C. PEMBAHASAN
Seseorang yang terinfeksi HIVAIDS adalah orang yang mempunyai kecacatan kekebalan tubuh akibat suatu penyakit yang didapat dalam perjalanan
hidup penderita. Saat seseorang mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV, mereka mengalami berbagai macam emosi dan tekanan sehingga status sebagai ODHA
membawa dampak psikis maupun fisik yang mana membuat ODHA melakukan sejumlah reaksi untuk mengatasi perubahan yang disebabkan oleh statusnya
sebagai ODHA. Adapun penyebab dari terinfeksi HIVAIDS adalah penularan secara
seksual seperti hubungan seksual yang dilakukan oleh penderita HIV yang menulari pasangannya, dan secara non-seksual yaitu suatu penularan melalui
darah atau produk darah yang tercemar HIV dan penularan secara transpasental yaitu penularan dari ibu hamil mengidap HIV kepada bayi kandungannya. Bayi
itu kesakitan ketika masih dalam kandungan atau ketika sedang dilahirkan. Ada juga resiko tertentu penularan melalui pemberian air susu ibu. Hal ini dialami oleh
subyek IN dimana dia terinfeksi HIVAIDS dari aktifitas mengkomsumsi narkoba suntik. Sedangkan subyek TN terinfeksi HIVAIDS dari hasil hubungan intim dari
kekasihnya yang sudah terinfeksi HIVAIDS. Pertama kali seseorang mengetahui bahwa dirinya menderita HIVAIDS,
maka akan terjadi kekacauan pada seluruh aspek kehidupannya. Stressor atau dampak yang dialami para subyek dapat digambarkan melalui perubahan-
perubahan yang dialami subyek setelah mereka menyandang status HIV. Reaksi yang muncul pada diri seseorang yang mengetahui bahwa tes HIVnya positif,
banyak dipengaruhi oleh suatu kesadaran akan perubahan-perubahan yang mungkin akan terjadi dalam kehidupannya dan bukan hanya pada kematian yang
akan dihadapi. Secara umum telah diketahui sumber-sumber stres pada ODHA
adalah; sikap diskriminatif dari masyarakat, harga obat-obatan yang mahal, komentar-komentar dari lingkungan yang mengabaikan perasaannya, dan
perubahan-perubahan fisik Aishah, jurnal psikologi 16:75 Adanya perubahan dalam kesehatan mereka yang mengalami penurunan
membuat kekebalan tubuh mereka menjadi rentan terhadap segala bentuk tekanan psikis yang akhirnya dapat menggerogoti kekebalan tubuh mereka. Dalam faktor
ekonomi juga terpengaruh akibat biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai pengobatan subyek IN sehingga kondisi tersebut menyulitkan IN untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya sendiri. Meskipun mereka tidak didiskriminasikan oleh orang-orang terdekat, namun mereka sempat mendapat perubahan perlakuan dari
lingkungan seperti yang dialami subyek IN saat dia mendapat perubahan sikap dari istrinya. Demikian juga subyek TN yang mendapat perlakuan buruk dari
perawat Rumah Sakit dan istri IN. Secara psikologis, stigma dan diskriminasi sangar berpengaruh pada
penderita HIVAIDS terutama bagaimana mereka me lihat dan menilai dirinya sendiri. Dan ditambah lagi prasangka buruk yang muncul dari lingkungannya
membuat mereka merasa tertekan karena sampai saat ini masyarakat masih menganggap penyakit ini merupakan penyakit yang negatif karena telah
melanggar aturan, moral, agama dan sosial, serta memandang penyakit ini adalah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mencacatkan, berjangkit, membawa maut dan dipandang hina oleh masyarakat Aishah, jurnal psikologi 16:75.
Reaksi awal pada kedua subyek dapat ditunjukkan melalui respon saat mereka mengetahui bahwa mereka mengidap penyakit HIVAIDS seperti
mempunyai perasaan takut terhadap bayangan kematian, keadaan ini kemudian secara berangsur diikuti oleh perasaan bersalah terhadap keluarga khususnya ibu.
Hal ini sesuai dengan pendapat Richardson, 2002 ketika seseorang diberitahukan bahwa hasil tes HIV- nya positif, mereka dikonfrontasikan pada
kenyataan bahwa mereka berhadapan dengan suatu keadaan terminal. Kenyataan ini akan memunculkan perasaan kaget, penyangkalan, tidak percaya, depresi,
kesepian, rasa tak berpengharapan, duka, marah, dan takut akan bayangan kematian.
Secara psikis mereka mengalami reaksi awal yang terwujud dalam aneka macam bentuk seperti menangis atau merasa marah terhadap pacarnya karena
telah menulari HIVAIDS. Dalam hal ini subyek 2 merasa kemarahan tersebut terjadi karena dia merasa ketidaktahuannya resiko berhubungan seksual dengan
pacarnya yang telah terinfeksi memungkinkan dirinya mempunyai status HIV positif sehingga status sebagai ODHA membuat subyek menjadi tidak bergairah
untuk meneruskan hidupnya lagi dan merasa tidak pantas berhubungan dengan orang lain. Sekalipun ada perbedaan-perbedaan reaksi dalam menghadapi
fenomena tentang HIVAIDS, orang yang mengetahui atau diberi tahu bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan lagi maka akan mengalami fase- fase
perkembangan emosi seperti fase pengingkaran atau penolakan, fase kemarahan, fase tawar menawar, fase depresi, dan fase penerimaan Rachimhadhi, 1996.
Status HIV mempengaruhi sikap iri terhadap orang lain yang berkesempatan menikmati hidup. Hal ini dialami oleh subyek IN yang mana
subyek berpikir Tuhan tidak adil dalam menempatkan posisinya sehingga subyek menaruh prasangka terhadap orang lain dan minder bila bertemu dengan orang
lain. Hal itu didukung dengan pendapat Rachimhadhi, 1996 bahwa kondisi tersebut menimbulkan berbagai perasaan dan perilaku yang tidak terduga saat
mereka mengetahui dirinya terinfeksi HIV sehingga mereka mulai merasakan kesedihan yang sangat mendala m, kenyataan dan realita sudah tidak dapat diubah
dan berubah. Seperti yang sudah diketahui bahwa HIVAIDS belum ada pencegahannya
dan belum ada obat yang menyembuhkan, disamping itu HIVAIDS di mata masyarakat mempunyai muatan moral, di mana masyarakat umumnya masih
memandang bahwa AIDS penyakit yang diderita oleh pelacur, kaum homoseks atau penyakit orang yang kotor, membuat tidak mudah bagi mereka yang hidup
dengan status HIV. Strategi coping yang digunakan oleh para subyek menunjuk pada berbagai
upaya, baik mental ma upun perilaku, untuk menguasai, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Strategi tersebut
merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang muncul akibat
status yang disandang subyek sebagai ODHA dengan melakukan perubahan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kognitif maupun upaya guna memperoleh rasa aman dalam dirinya. Dalam menghadapi atau mengatasi masalah yang muncul saat mereka
menyandang status sebagai ODHA, pada subyek menggunakan baik Emotional Focused Coping
dan Problem Focused Coping. Jenis coping yang pertama kali digunakan adalah Emotional Focused Coping atau yang biasa disebut strategi
dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau
situasi yang penuh tekanan. Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh status HIV membuat subyek IN dan TN mencoba mencari dukungan dari orang yang
mempunyai pengalaman yang sama dengan mengunjungi LSM sehingga mereka mempunyai pandangan baru tentang motivasi untuk bertahan hidup dan mencoba
menerima kenyataan bahwa mereka terinfeksi HIVAIDS. Mereka juga mengembangkan religiusitas seperti mendekatkan diri pada Tuhan untuk
mengatasi perasaan bersalahnya terhadap keluarganya, Pada subyek IN mencoba mengatasi perasaannya dengan menghabiskan
waktunya dengan mabuk bersama teman-temannya dan menghabiskan waktu untuk menonton TV saat dia tidak ingin dingganggu oleh siapapun. Sedangkan
subyek TN mengunjungi makam pacarnya dan menyalurkan emosinya saat TN merasa tertekan karena selama ini subyek TN selalu melakukan coping denial
untuk mengatasi stressor yang muncul. Tindakan di atas didukung dengan upaya subyek IN dan TN mengatasi
permasalahan yang kerap muncul dengan mencari informasi atau saran tentang HIV melalui media tertentu seperti buku, brosur dan konselor visited di LSM. Hal
itu biasa disebut Problem Focused Coping, yang juga diartikan yaitu strategi yang mencoba untuk menghadapi dan menangani langsung tuntutan dari situasi
atau upaya untuk mengubah situasi. Upaya-upaya yang telah dilakukan tersebut membawa dampak terhadap
subyek. Sehingga mereka belajar hidup dengan virus di dalam tubuhnya. Mereka mencari berbagai cara hidup sehat, berusaha mengikuti kemajuan obat-obatan, dan
dapat menentukan pilihan hidupnya sendiri. Strategi coping yang sudah mereka lakukan membawa perubahan pada subyek dalam hal penerimaan atas kondisinya
selama ini. Di samping itu mereka memilih strategi coping di atas dilakukannya agar dapat lebih pasrah kepada Tuhan dan mencoba menyerahkan hidup mereka
agar dapat membantu mereka mengatasi problem yang akan dihadapinya, baik dari dalam diri sendiri, keluarga, dan masyarakat Rachimhadhi, 1996.
Menurut Lazarus ketika berhadapan dengan situasi yang menimbulkan stres, individu akan mencoba beradaptasi, mekanisme coping dalam diri individu
tersebut akan mulai berperan. Pada tahapan ini, mereka merasakan faktor yang ikut mempengaruhi strategi coping yang mereka lakukan untuk mengatasi
masalah yang sering muncul akibat status yang disandangnya. Faktor inilah yang dirasakan subyek IN dalam menentukan keberhasilan penanganan masalah yang
muncul, yaitu adanya dukungan dari orang-orang terdekat subyek membuat subyek termotivasi untuk hidup lebih lama lagi. Namun subyek terbentur dengan
biaya dan waktu yang terbatas. Berbeda dengan subyek TN yang mana dia kurang mendapat dukungan dari orang terdekatnya karena subyek tidak ingin lingkungan
mengucilkannya sehingga seringkali subyek merasa tidak bisa terus-terusan merepotkan keluarga pacarnya untuk digunakan sebagai tempat curhat.
Pengalaman penderita HIVAIDS akan melihat beberapa kemungkinan akan kemajuan yang diperolehnya dengan melakukan berbagai usaha
pengurangan tekanan yang mana hal tersebut akan mengasilkan sikap optimis dan harapan untuk hidup pada ODHA Rachimhadhi, 1996.
104
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN