Analisis Yuridis Pemberian Kredit Oleh Bank Terhadap Yayasan

(1)

ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN KREDIT OLEH BANK

TERHADAP YAYASAN

TESIS

Oleh

AKMAL FADHIL NASUTION 067005045/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN KREDIT OLEH BANK

TERHADAP YAYASAN

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

AKMAL FADHIL NASUTION 067005045/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis :

ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN

KREDIT OLEH BANK TERHADAP

YAYASAN

Nama Mahasiswa : Akmal Fadhil Nasution.

Nomor pokok : 067005045

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 26 Juli 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum 2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum 3. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS 4. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Yayasan merupakan organisasi nirlaba yang berbentuk badan hukum berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 28 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Untuk dapat menunjang demi mencapai maksud dan tujuannya, Yayasan diperkenankan mendirikan badan usaha dan atau turut serta dalam badan usaha.

Untuk dapat mengembangkan usaha yang didirikan, tentu Yayasan memerlukan bantuan modal dana, yang dalam hal ini, Bank sebagai salah satu lembaga keuangan yang dapat meminjamkan dana kepada Yayasan. Pengembangan usaha diperlukan agar Yayasan mempunyai cukup dana dalam mencapai maksud dan tujuan Yayasan, dan mengurangi ketergantungan terhadap sumbangan para donatur.

Dalam penelitian ini permasalahan yang akan dijawab adalah :

1. Apakah yayasan sebagai badan hukum yang dijalankan berdasarkan prinsip nirlaba dapat memperoleh kredit bank?

2. Bagaimana bentuk lembaga jaminan dalam pemberian kredit oleh bank kepada yayasan?

3. Bagaimana tanggung jawab organ yayasan terhadap perjanjian kredit bank yang diikat oleh yayasan?

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analistis, yaitu penelitian yang memberikan data atau gambaran mengenai obyek dari permasalahan Penelitian yang tidak dimaksudkan untuk menguji teori, tetapi dalam batas untuk menjelaskan variable penelitian mengenai pemberian kredit oleh bank kepada yayasan. Dalam penelitian ini akan dideskripsikan mengenai pemberian kredit oleh bank kepada yayasan yang dikaitkan dengan asas-asas perkreditan yang sehat.

Bentuk badan hukum dan adanya hasil usaha dari badan usaha yang didirikan oleh Yayasan sebagai sumber pengembalian pinjaman, sehingga Yayasan dapat diberikan kredit oleh Bank. Pada prinsipnya Bank memberikan pinjaman kepada Yayasan, dengan harapan Yayasan dapat mengembalikan pokok dan bunga tepat pada waktunya hingga berakhirnya kredit. Tetapi sebelum memberikan pinjaman, pihak Bank melakukan analisis terhadap pihak Yayasan sesuai dengan prinsip kehati-hatian agar memperoleh keyakinan. Untuk menambah keyakinan, pihak Bank akan meminta agunan sebagai jaminan kepada Yayasan sebagai sumber pembayaran kedua, apabila Yayasan tidak mampu mengembalikan pinjaman. Untuk itu agunan tersebut harus diikat dengan sempurna dengan lembaga jaminan seperti Hak Tanggungan, Fidusia, ataupun meminta jaminan dari pihak ketiga (borgtocht). Organ Yayasan bertanggung jawab terhadap pembayaran kredit hingga lunas dan wajib melakukan kepengurusan dengan itikad baik untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.


(6)

ABSTRACT

Foundation is non-profit organization in the form of corporate body based on Article 1 (1) of Law No.28/2004 on the Amandment of Law No.16/2001 on Foundation. To support the achievement of its goal and objectives, a foundation is allowed to establish a corporation and/or to participate in the corporation.

To be able to develop the corporation established, a foundation needs a help in the form of modal capital which in this case the bank is one of the finance institutions that can provide the foundation own enough fund to achieve its goal and objectives and to minimize its dependency on the donators’ contribution.

The problems to be answered in this study were :

1. Based on the non-profit principle, can a foundation as a corporate body get a credit from the bank?

2. What is the form of guarantee required by the bank if the bank is to give credit to the foundation?

3. How is the management of the foundation responsible for the bank credit agreement bound by the foundation?

This is an analytical descriptive study providing data or description about the object of the problem. This study not intended to test a theory but to explain the research variables related to the credit extension by the bank to a foundation. This study describes the relationship between credit extension by the bank and the healthy crediting principles.

The form of corporate body and the income from the corporation established by the foundation as the fund resource to pay the credit back that the foundation can get the credit from the bank. Principally, the bank provides a foundation with a credit expecting that the foundation can pay the credit with its interest on time. But before extending the credit, the bank did the analysis on the foundation to follow the principle of caution that the bank is sure about the abilty and good will of the foundation. For this purpose, the bank will ask the foundation for a guarantee as a secondary payment, in case the foundation cannot pay its credit. Therefore, the guarentee must be completely bound with a guarantee institution such as Guarantee Right, Fidusia, or the guarantee from the third party. The management of the foundation is responsible for paying the credit and must have good will to achieve the goal and objectives of the foundation.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul ”Analisis Pemberian Kredit oleh Bank Terhadap Yayasan”. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari tesis ini tidak akan selesai tanpa bimbingan, pengarahan serta bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof, Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H M.Sc (CTM), SpA(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution,SH MH selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Pembimbing I Penulis yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan Tesis ini.

4. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Pembimbing II Penulis yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan Tesis ini.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Pembimbing III Penulis yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan Tesis ini.


(8)

6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS dan Bapak Prof. Dr Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.

7. Para Guru Besar dan staf pengajar Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi penulis.

8. Seluruh staf pegawai Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu atas kelancaran seluruh administrasi.

9. Kepada kedua orangtua tercinta yaitu ayahanda Harmein Nasution dan ibunda Murniati Manik dan adik saya Fitriyani Nasution yang telah memberikan doa, dorongan dan motivasi bagi Penulis.

10.Kepada teman-teman angkatan 2006 Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan teman-teman angkatan 4 Bank Sumut yang telah membantu dan memotivasi saya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, dan Penulis dengan senang hati membuka diri untuk menerima sumbangan fikiran dan saran yang membangun guna pengembangan keilmuan bagi kepentingan masyarakat. Harapan Penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para akademisi, pembuat kebijakan dan seluruh ummat.


(9)

Akmal Fadhil Nasution

RIWAYAT HIDUP

Nama : Akmal Fadhil Nasution

Tempat / Tanggal Lahir : Bandung / 18 Februari 1983 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Pendidikan : - Sekolah Dasar Sw.Kemala Bhayangkari I Medan - SMP Sw. Harapan II, Medan

- SMU Negeri 1 Medan

- Fakultas Hukum Univ.Sumatera Utara - Pascasarjana USU / Hukum Ekonomi


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ...11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

G. Metode Penelitian ... 22

BAB II: PEMBERIAN KREDIT OLEH PERBANKAN KEPADA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM YANG DIJALANKAN BERDASARKAN PRINSIP NIRLABA A. Prinsip Organisasi Nirlaba di Yayasan ... 28


(11)

C. Analisis Kelayakan Pemberian Kredit ……….. 41 D. Analisis Perolehan Kredit oleh Yayasan ………... 55

BAB III : BENTUK LEMBAGA JAMINAN DALAM PEMBERIAN KREDIT OLEH BANK KEPADA YAYASAN

A. Kedudukan dan Bentuk Jaminan Kredit Perbankan ………. 66 B. Status Kepemilikan Asset Yayasan ……… 77 C. Lembaga Jaminan dalam Pemberian Kredit Kepada Yayasan ……….. 80

BAB IV : TANGGUNG JAWAB ORGAN YAYASAN DALAM

PERJANJIAN KREDIT BANK

A. Tanggung Jawab Organ Yayasan ………...115 B. Tanggung Jawab Organ Yayasan dalam hal Ketidakmampuan

Membayar ... 124

C. Perlindungan Bagi Pihak Yang Beritikad Baik ...128 D. Penyelamatan dan Penyelesaian Kredit Bermasalah ………...132

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ………155

B. Saran …….………156


(12)

ABSTRAK

Yayasan merupakan organisasi nirlaba yang berbentuk badan hukum berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 28 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Untuk dapat menunjang demi mencapai maksud dan tujuannya, Yayasan diperkenankan mendirikan badan usaha dan atau turut serta dalam badan usaha.

Untuk dapat mengembangkan usaha yang didirikan, tentu Yayasan memerlukan bantuan modal dana, yang dalam hal ini, Bank sebagai salah satu lembaga keuangan yang dapat meminjamkan dana kepada Yayasan. Pengembangan usaha diperlukan agar Yayasan mempunyai cukup dana dalam mencapai maksud dan tujuan Yayasan, dan mengurangi ketergantungan terhadap sumbangan para donatur.

