siang. Trus udah beres, datang lagi dia lanjutin kerjaannya. Kayag gitu lah kerja di sini, gak ada sistem paksaan. Kadang
mau sampe malam pun masih di sini orang itu, mau sampe jam 11atau jam 12 malam gitu. Jadi suka hati aja Dek asalkan siap
jumlah target yang dikasih...gitu aja nya.” Ketika tiba waktu untuk makan siang, para karyawan tersebut kembali ke rumah
masing-masing untuk makan siang, dan mengurus pekerjaan rumah sebentar, serta mengurus anak-anak bagi mereka yang masih memiliki anak kecil.
Kemudian setelah selesai, mereka kembali lagi melanjutkan pekerjaan masing- masing. Mereka pun bekerja santai saja, sambil sekali-sekali bercerita atau
ngobrol-ngobrol, bagaimana kebiasaan kaum wanita pada umumnya. Hal yang penting adalah bukan bagaimana kerjanya, akan tetapi pencapaian jumlah batik
yang harus selesai dikerjakan berdasarkan keinginan Pak Edi.
4.2. MOTIVASI-MOTIVASI UNTUK BERWIRAUSAHA
Entrepreneurship atau kewirausahaan berasal dari bahasa Perancis, yang di dalam pengucapan bahasa Inggrisnya disebut dengan “antrepreneur”. Jean
Baptiste Say menggambarkan fungsi entrepeneur dalam arti yang lebih luas, menekankan pada fungsi penggabungan daripada faktor-faktor produksi dan
perlengkapan manajemen yang kontinu, dan selain itu juga sebagai penanggung resiko.
14
14
Peter Kilby ringkasan dan terjemahan oleh : Meutia F. Swasono, “Berburu Binatang Heffalump”, Berita Antropologi, TH. VII No. 23 SEPTEMBER 1975, hal. 6.
Sedangkan di dalam bahasa Indonesia entrepeneur disebut dengan wirausaha. Gejala-gejala maupun faktor-faktor yang menyebabkan mengapa
Universitas Sumatera Utara
seseorang itu berwirausaha dapat ditinjau dari berbagai persfektif ilmu, seperti ilmu ekonomi, ilmu psikologi, serta ilmu sosiologi-antropologi.
Dalam mengambil dan melakukan sebuah keputusan, termasuk keputusan untuk berwirausaha selalu dilatarbelakangi faktor yang membuat mengapa seeorang
melakukan hal tersebut. Dalam pandangan Hagen, seorang sosiolog, mengatakan banhwa perkembangan ekonomi hampir seluruhnya sebagai suatu proses
perubahan tekhnologi yang ditimbulkan oleh kreativitas tekhnologi daripada individu-individu dalam masyarakat. Dengan demikian, dalam pandangannya
beliau melihat entrepreneur sebagai seorang pemecah persoalan yang kreatif, yang tertarik kepada benda-benda dalam lapangan praktis dan teknologis, dan
didorong oleh suatu kewajiban untuk mencapai sesuatu. Ibu Nurcahaya misalnya, sebagai seorang wanita dengan usia yang tidak muda
lagi, dan dengan latarbelakang seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil, ibu ini patut dinilai sebagai seseorang yang memiliki jiwa enterpreneur yang berani.
Beliau tidak takut akan persalan-persoalan mendatang dalam menjalankan usaha barunya, malah beliau semakin berani mengembangkan usahanya, terbukti
dengan mendirikan lembaga keterampilan pelatihan, serta membuat teroboan baru dalam produk batiknya. Dibandingkan dengan sebuah penelitian di Inggris
yang dilakukan oleh Staw 1991, yang mengungkapkan pada umumnya pria memulai usahanya sendiri dilakukan pada usia 30 tahun, sedangkan wanita
dimulai pada usia 35 tahun. Akan tetapi semangat wirausaha masih tampak di usianya yang terbilang tidak muda lagi.
