Latar Belakang Masalah Studi kasus mengenai strategi coping stres pada penderita HIV/AIDS di Yogyakarta.

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan realita dewasa ini, kasus HIVAIDS meningkat secara drastis baik di Indonesia maupun dunia. Hal ini dapat membahayakan kehidupan manusia bahkan mengancam keselamatan dunia, karena HIVAIDS merupakan penyakit yang mematikan dan belum ada obatnya secara pasti. Di Indonesia sendiri masalah ini sudah merupakan masalah yang sangat besar dan harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah, karena harus segera ditanggulangi. Berdasarkan data di RSUP Dr Sardjito tahun 2005, hingga Maret lalu tercatat ada 15 penderita yang berobat ke RSUP Dr Sardjito. Data dari Dinas Kesehatan DIY Kompas, 24 februari 2005, menyebutkan jumlah penderita HIVAIDS di yogyakarta meningkat hampir 200 persen pada tahun 2004, yaitu mencapai 34 orang penderita HIV, dari 13 orang pada tahun 2003. Diperkirakan masih cukup banyak orang yang telah terinfeksi HIVAIDS, namun belum tercatat. Keadaan seperti itu biasa disebut dengan “Fenomena Gunung Es” atau seperti gunung es di laut yang hanya pucuknya saja yang terlihat sementara tubuh gunung es yang jauh lebih besar tersembunyi dalam laut. Berdasarkan teori gunung es diperkirakan pada saat ini telah ada sekitar 200.000 orang mengidap HIVAIDS di Indonesia dalam Menghadang Mentari pun tak Peduli, 1997. Seperti halnya Vietnam dan China, epidemi HIV AIDS di 2 Indonesia masih digolongkan baru timbul. Para pakar memperkirakan ada sekitar 90.000 sampai 230.000 orang di Indonesia yang sudah terjangkit penyakit ini. Melihat kenyataan ini, kasus HIVAIDS menjadi keprihatinan dunia remaja. Fakta di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito dan data yang ada di Lembaga Pemasyarakatan LP Wirogunan Yogyakarta menunjukkan, penderita HIVAIDS sebagian besar narapidana yang ada di LP dan yang masuk rumah sakit sebagian besar berstatus mahasiswa yang rata-rata usianya 20-28 tahun. Banyak pihak menduga, penyebaran infeksi HIVAIDS berkait dengan penyalahgunaan Narkoba Narkotika dan Obat-obatan Terlarang dan pelaku seks bebas. Mengingat sebagian besar penderita HIVAIDS adalah kalangan mahasiswa, Yogyakarta adalah salah satu kota yang mendukung peningkatan kasus tersebarnya virus HIVAIDS dimana Yogyakarta merupakan kota pelajar yang sering disinggahi pelajar dari luar kota untuk kepentingan pendidikan. Pengaruh yang sudah ada di masyarakat maupun yang datang dari luar membuat sebagian pelajar melakukan penyimpangan yang ditujukan pada penggunakan narkoba sehingga tanpa disadari bahwa kesehatan pelajar terancam dengan meluasnya penyebaran virus HIVAIDS. Saat kita dinyatakan terinfeksi suatu penyakit, banyak hal dalam kehidupan kita dapat berubah. Apalagi jika infeksi itu sifatnya berjangka panjang seperti HIV. ODHA Orang dengan HIVAIDS sebaiknya mengambil sikap sejak awal. ODHA sangat rentan terhadap sikap orang lain yang merendahkan, menghakimi, mengucilkan, dan melanggar hak asasi. Hal ini dapat terjadi sejak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3 menjalani tes sampai hari- hari bahkan tahun-tahun berikutnya. Dalam kehidupan sehari- hari sebagai ODHA, mereka menjadi pasien yang aktif, hal ini dikarenakan karena belum ada penyembuhannya sehingga mereka ikut memikirkan jalan keluar lain agar jiwa dan raga mereka tetap sehat. Mereka mencari berbagai cara hidup sehat, berusaha mengikuti kemajuan obat-obatan, dan dapat menentukan