Dalam penelitian ini permasalahan yang akan dijawab adalah :

1. Apakah yayasan sebagai badan hukum yang dijalankan berdasarkan prinsip nirlaba dapat memperoleh kredit bank?

2. Bagaimana bentuk lembaga jaminan dalam pemberian kredit oleh bank kepada yayasan?

3. Bagaimana tanggung jawab organ yayasan terhadap perjanjian kredit bank yang diikat oleh yayasan?

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analistis, yaitu penelitian yang memberikan data atau gambaran mengenai obyek dari permasalahan Penelitian yang tidak dimaksudkan untuk menguji teori, tetapi dalam batas untuk menjelaskan variable penelitian mengenai pemberian kredit oleh bank kepada yayasan. Dalam penelitian ini akan dideskripsikan mengenai pemberian kredit oleh bank kepada yayasan yang dikaitkan dengan asas-asas perkreditan yang sehat.

Bentuk badan hukum dan adanya hasil usaha dari badan usaha yang didirikan oleh Yayasan sebagai sumber pengembalian pinjaman, sehingga Yayasan dapat diberikan kredit oleh Bank. Pada prinsipnya Bank memberikan pinjaman kepada Yayasan, dengan harapan Yayasan dapat mengembalikan pokok dan bunga tepat pada waktunya hingga berakhirnya kredit. Tetapi sebelum memberikan pinjaman, pihak Bank melakukan analisis terhadap pihak Yayasan sesuai dengan prinsip kehati-hatian agar memperoleh keyakinan. Untuk menambah keyakinan, pihak Bank akan meminta agunan sebagai jaminan kepada Yayasan sebagai sumber pembayaran kedua, apabila Yayasan tidak mampu mengembalikan pinjaman. Untuk itu agunan tersebut harus diikat dengan sempurna dengan lembaga jaminan seperti Hak Tanggungan, Fidusia, ataupun meminta jaminan dari pihak ketiga (borgtocht). Organ Yayasan bertanggung jawab terhadap pembayaran kredit hingga lunas dan wajib melakukan kepengurusan dengan itikad baik untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.


(13)

ABSTRACT

Foundation is non-profit organization in the form of corporate body based on Article 1 (1) of Law No.28/2004 on the Amandment of Law No.16/2001 on Foundation. To support the achievement of its goal and objectives, a foundation is allowed to establish a corporation and/or to participate in the corporation.

To be able to develop the corporation established, a foundation needs a help in the form of modal capital which in this case the bank is one of the finance institutions that can provide the foundation own enough fund to achieve its goal and objectives and to minimize its dependency on the donators’ contribution.

The problems to be answered in this study were :

1. Based on the non-profit principle, can a foundation as a corporate body get a credit from the bank?

2. What is the form of guarantee required by the bank if the bank is to give credit to the foundation?

3. How is the management of the foundation responsible for the bank credit agreement bound by the foundation?

This is an analytical descriptive study providing data or description about the object of the problem. This study not intended to test a theory but to explain the research variables related to the credit extension by the bank to a foundation. This study describes the relationship between credit extension by the bank and the healthy crediting principles.

The form of corporate body and the income from the corporation established by the foundation as the fund resource to pay the credit back that the foundation can get the credit from the bank. Principally, the bank provides a foundation with a credit expecting that the foundation can pay the credit with its interest on time. But before extending the credit, the bank did the analysis on the foundation to follow the principle of caution that the bank is sure about the abilty and good will of the foundation. For this purpose, the bank will ask the foundation for a guarantee as a secondary payment, in case the foundation cannot pay its credit. Therefore, the guarentee must be completely bound with a guarantee institution such as Guarantee Right, Fidusia, or the guarantee from the third party. The management of the foundation is responsible for paying the credit and must have good will to achieve the goal and objectives of the foundation.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Keberadaan yayasan di Indonesia sudah diakui sejak zaman kedudukan Belanda. Keberadaan yayasan dibutuhkan oleh masyarakat sebagai wadah atau lembaga yang merupakan alat yang secara fungsional menjadi sarana untuk hal-hal atau pekerjaan dengan tujuan sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Istilah yayasan sebagai terjemahan dari stichting dalam bahasa Belanda dan foundation dalam bahasa Inggris.1

Pada masa lalu pendirian yayasan hanya berdasarkan kebiasaan masyarakat dan yurispudensi, di samping yang sungguh-sungguh bertujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, telah dipergunakan pula untuk tujuan-tujuan yang menyimpang dari tujuan semula, seperti untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas. Ketiadaan Undang-Undang Yayasan telah menimbulkan sengketa sesama organ yayasan ataupun yayasan telah dipergunakan untuk menampung kekayaan dari para pendiri ataupun pihak lain yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Yayasan telah dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang bukan untuk tujuan sosial dan kemanusiaan, seperti untuk menghindari pajak yang seharusnya dibayar, menguasai lembaga pendidikan untuk selama-lamanya, menembus birokrasi, memperoleh

1

Chatamarrasjid Ais, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, (Bandung:Citra Aditya Bakti,2000)hlm.5.


(15)

berbagai fasilitas dari Negara atau penguasa2. Hal ini berbeda dengan yayasan yang didirikan di luar negeri, yang didirikan oleh otang-orang kaya yang memiliki kepedulian sosial, dan ingin meyumbangkan hartanya untuk sosial. Di seantero dunia, kita mengenal cukup banyak yayasan seperti Ford Foundation (mengusung isu demokrasi, anti kemiskinan, keadilan, kerjasama internasional, serta pemberdayaan manusia), Bill & Melinda Gates Foundation (bergerak di bidang kesehatan dan pendidikan dengan dana sekitar US$ 60 milyar), Rockefeller Foundation (merupakan cikal bakal berdirinya PBB), Open Society Institute and Soros Foundation Network

(didirikan George Soros untuk mempromosikan pengembangan masyarakat terbuka), Carnegie Corporation of New York, dan masih banyak lagi.

Mereka umumnya mendirikan yayasan untuk tujuan:

1. membantu memajukan komunitas sebagai bentuk imbal balik pada lingkungan,

2. pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,

3. menyalurkan dan menyebarkan pemikiran serta idealisme pendirinya,

4. kegiatan untuk menyalurkan hobi atau kesenangan,

5. menghindari pajak, melalui pengecualian (tax evasion) dan pengurangan (tax deduction), juga

6. wahana untuk mengakumulasi kekayaan.3

Dengan adanya Undang-Undang No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang kemudian dirubah oleh Undang-Undang No.28 Tahun 2004 dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta mengembalikan fungsi yayasan

2

Chatamarrasjid Ais,Badan Hukum Yayasan Edisi Revisi, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006), hlm 2

3


(16)

sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Undang-Undang Yayasan telah memberikan landasan hukum bagi kehidupan yayasan di Indonesia.

Dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) yang diberlakukan di Indonesia tidak ada satu pasal pun yang mengatur dengan tegas tentang status badan hukum yayasan. Istilah yayasan dapat dijumpai dalam beberapa ketentuan KUHPerdata, antara lain dalam Pasal 365, Pasal 899, Pasal 900, Pasal 1680, Pasal 1852, dan Pasal 1954 serta dalam Pasal 6 ayat (3), Pasal 236 dan Pasal 890 Reglement op de Rechtsvordering (RV), dengan nama dan penyebutan yang berbeda-beda antara lain “stichting”, “stichtingen”,”gestichten” dan “armeninstichtingen”.4

Pasal 1 Undang-Undang Yayasan No.16 Tahun 2001 mengakhiri perdebatan para ahli hukum apakah yayasan merupakan suatu badan hukum atau bukan.

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Yayasan No.16 Tahun 2001

1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Yayasan, maka status badan hukum yayasan yang semula diperoleh dari sistem terbuka penentuan suatu badan hukum (het Open system van Rechtsperonen), beralih berdasarkan sistem tertutup (de Gesloten system van Rechtspersonen). Artinya, sekarang yayasan menjadi badan

4

Gunawan Widjaja, Suatu Panduan Komprehensif Yayasan di Indonesia, (Jakarta:PT.Elex Media Komputindo, 2002) hlm.2.


(17)

hukum karena berdasarkan Undang-Undang, bukan berdasarkan sistem terbuka, yang berlandaskan kebiasaan, doktrin, dan ditunjang oleh yurispudensi.

Dengan adanya Undang-Undang No. 28 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan selanjutnya disebut Undang-Undang Yayasan, maka untuk memperoleh status badan hukum, sebuah yayasan harus memenuhi syarat-syarat pendirian, yakni keharusan pendirian suatu yayasan dengan akta autentik yang dibuat di hadapan notaris. Dalam akta tersebut ditetapkan nama yayasan, maksud dan tujuan yayasan, susunan dan badan pengurus yayasan, serta kekayaan yayasan yang dipisahkan untuk tujuan yayasan tersebut.

Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian disahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, atas nama Menteri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11, Pasal 12 Undang-Undang Yayasan. Kemudian dalam Pasal 24 ayat 1 disebutkan akta pendirian yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui atau telah diberitahukan wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

Yayasan yang didirikan sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan, tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang tersebut yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-Undang No.16 tahun


(18)

2001 tentang Yayasan, yang kemudian dirubah oleh Undang-Undang No.28 Tahun 2004.5

Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, yayasan memiliki organ –organ yayasan yaitu Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Berbeda sebelum lahirnya Undang-Undang tersebut, organ Yayasan terdiri dari Pendiri, Pengurus dan kadang-kadang ada Pengawas Internal.

