Sampul Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman

51 dua puluh tahun. Yang masing-masing dari mereka mempunyai keyakinan dalam beragama yang berbeda. Namun, perbedaan berkayakinan itu tidak menjadi penghalang bagi Gu Dur, Romo Mangun, dan Ibu Gedong melakukan pengabdian kemanusian. Persamaan pandangan inilah yang membuat mereka bertiga saling menghormati dengan sepenuh hati. Bagi Gus Dur, Ibu Gedong, dan Romo Mangun lebih merupakan perwakilan dari dunia yang sama dari pada perbedaan kami satu dari yang lain. 2. “GUS MIEK: WAJAH SEBUAH KERINDUAN”, ini merupakan judul kedua dari tema Kepemimpinan Moral Spiritual. Pada judul ini Alm. K.H. Abdurrahman Wahid berkisah tentang kedekatannya dengan K.H. Hamim Jazuli alias Gus Miek, seseorang yang dianggap oleh kebanyakan orang mempunyai kekuatan supernatural, juga cara dakwah yang unik. 3. Judul ketiga dari tema Kepemimpinan moral spiritual ialah “IN MEMORIAM: KIAI ACHMAD SHIDDIQ ”. Beliau merupakan generasi kelima yang menjabat sebagai Rais Aam PBNU pimpinan tertinggi NU, yang dinilai mempunyai karakter unik dalam sikap dan kepemimpinannya saat itu, sehingga mampu menemukan keberhasilan dalam visi dan misinya saat mengembangkan PBNU sampai akhir hayatnya. 4. Pada judul terakhir “TUAN GURU FAISAL, POTRET KEPRIBADIAN NU” tema Kepemimpinan Moral Spiritual ini di tutup dengan kenangan serta kerinduan sekaligus kehormatan Alm. K.H. Abdurrahman Wahid pada sosok kepemimpinan generasi kedua di Nusa Tenggara Barat NTB yang saat itu dipimpin oleh Tuan Guru Faisal. Dalam konteks inilah Alm. 52 K.H. Abdurrahman Wahid merekam sosok kepribadian ulama semaca Tuan Guru Faisal. Beliau adalah sosok kepribadian yang memiliki pandangan yang konsisten, yaitu kecintaannya pada NU yang tiada habis- habisnya. Tuan Guru Faisal telah menjadi saksi yang patut diteladani mengenai semangat persaudaraan NU tersebut.

