Hubungan antara Keberadaan Saninten (Castanopsis argenta Blume) dengan Beberapa Sifat Tanah Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

(1)

HUBUNGAN ANTARA KEBERADAAN

SANINTEN (

Castanopsis argentea

BLUME)

DENGAN BEBERAPA SIFAT TANAH: KASUS DI

TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE –

PANGRANGO, JAWA BARAT

CAHYO WIBOWO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi

Hubungan antara

Keberadaan Saninten (

Castanopsis argentea

Blume) dengan

Beberapa Sifat Tanah: Kasus di Taman Nasional Gunung Gede –

Pangrango, Jawa Barat

, ini adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan / atau dicantumkan dala m daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2006

Cahyo Wibowo


(3)

ABSTRAK

CAHYO WIBOWO. Hubungan antara Keberadaan Saninten (Castanopsis argentea)

dengan Beberapa Sifat Tanah: Kasus di Taman Nasional Gunung Gede – Pangrango, Jawa Barat. Dibimbing oleh F. GUNARWAN SURATMO, CECEP KUSMANA, SARWONO HARDJOWIGENO dan ENDANG SUHENDANG.

Hutan dataran tinggi, karena peranan pentingnya sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan, kalau akan diarahkan untuk produksi hasil hutan, seyogyanya ditujukan untuk memproduksi hasil hutan non kayu. Saninten (Castanopsis argentea) adalah salah satu spesies hutan dataran tinggi yang selain mampu mempr oduksi kayu, juga menghasilkan buah, dan bahan pewarna dari kulit buahnya yang cukup bernilai ekonomi. Untuk keperluan konservasi saninten, baik secara in situ maupun ex situ

diperlukan informasi mengenai penyebaran alami saninten dan tempat tumbuhnya sebagai dasar untuk pengembangan kriteria kesesuaian lahannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara faktor tempat tumbuh (terutama tanah) dengan keberadaan saninten di alam.

Untuk mencapai tujuan tersebut, 45 plot contoh berukuran masing masing 30 m X 30 m, dibuat dan disebar pada berbagai wilayah geografis Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango pada berbagai tingkat kerapatan saninten, dan pada berbagai elevasi antara 720 – 2000 m diatas permukaan laut. Pada masing masing plot contoh dilakukan pengukuran terhadap peubah tempat tumbuh (terutama tanah) dan peubah vegetasi atau spesies tumbuhan kajian (saninten dan beberapa spesies lain sebagai pembanding). Analisis regresi dan beberapa analisis lain dilakukan terhadap kedua macam peubah tersebut.

Menurut analisis regresi, dominasi relatif saninten (Y) cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya kandungan batu (X7 = %), menurun sejalan dengan meningkatnya kadar P tersedia di horizon A (X11 = ppm), dan juga menurun sejalan de ngan meningkatnya elevasi (X3 = m diatas muka laut), menurut model Y = 38.3 + 0.354 X7 – 2.58 X11 – 0.0151 X3, dengan R2 = 40.9 %. Bisa disimpulkan bahwa saninten adalah spesies yang toleran terhadap kandungan batu yang tinggi. Karena itu disarankan bahwa saninten bisa dijadikan pilihan untuk reboisasi lahan pegunungan yang berbatu batu. Pada 45 plot contoh dalam penelitian ini, ditemukan 8 jenis tanah, yaitu: Alic Hapludand, Typic Hapludand, Vitric Hapludand, Typic Hydrudand, Eutric Hydrudand, Typic Dystrudept, Humic Dystrudept, dan Humic Psammentic Dystrudept. Tidak ada

keterkaitan antara kehadiran saninten di suatu tapak di wilayah penelitian dengan jenis jenis tanah pada kategori sub group tersebut, tetapi kehadiran saninten terkait dengan peubah tanah tertentu (kandungan batu) yang digunakan untuk klasifikasi tanah pada kategori yang lebih rendah (famili atau seri). Dilain pihak, kehadiran jenis riung anak (Castanopis javanica) dan puspa (Schima wallichii) di suatu tapak, menunjukkan

keterkaitan tertentu dengan jenis jenis tanah tersebut pada kategori sub group tersebut.

Dibanding beberapa spesies lain, saninten cenderung kurang selektif dalam memilih tempat tumbuhnya di alam.


(4)

ABSTRACT

CAHYO WIBOWO. Relationship between Presence of Silver Chestnut (Castanopsis argentea) and Several Soil Properties: Case in Gunung Gede – Pangrango National

Park, West Java. Under Academic Supervision of F. GUNARWAN SURATMO, CECEP KUSMANA, SARWONO HARDJOWIGENO, and ENDANG SUHENDANG.

High altitude forest, has an important role as one of the life supporting systems. Therefore, if high altitude forest will be allocated for yielding forest product, the forest product should be non timber. Silver chestnut (Castanopsis argentea) is one characteristic species of high altitude forest which beside able to produce timber, is also able to produce fruit and dyeing agent from its fruit rind that have significant economic value. For the purpose of silver chestnut conservation, either in situ or ex situ, there is a need for information concerning natural distribution of silver chestnut and its growth site as a basis in developing criteria for evaluating its land suitability. The objective of this research was to learn the relationship between growth site factors and presence or performance of silver chestnut in its natural habitat.

For achieving the objective, 45 sample plots measuring 30 m X 30 m each, were laid out and spread at various geographic regions of Gunung Gede-Pangrango National Park at various density levels of silver chestnuts, and at various levels of altitude (between 720 – 2000 m above sea level). In each plot, measurement was conducted on growth site variables (particularly soils) and variables of vegetation, or performance of studied plant species (silver chestnuts and several other species which serve as comparative species). Regression analysis and several other kind of analysis were conducted on the two kinds of variables (growth site and performance of plant species).

According to regression analysis, relative dominance of silver chestnut (Y) tended to increase in line with increasing stoniness (X7 = %), tended to decrease in line with increasing available P content in horizon A (X11 = ppm), and also tended to decrease in line with increasing altitude (X3 = m above sea level), following a model

Y = 38.3 + 0.354 X7 – 2.58 X11 – 0.0151 X3, with R2 = 40.9 %. It could be concluded that silver chesnut is tolerant toward high soil stoniness. Therefore, it could be recommended that silver chestnut could be made as the chosen species for reforestation in mountainous areas with high soil stoniness.

On the 45 sample plots, there were found eight kinds of soils, namely Alic Hapludand, Typic Hapludand, Vitric Hapludand, Typic Hydrudand, Eutric Hydrudand, Typic Dystrudept, Humic Dystrudept, and Humic Psammentic Dystrudept. There was no indication that presence of silver chestnut in the study area, was related to those eight kinds of soils classif ied into sub group category, but the presence of chestnut was related to certain soil variable (stoniness) that is used for soil classification at lower categories (families or series). On the other hand, presence of riung anak (Castanopsis javanica) and puspa

(Schima wallichii) in a certain site, showed a certain relation to those kinds of soil clasified

into sub group category. Compared with several other species that serve as comparative species, silver chestnut tended to be less selective in choosing its growth site in its natural habitat.


(5)

© Hak cipta milik Cahyo Wibowo, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya


(7)

HUBUNGAN ANTARA KEBERADAAN

SANINTEN (

Castanopsis argentea

BLUME)

DENGAN BEBERAPA SIFAT TANAH: KASUS DI

TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE –

PANGRANGO, JAWA BARAT

CAHYO WIBOWO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(8)

(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alllah SWT atas segala karuniaN ya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulis menulis judul penelitian

Hubungan antara Keberadaan Saninten (

Castanopsis argentea

Blume) dengan Beberapa Sifat Tanah: Kasus di Taman Nasional

Gunung Gede – Pangrango, Jawa Barat, sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogo r.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Prof Dr. Ir. F. GUNARWAN SURATMO, MF (selaku Ketua Komisi Pembimbing); dan Prof. Dr. Ir. CECEP KUSMANA, MS; Prof. Dr. Ir. SARWONO HARDJOWIGENO, MSc; serta Prof. Dr. Ir. ENDANG SUHENDANG, MS; selaku anggota komisi pembimbing, atas arahan dab bimbingannya dalam penyusunan karya ilmiah penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan seluruh jajarannya atas segala bantuannya kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian di lapangan.

Bogor, Januari 2006 Cahyo Wibowo


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang, pada tanggal 19 September 1960, sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Soesanto Kartoatmodjo SH (ayah) dan Dra. Siti Muatjih (ibu). Penulis menempuh pendidikan dasar dan menengah di SDN Ungaran Yogyakarta (1966 – 1969), SD Iskandaria Jakarta (1969 – 1972), SMPN 12 Jakarta (1972 – 1975) dan SMAN 6 Jakarta (1975 – 1979). Pada tahun 1979, penulis mulai mengikuti pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, dan lulus tahun 1985. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten matakuliah Statistika Dasar di Fakultas Kehutanan IPB untuk tahun ajaran 1982 – 1983.

Pada tahun 1984 – 1986 penulis bekerja sebagai pengajar bahasa Inggris di ponok pesantren Daarut Tafsir, Cibanteng, Bogor. Pada tahun 1986, penulis diangkat sebagai staf pengajar Institiut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan, Jurusan Manajemen Hutan, pada bidang ilmu silvikultur.

Pada tahun 1991 penulis menempuh pendidikan S2 (Master of Science) di Georg August University of Gottingen, Jerman, pada bidang ilmu Silvikultur dan lulus tahun 1993. Pendidikan S3 mulai dijalani penulis pada tahun 1997 di Sekolah Pascasarjana IPB, program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL………... iv

DAFTAR GAMBAR………. v

DAFTAR LAMPIRAN……….. vi

I. PENDAHULUAN………. 1

1. Latar Belakang……….. 1

2. Perumusan Masalah……….. 2

3. Kerangka Pemikiran………. 3

4. Tujuan Penelitian……….. 5

5. Manfaat Penelitian……… 5

II. TINJAUAN PUSTAKA……….. 6 1. Perkembangan dan Penyebaran Vegetasi………. 6

2. Saninten (Castanopsis argentea)……….... 7

2.1. Kegunaan Saninten……….. 7

2.2. Sifat Botani Saninten………... 8

2.3. Penyebaran Alami Saninten………. 9

3. Hubungan antara Penyebaran Vegetasi dan Sifat Sifat Tanah……… 9

4. Beberapa Sifat Tanah yang Digunakan untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan... 12

4.1. Nilai pH Tanah... 13

4.2. Kadar Bahan Organik Tanah... 13

4.3. Tekstur Tanah... 15

4.4. Kelas Drainase Tanah... 16

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 19

1. Letak dan Luas... 19.

2. Topografi dan Tanah... 19

3. Geologi... 20

4. Vegetasi... 21

5. Penyebaran dan Kelimpahan C. argentea... 22

6. Fauna………. 22

7. Iklim……….. 23

8. Luas dan Status………. 23

IV. METODOLOGI PENELITIAN……….. 24

1. Lokasi dan Waktu Penelitian……… 24

2. Bahan dan Alat Penelitian………. 24

3. Data yang Dikumpulkan………... 24

3.1. Tempat Tumbuh……… 25

3.2. Vegetasi………. 26


(13)