Keberhasilan yayasan bergantung kepada organ Pengurusnya, sebagai organ yang dipercayakan untuk melakukan kegiatan dan melaksanakan fungsi yayasan.6 Pengurus yayasan dalam melakukan kegiatan yayasan, bertanggung jawab dalam mengelola kekayaan yayasan yang ada.

Kekayaan awal pada yayasan diatur dengan Peraturan Pemerintah No.63 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan. Pada pasal 6 Peraturan Pemerintah No.63 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan disebutkan :

1. Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp10.000.000,00(sepuluh juta rupiah)

2. Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

5

Lihat pasal 71 ayat 1 Undang No.28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

6

Arie Kusumastuti Suhardiadi, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta:PT.Abadi,2003), hlm.104


(19)

Dalam Pasal 26 Undang-Undang Yayasan menyebutkan kekayaan yayasan berasal dari :

1. Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang dan barang.

2. Selain kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kekayaan Yayasan dapat diperoleh dari:

a. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat; b. Wakaf;

c. Hibah;

d. Hibah wasiat;dan

e. Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Dalam hal kekayaan Yayasan berasal dari wakaf, maka berlaku

ketentuan hukum perwakafan.

4. Kekayaan Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan.

Yang dimaksud dengan “perolehan lain” misalnya deviden, bunga tabungan bank, sewa gedung, atau perolehan lain dari hasil badan usaha yang didirikan yayasan atau hasil penyertaan yayasan pada suatu badan usaha.7

Undang-Undang Yayasan memberikan kesempatan bagi yayasan untuk melakukan kegiatan usaha, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3, Pasal 7, dan Pasal 8. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Yayasan No, 16 tahun 2001 disebutkan, bahwa yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannnya dengan cara mendirikan badan usaha dan atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud tujuan Yayasan. Kegiatan usaha berdasarkan dari penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Yayasan mempunyai cakupan

7


(20)

yang luas, termasuk antara lain hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan.

Pasal di atas memberi kejelasan bahwa yayasan boleh melakukan kegiatan usaha. Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha atau lebih tegas dapat melakukan kegiatan usaha yang memperoleh laba, tetapi mengejar laba bukanlah tujuannya.8

Yayasan boleh memperoleh laba dengan melakukan berbagai kegiatan usaha, baik dengan menjadi peserta dari suatu badan usaha maupun dengan mendirikan suatu badan usaha baru sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Yayasan.

Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha atau mendirikan badan usaha, agar yayasan tidak selalu bergantung pada dana sumbangan donatur. Sehingga yayasan itu dapat mandiri dan membiayai kegiatannya. Karena kekayaan awal yayasan, hanya sebesar Rp, 10.000.000,-, sehingga setiap orang yang memiliki kepedulian sosial dapat mendirikan sebuah Yayasan.

Yayasan yang memerlukan dana dalam hal pengembangan yayasan, misalnya dalam hal pembangunan sekolah atau rumah sakit, Pengurus dengan persetujuan terlebih dahulu dari Pembina dan Pengawas dapat menjaminkan kekayaan yayasan guna membangun sekolah atau rumah sakit tersebut.9. Persetujuan dari Pembina dan Pengawas diperlukan, karena Pengurus tidak berwenang mengikat yayasan sebagai penjamin utang.10

8

Chatamarrasjid Ais,,op.cit, hlm 7 9

Ibid hlm.16 10


(21)

Dana yang dibutuhkan untuk pengembangan yayasan, dapat diberikan dalam bentuk kredit oleh bank. Karena bank sesuai dengan fungsinya adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.11 Dari ketentuan ini tercermin fungsi intermediasi bank sebagai perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lacks of funds).

Bank sebagai lembaga keuangan sangat dan besar peranannya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam menjalankan peranannya maka bank bertindak sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan lainnya.12

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.13

Berdasarkan pengertian diatas, selain mengembalikan pokok pinjamannya untuk melunasi utangnya, debitur juga wajib memberikan bunga sebagai prestasi kepada kreditur sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.

Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk merangsang kedua belah pihak untuk tujuan pencapaian kebutuhan baik dalam bidang usaha

11

Lihat Pasal 3 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

12

Mohammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia. ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996 ) hlm 82

13

Pasal 1 butir 11 Undang-Undang No.10 tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tentang Perbankan


(22)

maupun kebutuhan sehari-hari. Pihak yang mendapatkan kredit harus dapat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi pada kemajuan usahanya itu, atau mendapatkan pemenuhan atas kebutuhannya. Adapun bagi pihak yang memberi kredit, secara material dia harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan perhitungan yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit, dan secara spiritual mendapatkan kepuasan karena dapat membantu pihak lain untuk mencapai kemajuan.14

Dalam pemberian kredit, bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut jaminan pemberian kredit debitur dalam melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur. Agunan yang akan diberikan pihak yayasan kepada bank, merupakan kekayaan yayasan yang berupa gedung sekolah ataupun rumah sakit. Tetapi apabila kredit tersebut menjadi bermasalah, pihak bank akan kesulitan mengeksekusinya karena fungsi sosial dari rumah sakit dan gedung sekolah tersebut di masyarakat. Dan jika dilihat prospek usaha yayasan yang bersifat sosial, tentu tidak akan mengharapkan keuntungan yang berlebih, karena tidak akan sesuai dengan tujuan yayasan.

B. Permasalahan

14


(23)

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

4. Apakah yayasan sebagai badan hukum yang dijalankan berdasarkan prinsip nirlaba dapat memperoleh kredit bank?

5. Bagaimana bentuk lembaga jaminan dalam pemberian kredit oleh bank kepada yayasan?

6. Bagaimana tanggung jawab organ yayasan terhadap perjanjian kredit bank yang diikat oleh yayasan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian tesis ini antara lain adalah :

1. Untuk mengetahui peraturan-peraturan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum pemberian kredit bank kepada yayasan sebagai lembaga nirlaba.

2. Untuk mengetahui bentuk lembaga jaminan dalam pemberian kredit oleh bank kepada yayasan.

3. Untuk mengetahui tanggung jawab dari organ yayasan sebagai pengelola yayasan dalam perjanjian kredit.


(24)

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian dan kepustakaan serta ilmu pengetahuan mengenai yayasan.

Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembina, pengurus, pengawas, perbankan dan orang-orang yang melakukan hubungan hukum dengan yayasan, agar dapat mengembangkan yayasan sehingga dapat bermanfaat bagi orang banyak, sesuai dengan tujuan hakiki yayasan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan dalam arsip kepustakaan Universitas Sumatera Utara Medan, penelitian mengenai perjanjian kredit bank kepada yayasan, belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan adalah penelitian mengenai kredit dan penelitian mengenai yayasan saja, tetapi belum pernah dilakukan penelitian tentang pemberian kredit kepada yayasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penelitian ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi judul dan substansinya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Bank bagi masyarakat secara umum adalah tempat menyimpan dan meminjam uang bagi yang membutuhkan. Hal ini sesuai dengan definisi bank berdasarkan pasal


(25)

1 angka 2 Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tentang Perbankan yang selanjutnya disebut Undang-Undang-Undang-Undang Perbankan, yaitu bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarkat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin, credere, yang berarti kepercayaan. Misalkan seorang nasabah debitor yang memperoleh kredit dari bank adalah tentu seseorang yang mendapatkan kepercayaan dari bank. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur adalah kepercayaan.15

Menurut ketentuan Pasal 1 butir 5 Peraturan Bank Indonesia No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga termasuk: a) cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dibayar lunas pada akhir hari ; b) pengambilan tagihan dalam rangka kegiatan anjak-piutang ; dan c) pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.

15


(26)

Menurut OP.Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, yang dengan demikian transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit. Kredit berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung resiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen kepercayaan, risiko dan pertukaran ekonomi di masa-masa mendatang.16Secara umum kredit diartikan sebagai ”The ability to borrow on the opinion conceived by the lender that he will be repaid”17

Dalam kredit dapat ditemukan sedikitnya 4 (empat) unsur, yaitu:18

1. Kepercayaan. Disini berarti bahwa si pemberi kredit yakin bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.

2. Tenggang waktu, yaitu waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang akan diterima pada masa yang akan datang.

16

OP.Simorangkir, Seluk beluk Bank Komersial, ( Jakarta: Aksara Persada Indonesia,1986) hlm 91

17

Meriam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, ( Bandung,:Citra Aditya Bakti, 1991) hlm 23

18


(27)

3. Degree of risk, yaitu risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari. Semakin panjang jangka waktu kredit diberikan maka makin tinggi pula tingkat risikonya, sehingga terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko. Karena adanya unsur risiko ini maka dibutuhkan jaminan dalam pemberian kredit.

4. Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Namun karena kehidupan modern sekarang ini didasarkan pada uang maka transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktek perkreditan. Intisari dari kredit adalah unsur kepercayaan. Unsur lainnya adalah mempunyai pertimbangan tolong menolong. Selain itu, dilihat dari pihak kreditur, unsur penting dalam kegiatan kredit sekarang ini adalah untuk mengambil keuntungan dari modal dengan mengambil kontraprestasi; sedangkan dipandang dari segi debitur, adalah adanya bantuan dari kreditur untuk menutupi kebutuhan yang berupa prestasi. Hanya saja antara prestasi dan kontraprestasi tersebut ada suatu masa yang memisahkannya. Kondisi ini mengakibatkan adanya risiko yang berupa


(28)

ketidaktentuan, sehingga oleh karenanya diperlukan suatu jaminan dalam pemberian kredit tersebut.19

Dalam ilmu hukum perkreditan, diajarkan bahwa hukum menuntut tanggung jawab tidak hanya semata-mata dari debitur, tetapi pihak kreditur pun harus memikul tangung jawab yuridis dalam hal-hal tertentu. Secara teoritis universal, beberapa teori yuridis yang telah berkembang sampai saat ini, antara lain sebagai berikut 20:

1. Teori Instrumentalis

Dalam hubungan dengan tanggung jawab pihak kreditur, maka teori instrumentalis mengatakan bahwa kreditur akan bertanggung jawab secara hukum jika terdapat hal-hal yang merugikan pihak debitur atau pihak lain seandainya pihak kreditur ikut campur kelewat banyak dalam bisnis kreditur, sehingga kreditur mempunyai kontrol ”total” dan ”aktual” terhadap perusahaan dan bisnis debitur.

2. Teori Keagenan

Teori ini mengatakan bahwa pihak kreditur akan bertanggung jawab secara yuridis atau kerugian pihak debitur atau pihak lainnya, seandainya kreditur tersebut mempunyai kekuasaan pengontrolan yang substansial terhadap kegiatan-kegiatan debitur.

3. Teori Kemitraan De Facto

Teori ini mengatakan bahwa bila antara kreditur dengan debitur mempunyai hubungan sedemikian rupa sehingga hubungan tersebut secara hukum dipandang sebagai hubungan kemitraan secara de facto maka setiap kerugian terhadap pihak lain yang dilakukan oleh pihak debitur harus ditanggung bersama oleh debitur dan kreditur secara sendiri-sendiri untuk seluruhnya (severally) dan secara bersama-sama (jointly)

4. Teori tentang Perbuatan Melawan Hukum

Penerapan teori perbuatan melawan hukum terhadap penentuan tanggung jawab dari kreditur akan memberi arti bahwa jika dalam menata bisnisnya debitur, pihak kreditur ikut campur dan bahkan ada unsur kesengajaan atau minimal kurang hati-hati sehingga menimbulkan kerugian debitur/pihak lain, maka kreditur sudah semestinya bertanggung jawab. 5. Teori Itikad Baik

19

Mohammad Djumhana op.cit.hlm 231., 20

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung:Citra Aditya Bakti,2002), hlm.28-30.


(29)

Jika perjanjian tidak dilakukan dengan itikad baik atau terdapat kolusi dengan debitur sehingga mengabaikan obyektivitas dalam pengucuran kredit, maka kreditur dapat dimintai pertanggungjawabannya.

Untuk menjaga tanggung jawab antara kreditur dan debitur, maka diperlukan perjanjian antara bank sebagai kreditur kepada debitur yang disebut dengan perjanjian kredit. Tetapi sebelum membahas mengenai perjanjian kredit, terlebih dahulu diketahui dasar hukum dari perjanjian. Perjanjian dalam pasal 1313 Buku III KUH Perdata mengatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Pasal 1313 KUH Perdata menimbulkan suatu hubungan antara 2 (dua) orang yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.21

Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menerangkan bahwa semua perjanjian yang dapat dibuat secara sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal ini mencerminkan asas kebebasan berkontrak, sehingga para pihak leluasa untuk membuat bermacam perjanjian asal saja tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

21


(30)

Selain asas kebebasan berkontrak masih ada asas-asas lainnya dalam suatu perjanjian yaitu:22

1. Asas Konsesualisme

Asas dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah semua. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyampaikan keinginannya (will), yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian.

2. Asas Kepercayaan

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya dibelakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, maka kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya pejanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

3. Asas Kekuatan Mengikat

Dalam perjanjian terkandung asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.

4. Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak ke dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuatan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan ada kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

5. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi melalui kekayaan debitur namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk

22

Mariam Darus Badulzaman Dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung:Citra Aditya Bakti,2001) hlm. 87-89


(31)

memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

6. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu sebagai undang-undang bagi para pihak.

7. Asas Moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari phak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatan juga asas ini terdapat dalam pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan dari hati nuraninya.

8. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan isi perjanjian. Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

Perjanjian pemberian kredit adalah salah satu di antara macam-macam perjanjian. Karena itu syarat sah dan asas-asas hukumnya mengikuti ketentuan yang berlaku pada perjanjian secara umum. Pasal 1754 KUH Perdata menyebutkan bahwa pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. Berdasarkan pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan, disebutkan perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk


(32)

melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, dan tergolong dalam perjanjian pinjam-meminjam.

Dalam memberikan kredit, pihak bank harus wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan23. Lebih lanjut tentang jaminan ini ini dapat dilihat pada penjelasan pasal 8 Undang-Undang Perbankan yang menyebutkan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko sehingga dalam pelaksanannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut maka jaminan pemberian kredit, dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Pemberian kredit dapat diberikan kepada orang perorangan ataupun badan hukum. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Yayasan yang menegaskan bentuk yayasan sebagai badan hukum, menyatakan sebuah yayasan dapat diberikan kredit oleh pihak bank. Yayasan membutuhkan kredit agar dapat mengembangkan badan usaha yang didirikannya. Karena dengan adanya badan usaha , yayasan tidak selalu bergantung kepada bantuan luar seperti, sumbangan, hibah atau lainnya. Keuntungan dari hasil usaha yayasan tersebut, dipergunakan untuk tujuan sosial dari yayasan dapat terwujud.

Pitlo menguraikan bahwa suatu yayasan adalah sebagai berikut :

23


(33)

“Sebagaimana halnya untuk tiap-tiap perbuatan hukum maka untuk pendirian yayasan harus ada sebagai dasar suatu kemauan yang sah, pertama-tama harus ada maksud untuk mendirikan yayasan, selanjutnya perbuatan hukum itu harus ada memenuhi tiga syarat materiil, yakni adanya pemisahan kekayaan, tujuan organisasi dan suatu syarat formil24”

Menurut N.H.Bregstein yayasan adalah suatu badan hukum yang didirikan dengan suatu perbuatan hukum, yang tidak bertujuan untuk membagikan kekayaan dan atau penghasilan kepada pendiri atau penguasanya di dalam yayasan itu kepada orang-orang lain.25

Menurut Meijers pada yayasan pokoknya terdapat: 1. Penetapan tujuan dan organsasi para pendirinya; 2. Tidak ada anggotanya;

3. Tidak ada hak bagi pengurusnya untuk mengadakan perubahan yang berkaitan jauh dalam tujuan organisasi;

4. Perwujudan dari suatu tujuan, terutama dengan modal yang diperuntukkan untuk itu.

Bahwa suatu badan hukum dapat merupakan atau terdiri dari kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu adalah berdasarkan Teori Kekayaan Bertujuan yang pada mulanya diajukan oleh A.Brintz. menurut teori ini hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum. Akan tetapi merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tidak ada satu manusia pun yang menjadi pendukung hak itu. Apa yang dinamakan

24

Pitlo En Meyling.G.Het.Personenrecht Naar Hed Ned, dalam M.Hasballah Thaib, Fiqih Waqaf, (Program Pasca Sarajana Hukum USU, Medan, 2003) hlm 39

25


(34)

hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai gantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan yang terikat oleh suatu atau kekayaan yang dimiliki oleh tujuan tertentu. Pada yayasan tujuan itu adalah bersifat idealistis,sosial dan kemanusiaan. Teori ini secara selintas mendukung pula pandangan bahwa yayasan adalah milik masyarakat.26

Yayasan sebagai badan hukum adalah sebuah legal entity yang terpisah dari pendirinya (seperate legal entity), dengan demikian yayasan mempunyai kepribadian hukum (legal personality) yang bersifat mandiri.

Sebagai konsekuensinya yayasan mempunyai hak dan kewajiban sendiri, dan dapat menuntut dan dituntut di hadapan pengadilan. Dalam keadaan ini yayasan dipandang dapat mempertanggungjawabkan semua tindakannya. Kekayaan yayasan yang terpisah dari kekayaan pendirinya tidak saja sebagai modal yayasan mencapai tujuannya, tetapi juga adalah jaminan terhadap kewajiban-kewajiban yayasan terhadap pihak lain, termasuk dalam perjanjian kredit bank.

