Hubungan antara Penyebaran Vegetasi dan Sifat Sifat Tanah

24

2.3. Penyebaran Alami Saninten C. argentea

C. argentea ditemukan di hutan primer atau sekunder tua, biasanya pada tanah kering yang subur, pada ketinggian 150 – 1750 m dpl. Di tempat–tempat tertentu di Jawa, spesies ini adalah dominan Prosea, 1995 . C. argentea tersebar mulai dari bagian barat Indonesia, hingga ke bagian timur, tapi hanya sampai ke Jawa Tengah. Dalam hal ini C.argentea hanya dijumpai secara alami di Sumatra dan Jawa . Umumnya saninten dijumpai pada ketinggian 200 – 1600 meter diatas permukaan laut Heyne, 1987

3. Hubungan antara Penyebaran Vegetasi dan Sifat Sifat Tanah

Tanah merupakan akibat dari transformasi in situ lapisan teratas dari litosfir Zech, 1993. Transformasi tersebut dipengaruhi oleh input dari atmosfir yang mencakup presipitasi, gas CO 2 , SO 2 , NO x , partikel inorganik dan organik, aerosol, radiasi dan organisme. Zona transformasi pada litosfir tersebut, disebut pedosfir Zech, 1993. Tanah terdiri dari bahan padatan inorganik yang terbentuk dari batuan induk yang melapuk, bahan padatan organik yang terbentuk dari jaringan tanamanhewan yang mati dan melapuk, udara dan air. Tanah yang subur dicirikan oleh adanya kombinasi yang optimal antara bahan padatan, cair dan gas tersebut Zech, 1993. Tanah yang subur mamp u mensuplai tanaman dengan hara misalnya N dan S dari bahan organik, K dan Ca dari bahan padatan mineral, air dan oksigen untuk respirasi akar dalam jumlah dan komposisi yang optimum untuk menghasilkan biomassa. Meskipun demikian, kebutuhan tanaman sangat bervariasi, dan tanah sendiri bisa berubah menurut waktu, dalam hal ketersediaan hara, neraca air dan sebagainya. Tanah berubah sebagai fungsi dari lingkungan. Menurut Jenny 1941, dalam Zech, 1993, tanah atau sifat sifat tanah, mengikuti persamaan fungsi berikut: Tanah sifat tanah = f bahan induk, iklim, topografi, organisme, waktu. Organisme utama yang tercakup dalam persamaan diatas adalah vegetasi. Antara 25 vegetasi, tanah dan faktor lingkungan lain, terjadi interaksi, misalnya faktor ik lim tertentu mempengaruhi sifat tanah tertentu. Kemudian sifat tanah tertentu ini menyebabkan munculnya vegetasi yang spesifik. Kemudian vegetasi yang spesifik ini memunculkan sifat sifat tertentu yang lain lagi pada tanah tersebut Wambeke, 1992, seperti misalnya fenomena kemampuan tumbuhan mangrove Avicennia sp lahan basah yang akarnya mampu mengoksidasi daerah rizosfirnya Nickerson dan Thibodeau, 1985; dalam Sherman, et. al., 1998. Pola pengaruh tumbuhan terhadap sifat tanah, juga dilaporkan ole h Vinton dan Burke 1997 dari penelitiannya di padang padang rumput Amerika Serikat dimana untuk daerah kering, penutupan oleh tumbuhan hadir tidaknya suatu individu tumbuhan lebih penting daripada komposisi spesies, dalam menjelaskan keragaman sifat tanah. Dilain pihak, untuk daerah yang lebih basah, komposisi spesies tumbuhan, lebih penting daripada penutupan oleh tumbuhan, dalam menjelaskan keragaman sifat sifat tanah. Daerah yang lebih basah tersebut, mempunyai penutupan tumbuhan yang lebih kontinu, yang menyebabkan lebih kecilnya variasi C dan N tanah yang disebabkan oleh penutupan tumbuhan, dibanding yang di daerah kering yang mempunyai tempat tempat tertentu yang tak tertutup tumbuhan. Disamping itu, spesies tumbuhan di daerah yang lebih basah juga punya kandungan C dan N yang lebih tinggi dan lebih bervariasi dibanding yang di daerah kering Vinton dan Burke, 1997. Di lain pihak, tumbuhan juga beradaptasi dengan sifat tanah tertentu. Sebagai misal, dalam adaptasi tumbuhan terhadap kandungan yang