4.1. Teknik Pengambilan Contoh/ Peletakan Plot Contoh………... 27

4.2. Prosedur Penentuan pH NaF Tanah... 28

5. Analisis Data... 28

5.1. Hubungan antara Penampilan Spesies Kajian dengan Tempat Tumbuh... 28

5.2. Pengujian Perbedaan Tempat Tumbuh Berdasarkan Kehadiran Spesies Kajian... 30

5.3. Hubungan antara Kehadiran Spesies Kajian dengan Jenis Tanah... 30

5.4. Pengelompokan Plot Contoh Berdasarkan Kehadiran Spesies Kajian dan Jenis Tanah (Analisis Diskriminan)... 31

5.5. Pengelompokan Plot Contoh berdasarkan Peubah Tempat Tumbuh (Ana- sis Gerombol)... 31

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 32

1. Vegetasi Dalam Plot Contoh... 32

2. Kondisi Tempat Tumbuh dan Tanah di Dalam dan Sekitar Plot Contoh... 32

2.1. Gambaran Umum Peubah Tempat Tumbuh / Tanah... 32

2.2. Kaitan antara Jenis Tanah dan Kehadiran Spesies Kajian... 39

3. Hubungan antara Sesama Peubah Tempat Tumbuh / Tanah... 42

4. Keterkaitan antara Penampilan Tumbuhan dengan Faktor Tempat Tumbuh... 44

4.1. Hubungan antara Penampilan Saninten dengan Faktor Tempat Tumbuh... 45

4.2. Hubungan antara Penampilan Puspa dengan Faktor Tempat Tumbuh... 49

5. Perbedaan Kondisi Tempat Tumbuh Berdasarkan Kehadiran Spesies Kajian... 51

6. Pengelompokan Plot Contoh Berdasarkan Kehadiran Spesies Kajian dan Peu- bah Tempat Tumbuh (Analisis Diskriminan) 52 7. Pengelompokan Plot Contoh Berdasarkan Peubah Tempat Tumbuh (Analisis Gerombol)... 55

8. Keberadaan Saninten dan Taksonomi Tanah sampai Kategori Famili (USDA) 59 8.1. Penjelasan dan Pendekatan dalam Taksonomi Tanah untuk Kategori Famili (Soil Taxonomy, USDA) untuk Tiap Plot Contoh... 62

8.2. Pembahasan Keterkaitan antara Keberadaan Saninten dengan Famili Tanah (Soil Taxonomy, USDA)………. 79

9. Pembahasan Umum……… 81

VI. KESIMPULAN DAN SARAN……….. 86

1. Kesimpulan……… 86

2. Saran……….. 87

DAFTAR PUSTAKA……….. 88


(14)

DAFTAR TABEL

No.

Halaman 1. Deskripsi seluruh peubah tempat tumbuh di lokasi studi... 34 2. Deskripsi arah lereng plot plot contoh, dan dominasi relatif saninten serta

puspa... 37 3. Analisis keragaman dominasi relatif saninten dan arah lereng... 37 4. Analisis keragaman dominasi relatif puspa dan arah lereng... 37 5. Deskripsi arah lereng plot plot contoh, dan luas bidang dasar semua spesies

per plot contoh... 38

6. Analisis keragaman luas bidang dasar semua spesies per plot dan arah lereng... 39

7. Jenis tanah yang ditemukan dalam plot contoh, beserta deskripsi kehadiran/ketidak hadiran saninten... 40

8. Jenis tanah (tingkat ordo) didalam plot contoh dan kehadiran saninten... 40

9. Jenis tanah (tingkat ordo) didalam plot contoh dan kehadiran puspa (Schima wallichii)... 41

10. Beberapa peubah tempat tumbuh dan nilai tengahnya yang menunjukkan perbedaan nyata antara Inceptisol dan Andisol di lokasi studi... 41

11. Jenis tanah dalam plot contoh dan kehadiran riung anak (Castanopsis javanica)... 42

12. Pasangan pasangan peubah tanah yang mempunyai koefisien korelasi 0.7.... 43 13. Peubah tempat tumbuh yang menunjukkan perbedaan nyata antara plot yang

dihadiri dan yang tidak dihadiri oleh spesies kajian tertentu... 53

14 Analisis diskriminan terhadap pengelompokkan plot plot contoh berdasarkan kehadiran spesies kajian dan jenis tanah dengan prediktor 18 peubah tempat tumbuh... 54

15. Jenis tanah yang ditemukan pada masing masing plot contoh di Taman Nasional Gunung Gede – Pangrango... 60

16. Pengelompokan plot contoh berdasarkan batas kandungan batu 35 % dan kehadiran saninten... 80 17. Pengelompokan plot contoh berdasarkan batas kandungan batu 30 % dan

kehadiran saninten... 80 18. Pengelompokan plot contoh berdasarkan kelas suhu tanah dan kehadiran


(15)

DAFTAR GAMBAR

No.

Halaman 1. Kerangka pemikiran hubungan antara penyebaran C. argentea dengan faktor

tempat tumbuh, dan kaitannya untuk pengembangan kriteria kesesuaian

lahan... 4

2. Daun, bunga dan buah saninten (C. argentea)……….. 8

3. Bentuk kuadrat (plot contoh) untuk pengambilan contoh tanah dan vegetasi... 27

4. Salah satu contoh profil tanah di Resort Cibodas... 35

5. Dendrogram analisis gerombol dengan menggunakan semua peubah tempat tumbuh... 56

6. Dendrogram menggunakan hanya peubah fisiografi dan tanah... 57

7. Dendrogram menggunakan hanya peubah fisiografi dan tanah, dan tanpa elevasi... 58


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No.

Halaman 1. Peta tanah di dalam dan di sekitar Taman Nasional Gunung Gede – Pangrango 94 2. Peta geologi di dalam dan di sekitar Taman Nasional Gunung Gede –

Pangrango... 95

3. Peta Taman Nasional Gunung Gede – Pangrango beserta posisi plot – plot contoh... 96

4. Latar belakang penentuan jumlah plot contoh (ukuran sampel)... 97

5. Diagram penentuan kelas keterbukaan tajuk menurut SYNNOT / DAWKINS.. 98

6. Data saninten dan faktor faktor tempat tumbuhnya pada tiap plot contoh... 99

7. Data puspa pada tiap plot contoh... 103

8. Uji Chi square ketergantungan kehadiran spesies kajian terhadap jenis tanah... 104

9. Matriks korelasi 27 peubah tempat tumbuh... 105

10. Deskripsi profil tanah di tiap plot contoh... 106

11. Regresi bertatar dominasi relatif saninten... 129

12. Regresi bertatar kerapatan saninten... 133

13. Regresi bertatar dominasi relatif puspa... 137

14 Regresi bertatar kerapatan relatif puspa... 141

15. Kehadiran spesies kajian di tiap plot contoh... 145


(17)

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Di masa depan, komoditi kehutanan berupa hasil hutan non kayu, akan menjadi andalan untuk menjadi sumber pendapatan negara, karena pemanfaatannya akan lebih menjamin kelestarian hutan dibanding pemanfaatan hasil hutan kayu. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan manusia terhadap komoditas ini, sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, hutan yang dituntut untuk memproduksi hasil hutan non kayu, tidak hanya hutan dataran rendah, tetapi juga hutan dataran tinggi.

Di lain pihak, hutan dataran tinggi merupakan komponen ekosistem yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan, terutama system hidro-orologi, bagi wilayah dataran tinggi itu sendiri dan wilayah dataran rendah di bawahnya. Karena itu, hutan dataran tinggi beserta komponen penyusunnya perlu mendapat konservasi lebih seksama. Pohon-pohon yang khas untuk dataran tinggi, terutama di Jawa, adalah kelompok pohon dari famili Fagaceae. Salah satu anggota famili Fagaceae

yang merupakan penghasil kayu dan non kayu adalah Castanopsis argentea (Blume) atau saninten. Hasil hutan non kayu dari saninten adalah buah dan bahan pewarna dari kulit buahnya. Diantara berbagai marga Castanopsis, saninten (Castanopsis argentea) adalah jenis yang buahnya paling berguna.

Pada saat ini, secara alami, pohon saninten lebih banyak tumbuh di hutan lindung. Pengembangan saninten sebagai hutan tanaman atau agroforestry di luar penyebaran alaminya (konservasi plasma nutfah ex situ) akan mengurangi tekanan

terhadap hutan lindung tersebut. Dengan perkataan lain, jenis ini selain memerlukan konservasi in situ, juga memerlukan konservasi ex situ. Untuk keperluan ini

diperlukan informasi mengenai penyebaran alami saninten sebagai dasar penilaian kesesuaian lahannya.

Hutan hujan tropika yang masih berupa hutan primer merupakan sumber pengetahuan (informasi) yang berharga mengenai hubungan antara tumbuhan dengan lingkungannya. Pengetahuan ini merupakan informasi dasar yang diperlukan untuk


(18)

menunjang pengelolaan tumbuhan hutan di habitat aslinya maupun di habitat buatan , misalnya pada hutan-hutan tanaman .

Salah satu faktor lingkungan yang berperan penting dalam mempengaruhi tumbuhan dan komposisinya adalah tanah, baik sifat kimia ataupun fisikanya. Dalam hal tumbuhan hutan, terdapat indikasi bahwa sifat fisik tanah lebih berperan dibanding sifat kimia tanah dalam mempengaruhi penampilan tumbuhan hutan. Sollins (1998) menyatakan bahwa dari 18 studi yang dilakukannya di hutan hujan tropika dataran rendah, sebagian besar menunjukkan korelasi yang kuat antara sifat fisik tanah (terutama drainase) dengan komposisi jenis tumbuhan hutan, dan hanya tiga studi yang menunjukkan korelasi dengan sifat kimia tanah. Walaupun demikian, perdebatan mengenai mana yang lebih penting antara sifat fisik dan sifat kimia tanah yang mempengaruhi penampilan dan komposisi jenis tumbuhan hutan, akan terus berlanjut, atau mungkin relevansi perdebatan tersebut sangat situasional sifatnya. Studi-studi tentang korelasi antara sifat-sifat tanah dengan penyebaran dan komposisi spesies hutan dianggap sebagai langkah awal untuk memahami hubungan sebab-akibat antara sifat tanah dengan sebaran spesies tumbuhan (Sollins, 1998). Selanjutnya penelitian lapangan yang bersifat eksperimen untuk spesies tertentu bisa dilakukan untuk menentukan hubungan sebab-akibat yang spesifik.

Studi-studi korelatif antara sifat-sifat tanah dengan penyebaran dan komposisi spesies hutan, saat ini lebih banyak dilakukan di daerah arid, yang cenderung menunjukkan korelasi yang kuat antara sifat-sifat tanah yang terkait dengan ketersediaan air, seperti tekstur dan porositas, dengan penampilan tumbuhan.

Di daerah tropika, ada beberapa fenomena ya ng masih memerlukan penjelasan, seperti rendahnya korelasi antara tingkat kesuburan tanah dengan besarnya biomassa hutan, terutama di tanah tanah tua (Jacobs, 1981), dimana sering ditemukan tanah yang miskin tapi mendukung hutan tropis yang biomasssanya besar.

2. Perumusan Masalah

Pengembangan (konservasi) ex situ dan in situ dari C. argentea memerlukan


(19)

kriteria kesesuaian lahan untuk C. argentea belum dikuantifikasikan, terutama dalam hal aspek tanah. Untuk memperoleh informasi tersebut, permasalahan mendasar yang perlu diketahui adalah:

(1) Bagaimanakah bentuk hubungan antara keberadaan C. argentea dengan

faktor-faktor tempat tumbuhnya (sifat-sifat tanah dan topografi) di habitat alaminya?

(2) Berapa besar peran masing masing faktor tempat tumbuh tersebut bagi keberadaan C. argentea di habitat alaminya?

(3) Bagaimana pola pengelompokan tempat tumbuh (tapak) berdasarkan kesamaaannya, di hutan alam yang menjadi habitat C. argentea ?

