliki oleh implementor, seperti: komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka kebijakan akan berjalan sesuai yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan demokratis akan senantiasa akan lebih memperlancar pencapaian tujuan pelaksanaan peraturan dan dapat melawan kendala dan hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan program atau kebijakan. Kejujuran akan mengarahkan para implementor agar tetap berada pada jalur program dan kebijakan yang telah ditetapkan. Ditambah dengan komitmen maka
(38)
secara konsisten dan profesional. Sehingga tercipta suasana demokratis pada para implementor kebijakan dimata masyarakat dan menambah kepercayaan masyarakat kepada para implementor kebijakan.
Ada dua variabel yang menjadi objek analisis pada bagian ini. Pertama adalah bagaimana pemahaman impelementor terkait peraturan yang ada. Dalam hal ini tentunya Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan di Sumatera Utara.
Berdasarkan beberapa aspek yang tercantum dalam peraturan tersebut, dapat dilihat beberapa poin untuk menganalisis terkait pemahamam implementor di BPN Propinsi Sumatera Utara. Poin yang dimuat sebagai tolak ukur yang dapat diambil adalah bagaiamana proses pengaduan dan informasi kasus pertanahan, pengkajian kasus pertanahan, penanganan kasus pertanahan, penyelesaian kasus pertanahan, serta bantuan hukum dan perlindungan terkait penanganan kasus pertanahan.
Secara umum penelit melihat berbagai aspek tersebut dapat dipahami oleh implementor pada Kantor BPN Propinsi Sumatera Utara. Terkait pengaduan dan informasi kasus pertanahan misalnya. Proses pengaduan sudah berjalan sesuai dengan prosedur yang melingkupi dua hal yaitu baik pengaduan yang dilakukan secara langsung oleh masyarakat maupun dalam model jemput bola yang dilakukan oleh implementor. Apabila pengaduan yang dilakukan lewat website BPN Propinsi, maka selanjutnya si pengadu akan diminta untuk membuat permohonan tertulis
(39)
terkait pengaduan tersebut sesuai aturan yang tercantum dalam Peraturan Kepala BPN RI nomor 3 tersebut.
Pengaduan yang masuk tersebut selanjutnya akan disertai dengan identitas pengadu dan data-data pendukung lainnya terkait hal yang diadukan. Surat pengaduan ini kemudian dicata dalam loket pengaduan dan akan diacatat dalam register penerimaan pengaduan. Adapun perkembangan setiap kasusnya akan terus dicatat dalam register kasus pertanahan kasus pertanahan tersebut.
Demikian halnya dengan aspek lain seperti pengkajian kasus pertanahan, penanganan maupun penanganan kasus pertanahan yang ada. Tentunya variabel pemahaman ini dapat dilihat berdasarkan tujuan utama dari peraturan tersebut yaitu penyelesaian kasus pertanahan yang ada. Jumlah kasus petanahan yang terus menurun di Propinsi Sumatera Utara setiap tahunnya menjadi variabel penting bahwa pemahaman implementor atas kebijakan tersebut sudah cukup baik.
Kedua adalah karakter dari implementor. Hal ini meliputi 4 karakter yang dianalisis oleh peneliti, antara lain;
1. Ketelitian
Salah satu disposisi yang dianalaisis oleh peneliti di BPN Sumatera Utara terkhusus bidang lima adalah aspek ketelitian. Adapaun aspek ketelitian merupakan salah satu modal penting yang harus dimiliki dalam penyelesaian sebuah kasus sengketa maupun konflik pertanahan. Dalam konteks pengkajian dan penanganan
(40)
ketelitian ini harus meliputi aspek kerja imlementor mulai dari Pelayanan Pengaduan dan Informasi Pertanahan, Pengkajian Kasus Pertanahan, Penanganan Kasus Pertanahan, Penyelesaian Kasus Pertanahan dan Bantuan Hukum dan Perlindungan Hukum. Selain menuntut pengadministrasian berkas yang baik, implementor juga dituntut untuk teliti dalam menganalisa kategori kasus yang ditangani. Hal ini dapat dilihat dalam pengelompokan atau klasisfikasi kasus yang dihadapi.
Dalam konteks diseminasi informasi yang ada, perlu ketelitian dalam membuat kategori informasi yang bisa diakses oleh publik atau tidak. Hal ini dibagi atas tiga yaitu infromasi rahasia, yaitu yang hanya bisa diberikan kepada lembaga publik tertentu hal inipun tentunya setelah adanya ijin dari kepala BPN RI atau pejabat yang ditunjuk. Kedua yaitu infromasi terbatas, adapun informasi ini adalah informasi yang hanya diberikan kepada pihak tertentu yang memenuhi persyaratan juga setelah adanya ijin dari kepala BPN RI atau pejabat yang ditunjuk. Ketiga adalah infromasi yang terbuka untuk umum dimana diberikan kepada pihak yang membutuhkan.
