Profil Gusdur GAMBARAN UMUM

34 Ia lahir dengan nama Abdurrah man Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama NU, sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah Tan Eng Hwa, pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan. Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia Masyumi, sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan 35 tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada disana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun seharusnya empat tahun. Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya. 36 Dia akrab disapa Gus Dur, Sang Bapak Bangsa yang sering melontarkan pendapat kontroversial. Bahkan ketika menjabat Presiden RI ke-4 20 Oktober 1999-24 Juli 2001, ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya. Kendati suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang kontroversi. Kendati pendapatnya tidak selalu benar — untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain — adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945. Pendapatnya seringkali terlihat tanpa interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang kontroversi. 37 Gus Dur dilahirkan 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, keluarga Muslim berpengaruh di Indonesia. Ayahnya, Wahid Hasyim, adalah mantan Menteri Agama pada 1945. Kakeknya, Hasyim Ashari, adalah satu dari pemimpin Muslim terbesar pada pergantian abad 2000 lalu. Gus Dur mengikuti tradisi keluarga dengan belajar di banyak pesantren. Nama Gus Dur diambil dari tradisi di daerahnya, dimana penduduk setempat menyebut seorang putra dari keluarga elit dengan sebutan „Gus‟. Ia juga sempat mempelajari sastra dan ilmu sosial di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak pada Tahun 1966-1970. Hari-hari kuliahnya bersamaan dengan timbulnya kekuasaan partai Baath, partai sosialisnya Saddam Hussein, yang menarik banyak pengikut. Dengan latarbelakang ini, ia juga sempat di gosipkan sebagai „sosok berbau kiri‟ pada masa Orba. Sebelumnya pada Tahun 1964-1966, Gus dur mempelajari ilmu hukum di Fakultas Syari‟ah Kulliyah Al-syari‟ah Universitas Al-Azhar Cairo. Dari Baghdad, ia kembali ke Indonesia 1974 dan mulai berkarir sebag ai „cendekiawan‟ dengan menulis sejumlah kolom di berbagai media massa nasional. Pada akhir dasawarsa 70-an, suami dari Sinta Nuriyah, ini sudah berhasil mengukuhkan diri sebagai satu dari banyak cendekiawan Indonesia yang paling terkenal dan laris pula sebagai pembicara publik. Nama Gus Dur makin mencuat setelah terpilih sebagai ketua umum PBNU, dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Saat itu hubungan NU dengan pemerintah sedang mesra-mesranya. Kendati dalam perjalanan selanjutnya, Gus Dur tak selalu berkompromi dengan pemerintah. Misalnya, 38 ketika pemerintah berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir PLTN di Muria, Gus Dur menentangnya. Demikian pula ketika Habibie mendirikan ICMI, Gus Dur mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi. Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU, adalah ketika ia membawa organisasi itu kembali ke khittahnya, keluar dari politik praktis pada 1984. Kendati, pada tahun 1999, ia pula yang membawa NU kembali ke dunia politik meski dalam format yang berbeda karena dilakukan melalui pembentukkan PKB, partai yang selalu dirujuk sebagai „anak kandung‟ NU. Ia juga dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali. Ia juga pengamat sepakbola yang tajam daya analisisnya. Bahkan, setelah penglihatannya benar-benar terganggu, pada Piala Dunia Juni 2002 lalu, ia masih juga antusias memberi komentar mengenai proyeksi juara. Selain menjadi idola bagi banyak orang, Gus Dur juga menjadi idola bagi keempat puterinya: Alisa Qortrunnada Munawarah Lisa, Zannuba Arifah Venny, Anisa Hayatunufus Nufus dan Inayah Wulandari Ina. Hal ini 39 tercermin dari pengakuan puteri sulungnya Lisa. Lisa bilang, sosok tokoh LSM Gus Dur menurun padanya, bakat kolumnis menurun ke Venny, kesastrawanannya pada Nufus dan sifat egaliternya pada Ina. DATA PRIBADI Kewarganegaran: Indonesia Tempat, Tanggal Lahir : Jombang Jawa Timur, 4 Agustus 1940 Istri : Sinta Nuriyah Anak : 1. Alissa Qotrunnada Munawaroh P 2. Zannuba Arifah Chafsoh P 3. Annita Hayatunnufus P 4. Inayah Wulandari P ALAMAT Rumah : Jl. Warung Silah No. 10, Ciganjur Jakarta Selatan 12630 – Indonesia PENDIDIKAN 1966-1970 Universitas Baghdad, Irak Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab 1964-1966 Al Azhar University, Cairo, Mesir Fakultas Syariah Kulliyah al-Syariah 1959-1963 Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, Indonesia 1957-1959 Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia JABATAN 1998-2009 Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia Ketua Dewan Syura DPP PKB 2004-2009 The WAHID Institute, Indonesia Pendiri 2000-2009 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Indonesia Mustasyar 2002-2009 Universitas Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia Rektor PENGALAMAN JABATAN 1999-2001 Presiden Republik Indonesia 1989-1993 Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI 1987-1992 Ketua Majelis Ulama Indonesia 1984-2000 Ketua Dewan Tanfidz PBNU 1980-1984 Katib Awwal PBNU 1974-1980 Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng 1972-1974 Fakultas Ushuludin Universitas Hasyim Ashari, Jombang Dekan dan Dosen 40 PENGALAMAN ORGANISASI 2003 Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional Penasehat 2002 Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Penasehat 1990 Forum Demokrasi Pendiri dan Anggota 1986-1987 Festifal Film Indonesia Juri 1982-1985 Dewan Kesenian Jakarta Ketua Umum 1965 Himpunan Pemuda Peladjar Indonesia di Cairo - United Arab Republic Mesir Wakil Ketua AKTIVITAS INTERNASIONAL 2003-2009 Non Violence Peace Movement, Seoul, Korea Selatan Presiden 2003-2009 International Strategic Dialogue Center, Universitas Netanya, Israel Anggota Dewan Internasional bersama Mikhail Gorbachev, Ehud Barak and Carl Bildt 2003-2009 International Islamic Christian Organization for Reconciliation and Reconstruction IICORR, London, Inggris Presiden Kehormatan 2002-2099 International and Interreligious Federation for World Peace IIFWP, New York, Amerika Serikat Anggota Dewan Penasehat Internasional 2002 Association of Muslim Community Leaders AMCL, New York, Amerika Serikat Presiden 1994-2009 Shimon Perez Center for Peace, Tel Aviv, Israel Pendiri dan Anggota 1994-1998 World Conference on Religion and Peace WCRP, New York, Amerika Serikat Presiden 1994 International Dialogue Project for Area Study and Law, Den Haag, Belanda Penasehat 1980-1983 The Aga Khan Award for Islamic Architecture Anggota Dewan Juri PENGHARGAAN 2004 Anugrah Mpu Peradah, DPP Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia 2004 The Culture of Peace Distinguished Award 2003, International Culture of 41 Peace Project Religions for Peace, Trento, Italia 2003 Global Tolerance Award, Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat 2003 World Peace Prize Award, World Peace Prize Awarding Council WPPAC, Seoul, Korea Selatan 2003 Dare to Fail Award , Billi PS Lim, penulis buku paling laris Dare to Fail, Kuala Lumpur, Malaysia 2002 Pin Emas NU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia. 2002 Gelar Kanjeng Pangeran Aryo KPA, Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 2001 Public Service Award, Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat 2000 Ambassador of Peace, International and Interreligious Federation for World peace IIFWP, New York, Amerika Serikat 2000 Paul Harris Fellow, The Rotary Foundation of Rotary International 1998 Man of The Year, Majalah REM, Indonesia 1993 Magsaysay Award, Manila , Filipina 1991 Islamic Missionary Award , Pemerintah Mesir 1990 Tokoh 1990, Majalah Editor, Indonesia DOKTOR KEHORMATAN 2003 Netanya University , Israel 2003 Konkuk University, Seoul, South Korea 2003 Sun Moon University, Seoul, South Korea 2002 Soka Gakkai University, Tokyo, Japan 2000 Thammasat University, Bangkok, Thailand 2001 Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand 2000 Pantheon Sorborne University, Paris, France 1999 Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand Dan beliau wafat pada tanggal 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun, di Jakarta