Bank dalam memberikan kredit berdasarkan kepercayaan bahwa debitur memiliki kemampuan mengembalikan pinjaman dan bunganya. Yayasan berdasarkan Undang-Undang Yayasan dapat mendirikan badan usaha, sehingga yayasan dapat memperoleh keuntungan dari badan usaha yang didirikannya. Keuntungan yang dimiliki yayasan dapat dijadikan dasar bagi bank untuk memberikan kredit, apabila yayasan mengajukan permohonan kredit kepada pihak bank. Karena keuntungan dari

26


(35)

badan usaha yayasan tersebut sebagai jaminan kepercayaan dari bank kepada yayasan sebagai kemampuan membayar hutang.

2. Kerangka Konsep

Pemaknaan konsep terhadap istilah yang digunakan, terutama dalam judul penelitian bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikanya semata-mata kepada pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun peneliti sendiri di dalam menangani rangkaian proses penelitian bersangkutan.27

Beberapa konsep yang digunakan antara lain:

1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau dalam bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.28

2. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.29

3. Kredit Bank adalah pinjaman dana yang diberikan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha, dan atau konsumsi. Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta kepada dunia usaha guna membiayai sebagian kebutuhan permodalan, dan atau kredit dari bank kepada

27

Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999) hlm. 107-108.

28

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

29


(36)

individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang atau jasa.30

4. Perjanjian kredit bank adalah perjanjian pinjam meminjam yang didasarkan pada kesepakatan antara bank dengan nasabah ( kreditur dengan debitur ).31

5. Kreditur adalah pihak bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.32

6. Debitur adalah oang atau badan usaha yang memiliki hutang kepada bank atau lembaga pembiayaan lainnya karena perjanjian atau undang-undang.33

7. Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.34

8. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.35

9. Badan hukum merupakan istilah hukum yang resmi di Indonesia dan merupakan terjemahan istilah hukum Belanda yaitu rechtspersoon, juga

30

Budi Untung, loc cit, hlm. 5 31

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung:Mandar Maju, 2000) hlm.67. 32

Riduan Tobing dan Bill Nikholaus, Kamus Istilah Perbankan,(Jakarta:Atalya Rileni Sudeco, 2003) hlm.118

33 ibid 34

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, (Bandung:Penerbit Alumni, 2006) hlm.31.

35

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.16 tentang Yayasan.


(37)

merupakan terjemahan peristilahan persona moralis (latin), legal persons (Inggris)36.

10. Kekayaan Yayasan merupakan modal bagi usaha yayasan yang berasal dari modal pendiri sebagai modal awal, dan kekayaan yang berasal dari sumber-sumber lain, dan yang dapat diperoleh dari sumbangan atau bantuan tidak mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat, dan perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku37

11. Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus dan Pengawas oleh undang-undang atau Anggaran Dasar.38

12. Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan.39

13. Pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberikan nasehat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan.40

36

Chaidir Ali,loc cit, hlm.15. 37

Pasal 26 ayat 1 dan ayat 2 Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.16 tentang Yayasan.

38

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.16 tentang Yayasan.

39

Pasal 31 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.16 tentang Yayasan.

40

Pasal 40 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.16 tentang Yayasan.


(38)

G. Metode Penelitian

Metode berarti jalan, atau cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. 41

1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian hukum norminatif. Menurut Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan dengan istilah penelitian doktrinal.(doctrinal research)42, yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial process).43

Penelitian doktrinal dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan peraturan-peraturan yang tertulis ataupun tidak tertulis. Peraturan-peraturan-peraturan tersebut dikumpulkan dengan cara mengoleksi publikasi-publikasi, reprint-reprint dan dokumen-dokumen yang mengandung peraturan-peraturan hukum positif. Setelah bahan-bahan tersebut terkumpul, kemudian diklasifikasikan secara sistematis untuk melakukan inventarisasi data sebagai bahan perpustakaan saat melakukan penelitian serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan

perundang-41

Koentjara Ningrat, Metode-metode Penelitian Masyrakat,(Jakarta:Gramedia,1997)hlm 16 42

Penelitian sejenis ini disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia,1998) hlm.10.

43

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hlm.1.


(39)

undangan di Indonesia mengenai analisis yuridis pemberian kredit oleh bank kepada yayasan.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analistis, yaitu penelitian yang memberikan data atau gambaran mengenai obyek dari permasalahan.44 Penelitian yang tidak dimaksudkan untuk menguji teori, tetapi dalam batas untuk menjelaskan variable penelitian mengenai pemberian kredit oleh bank kepada yayasan. Dalam penelitian ini akan dideskripsikan mengenai pemberian kredit oleh bank kepada yayasan yang dikaitkan dengan asas-asas perkreditan yang sehat. 2. Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No.28 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No.16 tahun tentang Yayasan, Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tentang Perbankan,

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penejelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Peraturan perundang-undangan lain, Anggaran Dasar Yayasan, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum, sepanjang relevan dengan objek telahaan penelitian ini.45

44

Bagir Manan, Penelitian di Bidang Hukum, (Bandung : Universitas Padjajaran, 1999) hlm.4 45


(40)

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal. Surat kabar dan majalah mingguan merupakan bahan penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dalam penulisan ini.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (Library Research) sebagai tehnik pengumpulan data. Ditujukan untuk terlebih dahulu memahami berbagai teori, doktrin, perundang-undangan, konsepsi-konsepsi yang relevan dengan masalah penelitian. Dengan demikian konsistensi dan respondensi antara teori-teori, perundang-undangan, doktrin atau konsep karya ilmiah dapat dijadikan sebagai dasar pencarian kebenaran khususnya dalam menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.

4. Analisis Data

Terhadap bahan hukum, diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif yaitu dengan melakukan : Pertama, menemukan makna atau konsep-konsep yang terkandung dalam bahan hukum (konseptualisasi). Konseptualisasi ini dilakukan dengan cara memberikan interprestasi terhadap bahan hukum berupa kata-kata dan kalimat-kalimat; Kedua, mengelompokkan konsep-konsep yang sejenis atau berkaitan (kategorisasi); Ketiga, menemukan hubungan di antara pelbagai kategori; Keempat,


(41)

hubungan diantara pelbagai kategori diuraikan dan dijelaskan. Penjelasan ini dilakukan dengan menggunakan perspektif pemikiran teoritis para sarjana.

Setelah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diseleksi, kemudian dianalisis secara kualitatif menggunakan metode deduktif yaitu bertolak proporsi umum yang kebenarannya telah diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus.


(42)

BAB II

PEMBERIAN KREDIT OLEH PERBANKAN KEPADA

YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM YANG DIJALANKAN

BERDASARKAN PRINSIP NIRLABA

A. Prinsip Organisasi Nirlaba di Yayasan

Pengertian Organisasi Nirlaba adalah organisasi yang tujuannya lebih menekankan kepada pencapaian manfaat bagi para anggota dan masyarakat daripada aspek keuangan dari organisasi.

Suatu organisasi nirlaba adalah suatu organisasi yang tujuan utamanya adalah mendukung atau terlibat aktif dalam berbagai aktifitas publik tanpa berorientasi mencari keuntungan moneter atau komersil. Organisasi nirlaba mencakup berbagai bidang, antara lain lingkungan, bantuan kemanusiaan, konservasi, pendidikan, kesenian, isu-isu sosial, derma-derma, pendidikan, pelayanan kesehatan, politik, agama, riset, olahraga, dan lain-lain.46

Karakteristik organisasi nirlaba berbeda dengan organisasi bisnis. Perbedaan utama yang mendasar terletak pada cara organisasi memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas operasinya. Organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari organisasi tersebut. Sebagai akibat

46


(43)

dari karakteristik tersebut, dalam organisasi nirlaba timbul transaksi tertentu yang jarang atau bahkan tidak pernah terjadi dalam organisasi bisnis, misalnya penerimaan sumbangan. Namun demikian dalam praktik organisasi nirlaba sering tampil dalam berbagai bentuk sehingga seringkali sulit dibedakan dengan organisasi bisnis pada umumnya. Pada beberapa bentuk organisasi nirlaba, meskipun tidak ada kepemilikan, organisasi tersebut mendanai kebutuhan modalnya dari utang dan kebutuhan operasinya dari pendapatan atas jasa yang diberikan kepada publik. Akibatnya, pengukuran jumlah, saat, dan kepastian aliran pemasukan kas menjadi ukuran kinerja penting bagi para pengguna laporan keuangan organisasi tersebut, seperti kreditur dan pemasok dana lainnya.Organisasi semacam ini memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan organisasi bisnis pada umumnya.47

Pada umumnya organisasi nirlaba memproduksi barang dan jasa yang secara ekonomi tidak feasible (tidak dikehendaki) untuk diproduksi oleh perusahaan komersial atau barang dan jasa yang produksi tersebut adalah merupakan jenis barang dan jasa yang vital untuk mencakup kebutuhan masyarakat.48

Organisasi nirlaba atau organisasi yang tidak bertujuan memupuk keuntungan memiliki ciri-ciri:49

47

PSAK NO. 45 Tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba 48

Arifin Sabeni dan Imam Ghozali, Pokok-Pokok Akuntansi Pemerintahan, (Yogyakarta: BPFE, 1997) hlm.6

49


(44)

a. Sumber daya entitas berasal dari para penyumbang yang tidak mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang diberikan.

b. Menghasilkan barang/jasa tanpa bertujuan menumpuk laba, kalau suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah dibagikan kepada para atau pemilik entitas tersebut.

c. Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan atau ditebus kembali atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas pada suatu likuidasi atau pembubaran entitas.