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh peneliti, aspek ketelitian ini sudah berjalan cukup baik di kantor BPN Propinsi Sumatera Utara. Hal ini berdasarkan pengelompokan atau kalsifikasi baik kasus maupun informasi yang bisa diakses oleh publik yang sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Poin ini terbukti ketika peneliti akan melakukan penelitian awal di instansi tersebut. Secara tegas, salah seorang staff BPN menjelaskan perihal informasi yang bisa diakses oleh peneliti dalam konteks
(41)
Demikian halnya dalam proses pengkajian kasus pertanahan. Hal ini juga sudah berjalan dengan baik dengan melihat lebih mendalam terkait sifat kasus yang ditangani oleh BPN Propinsi. Yaitu apakah bersifat rawan, strategis atau mempunyai dampak luas. Secara umum peneliti melihat semua aspek yang dimaksud dalam ruang lingkup pertauran kepala BPN nomor 3 tersebut berjalan dengan baik dalam konteks ketelitian.
2. Konsistensi
Konsistensi dalam penangan kasus menjadi salah satu elemen yang memiliki fungsi cukup penting dalam penanganan kasus maupun sengketa agraria. Salah satu yang menjadi tolak ukur apakah proses penaganan kasus pertanahan cukup konsisten adalah bagaimana kasus-kasus yang ada tetap ditangani dengan berbagai tingkat kesulitan yang diahadapi. Berdasarkan kompilasi data jumlah kasus yang dilihat peneliti, BPN Sumatera Utara sesungguhnya masih cukup konsisten dalam proses penanganan kasus-kasus pertanahan yang ada.
Hal ini dapat dilihat beradasarkan publikasi lembaga yang fokus terkait isu-isu agraria di Indonesia. Sekalipun Sumatera Utara sering masuk dalam propinsi sebagai penyumbang jumlah kasus konflik terbesar di Indonesia namun hal ini diimbangi dengan penangan atau penyelesaian kasus konflik agraria yang juga cenderung menurun setiap tahunnya. Semisal catatan Komisi Pembaharuan Agraria (KPA) sepanjang tahun 2012-2015 masuk menjadi 5 (lima) besar Provinsi penyumbang kasus konflik agraria terbanyak di Indonesia. Sekalipun pada awal munculnya
(42)
peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 tahun 2011, tercatat jumlah kasus konflik agraria di Sumatera Utara meningkat pesat sepanjang 2012-2014. Namun pada tahun keempat atau tahun 2015 jumlah kasus konflik agraria dapat dilihat semakin menurun.
Lebih jauh, tercatat pada tahun 2012, ada sekitar 21 kasus di Sumatera Utara, kemudian menjadi 33 kasus di tahun 2014 dan 15 kasus pada tahun 2015. Menurunnya jumlah konflik agraria sepanjang tahun 2014-2015 di Sumatera Utara menjadi hal yang patut diapresiasi. Apalagi jika dibandingkan dengan 5 provinsi terbesar penyumbang kasus konflik agraria, Sumatera Utara menjadi salah satu propinsi yang paling menurun jumlah kasus konfliknya.
3. Profesionalisme
Aspek profesionalisme menjadi aspek lain yang juga penting dimiliki oleh implementor. Jika mengacu pada jumlah kasus yang mengalami penurunan pada setiap tahunnya, sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa BPN Propinsi Sumatera Utara cukup profesional dalam menanagani kasus-kasus pertanahan yang ada. Namun hal ini berbanding terbalik berdasarkan hasil ananalisis data lain yang dilakukan oleh peneliti.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan kepala bidang lima BPN Propinsi Sumatera Utara mengatakan bahwa sumber daya staff yang dimiliki saat ini belum mencukupi sehingga belum bisa dikatakan cukup
(43)
mengeluarkan segala kemampuan untuk menangani semua kasus-kasus petanahan yang ada. Jumlah staff yang masih kurang apabila dibandngkan dengan jumlah kasus yang ditangani saat ini belum berimbang. Artinya apabila jumlah staff yang ada mencukupi, tentunya profesionalisme dalam konteks penanganan kasus tersebut bisa dilakukan dengan maksimal. Maka potensi untuk penurunan kasus pertanahan untuk lebih sedikit pada tahun-tahun mendatang cukup besar apabila diimbangi dengan penambahan staff dalam divisi tersebut.
4. Kejujuran
Kejujuran tentunya dibutuhkan dalam setiap aspek terutama dalam proses penangan kasus pertanahan. Hal ini disebabkan penanganan kasus konflik pertanahan yang menyangkut kehidupan orang banyak dan juga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Dalam konteks penanganan kasus, perlu kejujuran seperti tidak memihak salah satu kubu yang sedang bersengketa demi kepentingan salah satu pihak termasuk kepentingan si implementor sendiri. BPN Propinsi Sumatera Utara harus jujur dalam melihat posisi kasus yang sedang ditangani.
Berdasarkan analisis peneliti aspek kejujuran ini belum sepenuhnya dimiliki oleh BPN Propinsi Sumatera Utara. Hal ini terjadi dalam konteks informasi kasus pertanahan yang bisa diakses oleh publik. BPN memiliki 3 kategori informasi kasus yang bisa diakses oleh publik antara lain informasi rahasia, terbatas dan terbuka untuk umum. Dalam informasi yang terbuka untuk umum misalnya masih mengalami kendala dalam proses pengaksesannya. Sekalipun tidak memerlukan hal-hal
(44)
administratif untuk mendapatkan informasi tersebut, tetapi terkadang informasi sulit didapat dan memerlukan persyarartan lain yang seharusnya tidak diperlukan. Semisal meminta informasi terkait jumlah kasus yang bisa diakses. Seringkali hal ini dibenturkan dengan hal administratif seperti surat ijin. Padahal pada prakteknya hal ini tidak membutuhkan surat untuk diakses.
