memesan motif Rumbak-rumbak, dan Pemkab Dairi memesan motif rumah adat Batak Pakpak. Kabupaten Karo yang merupakan salah satu ikon daerah tujuan
wisata di Sumatera Utara, merupakan kabupaten yang paling banyak memesan batik dari usaha Bapak ini, untuk dijual kembali kepada para wisatawan-
wisatawan yang berkunjung ke kabupaten Karo, khususnya di Berastagi. Adapun motif-motif yang diminati adalah:
- Gorga Simeol-meol, yaitu motif yang berasal dari Toba, - Motif Pelana Kuda Kencana, yaitu motif yang berasal dari Melayu, dan
- Motif Gimbang, yaitu motif yang berasal dari Mandailing. Akan tetapi motif yang paling diminati adalah Gorga Simeol-meol. Kebanyakan
instansi yang memesan batik ke rumah industri ini lebih cenderung memilih motif tersebut. Termasuk juga Pemkab Nias, yang seharusnya bisa memilih
motif dari Nias karena diproduksi juga di industri rumah batik tersebut. Harga batik yang dipasarkan tergantung kepada jenisnya. Harga batik yang
masih berbentuk kain bakal, atau belum menjadi pakaian jadi dihargai Rp. 125.000 hingga Rp. 150.000helai. Sedangkan untuk batik yang sudah jadi
dihargai Rp. 175.000 hingga Rp. 200.000helai. Satu helai bakal kain batik, dijahit untuk dijadikan menjadi sebuah kemeja, sedangkan untuk membuat gaun
dibutuhkan bakal batik yang berukuran 8 meter.
4.1.3 Pembagian Kerja Cooperation Pada Karyawan
Dalam perekrutan tenaga kerja yang bekerja pada usaha ini adalah bersifat labour intensive, yaitu berada dalam suatu kawasan yang saling
berdekatan, mengerjakan jenis pekerjaan yang sama secara bersama-sama, serta tidak mengenal spesialisasi. Pembagian kerja pada tenaga kerja yang bekerja di
Universitas Sumatera Utara
industri rumah Batik Motif Medan masing-masing dibedakan oleh pemilik sesuai dengan tahapan-tahapan pada proses pembatikan. Karyawan tetap yang
bekerja di industri ini berjumlah tujuh orang, di mana semuanya adalah wanita dan merupakan ibu-ibu rumahtangga. Satu orang karyawan tidak mengerjakan
satu batik dalam semua proses, akan tetapi satu orang karyawan hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan dalam beberapa kain batik. Artinya satu helai
kain batik itu merupakan hasil kerja tangan beberapa karyawan sesuai dengan tahap-tahap pembuatannya.
Contoh, si A mengerjakan bagian pemotifan, kemudian si B mengerjakan bagian pencantingan, si C mengerjakan bagian penembokan, dan si D melakukan
bagian pewarnaan-pencucian-pelorodan-dan penjemuran. Tahapan-tahapan yang dikerjakan di D merupakan satu tahapan yang dapat dilakukan oleh satu orang,
karena tahapan tersebut waktu pengerjaannya tidak memakan waktu lama, dan intensitas pengerjaannya lebih sering dilakukan dibandingkan dengan tahap yang
lain. Untuk bagian pengerjaan pemotifan, pencantingan, penembokan ada lima orang karyawan, sedangkan untuk bagian pewarnaan-pencucian-pelorodan-
penjemuran ada dua orang karyawan. Dalam hal pemberian upah dilakukan dengan cara penghitungan sistem
borongan, yaitu berdasarkan jumlah kain yang selesai dikerjakan berdasarkan bagian kerja masing-masing sesuai target dari pemilik usaha. Beda tahap, maka
berbeda juga upah yang diberikan. Misalnya si A yang tugasnya adalah memotif, penghitungan upahnya adalah upah memotif dikalikan dengan berapa kain batik
yang sudah selesai dia motif, dan demikian selanjutnya pada pekerjaan- pekerjaan yang lain. Setiap pengerjaan yang dilakukan masing-masing
Universitas Sumatera Utara
karyawan, termasuk berapa kain yang selesai dikerjakan tertulis dalam satu buku untuk menghindari kelupaan ataupun kekeliruan dalam penghitungan upah.
TABEL 4 UPAH KERJA KARYAWAN
No. Pekerjaan
Upah
1. 2.
3. 4.
Memotif Mencanting
Menembok Mewarnai, merebus, menjemur
Rp.2.000helai Rp.2.000helai
Rp.7.000helai Rp. 4.000helai
Sumber: Wawancara dengan informan Karyawan yang bekerja di industri batik ini adalah para ibu-ibu rumahtangga
yang merupakan tetangga dekat dari Pak Edi, jadi tidak mengherankan apabila tidak kita jumpai hubungan antara “bos-karyawan” di industri milik bapak ini.
Karena secara sosial, hubungan antara Pak Edi selaku pemilik usaha dengan para tetangganya selaku yang bekerja di usaha bapak tersebut, adalah sudah
menjadi seperti hubungan kekeluargaan. Hubungan sosial semacam itu bisa saja terjadi karena berada dalam satu komunitas tempat tinggal, satu organisasi
sosial baik itu organisasi kesukuan atau organisasi agama, atau bisa juga karena satu suku. Oleh karena faktor-faktor tersebut, bisa saja secara tidak sadar
menumbuhkan rasa “satu” dalam diri masing-masing. Kekeluargaan itu tampak pada sistem kerja yang berlaku di sana. Para karyawan
tidak bekerja dalam sebuah paksaan, malah saya lihat mereka mengerjakan pekerjaan masing-masing seolah-olah pada milik sendiri. Seperti yang
dipaparkan Pak Edi Gunawan 42 tahun di bawah ini : “kalo sistem kerja di sini Dek, enjoy-enjoy aja nya gitu..., bebas-
bebas aja. Mau jam berapa datang, datang, mau jam berapa juga istirahat, ya istirahat, pokoknya kerjaan yang dikasih itu selesai.
Itu kadang kayag Ibu itu kan, habis ngurus anaknya sama makan
Universitas Sumatera Utara
siang. Trus udah beres, datang lagi dia lanjutin kerjaannya. Kayag gitu lah kerja di sini, gak ada sistem paksaan. Kadang
mau sampe malam pun masih di sini orang itu, mau sampe jam 11atau jam 12 malam gitu. Jadi suka hati aja Dek asalkan siap
jumlah target yang dikasih...gitu aja nya.” Ketika tiba waktu untuk makan siang, para karyawan tersebut kembali ke rumah
masing-masing untuk makan siang, dan mengurus pekerjaan rumah sebentar, serta mengurus anak-anak bagi mereka yang masih memiliki anak kecil.
Kemudian setelah selesai, mereka kembali lagi melanjutkan pekerjaan masing- masing. Mereka pun bekerja santai saja, sambil sekali-sekali bercerita atau
ngobrol-ngobrol, bagaimana kebiasaan kaum wanita pada umumnya. Hal yang penting adalah bukan bagaimana kerjanya, akan tetapi pencapaian jumlah batik
yang harus selesai dikerjakan berdasarkan keinginan Pak Edi.
4.2. MOTIVASI-MOTIVASI UNTUK BERWIRAUSAHA