Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
2
mempunyai kekuatannya. Begitu pula dakwah media tulisan mempunyai kekuatan tersendiri. Menarik untuk dikutip pendapat Jalaludduin Rahmat
tentang kekuatan dakwah model ini; “Dakwah yang tetap abadi tetaplah dakwah melalui tulisan. Barang
kali karena itulah al- Qur‟an menjadi mushaf, yang tersimpan diantara dua
jilid bayna daffatain. Berkah buku tidak akan pernah berkekurangan. Meskipun orang menilik dengan dunia maya dengan perkembangan
teknologi, membuat berbagai macam situs untuk mengabadikan pemikiran, tetap tidak ada yang bisa mengalahkan sebuah buku. Ia buku, pen. bisa
menjangkau pikiran manusia kapan saja, dan dimana saja, dibaca dimana
saja, dan mengubah diri pembacanya seketika itu juga.”
2
Dengan kata lain, buku merupakan media yang potensial sebagai penunjang dakwah dengan keunggulan yang belum dimiliki media lain.
Jamaluddin Al-Afghani sebagai salah seorang tokoh yag memainkan peran signifikan dalam pergumulan sejarah Islam pada abad ke-19 pun selalu
mendorong murid-muridnya untuk menulis dan menerbitkan surat kabar guna membentuk pendapat umum.
3
Pada masa ini beragam pilihan dalam cara berdakwah, namun dakwah bi al-Qalam lah dengan eksistensinya sehingga banyak dipilih para praktisi,
selain penjelasannya lebih mendalam komprehensif , seorang da‟i bisa
menyebarkan pikiran, gagasan, dan ajarannya melalui lembaran-lembaran yang mudah diperoleh oleh semua orang. Dan mungkin dengan alasan ini
pakar kajian semiotika Jacques Derrida memiliki anggapan bahwa tulisan memiliki arti penting. Mengenai hal tersebut, Alex Sobur mengutip asumsi
Derrida.
2
Jalaluddin Rahmat, The Road to Allah. Bandung: Mizan, 2007, h. 16
3
Prof. Dr. Faisal Ismail, Islam Transformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah Yogyakarta; PT Tiara Wacana Yogya, 2001, h. 8
3
“Baginya, tulisan bukan cuma sekedar “literal pictographic”atau sekedar inskripsi yang bersifat idiografik saja, tetapi tulisan dapat merupakan
suatu totalitas termasuk kemampuannya untuk melampaui apa yang hanya bisa ditunjuk secara fisik. Misalnya, orang dapat mengetahui dan merasakan
kehidupan di padang rumput Amerika melalui tulisan Laura Ingals Wilder, tanpa ia sendiri harus tinggal di padang-rumput itu.
4
Di antara para da‟i yang kerap berdakwah melalui media tulis, nama Gus Dur sangat melekat tentunya dalam ingatan kita. Karena pemikiran-
pemikiran semasa hidupnya tentang soal moral, agama, seni, dan negara sering ia tuangkan kedalam bentuk tulisan yang diterbitkan di media massa seperti
surat kabar. Artikel-artikel beliau yang terekam di berbagai surat kabar harian
Nasional, semisal harian Kompas. Di antaranya, meliputi artikel-artikel yang berjudul
“semata-mata dari sudut hukum agama”, Kompas, 2311991. Lalu “Individu, Negara, dan Ideologi”, Kompas, 421994. diteruskan dengan
artikel yang berjudul “Pemimpin, Kepemimpinan, dan Para Pengikut”,
Kompas, 511999. dan masih banyak lagi.
5
Sehingga pada Oktober 1999. Beberapa artikel yang merupakan pendapat dan komentarnya yang ter-arsipkan oleh harian Kompas dituangkan
ke dalam sebuah buku dengan judul
“Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman
”. Yang saat itu Gus dur menjabat sebagai Presiden ke-4 Republik
Indonesia.
4
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analsis Wacana, Semiotik, dan Framing Bandung: Rosda, 2006, h. 51-52
5
Abdurrahman Wahid, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman. Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia. 1999, h. 177-178
4
Buku ini menjadi bukti bagi perhatian dan minat Gus Dur tentang Agama, ilmu, politik, dan kemasyarakatan. Selain itu juga komitmennya
terhadap kemanusiaan, martabat serta hak-hak asasi. Keragaman isi dan pandangannya
memperkuat posisinya
sebagai cendekiawan,
yakni cendekiawan yang terlibat aktif dalam perumusan Islam Indonesia. Karena
memang hanya Gus Dur satu-satunya sosok ulama, budayawan, cendekiawan yang menduduki jabatan kekuasaan eksekutif tertinggi di negeri ini.