5.4 Sumberdaya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial ditambah dengan fasilitas yang mendukung. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja. Berikut dibagi atas tiga kriteria sumberdaya yang dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan Implementasi Peraturan Kepala BPN RI No.3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan di BPN Propinsi Sumatera Utara yaitu :
• Sumberdaya Manusia
Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran. Jika melihat kuantitas staff yang ada di BPN Propinsi Sumatera Utara saat ini, terkhusus dalam Bidang
(45)
dibawah pimpinan kepala bidang. Dimana kedua bidang ini masing-masing diisi staff yang berposisi sebagai analis konflik dan analis perkara. Jika berkaca pada kuantitas staff tersebut, tentunya jumlah yang ada masih kurang apabila melihat begitu banyak dan kompleksnya kasus-kasus agraria yang ditangani oleh BPN Prpoinsi Sumatera Utara. Hal initurut diperjelas oleh Bapak Erwin Ananda, saat ini pihaknya mengatakan membutuhkan setidaknya 2-3 orang tambahan staff untuk memaksimalkan penanganan kasus yang dilakukan oleh bidang ini. Hal ini menyebabkan penanganan kasus-kasus pertanahan yang ada di Sumatera Utara belum cukup profesional.
Selain dari segi kuantitas, segi kualitas juga masih membutuhkan pembenahan maupun peningkatan kapasitas staf yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan model maupun kasus konflik pertanahan yang dihadapi kerap berbeda, mengalami perubahan dan membutuhkan pemahaman, kejelian maupun konsistensi dari masing-masing staff. Salah satu kualifikasi penting yang harus dimiliki dalam hal kapasitas ini memiliki pemahaman hukum atau setidaknya memiliki latar belakang pendidikan sarjana umu. Hal ini disebabkan kerja-kerja penanganan kasus pertanahan yang selalu berhubungan dengan peraturan maupun undang-undang.
Untuk itu bidang ini masih memerlukan baik diklat, pelatihan, training tentang penanganan kasus-kasus pertanahan. Sebab pada umumnya staf yang ada sekalipun memiliki latar belakangan pemahaman tentang hukum yang baik belum tentu mampu menanganani kasus pertanahan dengan baik. Hal ini disebabkan berbedanya teori
(46)
setidaknya mampu menguasai ilmu-ilmu praktisi hukum semisal pembuatan surat kuasa yang tentunya akan dapat dikuasai lewat seminar, diklat maupun pelatihan tersebut.
• Sumberdaya Finansial
Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah program/kebijakan. Tanpa sumberdaya finansial maka suatu kebijakan tidak akan dapat berjalan efektif dan efisien karena tidak dapat menunjang segala kegiatan dan fasilitas yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kebijakan tersebut.
Saat ini BPN Propinsi Sumatera Utara terkhusus bidang lima masih mengalai kendala finansial baik dalam konteks penyelesaian kasus maupun peningkatan kapasitas satff. Kekurangan dari segi finansial ini kemudian turut mempengaruhi sumber daya manusia baik dari segi kualitas maupun segi kuantitas. Hal ini misalnya ketika program peningkatan kapasitas staf akan dilakukan. Ketika bidang tersebut membutuhkan anggaran untuk mengadakan pelatihan terkait penanganan kasus, namun karena terbatasnya anggaran yang ada sehingga pelatihan tersebut hanya dilakukan satu atau dua kali. Sementara peningkatan kapasitas staff tersebut baiknya dilakukan secara berkelanjutan. Sebab tentunya ada banyak pola baru maupun pengetahuan baru terkait penanganan kasus pertanahan yang terus muncul.
Selain itu, tidak semua operasional staf yang juga didukung dengan kemampuan finasial yang cukup. Hal ini misalnya ketika pihak BPN dipanggil
(47)
Sementara ketika pihak luar yang dipanggil sebagai saksi ahli tentunya harus disertai dengan pembiayaan kepada si saksi tersebut. Hal lain adalah banyaknya kasus konflik yang muncul dan butuh penanganan kasus yang harus segera dilakukan. Hal ini bisa terjadi diluar perkiraan yang tentunya membutuhkan anggaran yang cukup, namun karena ketiadaan anggaran maka proses penanganan kasus tersebut akan bisa tersendat. Dampak lain adalah kurangnya finansial ini memberikan efek domino pada kuantitas staff yang ada. Pada akhirnya hal ini bisa merembet pada elemen-elemen lain yang ada di lembaga tersebut.
• Fasilitas
Untuk mendukung proses implementasi kebijakan yang ada maka selain sumber daya manusia maupun finansial, tentunya juga harus didukung dengan fasilitas yang memadai. Adapun fasilitas yang terdapat pada BPN Propinsi Sumatera Utara terkhusus bidang lima adalah meja, kursi, ruang rapat, komputer, laptop, printer, alat ukur teodolit, speda motor maupun mobil dinas. Sejauh ini jika melihat ketersediaan fasilitas maupun perlengkapan yang ada tentunya masih perlu penambahan fasilitas. Hal ini untuk mendorong maupun meningkatkan kualitas pelayanan terkait penanganan kasus sengketa pertanahan di Sumatera Utara.