tinggi dari aluminium yang dapat dipertukarkan pada tanah, sebagian tumbuhan mengakumulasi aluminium tersebut pada jaringan tubuhnya, sedang sebagian tumbuhan lain menolaknya Webb, 1954; Mc Cormick and Steiner, 1978; Haridasan, 1982; dalam Szott et. al., 1991. Adaptasi yang penting dari tumbuhan terhadap ketersediaan hara yang rendah adalah misalnya laju pertumbuhan yang lambat, kebutuhan yang rendah terhadap hara, usaha mempertahankan biomassa akar yang relatif lebih besar dibanding jaringan tanaman lainnya, akumulasi cadangan hara pada jaringan tanaman selama periode ketersediaan hara yang tinggi, pengurangan kehilangan hara melalui sclerophylly, atau retranslokasi hara sebelum jatuhnya serasah, dan proses rizosfir 26 yang meningkatkan ketersediaan hara Chapin, 1980; Vitousek, 1982; Clarkson, 1985; Chajim et. al., 1986; Cuevas and Medina, 1986; Vitousek and Standford, 1987; dalam Szott et.al., 1991. Bentuk lahan land form cukup banyak menentukan tipe vegetasi. Sebagai misal, data yang menunjukkan bahwa jenis pohon tertentu di hutan alam, ditemukan hanya pada lereng, menunjukkan preferensi jenis tersebut terhadap air tanah yang bergerak. Jenis yang tumbuh di lembah, tapi tidak tumbuh di punggung bukit, mungkin merupakan spesies yang peka terhadap tanah kering atau lebih banyak memerlukan hara dibanding jenis yang tumbuh di punggung bukit Jacobs, 1981. Korelasi antara besarnya biomas vegetasi hutan dengan kesuburan tanah, cenderung erat, bila tanahnya muda misalnya pada tanah alluvial yang baru atau endapan volkanik muda, dalam arti biomassa hutan yang besar cenderung menunjukkan tanah yang subur. Untuk tanah tua dan hutan yang klimaks, biomassa hutan yang besar belum tentu menunjukkan kesuburan yang tinggi Jacobs, 1981. Ashton 1976b; dalam Jacobs, 1981 mengamati di hutan hujan tropika Kalimantan bagian barat laut, bahwa keragaman floristik tertinggi ditemukan dimana kandungan fosfor tanah berkisar antara 40 sampai 150 ppm. Dibawah atau diatas kisaran itu, keragaman floristik menurun. Keterkaitan antara keragaman spesies tumbuhan dengan sifat sifat tanah nampaknya sangat spesifik untuk tiap wilayah. Dalam hal ini, El Ghani 1998 dalam penelitiannya di gurun yang arid di Mesir, melaporkan bahwa tekstur tanah, kadar karbon organik tanah dan kadar air tanah, terkait dengan keragaman spesies yang tinggi, sedang keragaman spesies yang rendah, terkait dengan salinitas yang tinggi serta kadar kalsium karbonat yang tinggi. Dilain pihak, dalam suatu ekosistem batuan granit dengan tanah tanah autokhton yang dangkal di Swedia, Tyler 1996 melaporkan bahwa keragaman spesies tumbuhan terkait dengan kedalaman tanah. Di habitat habitat vegetasi yang ekstrim, seperti gurun iklim kering, tanah bersalinitas tinggi, dan tanah pasir, hubungan korelasi antara sifat sifat tanah dan penyebaran vegetasi, nampaknya cukup erat, seperti juga di habitat yang tidak ekstrim tanah berdrainase baik, iklim yang bersifat mesik, dan sebagainya Franco 27 Vizcaino et. al., 1993; Toth et.al., 1995; Nornberg et.al., 1993; Bunyavejchewin, 1983. Meskipun demikian, mengingat adanya fenomena hukum minimum Justus Von Liebig, pada habitat yang ekstrim tersebut diduga korelasi antara sifat tanah dan vegetasi, lebih erat, dibanding pada habitat yang tidak ekstrim. Dugaan ini didukung oleh laporan dari Danin 1978; dalam Abd. El Ghani, 1998 yang menyatakan bahwa pada daerah gurun, keragaman edafis sifat sifat tanah mempengaruhi keanekaragaman spesies, lebih banyak dibanding keragaman iklim.

4. Beberapa Sifat Tanah yang Digunakan untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan.