Dalam Permainan Gangsingan Dalam Tata Kota Keraton Yogyakarta

meskipun demikian, banyak juga diisi dengan kegiatan lain yang berbau telanjang terutama ndhang-dhut, yang lain juga judi seperti jual rokok berhadiah, dan lain-lain. Yang demikian sudah barang tentu bisa menurunkan iman, hingga bertentangan dengan ajaran tersirat dalam wisata Wanalela tersebut.

9. Dalam Permainan Gangsingan

Gangsingan adalah sebuah permainan—biasa dilakukan oleh anak-anak, bahkan orang dewasa. Permainan tersebut terbuat dari kayu bentuknya bulat rata-rata sebesar kepal tangan—bagian atas adalah kepala, bawah perut dan pantat kemudian diberi paku. Cara memainkannya, leher gangsingan dikalungi seutas tali, kemudian dipacu atau dilempar ke tanah hingga bergerak memutar kencang, tetapi sebentar kemudian mati. Jadi, gangsingan itu hidup sebentar kemudian mati urip sak uripan Karena demikian permainan gangsingan, dimana gangsingan tersebut hanya urip sak uripan, maka ajaran yang didakwahkan para Wali di dalamnya adalah ajaran urip sak uripan. Artinya, ajaran yang mengingatkan kita pada kematian selebihnya agar tata-tata sanguning pati: siap-siap bekalnya orang mati yakni iman-amal sholeh. Perlu diketahui bahwa permainan gangsingan dulu membudaya subur di tengah-tengah masyarakat Jawa, tetapi sekarang tidak. Masih ada sebenarnya, tetapi kadang-kadang karena tidak tahunya orang Jawa terhadap maksud gangsingan, maka digunakan untuk permainan terlarang toh-tohan atau judi.

10. Dalam Tata Kota Keraton Yogyakarta

Yogyakarta, merupakan potret Pulau Jawa—menjadi Ibukota Indonesia sebelum Jakarta, di mana terdapat sebuah keraton dengan serta merta penataan kota di dalamnya yang sangat diagungkan oleh masyarakat Yogyakarta itu sendiri. Mulai dari dusun Krapyak Bantul, ke utara ada dusun wijil. Di sebelah utara dusun Wijil ada jalan yang ditanami pohon tanjung dan kecik. Di sebelah utara jalan yang ditanami pohon tanjung dan kecik ada Plengkung Gading. Di sebelah utara plengkung gading ada alun- alun. Di sebelah utara alun-alun ada pasewakan dan Sela gilang. Di sebelah utara pasewakan dan Sela gilang ada jalan Malioboro. Di sebelah utara Jalan Malioboro ada Tugu Yogyakarta yang berdiri tegak menjulang ke atas. Tata kota keraton Yogyakarta tersebut merupakan simbolisme dakwahnya para Wali kepada manusia. Dusun Krapak, adalah simbolisme daripada tempat ketika roh manusia masih “di sana”—sebelum lahir. Di sebelah utara dusun Krapyak, ada dusun Wijil. Wijil, asalnya dari kata mijil artinya lahir—simbolisme daripada manusia lahir. Di sebelah utara dusun Mijil, ada jalan yang ditanami pohon tanjung dan kecik. Maknanya, manusia yang baru lahir itu sangat disanjung-sanjung, karena memang masih becik-becik, masih suci belum punya dosa. Di sebelah utara jalan yang ditanami pohon Tanjung dan Kecik, ada Plengkung Gadhing. Plengkung Gading, adalah simbolisme daripada alis yang melengkung seorang remaja simbolisme usia baligh. Di sebelah utara Plengkung Gading ada alun-alun, asalnya dari kata alwanun bahasa Arab, artinya beraneka ragam. Alun-alun tersebut biasa digunakan untuk kegiatan beraneka ragam: untuk belajar memanah, naik kuda, dan lain-lain. Maksudnya, agar anak itu setelah usia remaja mau belajar dengan baik—ditempa agama dan sebagainya, hingga usia dewasa menjadi orang yang berbakti kepada Tuhan menjalankan sholat—disimbolkan dengan sela gilang. Dari alun-alun ke utara ada jalan Malioboro. Malioboro, asalnya dari kata wali dan obor. Wali bahasa Arab, artinya kekasih—kekasih Allah yang banyak memberikan dakwah kepada manusia. Obor bahasa Jawa, artinya lampu—berfungsi untuk menerangi kegelapan. Malioboro adalah Wali yang banyak memberikan dakwah kepada manusia untuk menerangi kegelapan. Jalan malioboro, adalah simbolisme daripada jalan dakwah seperti dilakukan oleh para Wali. Malioboro ke utara, sampailah pada tugu yang berdiri tegak menjulang ke atas. Artinya apabila kuwajiban sholat dan dakwah itu ditunaikan dengan baik, maka jadilah orang yang bisa paham agama; paham Tuhan sebagai Holik, diri sebagai mahluk. Berdasarkan tata kota Yogyakarta tersebut, maka ajaran yang didakwahkan para Wali di dalamnya adalah ajaran tentang pentingnya ibadah dan dakwah agar manusia paham kepada penciptanya, yakni Allah Subhanahuwata’ala. Jadi kota Yogyakarta itu sebenarnya adalah kota yang diprogram sedemikian rupa agar rakyatnya mempunyai semangat agama baik ibadah maupun dakwah. Sebagai kota yang diprogram agar rakyatnya mempunyai semangat agama, kecuali bisa dilihat dalam tata kotanya, juga bisa dilihat dalam kepemerintahannya. Dalam kepemerintahannya Raja bergelar Khalifatullah sayyidin panatagama, artinya khalifah yang diagungkan sebagai pemimpin agama. Mungkin, memang Indonesia ini merupakan potret kehidupan agama yang dicita-citakan oleh pendahulu kita dulu, yakni ideal—ada Aceh sebagai potret kehidupan syare’at—ibadah, ada Yogyakarta sebagai potret kehidupan kebijakan—dakwah. Antara Aceh dan Yogyakarta ibarat dua sisi mata uang yang harus ada.

11. Dalam Gerak Tari: Sembah, Ngrangkul dan Seblak Sampur