5.5 Struktur Birokrasi
(48)
ini mencakup dua hal penting yaitu mekanisme dan struktur organisasi pelaksana sendiri. Setiap organisasi memiliki mekanisme yang tertuang dalam prosedur operasi yang standar (standar operating procedures atau SOP), SOP inilah yang menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Tujuan kebijakan sering kali sangat luas dan kompleks sehingga melibatkan banyak aktor, organisasi, dan bahkan level pemerintahan yang berbeda, inilah yang menciptakan rentang kendali yang luas. Oleh karena itu diperlukan adanya kerjasama agar dapat mendorong tercapainya keberhasilan tujuan mengimplementasikan suatu kebijakan. Secara ringkas analisis sturktur birokrasi dan mekanisme yang ada pada BPN Propinsi Sumatera Utara adalah sebagai berikut.
Pertama adalah terkait struktur birokrasi. Adapun struktur organisasi yang ada di kantor BPN Propinsi Sumatera Utara dipimpin oleh kepala BPN Wilayah atau kepala kantor wilayah (kakanwil). Kakanwil ini memimpin enam bidang diantaranya Tata Usaha, Bidang Pengukuran, Survei, Pengukuran dan Pemetaan, Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah, Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat serta Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Sementara itu, kepala kantor wilayah baik kabupaten maupun kota merupakan elemen pendukung dari BPN Propinsi ini.
Sesuai Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, instrumen utama dalam konteks
(49)
juga bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Sementara itu instrumen lain merupkan bagian pendukung dalam proses penyelesaian kasus pertanahan tersebut, sebab hampir dalam setiap kasus turut bersinggungan dengan bidang-bidang tersebut.
Berdasarkan analisis peneliti, stuktur organisasi yang ada pada Kantor BPN Propinsi Sumatera Utara sesungguhnya sudah cukup baik dan mencakup segala kebutuhan dalam konteks penanganan kasus-kasus pertanahan yang ada di Sumatera Utara. Namun jika ditelisik lebih jauh, sekalipun dari segi kelengkapan struktur organisasi sudah cukup baik namun masih dapat ditemukan kelemahan-kelemahan di dalamnya. Pertama adalah terkait wewenang dari kepala kantor wilayah pertanahan. Berdasarkan peraturan kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011, dapat dilihat bahwa sesungguhnya wewenang kakanwil ini masih sangat terbatas dalam konteks penanganan dan penyelesaian kasus tersebut.
Hal ini misalnya terlihat dalam pasal 74 bagian kedua terkait kewenangan kakanwil. Disebutkan kakanwil mempunyai lima kewenangan. Antara lain keputusan pemberian hak atas tanah yang dikeluarkan oleh kepala kantor wilayah baik kabupaten maupun kota yang terdapat cacat hukum administrasi dalam penyerahannya. Kedua adalah keputusan pemberian hak atas tanaha yang kewenangan pemberiannya dilimpahkan kepada kakan dan kakanwil, untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Ketiga adalah hak milik atas satuan rumah susun untuk melaksanakan utusan
(50)
pendaftaran hak atas tanah asal penegasan/pengakuan hak yang terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitannya dan/atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Terakhir adalah pencatatan data yuridis/fisik dalam pemeliharaan data pendaftaran tanah sebagai lanjutan dari penyelesaian kasus pertanahan.
Lebih jauh dapat dilihat bahwa dalam konteks penanganan kasus pertanhana, kakanwil meliliki wewenang yang cukup terbatas. Dapat dilihat bahwa wewenang kanwil terkait kewenangan pembatalan hak atas tanah dan pendaftaran hak atas tanah asal konversi ini hanya terdapat dua poin. Sementara poin lainnya lebih pada merupakan wewenang lembaga lain diluar BPN Propinsi dalah hal ini adalah kewenangan. Tentunya hal ini menjadi salah satu hambatan dalam proses penyelesaian kasus-kasus pertanahan sebab wewenang tersebut lebih banyak berada pada domain BPN Pusat. Sementara posisi BPN Propinsi lebih banyak pada supporting data ke bagian pusat. Keterbatasan inilah yang menjadi salah satu hambatan dalam menyelesaikan kasus pertanahan. Kelemahan lain yang timbul akibat adanya struktur organisasi yang sedemikian panjang dan terbatasnya wewenang kakanwil adalah proses penanganan kasus yang membutuhkan waktu lama.
Kedua adalah terkait mekanisme. Adapun mekanisme penanganan kasus yang ada berdasarkan peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 dimulai dari penelitian/pengolahan data pengaduan. Selanjutnya akan dilakukan penelitian. Tahapan berikutnya adalah melakukan gelar kasus, kemuidan penyusunan risalah
(51)
evaluasi terhadap hasil penanganan sengketa. Penjelasan lebih jauh adalah seluruh rangkain proses penanganan sengketa akan dimulai dari pengolahan data berdasarkan data pengaduan yang diterima oleh BPN Propinsi. Adapaun data-data yang ada ini tentunya masih sangat terbatas untuk itu maka langkah selanjutnya adalah melakukan penelitian lebih mendalam terkait pengaduan tersebut untuk menggali fakta-fakta yang ada dilapangan. Setelah data tersebut sdah terkumpul dengan baik, maka akan dilakukan gelar kasus. Kemudian dilanjutkan dengan berita acara gelar kasus tersebut lalu terkahir adalah melakukan evaluasi dan monitoring terhadap rangkaian penaganan kasus tersebut.