3. Kerangka Pemikiran

Penyebaran suatu spesies tumbuhan (C. argentea) di habitat alaminya, tergantung oleh faktor faktor tempat tumbuh, yaitu tanah dan iklim. Tanah dan iklim, masing masing memiliki sifat yang jumlahnya sangat banyak dan tidak semua bisa diukur secara teknis dan ekonomis. Beberapa sifat yang bisa diukur, juga berbeda beda dalam hal biaya dan waktu yang diperlukan untuk pengukurannya. Besarnya korelasi antara sifat sifat tersebut dengan penampilan atau keberadaan C. argentea di alam

juga berbeda beda. Untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan, perlu diidentifikasi peubah peubah (karakteristik lahan) yang signifikan dan sekaligus relatif murah untuk diukur. Bagan kerangka pemikiran ini disajikan pada Gambar 1, dan penelitian ini hanya terbatas pada identifikasi faktor-faktor tempat tumbuh yang signifikan mempengaruhi penampilan C. argentea di habitat alaminya.

Tanah terdiri dari beberapa lapisan (horizon). Tumbuhan memanfaatkan lapisan lapisan (horizon) tanah tersebut dengan pola dan intensitas yang berbeda beda, tergantung spesies tumbuhannya, karena perakaran tumbuhan bisa bersifat spesifik untuk setiap spesies, misalnya dalam hal kedalaman perakarannya. Karena itu, sifat (peubah) tanah tertentu pada lapisan (horizon) tertentu, bisa berbeda dengan sifat tanah yang sama pada lapisan (horizon) yang berbeda (dalam hal korelasi/ signifikansinya dengan penampilan tumbuhan). Sebagai misal, pH tanah


(20)

k

= Ruang lingkup penelitian ini

Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan antara penyebaran C. argentea dengan

faktor tempat tumbuh, dan kaitannya untuk pengembangan kriteria kesesuaian lahan.

Keberadaan dan penampilan C. argentea di daerah penyebaran alaminya.

Faktor tempat tumbuh Tanah : - pH

- Kadar Bahan Organik - Tebal Horison-horison - Tekstur

- Kandungan Hara - Drainase

- Topografi - KTK

Iklim : - Suhu (elevasi)

Korelasi antara faktor tempat tumbuh dan keberadaan

C. argentea

Faktor-faktor tempat tumbuh yang signifikan mempengaruhi penampilan dan sebaran C. argentea di

daerah penyebaran alaminya

Penelitian Eksperimental

Kriteria kuantitatif untuk kesesuaian lahan C. argentea

Konservasi Ex Situ K o n s e r v a s i I n S i t u


(21)

pada horizon A, lebih signifikan dibanding pH tanah pada horizon B, dalam hal hubungannya dengan penampilan tanaman Paraserianthes falcataria (Puslittanak &

FAO, 1996). Karena itu, untuk setiap peubah tanah, perlu diidentifikasi, pada horizon (lapisan) tanah yang mana, peubah tersebut berkorelasi nyata dengan penampilan tumbuhan.

4. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji preferensi dari jenis C. argentea

terhadap beberapa sifat tanah. Untuk itu, tujuan antara dari penelitian ini adalah:

1 Mengkaji korelasi antara sifat sifat tanah dengan keberadaan C. argentea di

daerah penyebaran alaminya.

2 Mendapatkan pola pengelompokan tempat tumbuh (tapak) berdasarkan kesamaannya, di hutan alam yang menjadi habitat C. argentea.

5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa antara lain masukan untuk menjajagi hubungan sebab akibat antara tumbuhan dengan faktor lingkungannya, serta kesesuaian suatu tempat tumbuh dengan Castanopsis argentea


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Perkembangan dan Penyebaran Vegetasi

Pertumbuhan vegetasi (dan penyebarannya) akan dipengaruhi banyak faktor tempat tumbuh, diantaranya ketersediaan hara, cahaya, air, dsb. Eksistensi dan penampilan suatu tumbuhan di suatu tempat ditentukan oleh faktor tempat tumbuh yang keberadaannya pada kondisi yang paling buruk. Jadi, walaupun misalnya ketesediaan hara dan air adalah baik, tapi kalau ketersediaan cahaya adalah sangat buruk (dibawah taraf minimum tertentu) maka tumbuhan tersebut tidak akan bisa mempertahankan eksistensinya, seperti yang dikemukakan dalam hukum minimum dari Justus Von Liebig (dikutip dalam Brady, 1974). Selanjutnya bila semua faktor faktor tempat tumbuh telah berada diatas taraf ketersediaan minimumnya, barulah parameter parameter pertumbuhan tanaman (biomassa tanaman, dan ukuran kwantitatif lainnya dari tanaman) diharapkan berkorelasi dengan faktor faktor tempat tumbuh.

Menurut O’Hare (1994), upaya untuk menjelaskan asal usul suatu sebaran vegetasi dan komposisi spesies yang ada di dalamnya, adalah relatif sulit karena keberadaan vegetasi dipengaruhi banyak faktor yang sebagian besar diantaranya hanya bisa diduga, karena memang tidak diketahui, atau karena faktor tersebut muncul karena aspek peluang (chance). Meskipun demikian, ada empat aspek yang

bisa membantu memahami mengapa suatu tipe vegetasi tertentu, berada di tempat tertentu, yaitu (O’Hare 1994):

(a) Kedatangan spesies baru.

Spesies yang ditemukan di suatu tempat , harus datang dari tempat lain sebagai benih, spora, dsb. Kedatangan tumbuhan dipengaruhi oleh faktor faktor seperti kemampuan tumbuhan untuk menyebar atau melakukan dispersal, jarak yang ditempuh, arah angin, dan waktu yang tersedia untuk transportasi.


(23)

(b) Faktor lingkungan eksternal.

Supaya bisa hidup terus dan mapan, spesies yang datang harus beradaptasi atau mampu mentolerir empat kelompok faktor lingkungan eksternal berikut ini:

1) Faktor iklim: misalnya cahaya, temperatur, curah hujan, kelembaban, angin, dan arah lereng.

2) Tanah atau faktor edafik: misalnya kedalaman tanah dan tekstur, sifat kimia tanah, dan suplai hara.

3) Faktor hidrologis: tipe dan distribusi air (air dan uap air) di atmosfir dan tanah.

4) Faktor biotik: efek biotik dari pemangsaan atau penginjakan oleh hewan, serta dari kegiatan manusia.

(c) Kompetisi internal.

Spesies tanaman yang ditemukan disuatu tempat, harus mampu mentolerir keberadaan tumbuhan lain. Dengan berjalannya waktu, spesies yang ada, beradaptasi terhadap tekanan biologis dari spesies tetangganya, yang bersaing untuk memperoleh cahaya, ruang dan sumberdaya lain.

(d). Waktu.

Pada suatu habitat tertentu, vegetasi akan berubah menurut waktu, sehingga komunitas vegetasi yang masih muda akan berbeda dengan komunitas yang lebih tua di wilayah yang sama.

2. Saninten (Castanopsis argentea )

2.1. Kegunaan Saninten

Kayu saninten sering juga diperdagangkan dengan istilah berangan. Istilah berangan dalam perdagangan kayu mencakup juga kayu dari marga Lithocarpus spp, dan Quercus spp yang bersama dengan saninten termasuk famili Fagaceae. Kulit

kayu (pepagan ) dan kulit buahnya dapat dipakai sebagai penghitam rotan yang telah dikupas ( Prosea, 1995 ).


(24)

Disamping kayunya, saninten menghasilkan buah yang sering diperdagangkan secara lokal. Buah saninten dimakan mentah, direbus, atau dipanggang, atau digunakan sebagai pencampur kue coklat ( Prosea, 1995).

2.2. Sifat Botani Saninten

Pohon saninten memiliki daun tunggal berseling, berbentuk ellips atau memanjang, panjang daun 7.5 – 21 cm. Warna daun putih keperakan dan mengkilap pada permukaan bawahnya, tulang daun sekunder 8 – 12 pada tiap sisinya ( Backer, 1965 ).

Saninten berbuah hampir sepanjang tahun, terutama antara bulan Nopember sampai Pebruari ( Martawijaya et al., 1986 ). Buah saninten bertangkai seperti buah rambutan, berkelompok, dan pada masing-masing buah, dinding luarnya ditutupi oleh duri-duri yang tumbuh berkelompok, ramping, tajam dan berkayu (Prawira, 1990 ). Diameter buah berkisar 2 – 3 cm, berwarna hijau muda kekuning – kuningan. Penampilan saninten (daun, bunga dan buah) dapat dilihat pada Gambar 2.


(25)

2.3. Penyebaran Alami Saninten (C. argentea)

C. argentea ditemukan di hutan primer atau sekunder tua, biasanya pada tanah

kering yang subur, pada ketinggian 150 – 1750 m dpl. Di tempat–tempat tertentu di Jawa, spesies ini adalah dominan (Prosea, 1995 ).

C. argentea tersebar mulai dari bagian barat Indonesia, hingga ke bagian timur, tapi hanya sampai ke Jawa Tengah. Dalam hal ini C.argentea hanya dijumpai secara

alami di Sumatra dan Jawa . Umumnya saninten dijumpai pada ketinggian 200 – 1600 meter diatas permukaan laut ( Heyne, 1987 )

3. Hubungan antara Penyebaran Vegetasi dan Sifat Sifat Tanah

Tanah merupakan akibat dari transformasi in situ lapisan teratas dari litosfir

(Zech, 1993). Transformasi tersebut dipengaruhi oleh input dari atmosfir yang mencakup presipitasi, gas (CO2, SO2, NOx), partikel inorganik dan organik, aerosol,

radiasi dan organisme. Zona transformasi pada litosfir tersebut, disebut pedosfir (Zech, 1993).

Tanah terdiri dari bahan padatan inorganik (yang terbentuk dari batuan induk yang melapuk), bahan padatan organik (yang terbentuk dari jaringan tanaman/hewan yang mati dan melapuk), udara dan air. Tanah yang subur dicirikan oleh adanya kombinasi yang optimal antara bahan padatan, cair dan gas tersebut (Zech, 1993). Tanah yang subur mamp u mensuplai tanaman dengan hara (misalnya N dan S dari bahan organik, K dan Ca dari bahan padatan mineral), air dan oksigen (untuk respirasi akar) dalam jumlah dan komposisi yang optimum untuk menghasilkan biomassa. Meskipun demikian, kebutuhan tanaman sangat bervariasi, dan tanah sendiri bisa berubah menurut waktu, dalam hal ketersediaan hara, neraca air dan sebagainya.

Tanah berubah sebagai fungsi dari lingkungan. Menurut Jenny (1941, dalam Zech, 1993), tanah atau sifat sifat tanah, mengikuti persamaan (fungsi) berikut:

Tanah (sifat tanah) = f (bahan induk, iklim, topografi, organisme, waktu). Organisme utama yang tercakup dalam persamaan diatas adalah vegetasi. Antara


(26)

vegetasi, tanah dan faktor lingkungan lain, terjadi interaksi, misalnya faktor ik lim tertentu mempengaruhi sifat tanah tertentu. Kemudian sifat tanah tertentu ini menyebabkan munculnya vegetasi yang spesifik. Kemudian vegetasi yang spesifik ini memunculkan sifat sifat tertentu yang lain lagi pada tanah tersebut (Wambeke, 1992), seperti misalnya fenomena kemampuan tumbuhan mangrove Avicennia sp

(lahan basah) yang akarnya mampu mengoksidasi daerah rizosfirnya (Nickerson dan Thibodeau, 1985; dalam Sherman, et. al., 1998). Pola pengaruh tumbuhan terhadap sifat tanah, juga dilaporkan ole h Vinton dan Burke (1997) dari penelitiannya di padang padang rumput Amerika Serikat dimana untuk daerah kering, penutupan oleh tumbuhan (hadir tidaknya suatu individu tumbuhan) lebih penting daripada komposisi spesies, dalam menjelaskan keragaman sifat tanah. Dilain pihak, untuk daerah yang lebih basah, komposisi spesies tumbuhan, lebih penting daripada penutupan oleh tumbuhan, dalam menjelaskan keragaman sifat sifat tanah. Daerah yang lebih basah tersebut, mempunyai penutupan tumbuhan yang lebih kontinu, yang menyebabkan lebih kecilnya variasi C dan N tanah yang disebabkan oleh penutupan tumbuhan, dibanding yang di daerah kering yang mempunyai tempat tempat tertentu yang tak tertutup tumbuhan. Disamping itu, spesies tumbuhan di daerah yang lebih basah juga punya kandungan C dan N yang lebih tinggi dan lebih bervariasi dibanding yang di daerah kering (Vinton dan Burke, 1997).