B. Gambaran Umum Buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman

Dalam buku ini Gus Dur juga menulis mengenai perkembangan politik di negara lain, seperti Malaysia, dan tema-tema non-politik seperti obituari tokoh-tokoh yang dekat dengannya Gus Miek, Kiai Achmad Shiddiq, dan Romo Mangun wijaya, tetapi mayoritas tulisan yang ada dalam buku ini adalah sekitar politik Indonesia kontemporer. Tema-tema seperti kepemimpinan politik, hubungan antara agama dan politik, hubungan antara 42 individu dan negara, masalah HAM, Dwifungsi ABRI, dan pengembangan demokrasi tampaknya masih menjadi fokus utama dalam pemikiran Gus Dur. Barangkali, buku ini adalah peneguhan kembali kepedulian Gus Dur terhadap persoalan-persoalan dasar yang masih belum terselesaikan dalam proses menuju demokrasi. Pergelutan pemikiran Gus Dur yang sangat intens dalam dunia politik, membuatnya menjadi bagian dari perpolitikan itu sendiri. Dengan kata lain, Gus Dur bukan saja sebagai aktor politik, baik dalam kapasitas pemikir dan pemain, melainkan juga merupakan salah satu produk sistem politik yang berkembang selama ini. Dialektika hubungan antara aktor dan sistem politik tersebutlah yang pada gilirannya menghasilkan sosok dan buah pikiran serta perilaku khas yang oleh sebagian orang disebut Gus Durian. Salah satu ciri gaya Gus Dur yang saya ketahui adalah keinginannya untuk selalu mencari dataran-dataran baru yang bisa menjadi titik temu bagi berbagai perbedaan. Tetapi titik temu yang dimaksud bukanlah sesuatu yang final. Ia hanya sebagai sebuah tempat untuk titik tolak yang darinya dapat diupayakan jawaban- jawaban baru yang lebih kreatif. Tengok saja bagaimana Gus Dur untuk mencoba mencari dataran baru bagi pemahaman mengenai posisi Islam dalam kancah politik Indonesia modern, melampaui apa yang biasanya dilakukan oleh para pemikir dan politisi Islam baik yang modernis maupun yang tradisionalis. Dalam buku ini kasus pertanyaan apakah seorang nonmuslim bisa jadi Presiden RI bisa jadi contoh Bab 12. Gus Dur jelas menolak pendekatan formalistik yarrg banyak