Gambaran Umum Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman
42
individu dan negara, masalah HAM, Dwifungsi ABRI, dan pengembangan demokrasi tampaknya masih menjadi fokus utama dalam pemikiran Gus Dur.
Barangkali, buku ini adalah peneguhan kembali kepedulian Gus Dur terhadap persoalan-persoalan dasar yang masih belum terselesaikan dalam proses
menuju demokrasi. Pergelutan pemikiran Gus Dur yang sangat intens dalam dunia politik,
membuatnya menjadi bagian dari perpolitikan itu sendiri. Dengan kata lain, Gus Dur bukan saja sebagai aktor politik, baik dalam kapasitas pemikir dan
pemain, melainkan juga merupakan salah satu produk sistem politik yang berkembang selama ini. Dialektika hubungan antara aktor dan sistem politik
tersebutlah yang pada gilirannya menghasilkan sosok dan buah pikiran serta perilaku khas yang oleh sebagian orang disebut Gus Durian. Salah satu ciri
gaya Gus Dur yang saya ketahui adalah keinginannya untuk selalu mencari dataran-dataran baru yang bisa menjadi titik temu bagi berbagai perbedaan.
Tetapi titik temu yang dimaksud bukanlah sesuatu yang final. Ia hanya sebagai sebuah tempat untuk titik tolak yang darinya dapat diupayakan jawaban-
jawaban baru yang lebih kreatif. Tengok saja bagaimana Gus Dur untuk mencoba mencari dataran baru
bagi pemahaman mengenai posisi Islam dalam kancah politik Indonesia modern, melampaui apa yang biasanya dilakukan oleh para pemikir dan
politisi Islam baik yang modernis maupun yang tradisionalis. Dalam buku ini kasus pertanyaan apakah seorang nonmuslim bisa jadi Presiden RI bisa jadi
contoh Bab 12. Gus Dur jelas menolak pendekatan formalistik yarrg banyak
43
dipakai oleh para elite Islam dan mencoba menggunakan pendekatan konstitusional. Kendati demikian, ia merasa tak terikat dengan garansi-
garansi dan janji-janji lisan yang, konon, pernah dibuat oleh para pemimpiri politik tentang priailege politik bagi Islam dalam kehidupan bernegara,
khususnya posisi presiden. Gus Dur justru memilih kenyataan tertulis dalam konstitusi yang pada hakikatnya merupakan cermin dari komitmen bersama
yang telah disepakati. Dengan keputusan demikian, cara pandang politik lantas bergerak ke depan dan bukan ke belakang, sehingga jawaban yang
kreatif bisa diberikan manakala muncul pertanyaan fundamental seperti apakah seorang nonmuslim dapat menjadi presiden di Indonesia yang
mayoritas muslim itu. Gus Dur mengembalikan kepada apa yang tertuang secara tersirat kepada konstitusi karena ia merupakan landasan paling kokoh
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di situlah tampak kaitan dialektis antara Gus Dur dan realitas politik
di negeri ini Di satu pihak eksistensi Gus Dur adalah refleksi dari realitas dalam perpolitikan Indonesia yang diwarnai oleh masih adanya ketegangan
hubungan antara agama Islam dan negara, di pihak lain pemikiran yang dilontarkannya merupakan salah satu resultante ketegangan tersebut yang
dapat dipergunakan sebagai ialah satu cara meredakan ketegangan Ajakan Gus Dur untuk kembali kepada konstitusi dan penolakannya terhadap
pemakaian pendekatan formalisme agama dalam perpolitikan niscaya merupakan alternatif yang dapat dipertimbangkan oleh siapa pun yang peduli
dengan demokrasi. Dalam konteks Indonesia pasca-Orba, munculnya konflik-
44
konflik horizontal yang berwarna SARA salah satu penyebabnya tak lain adalah formalisme dan politisasi agama yang cenderung menguat pada masa-
masa terakhir pemerintahan Soeharto. Dengan pendekatan semacam itu, Gus Dur tentu saja meriskir
terjadinya kontroversi di dalam kalangan Islam, termasuk dalam Jamiyyah NU Setidik-tidaknya, Gus Dur akan dituduh mengabaikan kepentingan politik
kaum muslimin di negeri ini. Di kalangan sebagian ulama yang berpendapat bahwa memilih pemimpin dari kalangan nonmuslim adalah haram hukumnya,
Gus Dur jelas akan menjadi target kritik yang keras. Demikian juga, pandangan Gus Dur akan ditafsirkan sebagai sikap inferior menghadapi kaum
nonmuslim yang minoritas, dan sebagainya. Namun, hal demikian bukanlah di luar kalkulasi Gus Dur yang menganggap bahwa perbedaan pandangan
merupakan esensi dari kehidupan yang demokratis. Baginya, tanggapan- tanggapan yang miring dan kritis terhadapnya adalah realitas dari spektrum
Islam yang sangat luas itu sendiri dan, sebenarnya, justru membuktikan kebenaran dari apa yang telah diyakininya. Memahami pemikiran politik Gus
Dur, dengan demikian, memahami sebagian dari dinamika politik Indonesia itu sendiri. Sumbangan pemikirannya bukan saja pada keteguhannya
membicarakan tema-tema sentral yang selalu menyertai perkembangan demokrasi, melainkan juga alternatif-alternatif jawaban yang disodorkan
olehnya. Alternatif tersebut jelas bukan yang akan memuaskan semua pihak, tetapi yang penting adalah penemuan dataran-dataran baru yang
memungkinkan terjadinya pergerakan-pergerakan yang lebih luwes dan
45
berjangkauan jauh. Dengan cara seperti ini, pengembangan kehidupan politik dapat sekaligus menuju perbaikan, tetapi tanpa harus secara dogmatis
mengikuti suatu pola baku yang tertutup, sebagus apa pun pola itu telah dikembangkan.