Di lain pihak, tumbuhan juga beradaptasi dengan sifat tanah tertentu. Sebagai misal, dalam adaptasi tumbuhan terhadap kandungan yang tinggi dari aluminium yang dapat dipertukarkan pada tanah, sebagian tumbuhan mengakumulasi aluminium tersebut pada jaringan tubuhnya, sedang sebagian tumbuhan lain menolaknya (Webb, 1954; Mc Cormick and Steiner, 1978; Haridasan, 1982; dalam Szott et. al., 1991). Adaptasi yang penting dari tumbuhan terhadap ketersediaan hara yang rendah adalah misalnya laju pertumbuhan yang lambat, kebutuhan yang rendah terhadap hara, usaha mempertahankan biomassa akar yang relatif lebih besar dibanding jaringan tanaman lainnya, akumulasi cadangan hara pada jaringan tanaman selama periode ketersediaan hara yang tinggi, pengurangan kehilangan hara melalui


(27)

yang meningkatkan ketersediaan hara (Chapin, 1980; Vitousek, 1982; Clarkson, 1985; Chajim et. al., 1986; Cuevas and Medina, 1986; Vitousek and Standford, 1987; dalam Szott et.al., 1991).

Bentuk lahan (land form) cukup banyak menentukan tipe vegetasi. Sebagai

misal, data yang menunjukkan bahwa jenis pohon tertentu di hutan alam, ditemukan hanya pada lereng, menunjukkan preferensi jenis tersebut terhadap air tanah yang bergerak. Jenis yang tumbuh di lembah, tapi tidak tumbuh di punggung bukit, mungkin merupakan spesies yang peka terhadap tanah kering atau lebih banyak memerlukan hara dibanding jenis yang tumbuh di punggung bukit (Jacobs, 1981). Korelasi antara besarnya biomas vegetasi hutan dengan kesuburan tanah, cenderung erat, bila tanahnya muda (misalnya pada tanah alluvial yang baru atau endapan volkanik muda), dalam arti biomassa hutan yang besar cenderung menunjukkan tanah yang subur. Untuk tanah tua dan hutan yang klimaks, biomassa hutan yang besar belum tentu menunjukkan kesuburan yang tinggi (Jacobs, 1981).

Ashton (1976b; dalam Jacobs, 1981) mengamati di hutan hujan tropika Kalimantan bagian barat laut, bahwa keragaman floristik tertinggi ditemukan dimana kandungan fosfor tanah berkisar antara 40 sampai 150 ppm. Dibawah atau diatas kisaran itu, keragaman floristik menurun. Keterkaitan antara keragaman spesies tumbuhan dengan sifat sifat tanah nampaknya sangat spesifik untuk tiap wilayah. Dalam hal ini, El Ghani (1998) dalam penelitiannya di gurun yang arid di Mesir, melaporkan bahwa tekstur tanah, kadar karbon organik tanah dan kadar air tanah, terkait dengan keragaman spesies yang tinggi, sedang keragaman spesies yang rendah, terkait dengan salinitas yang tinggi serta kadar kalsium karbonat yang tinggi. Dilain pihak, dalam suatu ekosistem batuan granit (dengan tanah tanah autokhton yang dangkal) di Swedia, Tyler (1996) melaporkan bahwa keragaman spesies tumbuhan terkait dengan kedalaman tanah.

Di habitat habitat vegetasi yang ekstrim, seperti gurun (iklim kering), tanah bersalinitas tinggi, dan tanah pasir, hubungan (korelasi) antara sifat sifat tanah dan penyebaran vegetasi, nampaknya cukup erat, seperti juga di habitat yang tidak ekstrim (tanah berdrainase baik, iklim yang bersifat mesik, dan sebagainya) (Franco


(28)

Vizcaino et. al., 1993; Toth et.al., 1995; Nornberg et.al., 1993; Bunyavejchewin, 1983). Meskipun demikian, mengingat adanya fenomena hukum minimum Justus Von Liebig, pada habitat yang ekstrim tersebut diduga korelasi antara sifat tanah dan vegetasi, lebih erat, dibanding pada habitat yang tidak ekstrim. Dugaan ini didukung oleh laporan dari Danin (1978; dalam Abd. El Ghani, 1998) yang menyatakan bahwa pada daerah gurun, keragaman edafis (sifat sifat tanah) mempengaruhi keanekaragaman spesies, lebih banyak dibanding keragaman iklim.

4. Beberapa Sifat Tanah yang Digunakan untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan. Meskipun tumbuhan dapat dibesarkan sampai menjadi dewasa dalam media non tanah, seperti larutan hara yang diaerasi, tapi hampir semua tumbuhan darat, tumbuh di tanah. Tanah mampu memenuhi kebutuhan tanaman akan hal hal berikut ini (Wild, 1995):

a. Penjangkaran akar tanaman. b. Pasokan air.

c. Pasokan udara, terutama oksigen. d. Pasokan hara mineral.

e. Efek menyangga/meredam (buffer) terhadap perubahan temperatur dan pH yang bersifat merugikan tumbuhan.

Nampaknya, untuk fungsi a) dan e) seperti yang disebut sebelum ini, tanah lebih unggul dibanding media media yang lainnya.

Tanah jarang memberikan kondisi yang ideal bagi tumbuhan. Untuk tanaman budidaya, sifat tanah biasanya diubah untuk memperoleh panen yang baik, dan sebagian besar tanaman budidaya telah mengalami seleksi dan domestikasi untuk produksi yang tinggi di tanah subur. Sebaliknya, tumbuhan lain telah teradaptasi dengan kondisi lokal, misalnya suplai air, oksigen dan hara yang rendah; pH yang ekstrim, genangan air; konsentrasi yang tinggi dari unsur unsur toksik; persaingan dari tumbuhan lain; dan penjangkaran yang lemah bagi akar tumbuhan.

Pada tanaman budidaya, produksi tanaman (panenan) dan penampilannya diusahakan oleh para ahli untuk dikorelasikan dengan kondisi tanah. Semua sifat


(29)

tanah yang dikemukakan dalam hasil survey tanah serta sifat sifat yang dikwantifikasi di laboratoriun adalah penting untuk meramalkan penampilan tanaman. Prosedur (metode) analisis laboratorium untuk sifat sifat tanah tertentu, terutama ketersediaan hara tertentu bagi tanaman adalah suatu simulasi terhadap proses ekstraksi hara oleh tanaman. Metode metode ini, untuk hara tertentu bisa bermacam macam dan perlu dipilih salah satu yang korelasinya paling erat dengan penampilan tanaman di lapangan. Sifat (peubah) tanah tertentu juga berkorelasi dengan sifat (peubah) tanah yang lain, misalnya pH berkorelasi dengan kejenuhan basa ; dan kadar bahan organik berkorelasi dengan Kapasitas Tukar Kation, dan sebagainya.

4.1. Nilai pH Tanah.

Salah satu sifat kimia tanah yang paling mudah diukur dan banyak mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah pH tanah atau reaksi tanah, yang merupakan indikator keasaman atau kebasaan tanah. Secara kimia, pH adalah ekspresi dari aktifitas ion H (H+). Sifat sifat tanah lain yang sering berkorelasi dengan pH adalah antara lain, kejenuhan basa, ketersediaan berbagai unsur hara, Kapasitas Tukar Kation, aktifitas mikroba tanah, dll.

Pengukuran pH NaF sering digunakan untuk menaksir kandungan mineral mineral amorf tertentu yang banyak ditemukan di tanah tanah Andosol. Tanah tanah Andosol sendiri merupakan tanah tanah yang banyak ditemukan di daerah pegunungan yang merupakan daerah penyebaran C. argentea. Mineral mineral amorf tersebut, umumnya mempunyai fiksasi yang besar terhadap Fosfor (P). Karena itu nilai pH NaF merupakan salah satu karakteristik lahan yang diharapkan berkorelasi dengan sifat retensi Pospor (Gilkes and Hughes, 1994).

4.2 Kadar Bahan Organik Tanah.

Jumlah bahan organik dalam tanah tergantung pada laju input bahan organik (per satuan waktu) dan laju dekomposisi. Laju dekomposisi paling tinggi ditemukan di daerah iklim lembab yang basah. Kadar bahan organik terbesar, ditemukan di tanah


(30)

padang rumput daerah temperate (dimana terdapat input yang tinggi dan laju dekomposisi yang lambat) dan bukan di tanah hutan hujan tropika (Rowell, 1994). Kadar bahan organik mempengaruhi penyebaran tumbuhan melalui efeknya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Bahan organik punya fungsi nutrisi, dimana dia merupakan sumber N,P dan S untuk pertumbuhan tanaman; punya fungsi biologis dimana dia banyak mempengaruhi aktifitas mikroflora dan mikrofauna; dan juga punya fungsi fisik dimana dia membantu pembentukan struktur tanah yang baik, yang kemudian memperbaiki keterolahan tanah (tilth), aerasi dan retensi air

(Stevenson, 1982).

Dekomposisi sisa sisa tanaman dan hewan di tanah merupakan proses biologi dimana karbon (C) mengalami resirkulasi di atmosfir sebagai CO2, nitrogen dibuat

menjadi tersedia bagi tanaman sebagai amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-), serta juga

berbagai unsur lain menjadi tersedia bagi tanaman. Dalam proses tersebut, sebagian C diasumsikan menjadi jaringan mikroba tanah (biomassa) dan sebagian dikonversi menjadi humus yang stabil. Pada saat yang bersamaan, sebagian humus mengalami mineralisasi. Karena itu kandungan bahan organik total di tanah adalah relatif konstan karena sudah berada dalam keadaan kesetimbangan dengan ekosistemnya (vegetasi, iklim, jenis tanaman budidaya, dsb) dan perlakuan manajemen terhadap tanah tersebut (Stevenson, 1982). Untuk merubah kadar bahan organik tanah secara permanen, tidak bisa hanya dengan sekedar menambah sisa sisa tumbuhan/hewan, ke dalam ekosistem, tapi juga harus merubah ekosistemnya dan tipe manajemen terhadap lahan tersebut (misal dari tanaman setahun monokultur menjadi tanaman tumpangsari agrokehutanan), atau dibiarkan mengalami suksesi menjadi hutan (Stevenson, 1982).

Metoda standar penentuan kadar bahan organik tanah adalah cara tak langsung, dimana C dalam bahan organik dioksidasi menjadi CO2 dan asam organik. Jumlah bahan oksidator yang terpakai, diukur, dan berat C tersebut ditentukan. Dalam analisis ini, yang diperoleh adalah kadar C organik tanah (dalam %). Karena bahan organik tanah secara rata rata mengandung 58 % C organik, maka hasil analisa yang menunjukkan kadar C organik, perlu dikalikan dengan 1.72 untuk memperoleh kadar


(31)

bahan organik tanah (McRae, 1988). Prosedur yang lazim untuk penentuan kadar C organik tanah adalah oksidasi basah (metoda Walkley- Black).

Kandungan bahan organik tanah dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tekstur tanah. Bila faktor faktor lain sama, maka tanah betekstur halus cenderung mempunyai kadar bahan organik yang lebih tinggi dibanding yang bertekstur kasar. Ini disebakan karena fiksasi bahan humik dalam bentuk kompleks organomineral berperan melindungi bahan organik (Stevenson, 1982).

