Macapat Dalam Sebuah Lagu a. Lir-ilir

Subuh, Dluhur, Asar, Maghrib, dan Isak. Artinya, kita semua disuruh untuk melakukan sholat lima waktu tersebut. Lunyu-lunyu peneken: walaupun licin tetaplah untuk dipanjat. Maksudnya abot-abot lakonana: berat seperti apapun agar hendaknya sholat itu tetap dilakukan. Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane: senyampang besar bulannya, senyampang luas putarannya. Maksudnya mumpung kita masih diberi umur panjang; masih diberi hidup. Ya suraka-surak hore: bersorak-sorailah “hore”. Maksudnya kita semua disuruh untuk bahagia menerima kabar tersebut. Ajaran yang didakwahkan oleh para Wali dalam “lir-ilir .......” tersebut, adalah pentingnya orang melakukan sholat dengan baik. Perlu diketahui, bahwa dalam megartikan tembang: “lir-ilir .....” itu tidak selalu demikian seperti di atas. Ada yang mengartikan bahwa lir-ilir-lir ilir tandure wis sumilir itu: makin subur dan tersiarlah agama Islam yang dibawa oleh para Wali. Tak ijo royo- royo, hijau itu lambang agama Islam, maksudnya agama Islam semakin subur, dan sebagainya. Kemudian untuk cah angon, cah angon penekna blimbing kuwi, blimbing itu bukan simbolisme daripada sholat lima waktu, tetapi simbolisme daripada rukun Islam lima perkara: syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji.

b. Macapat

Macapat, adalah sebuah tembang Jawa. Tembang, asalnya dari kata tembung dan kembang—tembung sing diwenehi kembang kata yang diberi kembang. Kembang, berkonotasi indah. karena tembung atau kata itu diberi kembang, maka tembung atau kata tersebut kemudian menjadi indah. Kecuali indah kata-kata atau kalimatnya, juga indah lagunya. Tembang, adalah merupakan konsep dakwah para Wali. Artinya dakwah itu hendaknya dilakukan dengan indah; dengan bijaksana tidak kasar, tidak vulgar tidak dengan syariat apa adanya—ini sesuai dengan dasar Al-Qur’an dalam surat An-Nahl, 125 yang menyebutkan “ud’uu ila sabiili robbika bilhikmah.....” bukan “ud’uu ila sabiili robbika bilsyari’at..” Macapat, adalah sebuah lagu Jawa atau tembang Jawa yang jumlahnya ada 11 macam. Berikut nama dan urutannya: 1. Mijil, 2. Kinanthi, 3. Sinom, 4. Asmarandana, 5. Gambuh, 6. Dandanggula, 7. Pangkur, 8. Durma, 9. Mas Kumambang, 10. Megatruh, dan 11. pocung. Nama dan urutan tembang tersebut mempunyai simbol manusia lahir sampai dengan mati. Mijil, artinya lahir. Tembang Mijil ini simbolisme daripada manusia lahir. Ia masih menyenangkan belum punya kesalahan, belum punya dosa, hingga setiap orang senang kepadanya. Kinanti, artinya dikanthi; dituntun: simbolisme daripada anak kecil yang masih harus dituntun atau dididik dengan baik. Sinom—nom, artinya muda—pemuda. Dalam perjalanannya, setelah anak itu besar, kemudian disebut pemuda. Asmarandana—asmara, artinya jatuh cinta. Maksudnya setelah anak itu besar menjadi pemuda, maka pemuda itu akan jatuh cinta kepada lawan jenis. Gambuh artinya cocok. Maksudnya setelah pemuda itu mempunyai perasaan cinta kepada lawan jenis, maka akan mendapatkan jodoh yang cocok. Dandang gula—dandang artinya alat untuk menebang kayu, gula, artinya manis. Maksudnya manusia yang sudah mendapatkan jodoh dan berujung sampai pada punya anak itu adalah manusia- manusia dalam usia siap kerja berat untuk mencarikan nafkah— walaupun berat, tetapi tetap senang manis. Pangkur—mungkur artinya membelakangi. Maksudnya orang atau manusia setelah sekian lama hidup, dalam perjalanannya kemudian menjadi tua yang senantiasa harus menghindarkan diri dari nafsu-nafsu dunia. Durma—mundur lima artinya mundur dari lima perkara. Maksud mundur dari lima perkara itu adalah tidak melakukan ma- lima, yakni main judi, madat narkoba, madon main perempuan, maling mencuri, dan minum minum-minuman keras. Mas Kumambang artinya mas terapung mas itu berat, tetapi kumambang atau terapung. Maksudnya, orang yang sudah tua tinggal menunggu kematian hingga masa-masa itu umurnya seperti emas artinya sangat berharga untuk beribadah kepada Allah. Megatruh—megat ruh artinya menceraikan nyawa. Megat artinya menceraikan—cerai atau pisah. Ruh artinya nyawa. Pegat ruh artinya pisah nyawa—pisah nyawa dengan badan: mati. Megatruh adalah simbolisme daripada kematian. Pocung artinya pocong—dipocong—dikafani dengan mori atau kain berwarna putih. Maksudnya, setelah manusia itu mati, maka akan dipocong—dikafani dengan mori atau kain berwarna putih. Berdasarkan keterangan arti dari tembang macapat tersebut, maka ajaran yang didakwahkan oleh para Wali di dalamnya adalah pentingnya mengingat kematian, selebihnya agar tata-tata sanguning pati, yakni iman—amal sholeh. Perlu diketahui, bahwa tembang macapat sekarang ini banyak di lantunkan sebagai kegiatan penting oleh masyarakat yang tidak saja beragama Islam, tetapi juga beragama lain. Bahkan tembang macapat pula sering di lantunkan di gereja-gereja, sebagai kidung pujian. Hal ini tentu saja tidak tepat atau bahkan berlawanan. Sebab, tembang macapat itu digunakan untuk mengingatkan kematian orang ]Islam dangan bahasa “pocong” yang karena memang syariatnya orang Islam itu kalau mati di pocong. Kalau orang Nasrani itu syariatnya mati didandani pakai jas hitam, celana hitam, sepatu hitam, dan sebagainya, adakah bisa diingatkan dengan bahasa “pocong” dengan kafan atau mori putih ?, tentu saja tidak.

d. Kalayung-layung