pilihan hidupnya sendiri. Dokter pun dapat kekurangan pengetahuan. Dokter dapat merasakan ketidakpastian mengenai bagaimana seharusnya menangani HIVAIDS, memantau kesehatan penderita, dan ikut mendampingi perkembangan penderita agar mereka dapat hidup lebih lama. Telah diketahui sejak lama bahwa orang yang hidup dengan HIV, seperti pasien lain dengan penyakit kronis, mungkin mengalami suatu bentuk gangguan psikiatri kejiwaan selama perjalanan penyakitnya. Bagi penderita HIVAIDS sendiri hidup dengan menyandang status sebagai ODHA adalah suatu penderitaan yang sangat berat karena semua mengetahui bahwa sampai detik ini belum ditemukan obat untuk menyembuhkan penyakit HIVAIDS Pelkesi, 1995. Mereka merasa seolah–olah telah “dijatuhi hukuman mati”. Keadaan ini masih ditambah lagi dengan adanya diskriminasi dari kalangan masyarakat sehingga korban HIVAIDS akan mulai merasa dijauhi oleh orang lain, dimana hal ini merupakan realitas yang menyedihkan. Derita mentalnya semakin menjadi–jadi setelah ia mengetahui bahwa ia adalah korban penyakit yang membawa kematian. Semakin banyak korban berjatuhan hari demi hari, dan orang yang terjangkit virus HIVAIDS dapat menularkannya kepada orang lain meskipun mereka sendiri belum menunjukkan gejala–gejalanya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4 Cerita-cerita anonim dari orang yang telah terbukti positif mengidap HIV seolah mengharu biru dan mengubah keberanian menjadi kepanikan, dan ketabahan menjadi ketidakberdayaan. Selama belum ada obat untuk menyembuhkannya serta tidak ada vaksin untuk mengebalkan tubuh terhadap penyakit tersebut, hanya ada satu jalan yang dapat kita perbuat, yaitu melakukan tindakan-tindakan preventif Inu. W, 2005. Tidak adanya tindakan yang efektif, maka pasien harus diberi perlakuan yang penuh rasa kasih sayang dan respek terhadap kemanusiaan mereka. Sesuai dengan pengalaman mereka, ketika mereka mengetahui bahwa mereka mengidap HIV, maka mereka sangat putus asa sehingga mempengaruhi hidupnya secara drastis. Namun demikian, di tengah- tengah suasana yang sarat dengan ketidakpedulian, ambivalensi, rasa bersalah, inilah mereka berusaha bertahan Pelkesi,1995. Bagi orang yang terinfeksi HIVAIDS, maka akan terjadi kekacauan pada seluruh aspek. Relasinya akan diliputi suasana putus asa, ketakutan, serta pengucilan, selain itu akan timbul konflik sehingga dia akan merasakan adanya ketidakharmonisan di dalam hubungannya dengan orang lain. Keadaan ini selanjutnya akan merusak segala aspek kehidupannya dan menimbulkan kecemasan yang berlebihan tentang masa depannya dan kehidupannya nanti. Bahkan ada juga yang tidak siap untuk menerima keadaan dirinya bahwa dia telah terinfeksi HIV, mereka juga merasa bahwa dunia yang ditinggalinya sekarang adalah ancaman bagi kehidupannya, karena untuk langkah selanjutnya mereka harus mengatur pola hidupnya agar mereka dapat memperpanjang hidup mereka. Orang yang terinfeksi tidak boleh sembarangan mengkomsumsi makanan karena PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5 terdapat kemungkinan makanan tersebut dapat memicu penyebaran virus yang ada di dalam tubuh penderita, maka mereka harus pintar memilih makanan yang sesuai dengan anjuran untuk penderita HIVAIDS. Selain itu mereka juga tidak diperkenankan untuk merokok dan melakukan aktifitas di malam hari, karena 80 virus ini menyerang paru-paru penderita, maka dari itu, mereka harus mengatur pola hidup mereka Montagnier, 1987. Perubahan aspek hidup yang dialami penderita HIVAIDS menimbulkan dampak bagi si penderita, beberapa dampak yang ditimbulkan adalah dampak psikis, fisik, maupun sosial. Mereka akan mengalami stres karena berbagai tekanan tentang bayangan kematian dan derita yang akan dialaminya nant i Supit. B, 1995. Adapun jenis tekanan psikologi utama pada penderita HIVAIDS adalah sebagai berikut; mereka mengalami kecemasan mengenai rasa tidak pastinya tentang penyakit yang diderita, perkembangan dan pengobatannya, merasa cemas dengan berbagai gejala- gejala baru, merasa cemas dengan prognosisi dan ancaman kematian dan serangan panik. Mereka juga akan depresi sehingga merasa sedih, tidak berdaya, merasa rendah diri, bersalah, tidak berharga, putus asa, berkeinginan untuk bunuh diri, sulit tidur, hilang nafsu makan, merasa terisolasi dan berkurangnya dukungan sosial, merasa ditolak oleh sosial, dan merasa malu dengan adanya stigma sebagai penderita AIDS. Orang HIV positif tidak meminta keistimewaan di dalam ruang kehidupannya, tetapi minta diperlakukan sama dengan warga masyarakat lainnya. Tetapi yang sering terjadi adalah perlakuan diskriminasi di dalam dunia PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6 kesehatan, menjadi objek pemberitaan dan pengobatan oleh pengobat modern dan tradisional, atau menjalani tes darah tanpa konseling. Orang dengan HIV positif juga dijadikan aset oleh LSM, dan peneliti memperlakukan orang HIV positif tanpa etika penelitian yang semestinya. Secara umum telah terbukti bahwa penyakit HIV berhubungan dengan tekanan sosial dan kehidupan tertentu, seperti stigma cap buruk, yang mungkin mempengaruhi seseorang menjadi stres. Stres pada ODHA juga dikaitkan dengan perasaan bahwa kesehatannya buruk, rasa sakit kronis, dan kehilangan daya ingat serta konsentrasi. Lamanya suasana hati yang lesu, kegelisahan, atau kemarahan mungkin biasanya menjadi bagian dari penyesuaian terhadap penyakit, tetapi perkembangan depresi yang parah bukanlah sesuatu yang normal, sebagaimana diagnosis stres parah dihubungkan dengan berbagai penyakit, suasana hati yang lesu harus dilihat sebagai bagian dari kumpulan gejala seperti rasa senang yang hilang, perasaan bersalah atau tidak berharga, dan memikirkan kematian. Hal yang paling penting bagi orang yang menderita HIVAIDS terhadap kondisinya dapat mengubah konsep diri yang telah mereka miliki sebelumnya, sehingga mereka melakukan penolakan–penolakan terhadap apa yang mereka alami saat ini dan mempengaruhi penerimaan dirinya. Beberapa peneliti menyatakan bahwa penderita HIVAIDS merasa dirinya ditolak dan diasingkan oleh orang–orang sekitarnya, diteror oleh penyakitnya dan tertekan oleh adanya kepercayaan bahwa penyakit ini adalah penyakit kutukan dan akan menularkannya kepada orang–orang yang dekat dengan penderita. Hal ini menyebabkan penderita HIVAIDS tidak mendapatkan kebutuhan akan dukungan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7 sosial Wortman Dunkel, 1979. Banyak penderita HIV AIDS yang masih belum bisa menerima kondisi seperti itu sehingga mereka mempunyai kecenderungan untuk stres dan bertindak semaunya sendiri, hal itu dilakukannya karena mereka berpikir bahwa hidup mereka tak akan bertahan lama dan mereka akan melakukan apapun yang mereka inginkan. Perasaan sendirian dan terabaikan ini membuat penderita semakin merasa rendah diri dan tidak berharga, penerimaan dari lingkungan akan ikut mempengaruhi bagaimana penderita menerima dirinya. Penolakan–penolakan yang dia alami akan semakin