Buku setebal 181 halaman ini menyajikan bentuk orisinil authentically dari olah pikiran sekaligus olah hati Gus Dur. Beliau melihat
persoalan dengan jarak yang sangat dekat dan karena itu bersikap kritis. Kedekatan dan pergaulan beliau dengan kekuasaan tidak mengekang
pemikirannya dan tidak membungkam opininya, ia merdeka atas dirinya sendiri dan hal tersebut suatu hal yang terkadang sulit dilakukan oleh manusia
pada umumnya terhadap lingkup sosial. Dengan bahasa, gaya dan caranya sendiri, ia akan mengatakan apa yang harus ia katakan, enak atau tidak enak.
Sepintas ia mengingatkan kita kepada tokoh revolusioner sekaligus aktivis Islam pada abad ke-19, yakni Jamaluddin Al-Afghani yang mengabadikan
hidup dan perjuangannya bagi kepentingan dan kebangkitan umat Islam terhadap imperialisme Barat. Al-Afghani adalah pencetus ide dan gerakan
kesatuan politik dunia Islam yang dikenal dengan Pan-Islamismenya. Dalam buku ini kita dapat menemukan pokok-pokok inti dari
pemikirannya mulai dari bagian-bagian pertama sampai bab-bab terakhirnya. Bagian pertama menghimpun pemikirannya sekitar soal-soal agama Islam dan
negara yang merupakan salah satu disiplin dari pemikiran Gus Dur. Pada
5
bagian kedua terhimpun pemikirannya tentang sikap soal kepemimpinan politik dan kepemimpinan dalam bidang moral-spiritual. Pada bagian akhir
kita bisa mencermati tentang ajakannya untuk membangun tradisi politik yang demokratis sesuai dengan iklim Indonesia.
Mayoritas tulisan dalam buku ini menyangkut tentang sekitar politik Indonesia kontemporer, khususnya mengenai perkembangan politik menjelang
dan sesudah jatuhnya Orde Baru pemerintahan rezim Soeharto. Tema-tema seperti kepemimpinan politik, hubungan antara agama dan politik, hubungan
antara individu dan negara, masalah HAM, Dwifungsi ABRI, dan pengembangan demokrasi tampaknya masih menjadi fokus utama dalam
pemikirannya. Kepedulian Gus Dur semasa hidupnya terhadap persoalan- persoalan dasar yang masih belum terselesaikan dalam proses menuju
demokrasi adalah kerinduan kita semua yang menginginkan kehidupan yang lebih baik di negeri sendiri.
Sehingga pembacaan serta memahami kembali tulisan-tulisan yang terkumpul dalam buku ini bisa menjadi acuan yang baik untuk mengkaji dan
menafsirkan perkembangan pemikiran Gus Dur yang terakhir, dan karena tema-tema yang ada dalam buku ini sebagaimana telah tersebut sebelumnya,
masih sangat relevan pada kondisi Indonesia saat ini. Mengulang plato dalam percakapan antara Raja Mesir Thamus dan Dewa Thoth yang dikutip Derrida.
“…Terima kasih kepadamu dan untuk temuanmu, murid-muridmu akan leluasa membaca tanpa keuntungan memperoleh pengajaran seorang
guru.”
6
6
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analsis Wacana, Semiotik, dan Framing Bandung: Rosda, 2006, h. 51
6
Perjalanan sejarah kita juga semakin memperjelas adanya dua peristiwa yang secara khusus telah mengubah perjalanan sejarah umat manusia. Yang
pertama adalah ditemukannya penulisan dan tersebarnya kemelekhurufan. Membaca dan menulis mengaktifkan proses-proses berpikir linier di dalam
otak, karena gagasan tersusun, dan bisa di analisis secara logis dalam hubungannya satu sama lain.
7
Maka melakukan pembacaan naskah tercetak dari sudut lain atau dari sisi analisis memungkinkan kita memahami makna-
makna yang tersirat. Berdasarkan pemikiran di atas maka penulis ingin mencoba
mengangkat wacana pemikiran Gus Dur dalam bingkai semiotika Charles Sanders Pierce untuk mengungkap makna dari tanda yang termediasi melalui
tulisan serta pesan dakwah apa yang terkandung dalam buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, buku yang berisi kumpulan artikel karya Gus
Dur, dengan alasan tersebut penulis mengambil judul
“Semiotik Peircean Buku Gus D
ur Menjawab Perubahan Zaman”.