Sekalipun dalam peraturan tersebut turut dijelaskan bagaimana SOP yang harus dilakukan, namun dapat dilihat lebih jauh bahwa masih terdapat kekurangan. Semisal dalam proses penanganan perkara yang diawali dengan penelitian/pengolahan data pengaduan. Dalam penanganan kasus pertanahan sesungguhnya proses penanganan tidak hanya dilakukan berdasarkan pengaduan yang datang kepada BPN saja. Tetapi tanpa adanya pengaduan, BPN bisa melakukan penanganan kasus pertanahan berdasarkan informasi yang didapat terkait konflik yang terjadi tanpa ada pengaduan. Sementara hal ini tidak turut disebutkan dalam peraturan tersebut.
Pada prkateknya di BPN Propinsi Sumatera Utara, mekanisme penanganan kasus pertanahan sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan aturan yang dimuat dalam peraturan tersebut. Pertama adalah proses penyelesaian kasus dimulai atas
(52)
elektronik. Setelah adanya kedua hal ini maka akan dilakukan penelitian lebih jauh terkait kasus tersebut. Disinilah peran kepala kantor kabupaten atau kota untuk mendukung data-data tersebut setelah adanya kordinasi dari pihak propinsi. Data yang sudah didapat kemudian dibedah dan dinalisis bersama. Setelah proses ini kemudian dapat dilihat apakah posisi kasus tersebut berada pada domain propinsi atau justru kementrian yang memiliki wewenang untuk menyelesaikannya. Apabila posisi kasus merupakan domain propinsi, maka propinsis akan menyelesaikan kasus tersebut tentunya dengan laporan kepada BPN Pusat. Namun apabila berada dalam domain BPN Pusat, maka BPN Propinsis dan Kabupaten atau kota akan berposisi sebagai supporting informasi maupun data kepada BPN Pusat dalam proses penyelesaiannya. Berdasarkan hal ini dapat dilihat bahwa mekanisme penanganan kasus yang dilakukan oleh propinsi sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan yang ada dalam peraturan tersebut.
5.2 Kendala Dalam Implementasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan
Dalam proses implementasi suatu kebijakan sering ditemui kendala-kendala yang terkadang menghambat proses implementasi kebijakan tersebut. Dalam penelitian ini adapun kendala yang dihadapi antara lain tidak adanya satu persepsi dalam proses penyelesaian satu kasus pertanahan. Hal ini disebabkan dalam proses penyelesaian satu kasus pertanahan harus melibatkan berbagai lembaga yang juga
(53)
misalnya Pengadilan, Dinas Kehutanan, DPR, Gubernur, Kepolisian bahkan hingga Kementrian Keuangan. Banyaknya lembaga yang terlibat kemudian memunculkan berbagai persepktif penyelesaian kasus sesuai dengan proses penanganan kasus di lembaga masing-masing yang terkadang berbeda antara satu lembaga dengan lembaga lainnya.
Selain itu, minimnya kewenangan BPN Propinsi dalam penyelesaian kasus pertanahan menjadi salah satu faktor yang turut menghambat proses penyelesaian kasus-kasus pertanahan. Hal ini mengakibatkan proses penyelesaian banyak memakan waktu pada proses kordinasi antara pusat dan daerah. Sementara apabila wewenang BPN Propinsi diperluas tentunya proses penyelesaian kasus-kasus tersebut akan lebih cepat sebab komunikasi maupun kordinasi banyak berada di level daerah dan selanjutnya dapat dilaporkan kepada BPN Pusat.
Banyaknya mafia tanah turut menjadi salah satu faktor penghambat. Adapun oknum ini seringkali mengatasnamakan masyarakat banyak bahkan memanfaatkan masyarakat tersebut untuk mendapatkan tanah. Tanah yang sudah jelas dimiliki oleh satu individu tertentu bisa menjadi objek sengketa atau sengaja disengketakan. Hal ini semakin pelik sebab tidak hanya dari segi finansial, mafia tersebut juga seringkali memiliki pengaruh politik yang cukup kuat. Hal ini mengakibatkan BPN Propinsi harus bekerja keras dalam membedah, menganalisa serta memiliki keberanian yang cukup.
(54)
Tantangan lain adalah kesiapan BPN Propinsi dalam menyelesaikan kasus-kasus pertanahan. Baik kesiapan dari segi finansial maupun sumber daya, baik kuantitas maupun kualitasnya. Segi finansial ini seringkali menjadi salah satu faktor penting penentu kualitas dan kuantitas yang berimplikasi pada cepat atau lambatnya prses penyelesaian kasus-kasus pertanahan. Saat ini, BPN Propinsi masih mengalami kendala terkait kecukupan finasial dalam melakukan penanganan kasus pertanahan yang ada. Sementara itu jumlah kasus pertanahan, pola maupun aktornya kerap berubah dan berbeda-beda. Untuk itu BPN Propinsi harus benar-benar siap agar proses penanganan kasus-kasus pertanahan bisa berjalan maksimal.