Pendapatan pada lembaga nirlaba bervariasi jauh lebih luas. Pada dasarnya organisasi nirlaba memiliki pendapatan yang harus dikategorikan berdasarkan ada tidaknya pembatasan atau restriksi dari sumber pendapatan itu sendiri. Adapun penjelasan dari sumber pendapatan organisasi nirlaba adalah sebagai berikut:50

a. Pendapatan tanpa pembatasan atau tidak terikat misalnya pendapatan dari unit usaha komersial yang dimiliki, pendapatan dari sumbangan yang mengikat, penjualan asset dan sejenisnya, pendapatan dari investasi.

50

Pahala Nainggolan, Akuntansi Keuangan Yayasan dan Lembaga Nirlaba Sejenis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 6


(45)

b. Pendapatan dengan pembatasan permanen, misalnya pendapatan berupa hibah atau grant yang diperoleh dengan mengirimkan proposal kegiatan yang direncanakan. Bila grant diperoleh, maka harus digunakan sesuai dengan program yang tercantum dalam proposal tadi.

c. Pendapatan dengan pembatasan sementara atau temporer misalnya diperoleh dari sumbangan untuk program tertentu, ketika sudah lewat waktu masih tersedia dananya, maka dapat dialihkan ke kegiatan lain.

Organisasi nirlaba dalam beberapa hal mempunyai kesamaan bila dibandingkan dengan organisasi komersial yang bermotifkan mencari laba. Beberapa kesamaan tersebut sebagai berikut :

1. Kedua jenis organisasi tersebut adalah merupakan bagian dari suatu sistem ekonomi yang sama dan menggunakan sumber daya yang sama pula untuk memenuhi tujuannya

2. Kedua jenis organisasi tersebut harus menggunakan sumber daya yang langka untuk menciptakan barang dan jasa.

3. Kedua organisasi tersebut masing-masing memiliki proses manajemen keuangan yang sama

4. Kedua jenis organisasi tersebut memerlukan analisis biaya dan pengendalian biaya guna menetapkan bahwa sumber daya yang langka tersebut telah digunakan secara efisien dan efektif.


(46)

Dalam beberapa hal, kedua jenis organisasi tersebut menghasilkan produk yang sama, seperti pemerintah maupun perusahaan komersial yang keduanya dapat mengelola sistem transportasi, sanitasi, listrik dan sebagainya.51

Fungsi yayasan dapat dibedakan dalam 2 (dua) macam yaitu fungsi karikatif dan fungsi komersial yang secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Fungsi karikatif adalah fungsi yang bersifat non profit oriented atau tidak mencari keuntungan (nirlaba) misalnya Yayasan yang bergerak dalam bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Yayasan seperti ini lazimnya memperoleh dana untuk kelancaran kegiatan usahanya dari para donaturnya dan tak jarang sangat mengharapkan belas kasihan dari simpatisannya. Oleh karena itu dapat diduga jalannya Yayasan itu bergantung kepada lancar tidaknya dana bantuan yang diperoleh dari para donator.52

Dalam Undang-Undang Yayasan, tidak menyebutkan secara tegas tentang pengertian dan batasan sosial. Menurut pendapat Diana Conyers kata sosial yaitu sebagai lawan kata “individual”. Dalam hal ini kata sosial mempunyai kecenderungan kearah pengertian kelompok orang, yang berkonotasi “masyarakat” (society) dan “warga” (community). Implikasinya adalah bahwa suatu kelompok bukanlah sekedar penjumlahan individu, sehingga apa yang dirasa baik bagi individu belum tentu baik bagi kelompok secara

51

Ibid hlm. 6-7 52

Haji Syahril Sofyan, Kajian Praktis Terhadap beberapa Ketentuan Undang-Undang Nomor 16/2001 Tentang Yayasan, disajikan dalam seminar sosialisasi UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Sabtu 22 Juni 2002, di Hotel Polonia Medan, hlm. 8


(47)

keseluruhan. Oleh sebab itu perlu dibicarakan bahwa melakukan sesuatu demi kebaikan sosial (social good) dapat juga diartikan demi kebaikan warga atau masyarakat secara keseluruhan. Penggunaan istilah semacam ini adalah umum bagi para ahli ekonomi yang sering mengistilahkan hal-hal seperti keuntungan sosial (social benefit) dari suatu proyek dapat diartikan sebagai bentuk keuntungan yang ditujukan buat masyarakat.53

2. Fungsi Komersial, adalah sebagai lawan kata dari kegiatan yang sifatnya karikatif diatas, yaitu mencari keuntungan materi bagi yayasan. Ada kalanya keuntungan materi yang diperoleh itu sangat jauh diatas kekayaan pangkal yang semula disisihkan untuk mendirikan yayasan itu sehingga dapat mengundang penyalahgunaan wewenang bagi para pengurusnya.54

Usaha atau kegiatan yang bergerak di luar bidang perekonomian dan sifat serta tujuannya tidak semata-mata mencari keuntungan dan/atau laba, seperti :

1. Pendidikan formal dalam segala jenis dan jenjang yang diselenggarakan oleh siapapun

2. Pendidikan non formal yang dibina oleh pemerintah dan diselenggarakan bersama masyarakat serta dalam bentuk badan usaha.

3. Notaris

4. Penasehat hukum 5. Praktek Dokter

53

Diana Conyers, Perencanaan Sosial Dunia Ketiga, Suatu Pengantar, ( Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1994) hlm. 10-11

54


(48)

6. Rumah Sakit / Klinik Pengobatan

Yayasan maupun perusahaan masing-masing mempunyai maksud dan tujuan yang ingin dicapai, maka pengelolaan yayasan harus dilakukan secara professional agar maksud dan tujuan tersebut dapat tercapai.

Walaupun Yayasan sebagai organisasi nirlaba, diharapkan Yayasan dapat mencari keuntungan, agar yayasan tersebut tidak “lesu darah” karena dalam upaya pendanaan hanya mengandalkan sumbangan dari para donatur tanpa berusaha mencari sumber lain yang lebih kreatif. Donatur yang diharapkan adalah orang-orang atau badan yang sama dari tahun ke tahun yang dimintakan belas kasihannya.

B. Penggolongan Jenis Kredit Perbankan

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbankan yang menyebutkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa fungsi bank berfungsi sebagai Financial Intermediary dengan usaha utama menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lintas pembayaran. Dua fungsi ini tidak dapat dipisahkan. Bank menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya


(49)

yang dipersamakan dengan itu55, dan kemudian menyalurkannya dalam bentuk kredit.

Kredit yang diberikan suatu lembaga kredit didasarkan atas kepercayaan, sehingga dengan demikian pemberian kredit merupakan kepercayaan. Ini berarti bahwa suatu lembaga kredit baru akan memberikan kredit kalau ia betul-betul yakin bahwa si penerima kredit akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Tanpa keyakinan tersebut suatu lembaga kredit tidak akan meneruskan simpanan masyarakat yang diterimanya.56

Undang-Undang Perbankan menggunakan dua istilah yang berbeda yaitu “kredit” dan “pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”. Penggunaan kedua istilah itu disesuaikan dengan dinamika perkembangan perbankan saat ini dimana selain bank-bank yang menjalankan usaha secara konvensional berkembang juga bank-bank-bank-bank berdasarkan prinsip syariah. Bank yang menjalankan usahanya secara konvensional menyebutnya sebagai “kredit”, sedangkan bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah menggunakan istilah “pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”.

Pasal 1 angka (11) Undang-Undang Perbankan memberikan definisi tentang kredit :

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan

55

Lihat pasal 6 huruf a Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 56


(50)

pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Sedangkan tentang pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dirumuskan dalam Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Perbankan, sebagai berikut :

“Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”

Berdasarkan rumusan pengertian kedua istilah tersebut, perbedaannya terletak pada bentuk kontra prestasi yang akan diberikan oleh nasabah peminjam (debitur) kepada pihak bank selaku kreditur atas pemberian kredit atau pembiayaan dimaksud.

Pada bank dengan prinsip konvensional kontra prestasi yang diberikan debitur adalah berupa “bunga”, sedangkan pada bank dengan prinsip syariah kontra prestasinya berupa imbalan atau bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama.

Dengan demikian, kredit dan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah merupakan perjanjian pinjam-meminjam (uang) yang dilakukan antara bank dengan pihak lain dalam hal ini nasabah peminjam dana. Perjanjian mana dibuat atas dasar kepercayaan bahwa peminjam dalam tenggang waktu tertentu akan melunasi atau mengembalikan uang atau tagihan tersebut kepada bank disertai bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.