Seperti yang dipaparkan beliau: “ Saya memperoleh ide ini setelah ikut pelatihan membatik dari
Dekranas di Jawa, kami banyak waktu itu, tapi yang jadi setahu
Universitas Sumatera Utara
Ibu, ya Ibulah, mungkin yang lainnya mengalami kendala. Sesampai di sini kan terpikir buat motifnya yang beda gitu, Ibu
memilih untuk membuat motifnya motif etnis-etnis yang ada di Sumatera Utara ini, karena saya ingin mengangkat kembali
motif-motif yang ada di Sumut, kan ada banyak itu macam- macam etnis di Sumatera Utara ini, jadi kan bagus kita
masukkan motif-motifnya itu ke batik....dan Ibu mendirikan LKP ini bagaimana supaya banyak pembatik yang mampu berdiri
sendiri di Medan ini, tapi sayangnya sejauh ini belum ada yang bisa.”
Sebuah visi yang bagus sekali terhadap masyarakat yang ingin berwirausaha seperti Ibu Nurcahaya. Akan tetapi, sayangnya dari beberapa orang yang pernah
mengikuti pelatihan keterampilan membatik di LKP tersebut, menurut perkataan Ibu itu belum ada yang mampu berdiri sendiri, belum ada yang bisa mendirikan
usaha produksi batik sendiri karena dilatarbelakangi berbagai hal, salah satunya keterbatasan kepemilikan modal. Karena menurut beliau, membutuhkan waktu
yang cukup lama untuk memperoleh untungnya, karena modal kita itu tertanam pada saat proses pembuatan batiknya yang membutuhkan waktu yang lama juga,
padahal sementara itu sebelum membuat batik, harus lengkap dahulu semua bahan yang diperlukan, dan untuk memperoleh semua bahan yang nilainya tidak
sedikit itu kita wajib mengeluarkan modal. Secara psikologis, faktor pendorong lahirnya keinginan berwirausaha
disebabkan oleh adanya faktor “need for achievement”. Faktor ini merupakan faktor kebutuhan akan prestasi. Berhubungan juga dengan faktor-faktor sosial
dan budaya, struktur masyarakat, masalah status, dan juga nilai-nilai kehidupan
Universitas Sumatera Utara
yang berbeda juga menjadi salah satu penyebab keinginan untuk berwirausaha. Untuk suku-suku pribumi tertentu di Indonesia, Frederick Barth
15
Sama dengan Ibu Nurcahaya, Bapak Edi Gunawan juga selaku entrepreneur pada industri rumah Batik Motif Medan memaparkan alasan mengapa beliau
lebih memilih menjadi wirausahawan di industri yang digeluti sekarang ini daripada menjadi kontraktor, yang menjadi profesi beliau sebelum menjadi
mengutarakan bahwa entrepreneur adalah seorang yang berkonsentrasi terhadap peningkatan
suatu nilai, yaitu keuntungan, lebih berpengalaman dan berspekulatif, serta berkeinginan untuk menanggung resiko.
Pengertian di atas umumnya mengacu pada wirausahawan-wirausahawan yang bersuku bangsa Minangkabau dan Batak. Pada suku bangsa Batak khususnya
disebutkan bahwa orang Batak adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang menonjol kemampuannya di bidang ekonomi. Orang Batak terkenal sebagai
suku perantau, dan di perantauan pun mereka tidak jarang menjadi pengusaha termasuk di bidang perdagangan, baik itu dalam skala kecil ataupun besar.
Dalam pengertian tersebut merantau adalah mencari keuntungan dan mencapai prestasi yang meresap dalam alam pikiran mereka. Swasono, 1975:79
Di samping itu, pada suku bangsa Jawa yang terkenal dengan golongan santri- nya yang mayoritas berdiam di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga merupakan
salah satu suku bangsa pribumi Indonesia yang tangguh di bidang ekonomi khususnya di bidang wirausaha. Menurut C. Geertz Swasono, 1975:81,
entrepeneur-entrepeneur di Jawa banyak terdiri dari golongan orang yang berasal dari kelas menengah ke atas yang subdominan dan beragama Islam,
mereka menyebut dirinya sebagai golongan santri.
15
Ibid., hal 76
Universitas Sumatera Utara
pengusaha industri batik ini. Alasan beliau hanyalah ingin mengerjakan yang beda, atau ingin berspekulatif terhadap profesi baru menjadi pengusaha, ingin
menjadi pemilik usaha, bukan bekerja pada usaha orang lain.
4.3. STRATEGI USAHA PADA BATIK MOTIF MEDAN 4.3.1. Strategi Produksi