4.3. Tekstur Tanah.

Tekstur tanah mempengaruhi penyebaran tumbuhan melalui efeknya terhadap banyak sifat tanah yang lain, terutama yang berkaitan dengan retensi hara dan air. Tekstur tanah adalah proporsi relatif dari partikel pasir, debu dan liat di dalam tanah, yang mana ketiga jenis partikel tersebut adalah komponen inorganik (mineral) dari tanah. Ketiga jenis (kelas) partikel tersebut dibedakan berdasarkan ukuran diameternya berdasarkan standar tertentu, yang menurut standar Soil Taxonomy

USDA (1998) adalah sebagai berikut: 1) Pasir : diameter 0.05 – 2.00 mm 2) Debu: diamater 0.002 – 0.05 mm 3) Liat: diameter < 0.002 mm.

Masing masing butir pasir, debu, atau liat tersebut disebut partikel primer.

Tekstur tanah adalah salah satu sifat fisik tanah yang penting karena mempengaruhi banyak sifat sifat tanah yang lain dan kemudian juga mempengaruhi tumbuhan. Peranan tekstur adalah dalam hal (O’Hare, 1988):

a) Ketersediaan air dan areasi tanah. b) Retensi hara.

c) Kemudahan pengolahan tanah dan penetrasi akar.

Di lapangan, partikel partikel primer yang disebut sebelum ini, sebagian bisa tersemen satu sama lain oleh bahan penyemen tertentu, misalnya beberapa butir debu tersemen menjadi seolah olah satu butir pasir, dan disebut pseudosand (pasir semu),


(32)

atau sekumpulan partikel liat tersemen menjadi seolah olah satu butir debu dan menjadi pseudosilt (debu semu).

Penentuan tekstur tanah disebut juga Analisis Ukuran Partikel. Perlakuan pendahuluan terhadap tanah sebelum analisis ini adalah penghancuran bahan bahan yang menyemen partikel partikel tanah seperti yang disebut sebelum ini, sehingga partikel partikel primer tersebut terdispersi secara sempurna atau maksimum. Perlakuan pendahuluan juga bertujuan agar dispersi ini tetap dipertahankan ketika analisis berlangsung (Baver et. al., 1972). Bahan penyemen yang dihancurkan ini bisa berupa bahan organik, seskuioksida, kalsium karbonat, dan lain lain (Van Reeuwijk, 1986).

Menurut Van Reeuwijk (1986) perlakuan penghancuran bahan penyemen masih perlu diperdebatkan perlu-tidaknya, karena pada kenyataan di lapangan, yang secara aktual mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah partikel partikel primer yang kadang kadang sebagian diantaranya tersemen satu sama lain oleh bahan penyemen dan membentuk susunan pori, struktur, retensi air, retensi hara, dan lain lain yang secara aktual mempengaruhi tanaman.

Bila penghancuran bahan penyemen dilakukan sebelum analisis tekstur tanah di laboratorium, maka tekstur tanah yang diperoleh bisa lebih halus dibanding yang dirasakan dengan perabaan di lapangan, untuk tanah tanah tertentu, misalnya yang banyak mengandung seskuioksida (Junaedi A. Rahim, Komunikasi Pribadi).

Karena hal hal tesebut, Van Reeuwijk (1986) menyarankan bahwa perlakuan pendahuluan untuk dispersi, bersifat tidak mutlak untuk dilakukan (opsional).

4.4. Kelas Drainase Tanah.

Drainase tanah terkait dengan ketersediaan oksigen di tanah untuk keperluan perakaran tanaman. Oksigen yang diperlukan akar tanaman tersedia di pori pori tanah. Pori tanah bisa diisi oleh dua kemungkinan, yaitu udara atau air. Karena itu, drainase tanah juga terkait dengan kecepatan hilangnya air dari tanah, terutama melalui aliran permukaan dan aliran didalam tanah. Akar punya lubang yang disebut lentisel yang memungkinkan pertukaran gas antara akar dengan sekelilingnya.


(33)

Oksigen berdifusi ke sel sel akar dan digunakan untuk respirasi, sedang CO2 berdifusi

menuju ke tanah.

Tanah yang berdrainase baik punya banyak pori yang berisi udara, dan terletak pada posisi dimana tanah tak pernah jenuh air. Tanah yang berdrainase buruk biasanya terletak pada posisi dimana tanahnya sering jenuh air, sehingga pori pori lebih banyak terisi air.

Tiap tanah punya sifat drainase alami yang diklasifikasikan menjadi kelas kelas drainase misalnya sebagai berikut ini (CSR/FAO staff, 1983): cepat, agak cepat, baik, agak baik, agak buruk, buruk, dan sangat buruk. Bila tanah berdrainase buruk, maka (Foth dan Turk, 1972):

1) Kedalaman perakaran berkurang.

2) Warna tanah dengan bercak bercak terdapat dekat dengan lapisan tanah atas. 3) Warna tanah lapisan bawah berubah dari coklat terang (kuning terang atau

merah terang) menjadi abu abu dengan bercak bercak karatan besi.

Sifat morfologi tanah seperti tersebut diatas seringkali bisa dijadikan indikator yang bisa diandalkan untuk menaksir kelas drainase alami dari tanah tersebut, (kecuali di tanah tanah yang masih sangat muda) dan pengamatan ini bisa dilakukan sepanjang tahun, dalam keadaan kering ataupun basah (Foth dan Turk, 1972). Yang dimaksud bercak bercak (mottles) adalah penampakan yang warnanya cukup kontras

dengan warna dasar tanah yang bersangkutan.

Warna tanah bisa memberi petunjuk penting mengenai komponen penyusun tanah, dan mengenai status oksidasi-reduksi suatu tanah, atau bagian bagian tertentu dari tanah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena komponen komponen tanah yang sensitif terhadap oksidasi, seperti besi oksida bebas dan bahan organik terhumifikasi, sangat besar pengaruhnya terhadap warna tanah (Fanning and Fanning,

1989).

Pola warna tanah berkaitan diantaranya dengan proses gleisasi yang menunjukkan drainase tanah yang buruk. Pada proses gleisasi, besi mengalami reduksi dari Fe (III) menjadi Fe (II) karena suasana tanah yang basah, pada beberapa bagian atau seluruh bagian tanah. Pada proses ini, Fe (II) menjadi larut dan


(34)

umumnya tercuci atau bergerak pindah dalam profil tanah. Proses reduksi ini umumnya diikuti oleh proses oksidasi Fe (II) menjadi Fe (III) dan pengendapan besi

oksida {istilah oksida disini dicetak miring karena mencakup hidroksida, oksihidroksida (seperti FeOOH), dan juga oksida sejati} di bagian lain dari tanah tersebut (Fanning dan Fanning, 1989). Proses proses tersebut cenderung memunculkan warna dengan chroma rendah (umumnya abu abu) pada bagian tana h

dimana besinya telah pindah, dan warna dengan chroma tinggi (warna karat) dimana

oksida tersebut terakumulasi. Komponen komponen tanah yang lain, seperti bahan

organik, mangan oksida dan mineral mineral yang mengandung sulfur, juga sensitif

terhadap kondisi oksidasi dan reduksi, dan bisa menimbulkan sifat sifat morfologi tanah yang disebabkan oleh fenomena gleisasi.


(35)

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1. Letak dan Luas

Berdasarkan Peta Rupabumi Digital Indonesia (BAKOSURTANAL, tahun 1997), kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, secara geografis terletak antara 106o50′ - 1070 03’ BT dan 60 42’ – 60 59’ LS, sedangkan puncak gunung Gede yang merupakan titik pusat kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango terletak pada 1060 58’ 30″ BT dan 60 47’ 30″ LS. Secara administrasi pemerintahan, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terletak pada 3 wilayah kabupaten, yaitu kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur.

2. Topografi dan Tanah

Gunung Gede {dengan puncak 2958 m diatas permukaan laut (dpl)} dan Gunung Pangrango (dengan puncak 3019 m dpl) dihubungkan oleh punggung bukit yang disebut Kandang Badak pada ketinggian ± 2400 m dpl. Wilayahnya sangat curam dan banyak mempunyai punggung bukit yang terbentuk oleh celah-celah/anak sungai yang mengalir kearah kabupaten Bogor, kabupaten Sukabumi dan kabupaten Cianjur (FAO, 1978).

Tanah pada lereng yang lebih tinggi dari daerah pegunungan di dalam kawasan Taman Nasional G. Gede Pangrango, merupakan tanah Andosol yang bersal dari batuan beku dan abu vulkanik (FAO, 1978).

Pada lereng yang lebih rendah, tanah menjadi lebih mudah lapuk dan berupa asosiasi Andosol dan Latosol. Selain itu juga terdapat asosiasi antara Andosol dan Regosol. Tanah Latosol disini banyak mengandung liat yang tidak lengket. Bagian yang lebih rendah, merupakan batuan dan tanah Latosol yang sangat subur, yang menjadi tipe tanah yang dominan (FAO, 1978).


(36)

Menurut Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat, dari Lembaga Penelitian Tanah Bogor, tahun 1966, tanah di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, terdiri atas:

1) Jenis tanah Regosol dan Litosol pada lereng pegunungan yang tinggi. Jenis tanah ini umumnya berwarna gelap; mempunyai porositas tinggi, struktur lepas dan kapasitas menyimpan air yang tinggi.

2) jenis tanah asosiasi Andosol dan Regosol pada lereng lereng pegunungan yang lebih rendah dimana tanahnya telah mengalami pelapukan yang lebih lanjut.

3) Jenis tanah Latosol coklat pada lereng paling bawah. Jenis tanah ini mengandung liat dan tidak lekat, serta lapisan tanah bawahnya gembur, mudah ditembus akar, dan lapisan dibawahnya telah lapuk.

Aktivitas gunung berapi menyebabkan tanah Litosol di sekitar kawah selalu dalam keadaan muda. Pencucian pada permukaan tanah dilereng tenggara Gunung Gumuruh, menyisakan adanya jenis tanah Regosol (berpasir).

Peta tanah di dalam dan disekitar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, disajikan pada Lampiran 1.

3. Geologi

Gunung Gede Pangrango merupakan gunung berapi tipe “strato” atau komposit yang berarti tubuh gunung tersebut (mencakup lereng dan kakinya) terdiri dari lapisan-lapisan bahan vulkanik yang sempat melayang di udara dan bahan-bahan aliran lava.

Teori geologi modern tentang tektonika lempeng menjelaskan bahwa lava dari gunung Gede-Pangrango berasal dari magma panas yang merupakan campuran antara bahan basaltik dari lempeng Australasia dan bahan granitik dari lempeng Eurasia, serta beberapa bahan sedimen, dan ini semua naik ke permukaan bumi membentuk batuan vulkanik andesit piroksen (Balai Taman Nasional Gede Pangrango, 1996).


(37)

Gunung Gede-Pangrango merupakan dua dari 35 gunung berapi di Pulau Jawa, yang umumnya berstatus aktif normal. Status Gunung Gede-pangrango adalah aktif normal, dalam arti bahwa sewaktu waktu bisa mengalami erupsi.

Geologi kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango terdiri atas batuan andesit, basalt, tufa, lava breksi, breksi mekanik, dan piroklastik. Batuan umumnya berupa batuan volkanik kwarter. Lapisan dasarnya terdiri atas batuan non volkanik yang lebih tua seperti terlihat di Pasir Besar di sebelah Utara Cianjur dan sebelah selatan Gunung Gede-Pangrango yang merupakan daerah batuan sedimen tua periode Tersier yang memanjang di belahan kaki pegunungan ini (Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 1996).

Peta geologi kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango beserta areal sekelilingnya disajikan pada Lampiran 2.

4. Vegetasi

Tipe vegetasi yang terdapat di Kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango adalah sebagai berikut (Sunarno & Rugayah, 1992)

1) Vegetasi sub montana (1000 – 1500 m diatas permukaan laut (dpl)) 2) Vegetasi montana (1500 – 2400 m dpl)

3) Vegetasi sub alpin (diatas 2400 m dpl)

Vegetasi montana dan sub montana ditandai oleh pohon pohon tinggi dan besar serta tumbuhan jenis lainnya sehingga membentuk lapisan tajuk yang relatif kontinu. Tajuk tersebut didominasi oleh jenis Litsea spp, Lithocarpus spp, Quercus spp, dan Castanopsis spp. Zona vegetasi ini juga banyak ditumbuhi oleh puspa (Schima wallichii) dan Leptospermum flavescens.

Jenis tumbuhan bawah yang melimpah di zona sub montana dan montana adalah jenis jenis Begonia robusta, Freycinetia javanica, dan Strobilanthus cenua yang

berbunga setiap 9 tahun sekali. Jenis epifit, misalnya Asplenum nidus, anggrek (Dendrobium sp) banyak ditemukan di zona ini.


(38)

Jenis yang potensial secara komersial di zona montana dan sub montana adalah

Castanopsis argentea, Podocarpus imbricatus, Podocarpus neriifolius dan Altingia excelsa.

Vegetasi di zona sub alpin mempunyai struktur yang jauh lebih sederhana dan hanya mempunyai satu lapisan tajuk dengan pohon pohon yang berukuran kerdil dan miskin jenis. Jenis yang dominan pada zonasi ini adalah Vaccinium variangifolium, Eurya acuminata dan Symplocos cochinchinensis. Banyak dari spesies di sub alpin ini yang mepmpunyai genus yang sama dengan yang di daerah yang beriklim sedang (temperate) di belahan bumi utara.

Bunga edelweiss (Anaphalis javanica) ditemukan di zona sub alpin dan

ditemukan pada ketinggian diatas 2500 m dpl.

5. Penyebaran dan Kelimpahan Castanopsis argentea di Taman Nasional Gede - Pangrango.

Data dari Munawir (1997) menunjukkan bahwa taksiran kerapatan pohon

Castanopsis argentea (diameter >20 cm) di Resort Cibodas adalah 27 individu/ha, sedang di Resort Selabintana 4 individu/ha.

Menurut hasil penafsiran foto udara Bakosurtanal (1982) skala 1:50 000,

Castanopsis argentea biasanya berasosiasi dengan Schima wallichii, Leucosyke capitellata, Bambusa sp dan Podocarpus imbricatus.

6. Fauna

Di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango terdapat 245 jenis burung (atau lebih dari 50 % jenis burung yang terdapat di Jawa). Jenis mamalia yang ada adalah babi hutan (Sus sp), macan tutul (Panthera pardus), dan sebagainya. Jenis primata yang ada adalah antara lain Hylobates molloch, Presbytis aygula, Presbytis pyrrhus dan Macaca fascicularis. Jenis yang unik adalah misalnya sejenis cacing besar yang panjangnya dapat mencapai 60 cm (cacing sonari).


(39)

7. Iklim

Gunung Gede Pangrango terletak di daerah terbasah di P. Jawa dengan curah hujan rata-rata tahunan 3000-4200 mm. Bulan-bulan terbasah jatuh pada periode Oktober-Mei bertepatan dengan angin musim barat laut dengan curah hujan lebih dari 200 mm per bulan dan lebih dari 400 mm per bulan pada periode Desember-Maret. Bulan-bulan kering dijumpai pada periode Juni-September dengan rata-rata curah hujan bulanan kurang dari 100 mm.

Menurut peta iklim yang dibuat oleh Oldeman, kawasan Taman Nasional G. Gede Pangrango termasuk bertipe curah hujan B, dimana terdapat 7-9 bulan basah. Disekitar puncak G. Gede Pangrango, iklimnya lebih kering sehingga termasuk tipe curah hujan C (FAO, 1978).

Menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson, tipe curah hujan di kawasan Taman Nasional ini, secara umum termasuk tipe curah hujan A dengan nilai Q antara 5-9 (FAO, 1978).

Temperatur rata-rata tahunan bervariasi sekitar 180 C di Cibodas, hingga kurang dari 100 C dipuncak G. Pangrango, dengan penurunan sekitar 0.550 C per 100 m ketinggian (FAO, 1978).

8. Luas dan Status

Pada tanggal 6 Maret 1980, Menteri Pertanian RI mengumumkan bahwa kawasan Cagar Alam Cibodas, Cimungkat, Gunung Gede-Pangrango dan areal hutan alam di lereng Gunung Gede-Pangrango serta Taman Wisata Situgunung, yang seluruhnya meliputi areal seluas 15 196 ha dijadikan sebagai Taman Nasional dengan nama Taman Nasioanal Gunung Gede-Pangrango. Penetapan kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango dilakukan pada kongres Taman Nasional sedunia di Bali melalui SK Menteri Pertanian no. 736/Men-tan/X/82 tanggal 14 Oktober 1982.


(40)

IV. METODOLOGI PENELITIAN

1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di hutan alam primer kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango seperti terlihat pada peta Lampiran 3. Penelitian dilakukan selama tujuh bulan, mulai bulan Januari 2004 sampai Juli 2004 yang

mencakup kegiatan di lapangan/ hutan dan kegiatan analisis tanah di Laboratorium Departemen Tanah Fakultas Pertanian & Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

2. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan peralatan penting dalam penelitian ini adalah: 1) Peralatan untuk analisa vegetasi di lapangan 2) Alat ukur jarak dan lereng di lapangan. 3) Peralatan pembuatan herbarium tumbuhan. 4). Buku standar warna Tanah Munsell.

5). Ring sampel tanah. 6). Bor tanah

7). Peralatan Geographic Positioning System (GPS)

8). Peta Topografi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan wilayah sekitarnya, skala 1: 25 000

9) Bahan dan peralatan untuk analisa tanah di laboratorium.

3. Data yang dikumpulkan

Informasi mengenai penyebaran alami C. argentea dan vegetasi hutan di

dalam Taman Nasional Gunung Gede – Pangrango dikorelasikan dengan faktor - faktor lingkungan, terutama tanah dan topografi. Untuk maksud ini, 45 kuadrat (petak ukur atau plot contoh untuk pengukuran vegetasi dan tanah) berukuran masing masing 30 m X 30 m, dibuat di lapangan. Penempatan 45 kuadrat (plot


(41)

contoh) tersebut adalah pada hutan alam tak terganggu dan disebarkan pada lokasi penelitan pada berbagai wilayah geografis Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan pada berbagai tingkat kerapatan C. argentea, seperti terlihat pada Lampiran 3. Latar belakang penentuan jumlah plot pengukuran (kuadrat) sebanyak 45 buah tersebut, disajikan pada lampiran 4.

3.1. Tempat tumbuh

Faktor-faktor tempat tumbuh yang diukur untuk masing-masing kuadrat adalah: a. Elevasi (ketinggian tempat dari permukaan laut) yang diukur dengan

altimeter (m diatas permukaan laut) . b. Kemiringan lereng (%) serta arah lereng.

c. Kelas Drainase Tanah yang diperoleh dari pengamatan profil tanah. d. Tebal horizon A (cm)

e. Tebal horizon O (cm).

f. Bentuk lahan dan karakteristik topografi (kategorisasi menjadi punggung bukit, lereng, lembah, dsb).

g. Sifat-sifat tanah lainnya yang diamati pada horizon O, A dan B, dengan perincian sebagai berikut:

g.1. Pada horizon A, peubah yang diamati adalah:

1) Kerapatan lindak (bulk density) dengan 2 ulangan untuk tiap horizon, dengan menggunakan ring contoh tanah.

2) Kandungan batu (stoniness) yang ditentukan berdasarkan diagram penaksiran proporsi batuan dalam profil tanah, seperti yang dikemukakan dalam buku MUNSELL.

3) Tekstur tanah dengan metode Pipet

4) Kadar bahan organik tanah (C organik) dengan metode Walkley & Black.

5) Kapasitas Tukar Kation (KTK) dengan metode NH4OAc, pH 7

6) pH tanah (pH H2O 1:1)


(42)

8) Kadar N total dengan metode Kjeldhahl

9) Kadar K yang dapat ditukar (K tersedia) dengan metode NH4OAc

pH 7

10) pH tanah dengan memakai NaF (pH NaF)

Peubah nomor 3 sampai dengan 9 yang disebut sebelum ini, diukur dengan prosedur rutin di Departemen Tanah, Fakultas Pertanian IPB.

g.2. Pada horizon B, peubah yang diamati adalah sama dengan yang pada

horizon A. Peubah-peubah tanah tersebut, dianalisa dari contoh tanah komposit yang

diambil dari 6 tempat dalam satu kuadrat (plot contoh). Contoh tanah yang diambil dari satu tempat, disebut contoh tanah primer. Contoh tanah primer untuk horizon A, mencakup seluruh ketebalan horizon A (dari batas atas horizon A sampai batas bawah horizon A). Contoh tanah primer untuk horizon B diambil dari batas atas horizon B sampai maksimum 40 cm dibawah batas atas horizon B. Dengan demikian satu contoh tanah komposit untuk masing masing horizon, merupakan campuran dari 6 contoh tanah primer.

Pengambilan contoh tanah horizon A dan B dilakukan dengan menggunakan cangkul. Disamping itu, dilakukan juga deskripsi profil tanah (untuk mendokumentasikan sifat-sifat morfologi tanah di lapangan ) pada tiap plot contoh.

3.2. Vegetasi.

Pengukuran vegetasi dilakukan terhadap tumbuhan berkayu yang berukuran diameter minimum 10 cm. Penguk uran dan pengamatan terhadap masing-masing tumbuhan berkayu mencakup:

1). Jenis (spesies) tumbuhan. 2). Diameter batang (cm). 3). Tinggi total tumbuhan (m).


(43)

4). Kategorisasi kelas keterbukaan tajuk menurut kriteria SYNNOTT/DAWKINS (Synnott, 1979, dalam Moravie et. al., 1999) dengan skor sebagai berikut:

5 = Emergent = Emergen

4 = Full overhead light = Cahaya dari atas penuh

3 = Some overhead light = Cahaya dari atas sebagian 2= Some side light = Cahaya dari samping sebagian

1= No direct light = Tanpa cahaya langsung

Diagram untuk penentuan kelas keterbukaan tajuk tersebut, dapat dilihat pada Lampiran 5.

Dalam setiap plot contoh (kuadrat) 30 m X 30 m, dilakukan pengamatan terhadap vegetasi berkayu yang berdiameter 10 cm. Selain itu dibuat juga plot untuk pengamatan permudaan, yaitu yang berukuran 5 m X 5 m (untuk pancang, yaitu yang berukuran tinggi 1.5 m dan diameter <10 cm); dan yang berukuran 2 m X 2 m (untuk semai, yaitu yang tingginya < 1.5 m). Penempatan plot-plot permudaan tersebut, ditunjukkan pada Gambar 3.

30 m

30 m

Keterangan:

Plot 30 m X 30 m : Untuk pengukuran tumbuhan berkayu yang berdiameter 10 cm.

Plot 5 m X 5 m : Untuk pengukuran pancang, yaitu yang berukuran tinggi 1.5 m dan diameter <10 cm;

Plot 2 m X 2 m: Untuk pengukuran semai, yaitu yang berukuran tinggi < 1.5 m.

Gambar 3. Bentuk kuadrat (plot contoh) untuk pengambilan contoh tanah dan vegetasi.

5 m

2 m


(44)

4. Prosedur Kerja

4.1. Teknik Pengambilan Contoh/ Penetapan Letak Kuadrat

Populasi (areal penelitian) untuk studi ini adalah hutan alam primer tak terganggu di dalam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang berada pada elevasi antara 720 m sampai 2000 m dari permukaan laut. Luas areal ini diperkirakan sekitar 10 000 ha, yang diukur pada peta dengan metoda grid.

Tiap kuadrat (plot) yang berukuran 30 m X 30 m adalah satu unit contoh dimana dilakukan pengukuran peubah-peubah vegetasi dan tanah. Ukuran sampel (jumlah kuadrat) yang akan diambil adalah 45 (alasan penggunaan sampel berukuran 45 plot ini , disajikan pada Lampiran 4). Ukuran plot sebesar 30 m X 30 m didasarkan pada pengamatan pendahuluan yang menunjukkan bahwa luasan plot yang lebih besar dari ukuran tersebut tidak menambah jumlah individu saninten per satuan luas. Selain itu luasan plot sebesar 30 m X 30 m tersebut didasarkan pada perkiraan luasan areal yang masih bisa diwakili secara sempurna oleh satu contoh tanah komposit.

Karena studi ini bersifat korelatif (antara peubah vegetasi dengan tempat tumbuhnya), plot sejumlah 45 buah tersebut disebar dan diletakkan diseluruh kawasan Taman Nasional dengan prinsip berikut:

1) Mencakup berbagai tingkat kerapatan saninten, dari yang paling rapat, sampai ke yang tidak ada sanintennya.

2) Mencakup berbagai wilayah geografis Taman Nasional (Sektor Utara, Sektor Selatan, Sektor Barat dan Sektor Timur).

4.2. Prosedur Penentuan pH NaF Tanah

Mula mula, larutan NaF 1 N dibuat dengan cara menambahkan air kepada 42 gram NaF sampai diperoleh satu liter larutan. Kemudian, satu gram tanah kering udara (lolos ayakan 2 mm) ditambahi dengan 50 cc larutan NaF 1 M tersebut. Suspensi yang diperoleh, dikocok 10 menit., kemudian didiamkan 15 menit, lalu diukur pH nya.


(45)

5. Analisis Data

5.1. Hubungan antara Penampilan Spesies Kajian dengan Tempat Tumbuh Dalam studi ini diperoleh data tentang penampilan spesies kajian dan kondisi tempat tumbuh. Spesies kajian meliputi saninten (Castanopsis argentea), yang

merupakan spesies kajian utama, dan beberapa spesies lain sebagai pembanding yaitu: puspa (Schima wallichii), rasamala (Altingia excelsa), riung anak (Castanopsis javanica), tungurut (Castanopsis tungurut) dan pulus (Laportea stimulans). Analisis kuantitatif terhadap spesies pembanding ini dilakukan untuk membantu menafsirkan hasil analisa kuantitatif terhadap saninten.

Data penampilan spesies kajian untuk tiap plot contoh, meliputi: a) Kerapatan Relatif =

Jumlah batang suatu spesies kajian dalam suatu plot contoh X 100 % Jumlah batang semua spesies dalam plot contoh tersebut

b) Dominasi Relatif =

Luas bidang dasar suatu spesies kajian dalam suatu plot contoh X 100 % Luas bidang dasar semua spesies dalam plot contoh tersebut

c) Kerapatan = Jumlah batang per plot

d) Kehadiran/ketidak hadiran suatu spesies kajian dalam suatu plot contoh tertentu Analisis regresi bertatar (Stepwise regression dengan program MINITAB versi

13) dilakukan terhadap penampilan spesies kajian (dominasi relatif, kerapatan relatif atau kerapatan, sebagai peubah respon) dan beberapa peubah tempat tumbuh (sebagai peubah prediktor) dengan α = 0.05. Peubah peubah tempat tumbuh, pada mulanya ada sebanyak 27 peubah (X1, X2, X3, ….., X26 dan X27) seperti tercantum dalam Tabel

6. Untuk keperluan analisis regresi bertatar, dari 27 peubah tempat tumbuh tersebut, hanya 18 peubah yang dipakai dalam persamaan regresi, karena untuk beberapa pasangan peubah yang mempunyai korelasi 0.7, salah satu peubah dari pasangan tersebut, tidak dimasukkan dalam analisis regresi. Oleh karena itu, model persamaan regresi bertatar tersebut adalah sebagai berikut:


(46)

Dimana Y = Dominasi Relatif, Kerapatan atau Kerapatan Relatif spesies kajian b0 = Intersep Y

bi = Koefisien regresi parsial ( i = 1 sampai dengan 18)

X1, X2, X3,………X18 = peubah tempat tumbuh (tanah).

Asumsi asumsi yang harus dipenuhi untuk persamaan regresi, diuji dengan program MINITAB 13, yaitu:

a) Normalitas sebaran galat, diuji dengan Kolmogorov Smirnov Test. Asumsi

terpenuhi bila P-value 0.01

b) Ketiadaan multikolinieritas, dilihat dari Variance Inflation Factor (VIF) setiap

peubah prediktor. Asumsi terpenuhi, bila VIF < 5.

c) Ketiadaan autokorelasi, dilihat dari Durbin Watson Statistic (DW). Asumsi terpenuhi bila 1.65 < DW < 2.35.

d) Homoskedasitas, dilihat dari diagram pencar Residuals Versus the Fitted Values

(nilai sisaan dan nilai dugaan). Asumsi terpenuhi bila diagram pencar tidak membentuk pola tertentu (tidak berbentuk corong, linier atau kuadratik).

Untuk menguji apakah diagram pencar berbentuk corong, diadakan pengujian apakah nilai dugaan dan (nilai sisaan)2 berkorelasi nyata.

Untuk menguji apakah diagram pencar berbentuk linier, diadakan pengujian apakah nilai dugaan dan nilai sisaan berkorelasi nyata.

Untuk menguji apakah diagram pencar berbentuk kuadratik, diadakan pengujian apakah (nilai dugaan)2dan nilai sisaan berkorelasi nyata.

Bila ada asumsi yang tidak terpenuhi, maka diadakan transformasi terhadap peubah Y, dan prosedur analisis regresi bertatar diulang lagi dari awal terhadap 18 peubah tempat tumbuh yang disebut sebelum ini.

5.2. Pengujian Perbedaan Kondisi Tempat Tumbuh Berdasarkan Kehadiran/Ketidak hadiran Spesies Kajian.

Untuk spesies kajian tertentu (misalnya saninten), 45 buah plot contoh yang dibuat, bisa dipilah menjadi dua kelompok: kelompok plot dimana spesies kajian


(47)

(misalnya saninten) hadir, dan kelompok plot dimana spesies kajian (misalnya saninten) tidak hadir. Masing masing kelompok dianggap mewakili suatu kondisi populasi tempat tumbuh. Selanjutnya dilakukan uji hipotesis, apakah kedua kelompok plot tersebut berbeda dalam hal peubah tempat tumbuh tertentu. Sebagai misal, untuk jenis saninten, diadakan pengujian apakah kelompok plot contoh yang mengandung saninten, berbeda dalam hal kadar P horizon A, dibanding kelompok plot contoh yang tidak mengandung saninten. Sebelum dilakukan uji hipotesis, dilakukan uji kesamaan ragam dari kedua populasi untuk masing masing peubah tempat tumbuh dengan program MINITAB 13 prosedur Levene’s test. Ragam dianggap sama bila P-value >

0.05. Selanjutnya dilakukan uji beda nilai tengah peubah tempat tumbuh dengan program SPSS 10 (prosedur independent sample t - test).

5.3. Hubungan antara Kehadiran Spesies Kajian dengan Jenis Tanah

Dalam penelitian ini, penempatan plot plot contoh dilapangan tidak didasarkan pada jenis tanah. Jenis tanah baru ditentukan setelah data tanah dari lapangan dan laboratorium, terkumpul. Dengan demikian, munculnya suatu jenis tanah tertentu untuk masing masing plot contoh, dianggap sebagai peristiwa acak. Karena itu, uji

Chi square (MINITAB 13) digunakan untuk menguji apakah kehadiran/ketidak hadiran suatu spesies kajian dalam plot contoh, berhubungan dengan jenis tanah.

5.4. Pengelompokkan Plot-plot Contoh Berdasarkan Kehadiran Spesies Kajian dan Jenis Tanah (Analisis Diskriminan)

Setelah semua data terkumpul, penelitian ini bisa mengelompokkan plot plot contoh menjadi dua, yaitu yang dihadiri oleh spesies kajian tertentu, dan yang tidak dihadiri oleh spesies kajian tertentu. Selain itu, penelitian ini juga mengelompokkan plot plot contoh menjadi dua, berdasarkan jenis tanahnya, yaitu Andisol dan Inceptisol. Selanjutnya, analisis diskriminan (menggunakan MINITAB 13) digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai sejauh mana peubah peub ah tempat tumbuh yang ada, berperan dalam pengelompokkan unit unit contoh tersebut. Gambaran ini diperoleh dari proporsi jumlah unit contoh yang dikelompokkan secara benar (sesuai


(48)

dengan pengelompokkan yang sudah diketahui sebelumnya) oleh prosedur analisis diskriminan, berdasarkan peubah peubah tempat tumbuh yang ada (Proportion correct).

5.5. Pengelompokkan Plot Plot Contoh Berdasarkan Peubah Tempat Tumbuh (Analisis Gerombol).

Data dari masing masing plot contoh meliputi antara lain data penampilan spesies kajian (saninten dan spesies pembanding lainnya) dan data peubah peubah tempat tumbuh. Data peubah tempat tumbuh ini dilambangkan sebagai X1, X2,……..,X27

dalam penelitian ini. Data peubah tempat tumbuh ini meliputi luas bidang dasar semua spesies perplot (X1), jumlah batang semua spesies per plot (X2), dan peubah

peubah fisiografi serta tanah (X3, X4,….,X27).

Data peubah tempat tumbuh (18 peubah) digunakan untuk mencoba mengelompokkan plot contoh dengan analisis gerombol (cluster analysis) memakai program MINITAB 13, prosedur standardized variables, euclidean distance dan complete linkage.


(49)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Vegetasi dalam Plot Contoh (Kuadrat)

Didalam 45 plot contoh (kuadrat) yang disebar di seluruh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, ditemukan 174 spesies tumbuhan berkayu (Lampiran 16). Posisi 45 plot contoh tersebut ditunjukkan pada peta Lampiran 3. Jumlah batang tumbuhan berkayu berdiameter 10 cm untuk tiap plot contoh (kuadrat seluas 900 m2) berkisar dari 26 – 86 batang. Saninten (Castanopsis argentea) ditemukan pada 31 plot contoh dari 45 plot contoh yang diukur. Data kuantitatif saninten untuk tiap plot disajikan pada Lampiran 6, bersama dengan data tanah serta faktor faktor tempat tumbuh lainnya. Spesies berkayu yang mempunyai indeks asosiasi terbesar (berdasarkan indeks Sokal & Sneath, 1963 dalam Dombois & Ellenberg, 1974) terhadap saninten adalah puspa (Schima wallichii). Karena itu, analisis kuantitatif

tertentu, selain dilakukan terhadap saninten, juga dilakukan terhadap puspa untuk keperluan analisis perbandingan.

Spesies puspa (Schima wallichii) ini ditemukan pada 36 plot contoh, dari 45 plot

contoh yang diambil. Jumlah plot dimana puspa dan saninten ditemukan secara bersama adalah 23 buah. Data kuantitatif puspa untuk tiap plot contoh, disajikan pada Lampiran 7. Plot yang dicantumkan dalam lampiran data untuk puspa ini adalah sama dengan plot yang dicantumkan untuk saninten dalam Lampiran 6.

Permudaan saninten (semai dan pancang) ditemukan pada 8 plot contoh dari 45 plot contoh yang dibuat.

