4. Suatu sebab yang halal.
1. Tentang kesepakatan untuk Memberikan Hak Tanggungan.
Kesepakatan dalam perjanjian, pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak dua pihak atau lebih dalam perjanjian tersebut, mengenai hal-hal yang
mereka kehendaki untuk dilaksanakan, mengenai cara melaksanakannya, mengenai saat pelaksanaan, dan mengenai pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan hal-
hal yang disepakati tersebut. Dalam hal ini Yayasan diwakilkan oleh pengurus Yayasan setelah melalui persetujuan dari organ yayasan melakukan kesepakatan
dengan pihak Bank. Dalam perjanjian pemberian Hak Tanggungan, dengan disetujui atau disepakatinya pemberian Hak Tanggungan secara lisan oleh pemilik kebendaan,
dalam hal ini Yayasan, yang akan dijaminkan dengan Hak Tanggungan, belum melahirkan perikatan atau prestasi atau kewajiban pada diri Yayasan, bahwa
kebendaannya yang akan dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut akan dijual untuk melunasi utang yang dijamin tersebut. Pemberian Hak Tanggungan dengan
segala akibat hukumnya, termasuk kewajiban pemberi Hak Tanggungan untuk ”merelakan” agar benda yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut disita,
dijual, dan selanjutnya hasil penjualan kebendaan yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut dipergunakan untuk melunasi utang debitur yang dijamin, baru
lahir, dan mengikat pemilik kebendaan yang akan dijaminkan dengan Hak
Universitas Sumatera Utara
Tanggungan mana kala telah dibuat Akta Pemberian Hak Tanggungan. Dan pemberian Hak Tanggungan itu sendiri baru mengikat pihak ketiga, manakala
pemberian Hak Tanggungan tersebut sudah didaftarkan dan diumumkan. Saat pendaftaran dan pengumuman itu merupakan saat berlakunya Hak Tanggungan
sebagai kebendaan. Terhadap pendaftaran dan pengumuman tersebut, sebagai bukti keberadaan Hak Tanggungan tersebut, bagi penerima Hak Tanggungan
dikeluarkanlah Sertifikat Hak Tanggungan.
2. Kecakapan untuk Memberikan Hak Tanggungan
Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subjektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah diantara para pihak. Kecakapan bertindak ini
dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas
masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah
kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kemampuan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum yang pada
umumnya dilihat dari sisi kedewasaan, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat
saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dan sebaliknya seorang yang dianggap
Universitas Sumatera Utara
berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbutan hukum, ternyata, karena suatu hal dapat menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.
Penilaian mengenai kecakapan bertindak dan kewenangan bertindak ini harus dibuat atau dilakukan secara berurutan. Sebelum seseorang berbicara mengenai
kewenangan untuk bertindak, haruslah terlebih dahulu dicari tahu mengenai kecakapan untuk bertindak dalam hukum. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk
bertindak yang pada umumnya dikaitkan dengan tindakan yang dilakukan untuk dan atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang perorangan yang
cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan sesuatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu yang dalam hal ini biasanya dihubungkan
dengan kapasitas dari orang perorangan tersebut dengan yang ”diwakilinya’ Undang-Undang Hak Tanggungan memuat ketentuan mengenai kecakapan dan
kewenangan bertindak ini dalam ketentuan pasal 8 dan pasal 9 Undang-Undang Hak Tangungan yang berbunyi:
Pasal 8 1 Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
2 Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus ada pada pemberi
Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan
Pasal 9 Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal perwakilan Yayasan, maka berdasarkan pasal 31 sampai dengan pasal 39 Undang-Undang Yayasan Yayasan, maka Pengurus yayasan bertanggung
jawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan tujuan yayasan serta berhak mewakili yayasan baik di dalam maupun diluar pengadilan. Ini berarti setiap
pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan yayasan. Yang dapat diangkat menjadi pengurus adalah orang
perseorangan yang mampu dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Pengurus tidak berwenang :
1. mengikat yayasan sebagai penjamin utang;
2. mengalihkan kekayaan yayasan kecuali dengan persetujuan pembina;
3. membebani kekayaan yayasan untuk kepentingan pihak lain
Pembatasan wewenang tersebut di atas kecuali untuk angka 2 dua berlaku mutlak. Ini berarti yayasan sama sekali tidak diperkenankan untuk memberikan
jaminan pembayaran utang, baik dalam bentuk jaminan perseorangan maupun dalam bentuk jaminan kebendaan. Hal ini adalah konsekuensi logis dari fungsi yayasan,
yang tidak seharusnya membebani dirinya dengan kewajiban yang tidak perlu. Hal ini juga dapat menghindari penyalahgunaan yayasan oleh pihak lain, baik pendiri,
pengurus, pembina maupun pengawas, yang memanfaatkan kekayaan yayasan untuk kepentingan pribadi mereka.
Selain larangan yang bersifat mutlakabsolut tersebut, Undang-Undang Yayasan juga memberikan kemungkinan bahwa dalam anggaran dasar diberikan pembatasan
Universitas Sumatera Utara
kewenangan pengurus dalam melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama yayasan. Khusus mengenai pembatasan tersebut, Undang-Undang Yayasan
menyebutkan dengan tegas mengenai larangan bagi pengurus yayasan untuk melakukan atau mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan
yayasan, pembina, pengurus, dan atau pengawas yayasan, atau seseorang yang bekerja pada yayasan, dengan pengecualian bahwa larangan tersebut tidak berlaku
jika perjanjian tersebut ternyata bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan yayasan.
Untuk mengetahui sampai seberapa jauh pengurus yayasan berhak dan berwenang untuk mewakili yayasan dan karenanya bertindak untuk dan atas nama
yayasan harus memperhatikan Anggaran Dasar Yayasan mengenai maksud dan tujuan yayasan, dan kewenangan pengurus dan atau anggotanya, dan Risalah Rapat
Dewan Pembina Yayasan yang terakhir yang berhubungan dengan penetapan susunan pengurus dan atau pengawas yayasan.
3. Tentang Hal Tertentu