C. Sistem Tanda Peirce Representasi, Objek, dan Interpretasi ROI

1. Buku, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, halaman: 83 Kompas, Kamis, 11 Februari 1999. PERJALANAN ROMO YANG BIJAK Pada malam itu, kami bertiga mengobrol di halaman Candi Dasa, Karangasem, Bali. Ibu Gedong, Romo Mangun dan saya sendiri menjadi peserta diskusi bebas itu, yang berlangsung hampir tiga jam lamanya. Kami bertiga, saat itu, membicarakan masalah yang sederhana saja, konsep tentang wali saint. Dari perbincangan itu kami bertiga mendapati bahwa ada kesamaan diantara kami bertiga mengenai konsep wali, hanya istilahnya saja yang berbeda, yang satu menggunakan bahasa Sansakerta, satunya lagi bahasa Latin, dan yang lainnya bahasa Arab. Baik agama Hindu, Katolik maupun Islam, memandang wali sebagai orang suci yang memiliki Beberapa sifat yang membedakannya dari orang lain, yakni pengetahuan metafisis melebihi orang biasa, ciri-ciri istimewa yang diberikan Tuhan oleh mereka, ataupun pengerbonan mereka pada kepentingan kemanusiaan. Persamaan pandangan inilah yang membuat kami bertiga saling menghormati dengan sepenuh hati. Bagi saya, Ibu Gedong, dan Romo Mangun lebih merupakan perwakilan dari dunia yang sama dari pada perbedaan kami satu dari yang lain. Dari pertemuan di Candi Dasa, lebih dari dua puluh tahun yang lalu itu, timbul rasa saling menghormati satu dengan yang lain. Saya tidak pernah memikirkan perbedaan dari Romo Mangun dan Ibu Gedong, melainkan justru persamaan antara kami bertiga yang selalu kami jadikan sebagai titik pandang untuk melakukan pengabdian kemanusiaan. Mungkin Karena inilah sikap keterbukaan, dan saling pengertian, dan empati mejadi bagian dari hubungan kami bertiga. Bagaimanapun unsur yang mempersatukan kami bertiga jauh lebih banyak dari yang memisahkan. 53 Ketika saya berpindah dari Jombang ke Jakarta, segera saya melihat betapa dalamnya rasa cinta kasih Romo Mangun pada umat manusia. Hal iu tampak dalam sikapnya terhadap mereka yang nasibnya malang, pendidikannya kurang, dan mereka yang tingkat ekonominya rendah. Bagi mereka, Romo Mangun adalah hiburan yang menguatkan hati dikala susah, tetapi juga membawa harapan kemajuan dalam hidup. Mereka terdorong untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi karena simpati yang diperlihatkannya oleh Romo Mangun dan kehangatan cinta kasihnya yang diberikan kepada sesama umat manusia. Sosok Romo Mangun adalah pribadi yang mampu memancarkan sinar kasih keimanan dalam kehidupan manusia. Dalam diri Romo Mangun, keimanan tidak sekadar terbelenggu dalam sekat-sekat ritual agama atau symbol-simbol semata. Lebih dari itu, cinta kasih keimanan Romo Mangun mampu menembus sekat-sekat formalisme dan simbolisme. Dia kasihi dan dia sentuh setiap manusia dengan ketulusan cinta kasihnya yang terpancar dari keimanan dan keyakinannya. Inilah yang menyebabkan Romo Mangun mampu hadir dalam hati setiap manusia, karena dia telah menyentuh dan menyapa setiap manusia. Hal itu, tidak hanya tampak dalam kehidupan sehari-hari, melainkan juga dalam karya tulisnya. Kombinasi antara keterusterangan, kecintaan pada manusia, dan kepercayaan yang teguh akan masa depan yang baik merupakan modal utamanya. Hal ini tidak hanya tampak pada karya-karya satranya melainkan juga dalam kupasan-kupasannya mengenai sejarah modern bangsa kita dalam kolom-kolomnya. Karya- karya tulis itu memperlihatkan keagungan jiwa manusia yang tahu benar apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya. Begitu juga tentang kehidupan yang menderanya dan janji kehidupan yang lebih baik yang menunggunya di masa depan. Prinsip-prinsip di atas tampak dalam novel-novel yang ditulisnya, terutama tentang masyarakat jawa masa lampau. Dunia Roro Mendut dan Pronocitro dalam kupasan Romo Mangun yang sangat tajam, ternyata adalah dunia kita juga dengan segala kemelut dan permasalahannya. Ketegeran jiwa Roro Mendut adalah juga ketegaran jiwa Romo Mangun yang memperjuangkan kemerdekaan umat manusia atau yang menentang militerisme. Keyakinannya akan proses memberikan keyakinan padanya bahwa setiap zaman membawakan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan oknum-oknum ABRI dikupasnya dalam berbagai kolom bersama-sama kepengecutan sebagian perwira maupun ketololan sejumlah politikus. Semua itu disajikan dengan bahasa yang halus, namun tajam. Sindiran-sindirannya membuat setiap orang yang berpikiran cerdas dan peka merasa malu. Dalam hal ini, seolah Romo Mangun menjadi wakil masyarakat yang terlupakan dan tertinggalkan. Disamping ketajaman batin dan kepekaan nuraninya yang tinggi, sosok Romo Mangun juga menjadi simbol kesederhanaan. Sebagai seorang tokoh yang sudah bertaraf internasional, Romo Mangun tidak