menguatkan penilaian negatifnya terhadap dirinya sendiri. Dari tekanan yang diperoleh tersebut dapat menimbulkan stres pada penderita. Stres merupakan suatu respon dari hadirnya suatu peristiwa. Segala sesuatu yang menyebabkan perubahan dalam hidup kita dapat menimbulkan stres. Stres juga merupakan bagian dari hidup kita yang tidak mungkin dihindari dan sampai level tertentu dibutuhkan oleh manusia untuk kela ngsungan hidupnya Handoyo, 2001. Stres atau kondisi apa pun yang membebani pikiran dapat menganggu keseimbangan metabolisme tubuh. Contoh yang paling sering adalah gangguan pada koordinasi saraf pada saluran pencernaan. Pada orang stres, gejalanya adalah diare. Ini terjadi karena gerakan usus yang diatur oleh saraf menjadi lebih cepat daripada biasanya. Akibatnya, timbul gejala seperti nyeri perut atau diare, sulit berkonsentrasi, hilangnya minat atau rasa senang, sedih, putus asa, perasaan bersalah berlebihan, atau merasa tidak berguna. Menurut Douglas 1991, stres terjadi ketika seseorang tidak dapat mengatasi problem yang disebabkan oleh tekanan yang dialaminya. Demikian PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8 juga pada seseorang saat tekanan tentang kenyataan yang didapat bahwa kualitas hidup mereka terancam oleh penyakit tersebut, otomatis akan mengalami apa yang disebut stres. Secara umum, stres yang terjadi akan memperburuk proses metabolisme normal tubuh. Pada akhirnya gangguan metabolisme tersebut dapat menjadi suatu stressor dari dalam tubuh yang dapat menimbulkan stres pada sistem imun. Status turunnya kompetensi fungsi imun yang diinduksi oleh stres menyebabkan kita menjadi rentan terhadap infeksi dan memungkinkan berbagai penyakit dapat terjadi Dossier, 1989. Stres terhadap status AIDS akan menuntut ODHA untuk memiliki ketrampilan mengolah stres akibat dampak yang ditimbulkan saat ODHA menyandang statusnya. Untuk mengurangi dampak dari stressor yang mengancam kualitas hidup ODHA, mereka menggunakan coping stres. Coping stres adalah cara yang dilakukan untuk mengatasi situasi atau problem yang dianggap sebagai tantangan, ketidakadilan atau merugikan maupun sebagai ancaman. Coping stres memberikan ke mampuan ODHA untuk mengelola stres akibat statusnya. Ketika berhadapan dengan stressor yang dapat mengancam hidup, ODHA akan mencoba beradaptasi. Mekanisme coping dalam diri ODHA akan mulai berperan, mereka akan menimbang dan menilai berat ringannya stresor dan kemampuan diri sendiri. Coping stres dapat dilakukan tergantung dari kekuatan kepribadian serta pengalaman belajar yang dimiliki oleh individu tersebut, dengan itu maka stres dapat dihadapi. Apabila seorang ODHA tidak memiliki kemampuan untuk melakukan coping stres, maka stressor yang muncul mempunyai kemungkinan yang lebih besar bagi seorang ODHA untuk mengalami stres. Hal itu dikarenakan ODHA tidak mempunyai mekanisme pertahanan agar kualitas hidupnya tetap terjaga. 9 Carver, Sceiser, dan Weintraub dalam Buari, 2000 mengemukakan ada dua macam strategi coping stres, yaitu emotional focused coping dan problem focused coping. Seseorang melakukan emotional focused coping diantaranya dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhan, atau mencari komunitas yang sama dengan mereka untuk mencari dukungan. Selain melakukan emotional focused coping , seseorang juga melakukan strategi problem focused coping, seperti mencari informasi tentang penyakit HIVAIDS melalui lembaga swadaya masyarakat dan rumah sakit.

B. Rumusan Masalah