(55)
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia pada tahun 2011 yaitu Joyo Winoto, Ph.D.
Adapun peraturan ini dimaksudkan untuk mengetahui akar, sejarah tipologi kasus pertanahan dalam rangka merumuskan kebijakan strategis penyelesaian kasus pertanahan di Indonesia. Selain itu adalah untuk menyelesaiakan kasus pertanahan yang disampaikan Kepala BPN RI agar tanah dapat dikuasai, dimiliki, dipergunakan dan dimanfaatkan oleh pemiliknya serta dalam rangka kepastian dan perlindungan hukum. Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan ini ini sendiri bertujuan untuk memberikan kepastian hukum akan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemafaatan tanah di Indonesia.
Ini merupakan hasil studi yang dilakukan peneliti pada Kantor Badan Pertanahan Propinsi Sumatera Utara. Peneliti menggunakan teori implementasi kebijakan George Edward III yang meliputi empat variabel yaitu ;
• Komunikasi
Implemetasi Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dengan variabel komunikasi secara umum belum berjalan maksimal. Pada tingkatan
(56)
implementer komunikasi dan kordinasi sudah berjalan dengan baik sebab masing-masing bagian sudah memiliki tupoksi masing-masing yang akan dikerjakan. Namun komunikasi ke tingkatan masyarakat belum berjalan maksimal. Hal ini ditandai dengan masyarakat yang sering menuntut BPN Propinsi untuk menyelesaikan kasus yang dihadapi padahal hal tersebut bukan wewenang BPN Propinsi.
• Sumberdaya
Implemetasi Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dengan variabel sumberdaya yang terdiri dari sumberdaya manusia, sumberdaya finansial, dan fasilitas secara umum belum mencukupi. Hal ini dapat dilihat pada bagian sumber daya manusia yang masih membutuhkan staff agar pelaksanaan peraturan ini lebih maksimal. Demikian halnya dengan finansial yang terbatas sehingga turut mempengaruhi kualitas sumber daya manusia yang ada didalamnya.
• Disposisi
Implemetasi Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dengan variabel disposisi sudah berjalan dengan baik. Namun variabel ini masih rentan mengalami penurunan apabila tidak didukung dengan maksimalnya variabel lain semisal sumberdaya. Baik sumber daya finansial, manusia maupun
(57)
• Struktur Birokrasi
Implemetasi Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dengan variabel struktur birokrasi masih kurang terpenuhi. Dari segi struktur organisasi dalam implementasi peraturan ini sudah terpenuhi dengan baik dengan adanya struktur organisasi yang baik serta masing-masing bidang yang mendukung pelaksanaan peraturan tersebut. Hanya saja struktur birokrasi yang begitu luas serta kewenangan penyelesaian kasus yang berada lebih banyak pada tingkatan BPN Pusat dibandingkan BPN Propinsi. Hal ini mengakibatkan implementasi peraturan ini terutama dalam aspek penanganan kasus pertanahan belum berjalan dengan baik.
6.2 Saran
Adapun saran peneliti dalam Implemetasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan sebagai berikut:
• Perlu menjalin komunikasi yang lebih intens dengan multi pihak terutama masyarakat terkait wewenang BPN Propinsi dalam penanganan kasus pertanahan agar masyarakat mengetahui bagaimana proses dan alurnya.
• Penyelesaian kasus pertanahan tidak hanya tanggung jawab BPN, untuk itu perlu membangun komunikasi dengan setiap lembaga maupun dinas yang berhubungan dengan dengan penyelesaian kasus agar komunikasi dan kordinasi penyelesaian kasus berjalan lebih efektif.
(58)
• Segi sumber daya perlu dibenahi sebab masih terdapat kekurangan terutama pada bidang anggaran. Hal ini kemudian berdampak pada kuantitas dan juga kualitas sumber daya manusia yang ada didalamnya sehingga akan berdampak pada progres penanganan dan penyelesaian kasus-kasus pertanahan.
• Penyelesaian kasus-kasus pertanahan perlu komitmen dan keseriusan. Sebab kasus-kasus pertanahan berhubungan dengan hajat hidup orang banyak.
• BPN Propinsi sebagai sentral penanganan kasus pertanahan di daerah perlu wewenang yang lebih besar dalam penanganan kasus-kasus pertanahan. Hal ini dikarenakan posisi kasus yang berada di daerah. Sehingga selain waktu tempuh dan lebih ekonomis, masyarakat juga dapat memantau perkembangan penyelesaian kasus dengan lebih intens.
• Sengketa atas tanah terjadi tidak hanya karena kebutuhan dasar untuk hidup tetapi juga motif kepentingan ekonomi yang lebih besar. Sebab pihak yang bersengketa tidak hanya masyarakat kecil tetapi juga sering melibatkan perusahaan, lembaga maupun mafia tanah. Untuk itu perlu kejujuran dan ketelitian dalam menangani kasus-kasus pertanahan yang lebih adil.
(59)
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari apa yang diamati. Adapun alasan peneliti menggunakan bentuk penelitian deskriptif kualitatif adalah untuk melihat Implementasi Peraturan Kepala BPN RI No.3 Tahun 2011 di BPN Propinsi Sumatera Utara.
2.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara di Jl. Brigjen Katamso No. 45 Medan.
2.3. Informan Penelitian
Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil penelitiannya. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal adanya populasi dan sampel. Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian.
(60)
dan informan yang digunakan adalah mereka yang benar-benar paham mengenai permasalah yang akan diteliti. Adapun informan dalam penelitian adalah :
• Informan kunci yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Adapun informan kunci yang dimaksud adalah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara.
• Informan utama yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Adapan informan utama yang dimaksud adalah Kepala Badan Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara.
2.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
• Teknik pengumpulan data primer, yaitu data yang diperoleh langsung di lokasi penelitian untuk mencari kebenaran dan data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara:
• Wawancara, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya jawab secara langsung dan mendalam untuk memperoleh data lengkap dan mendalam kepada pihak-pihak yang terkait.
• Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengamati secara langsung terhadap objek penelitian kemudian mencatat gejala-gejala yang
(61)
• Teknik pengumpulan data sekunder, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui pengumpulan kepustakaan untuk mendukung data primer. Teknik ini digunakan dengan menggunakan instrument:
• Studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan catatan-catatan atau dokumen yang ada di lokasi penelitian atau sumber-sumber lain yang relevan dengan objek penelitian.
• Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku, karya ilmiah, serta pendapat para ahli yang memiliki relevansi dengan masalah yang akan diteliti.
2.5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk membuat suatu deskripsi dari gejala yang diteliti. Adapun teknik analisa data dalam penelitian ini yaitu peneliti mengkonfirmasi seluruh data primer dan data sekunder yang ada. Teknik analisis data kualitatif dilakukan dengan menyajikan data yang dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul, mempelajari data, dan menyusunnya dalam satu satuan yang kemudian dikategorikan pada tahap berikutnya, memeriksa keabsahan serta menafsirkannya dengan analisis sesuai dengan kemampuan daya nalar peneliti untuk membuat kesimpulan penelitian.
(62)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan manusia atas tanah merupakan sesuatu yang tidak dapat disangkal. Tanah memiliki fungsi yang sangat vital terhadap keberlanjutan hidup manusia. Hal ini disebabkan karena tanah merupakan salah satu sumber mata pencaharian bagi manusia semisal bertani. Terutama di Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris.
Besarnya fungsi tanah terhadap manusia ini seringkali menjadi arena pertarungan yang sering diperebutkan. Sebab selain alasan sumber pencaharian, setiap tahun nilai ekonomis tanah juga meningkat semakin pesat. Tidak dapat dihindari tanah pada akhirnya sering menjadi sumber konflik bagi beberapa pihak yang memperebutkan. Perebutan maupun sengeketa atas tanah inilah yang kemudian disebut sebagai konflik agraria berdasarkan Undang-Undang Pokok Aagraria (UUPA 1960) Pasal 2 ayat 1. Dimana di dalmnya termasuk tanah, air, ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Soal agraria (soal tanah) soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup, manusia. Untuk ini orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya.
(63)
Berdasarkan laporan akhir tahun Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), jumlah kasus konflik agraria yang terjadi di Indonesia cenderung mengalami pengingkatan sepanjang tahun 2012 sampai 2014. Peningkatan jumlah kasus konflik ini terutama terjadi di 5 provinsi terbesar sebagai penyumbang konflik agraria di Indonesia. Urutan pertama tahun 2012, Jawa Timur misalnya. Jika tahun 2012 terdapat 24 kasus, tahun 2014 sudah mencapai 44. Demikian Jawa Barat dari 13 menjadi 39 maupun Sumatera Selatan dari 13 menjadi 33 kasus.
Terbitnya peraturan Kepala BPN RI No.3 tahun 2011 tentunya menjadi langkah baru bagi penyelesaian konflik agraria di Indonesia. Peraturan ini sendiri berisi tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan kasus pertanahan. Dimana di dalamnya berisi beberapa hal semisal Standar penyelesaian kasus-kasus pertanahan. Sekalipun pada awal munculnya peraturan tersebut yaitu tahun 2011, tercatat jumlah kasus konflik agraria justru meningkat semakin pesat sepanjang 2012-2014. Di tahun keempat atau tahun 2015 jumlah kasus konflik agraria dapat dilihat semakin menurun.
Sumatera Utara sendiri sepanjang tahun 2012-2015 masuk menjadi 5 (lima) besar Provinsi penyumbang kasus konflik agraria terbanyak di Indonesia. Tercatat pada tahun 2012, ada sekitar 21 kasus di Sumatera Utara, kemudian menjadi 33 kasus di tahun 2014 dan 15 kasus pada tahun 2015. Menurunnya jumlah konflik agraria sepanjang tahun 2014-2015 di Sumatera Utara menjadi hal yang patut diapresiasi. Apalagi jika dibandingkan dengan 5 provinsi terbesar penyumbang kasus konflik
(1)
IMPLEMENTASI PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL (BPN) REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN, PENGKAJIAN DAN PENANGANAN KASUS
PERTANAHAN
(Studi Pada Kantor Kepala Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara) D
I S U S U N OLEH:
ERWIN SIPAHUTAR 140921010
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
KATA PENGANTAR
Ucapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada mereka yang sudah banyak berkontribusi mulai dari proses awal hingga selesainya skripsi yang berjudul “Implementasi Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan (Studi Pada Kantor BPN Propinsi Sumatera Utara”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sosial dari Departemen Ilmu Administrasi Negara di Universitas Sumatera Utara.