Jenis kredit dapat dibedakan menurut berbagai kriteria, dengan penggolongan sebagai berikut:57

57


(51)

Dari segi lembaga pemberi-penerima kredit yang menyangkut struktur pelaksanaan kredit di Indonesia, maka jenis kredit dapat digolongkan menjadi sebagai berikut:

1. Kredit perbankan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha, dan atau konsumsi. Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta kepada dunia usaha guna membiayai sebagian kebutuhan permodalan, dan atau kredit dari bank kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang maupun jasa.

2. Kredit likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan perkreditannya. Kredit ini dilaksanakan oleh Bank Indonesia dalam rangka melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan pasal 29 UU No. 13 Tahun 1986 tentang Bank Sentral, yaitu memajukan urusan perkreditan dan sekaligus bertindak sebagai pengawas atas urusan kredit tersebut. Dengan demikian Bank Indonesia mempunyai wewenang untuk menetapkan batas-batas kuantitatif dan kualitatif di bidang perkreditan bagi perbankan yang ada.

3. Kredit langsung. Kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah, atau semi pemerintah. Misalnya Bank Indonesia memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program


(52)

pengadaan pangan, atau pemberian kredit langsung kepada Pertamina, atau pihak ketiga lainnya.

Dari segi tujuan penggunaannya, kredit dikelompokkan menjadi

1. Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta kepada perseorangan untuk membiayai keperluan konsumsi sehari-hari.

2. Kredit produktif, baik kredit investasi maupun kredit eksploitasi. Kredit investasi adalah kredit yang ditujukan untuk pembiayaan modal tetap, yaitu peralatan produksi, gedung dan mesin-mesin, atau untuk membiayai rehabilitasi dan ekspansi.

3. Perpaduan antara kredit konsumtif dan kredit produktif (semi konsumtif dan semi produktif).

Dari segi dokumen, kredit sangat terikat dengan dokumen-dokumen berharga yang memiliki substitusi nilai sejumlah uang, dan dokumen tersebut merupakan jaminan pokok pemberian kredit. Kredit ini banyak digunakan oleh orang yang mengadakan transaksi dagang jarak jauh. Jenis kredit ini terdiri dari:

1. Kredit Ekspor, yaitu semua bentuk kredit sebagai sumber pembiayaan bagi usaha ekspor. Bisa dalam bentuk kredit langsung maupun tidak langsung, seperti pembiayaan kredit modal kerja jangka pendek maupun kredit investasi untuk jenis industri yang berorientasi ekspor.


(53)

Dari segi besar-kecilnya aktivitas perputaran usaha, yaitu melihat dinamika, sektor yang digeluti, aset yang dimiliki, dan sebagainya, maka jenis kredit dikelompokkan menjadi:

1. Kredit Kecil, yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha yang digolongkan sebagai pengusaha kecil.

2. Kredit Menengah, yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha yang asetnya lebih besar daripada pengusaha kecil.

3. Kredit Besar.

Dari segi waktunya, kredit dikelompokkan menjadi:

1. Kredit jangka pendek (short term loan), yaitu kredit yang berjangka waktu maksimum 1 tahun. Bentuknya dapat berupa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembeli, dan kredit wesel.

2. Kredit jangka menengah (medium term loan),yaitu kredit berjangka waktu antara 1 tahun sampai 3 tahun.

3. Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3 tahun. Kredit jangka panjang ini pada umumnya adalah kredit investasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka rehabilitasi, ekspansi (perluasan), dan pendirian proyek baru.

Dari segi jaminannya, kredit dapat dibedakan menjadi:

1. Kredit tanpa jaminan. Adapun yang dimaksud dengan kredit tanpa jaminan ini yaitu pemberian kredit tanpa jaminan materiil.


(54)

2. Kredit dengan jaminan. Kredit model ini diberikan kepada debitur selain didasarkan kepada adanya agunan atau jaminan yang berupa fisik (collateral) sebagai jaminan tambahan ini dimaksudkan untuk memudahkan kreditur apabila debitur wan prestasi, bank segera dapat menerima pelunasan hutangnya melalui cara pelelangan atas agunan tersebut. Hal demikian dilakukan guna menekan seminimal mungkin resiko, apabila terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kredit yang diberikan kepada nasabahnya.

Dilihat dari segi sektor usaha, terdapat beberapa jenis:58

1. Kredit pertanian, yaitu merupakan kredit yang dibiayai untuk sektor perkebunan atau pertanian rakyat. Sektor usaha pertanian dapat berupa jangka pendek dan jangka panjang.

2. Kredit peternakan yaitu kredit jangka panjang untuk peternakan ayam, kambing dan sebagainya.

3. Kredit industri, yaitu kredit untuk pembiayaan industri kecil, menengah dan besar.

4. Kredit pertambangan yaitu kredit untuk usaha tambang yang dibiayainya dalam bentuk kredit jangka panjang seperti tambang emas, minyak dan timah.

58

Johannes Ibrahim, Mengupas Tuntas Kredit Komersil dan Konsumtif dalam Perjanjian Kredit Bank (Perspektif Hukum dan Ekonomi), (Bandung:CV.Mandar Maju,2004) hlm.97


(55)

5. Kredit pendidikan, yaitu merupakan kredit untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan atau dapat pula kredit untuk mahasiswa.

6. Kredit profesi, yaitu kredit yang diberikan kepada para profesional seperti Dosen, Dokter, atau Pengacara.

7. Kredit perumahan yaitu untuk pembiayaan pembangunan atau pembelian perumahan.

C. Analisis Kelayakan Pemberian Kredit

Kredit diberikan oleh bank kepada debitur dengan harapan debitur dapat membayar cicilan pokok dan bunga sesuai dengan yang diperjanjikan. Agar hal tersebut pihak bank harus melakukan analisis terlebih dahulu kepada debitur. Analisis tersebut diantaranya memberikan kredit sesuai dengan kebutuhan debitur dan menganalisis kelayakan debitur tersebut. Memberikan jenis kredit yang sesuai dengan kebutuhan debitur, bertujuan agar kredit tersebut dapat dipergunakan dan disesuaikan dengan kemampuan bayar debitur. Sebagai contoh, jika seorang debitur memerlukan kredit untuk membeli barang sebagai penunjang usahanya, maka bank harus memberikan kredit investasi. Apabila diberikan kredit lain, semisalnya kredit konsumtif maka, debitur akan kesulitan membayar bunga dan pokok karena kredit konsumtif bunganya lebih tinggi dan tujuan kredit konsumtif adalah untuk kebutuhan pribadi, seperti membeli rumah, mobil, dan lain-lain.


(56)

Dari berbagai hal dan jenis-jenis kredit perbankan, maka yang penting untuk digaris-bawahi adalah ditinjau dari segi tujuan penggunannya.59

Pertimbangan pentingnya kebenaran tujuan penggunaan suatu fasilitas kredit dapat dilihat dari penjelasan di bawah ini :

1. Larangan

Bank seyogyanya menghindari pemberian kredit yang digunakan untuk membiayai usaha-usaha tertentu, yaitu usaha-usaha yang sesungguhnya dilarang atau bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah, misalnya usaha-usaha yang dapat mengganggu ketertiban umum dan kesusilaan. Apalagi kalau menilik pada ketentuan pasal 1337 KUH Perdata yang menegaskan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

Apabila suatu bank membiayai usaha-usaha seperti ini maka pada akhirnya akan mengakibatkan kerugian bagi yang bersangkutan. Bukan tidak mungkin pada suatu saat usaha yang dibiayai tersebut ditutup oleh pemerintah, sehingga apabila kreditnya belum lunas, maka kreditur akan sulit melunasinya. Pada akhirnya kredit tersebut akan menjadi kredit bermasalah.

Pemberian fasilitas kredit dapat pula dilarang oleh Bank Indonesia, misalnya kredit untuk pembiayaan usaha-usaha yang bersifat spekulasi dan pembiayaan itu dapat mengakibatkan tingginya laju inflasi di negara ini.

59

Hasanudin Rahman, SH, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit,Bandung (Citra Aditya Bakti, 1998)hlm.98-105.


(57)

Selebihnya, larangan atas pemberian kredit dari segi tujuan penggunannya adalah dari bank pelaksana sendiri, yang selain mengacu kepada Ketentuan Pemerintah dan aturan Bank Indonesia, juga mengacu kepada aturan intern dan target market bank yang bersangkutan.

Yang dimaksud dengan target market disini adalah sasaran-sasaran atau sektor-sektor usaha yang dapat diberi kredit oleh suatu bank. Biasanya target market antara satu bank dengan bank lainnya dapat berlainan.

2. Ijin-ijin Usaha

Penggunaan suatu fasilitas kredit haruslah sesuai dengan ijin usaha yang dimiliki oleh debitur/calon debitur yang besangkutan. Mengenai hal ini lebih banyak berhubungan dengan dengan kredit produktif, kredit investasi maupun kredit modal kerja.