Beberapa marga tumbuhan non kayu yang ditemukan pada plot contoh dan berukuran diameter 5 cm adalah antara lain Arenga, Caryota, Pandanus, Cyathea

(pakis purba), Musa (pisang hutan), Pinanga, Plectoconia, dan bambu.

2. Kondisi Tempat Tumbuh dan Tanah di Dalam dan di Sekitar Plot Contoh. 2.1. Gambaran Umum Peubah Peubah Tempat Tumbuh dan Tanah di Lokasi Penelitian


(1)

40 Decaspermum fruticosum Ipis kulit MYRTACEAE 41 Decaspermum paniculatum Ki sireum MYRTACEAE

42 Dianella montana Suji gunung LILIACEAE

43 Diospyros montana Ki areng EBENACEAEA

44 Dysoxylum alliaceum Pisitan monyet MELIACEAE

45 Dysoxylum excelsum Pingku MELIACEAE

46 Dysoxylum nutans Pingku tanglar MELIACEAE

47 Elaeocarpus stipularis Janitri badak ELAEOCARPACEAE 48 Elaeocarpus acronodia Ganitri leutik ELAEOCARPACEAE 49 Elaeocarpus ganitrus Janitri ELAEOCARPACEAE 50 Elaeocarpus obtusus Ganitri ELAEOCARPACEAE 51 Elaeocarpus oxypyren Kidage/katulampa ELAEOCARPACEAE

52 Endiandra rubescens Huru LAURACEAE

53 Engelhardia spicata Ki hujan JUGLANDACEAE 54 Erioglossum rubiginosum Ki paray SAPINDACEAE

55 Eugenia clavimyrtus Kopo gunung MYRTACEAE

56 Eugenia cuprea Gelam MYRTACEAE

57 Eugenia grandis Kopo MYRTACEAE

58 Eugenia laxiflora Kopo leutik MYRTACEAE

59 Eugenia operculata Salam banen MYRTACEAE

60 Eugenia sp Huru tangkalak MYRTACEAE

61 Eugenia tenuicuspis Ki tambaga bodas MYRTACEAE

62 Euodia latifolia Ki sampang RUTACEAE

63 Eurya acuminata Ki merak leutik THEACEAE

64 Eurya japonica Ki merak gunung THEACEAE

65 Eurya obovata Ki merak THEACEAE

66 Ficus alba Hamerang MORACEAE

67 Ficus cuspidata Darngdan MORACEAE

68 Ficus fistulosa Beunying MORACEAE

69 Ficus fulva Hamerang buek MORACEAE

70 Ficus glabella Bunut MORACEAE

71 Ficus globosa Hamerang badak MORACEAE

72 Ficus involucrata Ki ara MORACEAE

73 Ficus lepicarpa Bisoro MORACEAE

74 Ficus pisifera Ki hampelas MORACEAE

75 Ficus ribes Walen MORACEAE

76 Ficus rimosa Peer MORACEAE

77 Ficus sp Leles MORACEAE

78 Ficus variegata Kondang/ gondang MORACEAE

79 Ficus vasculosa Kopeng MORACEAE

80 Flacourtia rukam Rukam FLACOURTIACEAE


(2)

No Nama botani Nama lokal Famili

82 Glochidion cyrtostylum Mareme leuweung EUPHORBIACEAE 83 Glochidion macrocarpum Mareme gede/ ki

kertas

EUPHORBIACEAE 84 Glochidion rubrum Mareme gunung EUPHORBIACEAE

85 Gordonia excelsa Ki enteh THEACEAE

86 Gynotroches axilaris Huru tangkil RHIZOPHORACEAE 87 Homalantus populneus Kareumbi/karembi EUPHORBIACEAE 88 Hypobathrum frutescens Ki kopi gede RUBIACEAE 89 Itea macrophylla Ki seeur badak ESCALLONIACEAE 90 Ixora longituba Soka gunung/ soka

leuweung

RUBIACEAE

91 Kibara coriacea Remek tulang MONIMIACEAE

92 Knema cinerea Ki mokla MYRISTICACEAE

93 Laportea stimulans Pulus URTICACEAE

94 Lasianthus inodorus Kopi-kopian RUBIACEAE

95 Lepisanthes tetraphylla Rogol SAPINDACEAE

96 Leptospermum javanicum Ki tanuk MYRTACEAE

97 Lithocarpus elegans Pasang jambe FAGACEAE

98 Lithocarpus indutus Pasang batu FAGACEAE

99 Lithocarpus pallidus Pasang gunung FAGACEAE 100 Lithocarpus pseudomoluccus Pasang kayang FAGACEAE

101 Lithocarpus sundaicus Pasang FAGACEAE

102 Litsea angulata Huru madang / huru medang

LAURACEAE

103 Litsea cubeba Huru lemo LAURACEAE

104 Litsea diversifolia Huru koneng LAURACEAE

105 Litsea javanica Huru bodas LAURACEAE

106 Litsea mappacea Huru buweh LAURACEAE

107 Litsea noronhae Huru minyak LAURACEAE

108 Litsea resinosa Huru leksa LAURACEAE

109 Litsea sp Huru menteng LAURACEAE

110 Litsea tomentosa Huru cantung LAURACEAE

111 Macaranga rhizinoides Manggong EUPHORBIACEAE 112 Macropanax concinnus Ki racun bodas ARALIACEAE 113 Macropanax dispermum Ki racun ARALIACEAE

114 Maesopsis eminii Kayu afrika RHAMNACEAE

115 Magnolia blumei Manglid MAGNOLIACEAE

116 Mallotus philippinensis Calik angina EUPHORBIACEAE 117 Melanochyla caesia Kananga gunung ANACARDIACEAE 118 Memecylon excelsum Ki hiang MELASTOMATACEAE 119 Michelia montana Campaka leuweung MAGNOLIACEAE 120 Mischocarpus fuscescens Ki hoe SAPINDACEAE


(3)

121 Neesia altissima Bengang BOMBACEAE

122 Neonauclea obtusa Cangcaratan RUBIACEAE

123 Nauclea lanceolata Anggrit RUBIACEAE

124 Ormosia sp Ki haji PAPILIONACEAE

125 Orophea hecandra Ki sauhen ANNONACEAE

126 Oroxylum indicum Ki cengkeh BIGNONIACEAE

127 Ostodes paniculata Muncang cina EUPHORBIACEAE

128 Pavetta indica Ki kopi leutik RUBIACEAE

129 Persea rimosa Huru leeur LAURACEAE

130 Phoebe excelsa Huru LAURACEAE

131 Phyrnium pubinerve Putat MARANTACEAE

132 Piper aduncum Seuseureuhan PIPERACEAE

133 Pyrenaria serrata Tehliar THEACEAE

134 Pisonia umbelliflora Ki cau NYCTAGINACEAE 135 Pithecellobium montanum Haruman MIMOSACEAE 136 Platea latifolia Campaka gunung ICACINACEAE

137 Plectronia didima Ki endog RUBIACEAE

138 Podocarpus imbricatus Jamuju PODOCARPACEAE 139 Podocarpus neriifolius Ki putrid PODOCARPACEAE 140 Polyosma ilicifolia Ki jebug gunung ESCALLONIACEAE 141 Polyosma integrifolia Ki jebug ESCALLONIACEAE

142 Pometia pinnata Lengsar SAPINDACEAE

143 Premna corymbosa Ki beureum VERBENACEAE

144 Pygeum latifolium Kawoyang ROSACEAE

145 Pygeum parviflorum Kawoyang leutik ROSACEAE 146 Quercus gemiliflora Pasang kapas FAGACEAE

147 Rauwolfia javanica Lames APOCYNACEAE

148 Saurauia blumiana Ki leho badak SAURAUIACEAE 149 Saurauia bracteosa Ki leho beureum SAURAUIACEAE

150 Saurauia nudiflora Gadog SAURAUIACEAE

151 Saurauia pendula Ki leho SAURAUIACEAE

152 Saurauia reinwardtia Ki leho leutik SAURAUIACEAE 153 Scheffea aromatica Panggang puyuh LAURACEAE

154 Schima wallichii Puspa THEACEAE

155 Sloanea sigun Beleketebe ELAEOCARPACEAE

156 Solanum verbascifolium Teter SOLANACEAE

157 Sterculia oblongata Huru migmal STERCULIACEAE 158 Sterculia sp Palahlar leutik STERCULIACEAE 159 Symplocos fasciculata Jirak leutik SYMPLOCACEAE 160 Symplocos henschelii Ki sabun SYMPLOCACEAE 161 Symplocos javanica Jirak gunung SYMPLOCACEAE


(4)

No Nama botani Nama lokal Famili 163 Syzgium antisepticum Ki tambaga / Ki

tembaga

MYRTACEAE

164 Talauma candollei Tunjung MAGNOLIACEAE

165 Toona sureni Suren MELIACEAE

166 Trema orientalis Kurai /Ki kurai ULMACEAE

167 Turpinia Montana Ki bancet STAPHYLEACEAE

168 Turpinia sphaerocarpa Ki bangkong STAPHYLEACEAE 169 Vernonia arborea Hambirung /

hamirung

ASTERACEAE 170 Viburnum sambucinum Ki pahang CAPRIFOLIACEAE

171 Villebrunea rubescens Nangsi URTICACEAE

172 Weinmannia blumei Ki merak beureum CUNONIACEAE

173 Wenlandia glabrata Huru kina RUBIACEAE


(5)

Nama Lengkap : Dr. Ir. CAHYO WIBOWO, MSc.

Tempat/Tanggal Lahir : Semarang (Indonesia), 19 September 1960. Pekerjaan sekarang : Staf Pengajar dan Peneliti Silvikultur, di Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan , Institut Pertanian Bogor, di Bogor, Indonesia.

Riwayat Pekerjaan :

• Tahun 1982 – 1983 : Asisten dosen untuk mata ajaran Statistika Dasar (dengan tugas mengajar mahasiswa tingkat II Fakultas Kehutanan IPB di Bogor).

• Tahun 1985 – sampai sekarang: Staf Pengajar dan Peneliti Silvikultur, di Laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan , Institut Pertanian Bogor, di Bogor, Indonesia.

Riwayat Pendidikan : a. Dengan gelar:

1. Sarjana Kehutanan (tahun 1985), dari Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

2. Master of Science (MSc) in Tropical Forestry (tahun 1993), dari Fakultas Kehutanan Universitas Gottingen, Republik Federal Jerman.

3. Program Doktor (tahun 2006) di Program Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor, dengan pendalaman pada ilmu-ilmu tanah, dan mata ajaran- mata ajaran berikut ini:

No Mata ajaran yang diikuti Nilai yang

diperoleh

1. Manajemen Hutan Lanjutan A

2. Analisis Tanah B

3. Kesuburan Tanah B

4. Masalah Khusus (Topik Kesuburan Tanah Hutan) A

5. Kimia Sumberdaya Alam dan Lingkungan A

6. Kimia Logam Berat A

7. Kimia Tanah A

8. Bahasa Inggris A

9. Mineralogi Liat A

10. Genesis & Klasifikasi Tanah A

11. Bahan Organik Tanah A

12. Ekologi Tanah B

13. Biologi Tanah B

14. Hubungan Fisik Tanah dan Tanaman B


(6)

16. Kesesuaiaan Lahan & Perencanaan Tata Ruang B

17. Pengantar ke Falsafah Sains A

b. Tanpa Gelar:

1. Pelatihan Pemuliaan Pohon (tahun 1987), di Universitas Kasetsart, Bangkok, Thailand.

2. Kursus Singkat Bioteknologi Tanaman (tahun 1988), di Institut Pertanian Bogor, Pusat Antar Universitas Bioteknologi.

3. Kegiatan Pengumpulan Kredit Akademik, untuk mata ajaran Metabolisme Tumbuhan, dan Teknik Laboratorium (tahun 1990). Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.