tidak baik seperti yang diharapkan. Aplikasi ini kaitannya dengan kesabaran dan target yang akan dicapai—tidak usah tergesa-gesa,
agar hasilnya bisa tercapai. Semua itu dilakukan, sebab para Wali tahu bahwa umat hari ini
rusak—gambarannya seperti tulang rusuk: dibiarkan bengkok, diluruskan putus, istilah Jawa diajak ora gelem, ditinggal gulung
koming : diajak iman kepada Allah agar bahagia tidak mau, tetapi kalau dibiarkan--tidak diajak mereka sengsara.
Gambaran lain dari kerusakan umat ini seperti anak kecil yang belum tahu lapar dan haus—sebenarnya anak ini lapar dan haus--
obatnya tidak ada selain harus makan dan minum, tetapi karena tidak tahu, maka ketika diberi makan dan minum di-tamplek-tamplek—
tidak mau. Oleh karena itu, maka sabar dalam dakwah agar berhasil, sangat ditekankan.
Terhadap seorang dai kesabarannya dakwah kepada umat ini digambarkan seperti ketika meminta pisau yang sedang dibawa oleh
adiknya untuk mainan, dimana pisau tersebut sangat membahayakan, maka harus memintanya dengan sabar berbagaai rayuan hingga
diberikan. Bukan ketika memintau pisau dari adiknya tidak diberikan malah, malah mengatakan “waa wis karepmu kono keperang ya driji-
drijimu dhewe”: “wa sudah biarkan situ kena jari juga jari-jarimu sendiri”—itu tidak sifat dai.
1. Kesungguhan Dakwah Para Wali Dakwah.
Kesungguhan para Wali Dakwah adalah Sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh--dakwah sebagai pekerjaan pokok. Sedang dagang,
tani, guru, atau yang lain, hanya sebagai pekerjaan samben atau sambilan saja.
Pemikiran orang Jawa tentang sungguh-sungguh tersebut, bisa dilihat dalam bahasa samben yang diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, serta bisa dilihat dalam prinsip dagang yang ada.
Bahasa samben yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, bisa dilihat ketika menanyakan sebuah pekerjaan pada seseorang:
“sambene napa pak ?, nyambi napa pak ?, napa sambene pak ?: pedagang ?, petani ?, guru ?.
Sambilannya apa pak ? nyambil apa pak ?, apa sambilannya pak ?, pedagang ?, petani, guru ?.
Jadi, seluruh pekerjaan yang dilakukan oleh orang Jawa tersebut dianggapnya sebagai sebuah samben atau sambilan. Jika demikian—
seluruh pekerjaan orang Jawa tersebut di anggapnya sebagai sambilan, lalu pekerjaan pokoknya apa ?—dulu tidak banyak orang
tahu, tetapi sekarang setelah adanya usaha dakwah orang-orang Tabligh, terjawab sudah bahwa pekerjaan pokoknya orang Jawa
adalah dakwah. Oleh karena itu, ajaran di balik bahasa samben tersebut adalah agar semua orang Jawa mau mengambil usaha
dakwah sebagai pekerjaan pokoknya. Prinsip dagang yang ada di dalam kehidupan masyarakat Jawa,
adalah: tuna satak, bathi sanak, artinya tidak mengapa rugi dagang, asal untung dapat saudara.
Tidak mengapa rugi dagang, maksudnya pekerjaan dagang termasuk pula petani, guru, dan sebagainya itu hanya sebagai
keperluan saja sebagai pekerjaan samben atau sambilan, sedang asal mendapatkan saudara, artinya dakwah itu sebagai maksud dan
tujuan sebagai pekerjaan pokok. Dakwah sebagai pekerjaan pokok, karena maksud dan tujuan dakwah itu memang mencari saudara—
dalam satu kalimat hlaailaahaillallaah. Rejeki buat orang Jawa, sangat-sangat mudah—seperti elah
dikatakan di atas: “‘rasah kuwatir angger ana dina rak ya ana upa, angger padhang rak mangan, angger obah rak mamah, anak lahir
nggawa rejeki dhewe-dhewe, akeh anak akeh rejekine, rejeki jodho pati iku wis ana sing ngatur”.
‘Rasah kuwatir, angger ana dina rak ya ana upa: tidak usah kuwatir, jikalau ada hari pasti ada nasi—maksudnya pasti makan,
angger padhang rak mangan: jikalau masih ada siang hari nanti rak makan, angger obah rak mamah, artinya kalau mau gerak nanti rak
makan—yang penting mau usaha apa pun bentuknya—ora nggegem tangan, pasti dapat rejeki. Yang penting diketahui, usaha memang
harus, tetapi percaya pada usaha adalah musrik. Oleh karena itu dhohirnya tetap usaha, tetapi batinnya tetap percaya--iman kepada
Allah. Anak lahir nggawa rejeki dhewe-dhewe, atau akeh anak akeh
rejekine, artinya setiap anak lahir itu sudah membawa rejeki sediri- sendiri, atau banyak anak banyak rejekinya. Jadi, semakin banyak
anak rejekinya semakin ditambah, bukan semakin dibagi. Bukan ketika dulu anaknya satu rejekinya Rp. 100.000 seratusribu rupiah,
tetapi setelah anaknya dua rejekinya Rp. 50.000 limapuluhribu Rupiah, tetapi yang benar ketika dulu anaknya satu rejekinya Rp.
100.000 seratusribu Rupiah, setelah anaknya dua rejekinya Rp. 200.000 duaratusribu Rupiah. Oleh karena itu, maka kalau KB
dengan itikat maido kepada pemelihari manusia “jangan-jangan Tuhan tidak bisa memelihara anak saya yang banyak, jangan-jangan
Tuhan tidak mengasih rejeki anak saya yang banyak ……”, hukumnya haram
Rejeki jodho pati iku wis ana sing ngatur, artinya rejeki jodoh dan mati itu sudah ada yang mengatur”. Siapa yang mengatur ?,
Allah . Oleh karena itu agar setiap orang ridla dengan apa yang telah diberikan Tuhan. Semua itu kan dating deengan sendirinya--nek
diburu mlayu, nek ditinggal ngetutke. Rejeki yang tidak boleh didahulukan pula daripada dakwah,
orang Jawa mengatakan: bandha iku titipan, nyawa gadhohan, pangkat sampiran. Artinya, baik harta, diri, dan jabatan, itu tidak
akan langgeng—semua milik Allah dan akan kembali kepada Allah.
Oleh karena itu orang Jawa yang tulen adalah orang Jawa yang tidak blereng nyawang bandha, artinya tidak silau melihat harta; tidak
terlalu nafsu untuk memiliki harta, karena memang sebanyak- banyaknya harta nilainya tidak akan melebihi sebelah sayap nyamuk.
2. Semangat Dakwah Para Wali