Terutama kepada kedua orang tua, Lusten Sipahutar dan Marsauli Pardosi, yang sudah banyak menginspirasi penulis mulai dari proses awal hingga selesainya pendidikan ini. Terima kasih atas doa-doa tulus dan semangat-semangat terbaiknya. Bagi merekalah skripsi ini dipersembahkan. Semoga selalu sehat, berbahagia dan tetap menginspirasi.
Selain itu rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada mereka yang sudah banyak mendukung dan membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :
1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku Dekan FISIP USU
2. Bapak Drs. Rasyudin Ginting, M. Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara
3. Ibu Arlina, SH, M. Hum selaku dosen pembimbing skripsi yang sudah begitu sabar dan setia membimbing penulis selama pengerjaan skripsi ini
4. Bapak, Ibu dosen serta staf administrasi di Departemen Ilmu Administrasi Negara
5. Kepada Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara terutama kepada Bapak Erwin Ananda selaku kepala bidang V yang begitu sabar dalam meladeni
(3)
6. Kepada rekan-rekan di Hutan Rakyat Institute (Southeast Asia Institute for
Forest and People Studies) yang sudah memberikan banyak waktu kepada
penulis untuk fokus menyelesaiakan skripsi ini utamanya kepada kak Wina Khairina juga Bang Saurlin Siagian.
7. Kepada Prof. Christian Lund (Copenhagen University/Denmark, rekan penulis dalam melakukan Research on Land Occupations in North Sumatera yang banyak memotivasi penulis sekaligus menjadi teman diskusi yang bernas 8. Kepada seluruh teman-teman KDAS (Ketua Goklas, Adinda Bintang, Reina,
Parjo dll) dan juga komunitas Rumah Jangga. Terkhusus buat Evi Oktavia, Erin Stella,Pastor Homar Distajo juga Yoko Berutu
9. Seluruh teman-teman Ekstensi Administrasi Negara angkatan 2014 diantaranya Adinda Fitrah Purnama, Kerin Sembiring, Fani dan Lae Naga dll 10. Special thanks untuk Francesca Bini (Art Center College of Design,
Pasadena, CA-USA). Terima kasih banyak atas support nya terutama materi
yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Besarlah upahmu disorga nona. Terakhir, secara khusus terima kasih disampaikan penulis untuk Ira R Purba, tetaplah ceria adinda.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan dan isi, mohon saran dan kritik yang dapat membangun kebaikan skripsi ini. Akhir kata, kiranya setiap pembaca dapat menemukan hal bermanfaat didalam skripsi ini. Sekian dan terima kasih.
Medan, Oktober 2016
(4)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Fokus Masalah. ... 3
1.4. Tujuan Penelitian ... 3
1.5. Manfaat Penelitian ... 4
1.6. Kerangka Teori ... 4
1.6.1. Kebijakan Publik ... 5
1.6.2. Implementasi Kebijakan ... 8
1.6.3. Variabel Yang Relevan Dengan Implementasi Peraturan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan, Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan ... 21
1.6.4. Gambaran Umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Penanganan Kasus Pertanahan ... 23
1.7. Definisi Konsep ... 25
1.8. Defenisi Operasionalisasi ... 26
1.9. Sistematika Penulisan. ... 38
(5)
2.2 Lokasi Penelitian ... 30
2.3 Informan Penelitian ... 30
2.4 Teknik Pengumpulan Data ... 31
2.5 Teknik Analisa Data ... 32
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 3.1. Gambaran Umum Pemerintah Pemerintah Propinsi Sumatera Utara ... 33
3.1.1. Visi dan Misi Propinsi Sumatera Utara ... 33
3.1.2. Struktur Organisasi. ... 34
3.2. Gambaran Umum Kantor BPN Propinsi Sumatera Utara ... 38
3.2.1. Makna dan Arti Logo BPN ... 38
3.2.2. Visi dan Misi BPN ... 40
3.2.3. Tugas dan Fungsi Kantor BPN Propinsi Sumatera Utara ... 41
3.2.4. Struktur Organisasi Kantor BPN Propinsi Sumatera Utara ... 43
BAB IV PENYAJIAN DATA 4.1. Hasil Wawancara (Variabel Implementasi) ... 46
4.1.1. Komunikasi ... 46
4.1.2. Disposisi ... 50
4.1.3. Sumber Daya. ... 53
4.1.4. Struktur Birokrasi. ... 55
(6)
BAB V ANALISA DATA
5.1. Proses Implementasi Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun
2011 ... 60
5.2. Komunikasi ... 63
5.3. Disposisi. ... 67
5.4. Sumber Daya. ... 74
5.5. Struktur Birokrasi. ... 78
5.6. Kendala dalam Implementasi Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 pada Kantor BPN Propinsi Sumatera Utara... 82
BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan ... 85
6.2. Saran ... 87
DAFTAR PUSTAKA ... 89 LAMPIRAN