Untuk lebih jelasnya, berikut disampaikan contoh sebagai pembanding mengenai pentingnya suatu analisis atas ijin usaha debitur/calon debitur:

a) Apabila suatu permohonan kredit diajukan kepada bank yang akan digunakan untuk pembangunan pabrik sepatu, maka untuk meyakini benar-benar bahwa kredit tersebut dipergunakan sebagaimana mestinya, Account Officer haruslah meminta, memeriksa dan meneliti semua ijin usaha yang berhubungan, mulai dari persiapan pembangunan sampai dengan beroperasinya pabrik tersebut.


(58)

b) Apabila suatu permohonan kredit diajukan oleh suatu perusahaan developer kepada bank yang akan digunakan untuk pembangunan perumahan, tentulah ijin-ijin yang diminta oleh Account Officer berbeda dengan ijin usaha dari pembangunan pabrik sepatu tadi karena adanya perbedaan jenis usaha dan tujuan penggunaan kredit yang diterima tersebut.

3. Side Streaming

Seorang debitur sudah dapat dianggap wan prestasi apabila ia tidak mempergunakan kreditnya sebagaimana yang telah disepakati dan diperjanjikan sebelumnya (side streaming).

Pada akhirnya hal tersebut akan mengakibatkan debitur mengalami kesulitan untuk membayar kembali hutang/kreditnya;kemampuannya sudah tidak sesuai dengan perhitungan sebelumnya.

Disinilah pentingnya bank untuk meyakinkan kegunaan dan penggunaan kredit yang telah diterima oleh debitur yang bersangkutan.

Untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan terjadinya side streaming tersebut, maka selain hal ijin usaha, masih ada hal-hal lain yang juga penting untuk diperhatikan ketika hendak memberikan kredit, seperti surat-surat penunjang untuk menjalankan usaha (bukan ijin usaha) yang bahkan sering merupakan faktor terpenting dan utama dalam persyaratan pencairan kredit.


(59)

Contoh 1 :

Seorang calon debitur mengajukan kredit investasi yang akan dipergunakan untuk membeli mobil penumpang angkutan umum (bus). Untuk menghindari kemungkinan terjadi side streaming atas kredit tersebut, maka bank mensyaratkan adanya Surat Pernyataan Bersama antara dealer bus dengan calon debitur, yang isinya antara lain bahwa apabila kredit tersebut cair maka akan terjadi jual beli kenderaan bus antara dealer sebagai penjual dan calon debitur/debitur sebagai pembeli dan semua faktur-faktur akan diserahkan langsung ke bank oleh dealer.

Contoh 2 :

Seorang calon debitur mengajukan kredit modal kerja. Setelah kredit itu turun/cair ternyata digunakan untuk membeli mesin (investasi) sehingga kemampuan debitur untuk membayar menjadi tersendat-sendat yang akhirnya menyebabkan kredit menjadi bermasalah.

Sebagaimana diketahui bahwa kredit mengandung resiko, namun resiko yang terkumpul dalam suatu tempat akan sangat membahayakan. Oleh karena itu salah satu tindakan manajemen adalah berusaha untuk menyebarkan resiko kredit tersebut.

Merupakan suatu tindakan yang salah, apabila kredit hanya diberikan kepada beberapa nasabah saja, sebab bila di kemudian hari terjadi kemacetan di salah satu nasabah saja akan dapat langsung menggoncangkan keadaan bank.


(1)

Prasetya, Rudhi, Kedudukan Perseroan Terbatas disertai dengan Ulasan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1995, Bandung: Citra Aditya Bakti,2001

Rahman, Hasanuddin, Contract Drafting, Bandung: Citra Aditya Bakti,2003

---, ---, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998

Rivai, Veithzal dan Veithzal, Andria Permata, Credit Management Handbook, Teori, Konsep, Prosedur, dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir, dan Nasabah,( Jakarta,Rajawali Press,2007)

Sabeni, Arifin dan Imam Ghozali, Pokok-Pokok Akuntansi Pemerintahan,Yogyakarta: BPFE, 1997

Samego, Indria, dkk, Bila ABRI Berbisnis Buku Pertama yang Menyingkap Data dan Proses Penyimpangan dalam Praktek Bisnis Kalangan Militer, Bandung: Mizan, 1998

Sanapiah, Faisal, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999

Satrio, J., Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1993

Scheeman, Angela, The Law of Corporations, Albany: Partnerships and Sole Proprietorship,Delmar Publisher, 1997


(2)

Sembiring, Sentosa, Hukum Perbankan, Bandung:Mandar Maju, 2000

Silaen, Jonni H., Manajemen Kredit, Medan: Politeknik Negeri Medan, 2008

Simorangkir, OP., Seluk beluk Bank Komersial, Jakarta: Aksara Persada Indonesia,1986

Suharto, Membedah Konflik Yayasan Menuju Konstruksi Hukum Bermartabat, Kota Gede:Cakrwala Media, 2009

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Bandung:Alfabeta, 2005

Subekti, R., Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991

Suhardi, Gunarti, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 2003

Suhardiadi , Arie Kusumastuti, Hukum Yayasan di Indonesia, Jakarta: PT.Abadi,2003

Susanti, AB.dkk, Reformasi Yayasan, Perspektif Hukum dan Manajemen, Yogyakarta: Andi, 2002

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Bandung: Alfabeta, 2005


(3)

Tjager, I Nyoman,dkk, Corporate Governance, Jakarta: PT Refika Aditama, 2006

Tobing, Riduan dan Bill Nikholaus, Kamus Istilah Perbankan,(Jakarta: Atalya Rileni Sudeco, 2003

Untung, Budi, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Andi,2000

Widjaja, Gunawan, Suatu Panduan Komprehensif Yayasan di Indonesia, Jakarta: PT.Elex Media Komputindo, 2002

Winardi, Asas-asas menajemen, Bandung: Alumni, 1983

B. Peraturan Perundangan

Republik Indonesia, Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Republik Indonesia, Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Republik Indonesia, Undang-Undang No.28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.16 Tahun 2001 Tentang Yayasan


(4)

Republik Indonesia, Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers

Republik Indonesia, Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Republik Indonesia, Undang-Undang No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Republik Indonesia, Undang-Undang No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan

Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum.

Peraturan Pemerintah No.63 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan

Peraturan Bank Indonesia No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum

C. Tesis, Makalah, Jurnal, Majalah

Ahmadi,Wiratni, Prosedur Pembebanan Hak Tanggungan, Disampaikan dalam Seminar Nasional Undang-Undang Hak Tanggungan, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung tanggal 28 Mei 1996


(5)

Businees News 6737/13-3-2002

Jinner, Analisis Pemberian Kredit Menurut Hukum Perbankan Indonesia, Tesis Program Pasca Sarjana USU, 2005

Muis, Abdul, Undang-Undang No.16 Tahun 2001 Membuka Peluang Yayasan Berkarakter Komersial, Makalah Pada Seminar Sehari Sosialisasi Undang-Undang No.16 Tahun 2001 Tentang Yayasan diselenggarakan oleh kerja sama Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan Paguyuban Marga Tioghoa Sumatera Utara di Polonia Hotel tanggal 22 Juni 2002,

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003

Pitlo En Meyling.G.Het.Personenrecht Naar Hed Ned, dalam M.Hasballah Thaib, Fiqih Waqaf, Program Pasca Sarajana Hukum USU, Medan, 2003

Lamandosa, Raimond Flora, Aspek Hukum Pemberian Kredit dengan Jaminan Deposito (Kredit Back to Back) di PT.Bank Danamon Indonesia, Tbk Kantor Cabang Manado, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2008.

Supriyanto, Eko B., Kredit Macet dan Debitur Gali Lubang Tutup Lubang, Jakarta, 16 Mei 2005, Harian Kompas


(6)

Tumbuan, Fred B.G, ,Kedudukan Hukum Yayasan dan Tuga serta Tanggung Jawab Organ Yayasan, Lokakarya Sosialisasi UU Yayasan” (Makalah disampaikan pada Lokakarya Sosialisasi UU Yayasan diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Perseroan dan Kenotariatan (PPHN),( Jakarta: 14 Agustus 2001)

Komite Standar Akuntansi Keuangan, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.

45 Tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba ( Jakarta: Ikatan Akuntan

Indonesia, 1998)

D. Internet

http://nofieiman.com/2007/01/dugaan-korupsi-yayasan-soeharto/ diakses pada tanggal 05 Mei 2009

http://arsasi.wordpress.com/2008/09/21/analisa-kredit-6c/ tanggal 13 Maret 2009

http://books.google.co.id/books?id=Y1oghffVI2cC&pg=PA140&lpg=PA140&dq=% 22borgtocht%22&source=bl&ots=e0kArl5qJj&sig=IURM019HdIlVQu_nB35Y OQitIoQ&hl=id&ei=vMEwStuKNtCfkQXFnMXNBw&sa=X&oi=book_result &ct=result&resnum=5#PPA143,M1 diakses tanggal 11 juni 2009

http://www.p2kp.org/forumdetil.asp?mid=32604&catid=13& diakses tanggal 27 Juli 2009