57
5.5. Impulse Response Function IRF
IRF adalah respon sebuah variabel dependen jika mendapat guncangan atau inovasi variabel independen sebesar satu standar deviasi. Penelitian ini akan
melihat pengaruh guncangan SBI terhadap variabel-variabel makroekonomi. Gambar 5.1 menunjukkan reaksi SBI, jumlah uang yang beredar, CPI, kurs
dan pengangguran dalam 60 periode terhadap guncangan SBI dalam satuan standar deviasi. Sumbu vertikal adalah respon variabel-variabel makroekonomi
atas guncangan SBI sedangkan sumbu horizontal adalah periode waktu kuartal. Guncangan SBI sebesar satu standar deviasi pada kuartal pertama akan
mengakibatkan peningkatan SBI sebesar 178,4 persen, penurunan jumlah uang yang beredar M1 sebesar 1,7 persen, peningkatan inflasi sebesar 0,39 persen,
peningkatan nilai tukar apresiasi sebesar 0,06 persen, peningkatan inflasi sebesar 0,39 persen dan penurunan pengangguran sebesar 1,11 persen.
Pada kuartal ke dua, guncangan SBI sebesar satu standar deviasi akan mengakibatkan peningkatan SBI sebesar 7 persen, penurunan jumlah uang yang
beredar sebesar 2,3 persen, peningkatan inflasi sebesar 0,39 persen, peningkatan nilai tukar apresiasi sebesar 0,55 persen, peningkatan inflasi sebesar 3,5 persen
dan penurunan pengangguran sebesar 3,18 persen.
58
-1.5 -1.0
-0.5 0.0
0.5 1.0
1.5 2.0
10 20
30 40
50 60
Response of SBI to SBI
-.025 -.020
-.015 -.010
-.005 .000
.005 .010
10 20
30 40
50 60
Response of LOG_M to SBI
-.004 -.002
.000 .002
.004 .006
.008 .010
10 20
30 40
50 60
Response of LOG_CPI to SBI
-.04 -.03
-.02 -.01
.00 .01
.02 .03
.04
10 20
30 40
50 60
Response of LOG_KURS to SBI
-.12 -.10
-.08 -.06
-.04 -.02
.00
10 20
30 40
50 60
Response of LOG_U to SBI
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Persen Persen
Persen
Periode Periode
Persen
Periode Periode
Persen
Periode Gambar 5.1. Respon Variabel Makroekonomi terhadap Guncangan SBI
59
SBI ditetapkan bank sentral untuk mempengaruhi perekonomian, ketika perekonomian dirasakan tumbuh terlalu cepat maka SBI dinaikkan untuk
mengerem pertumbuhan dan begitu pula sebaliknya. Guncangan SBI terhadap SBI itu sendiri mengakibatkan peningkatan pada periode 1 dan 2 dan mulai periode 3
bernilai negatif, respon naik turunnya SBI karena ada batas titik psikologis yang dicapai, ketika nilai SBI dirasa terlalu tinggi maka bank sentral menurunkan nilai
SBI secara perlahan-lahan sehingga nilainya akan menurun, begitu juga ketika nilai SBI dirasa terlalu rendah maka secara perlahan-lahan nilai SBI tersebut akan
dinaikkan. Penetapan naik turunnya SBI tentu saja disesuaikan dengan kondisi perekonomian yang terjadi. Menurut Bank Indonesia 2005, saat ini perubahan
SBI dilakukan jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya inflation gap dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan indikator ekonomi
lainnya. Respon jumlah uang yang beredar mengalami penurunan dari periode 1 ke
periode 2. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang berlaku yaitu ketika suku bunga naik maka masyarakat akan memilih untuk menyimpan uangnya di Bank
sehingga jumlah uang yang beredar menurun. Namun ketika jumlah uang yang beredar turun, pada periode ini respon inflasi mengalami peningkatan. Hal ini
menunjukkan bahwa SBI sebagai instrumen moneter tidak bisa secara penuh dijadikan sebagai alat kontraksi moneter dalam mengendalikan inflasi yang
terjadi. Ini juga menunjukkan bahwa faktor eksternal turut berpengaruh terhadap tingkat inflasi yang terjadi. Pada periode ini pula, peningkatan SBI dan penurunan
jumlah uang beredar menyebabkan nilai tukar mengalami apresiasi.
60
Secara umum respon SBI mengalami penurunan dan respon jumlah uang yang beredar mengalami peningkatan, mulai periode 1 sampai periode 5 respon
SBI terhadap guncangan SBI itu sendiri mengalami peningkatan yang menurun,. Respon penurunan suku bunga SBI secara umum, akan menyebabkan jumlah
uang yang beredar meningkat, hal ini karena masyarakat mungkin kurang tertarik dengan tingkat suku bunga yang berlaku, sehingga masyarakat lebih memilih
untuk memegang uangnya, dan akibatnya jumlah uang yang beredar mengalami peningkatan.
Respon secara umum peningkatan jumlah uang yang beredar sejalan dengan respon peningkatan inflasi. Ketika bank sentral menetapkan SBI pada nilai
tertentu, maka untuk membayarnya bank sentral mencetak uang. Dalam jangka panjang ketika otoritas moneter menetapkan tingkat SBI yang tinggi, maka
masyarakat banyak yang tertarik membelinya. Dan untuk membayarnya bank sentral melakukan pencetakan uang, upaya pencetakan uang yang dilakukan
secara terus menerus tentu saja berbahaya sebab mengakibatkan money supply meningkat dan mendorong terjadinya inflasi.
Selain inflasi peningkatan jumlah uang yang beredar juga menyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar. Sampai periode ke-5 nilai tukar Rupiah masih
mengalami apresiasi walaupun cenderung melemah, dan mulai periode selanjutnya cenderung mengalami depresiasi, hal ini karena penurunan SBI
menyebabkan jumlah uang yang beredar meningkat, akibatnya nilai tukar melemah dan mengalami depresiasi.
61
Nilai tukar Rupiah secara umum mengalami trend depresiasi, hal ini karena Indonesia sebagai negara small open economy dan menganut sistem nilai
tukar floating, sehingga nilai tukar tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal saja tetapi juga turut dipengaruhi faktor eksternal. Indonesia sebagai negara kecil
yang menganut sistem nilai tukar floating, jika mendapat tekanan yang besar dari luar maka akan sukar untuk mempertahankan nilai tukarnya, hal ini menyebabkan
nilai tukar Rupiah selalu berfluktuasi. Secara umum angka pengangguran mulai periode 1 sampai periode 60
bernilai negatif dan mengalami penurunan. Secara teori hal ini karena suku bunga SBI juga cenderung menurun, langkah ini kemudian akan diikuti oleh perbankan
dalam menetapkan suku bunga kredit, sehingga cost meminjam menjadi relatif lebih murah dan menyebabkan perkembangan sektor riil sehingga akhirnya
pengangguran menurun. Menurut Siregar et al., 2006, dalam periode 2002-2004, penurunan suku
bunga terus menerus dilakukan untuk menstimulus sektor riil, tetapi efek dari transmisi moneter melalui penyesuaian suku bunga kredit sangatlah lambat
sehingga stimulus yang diharapkan justru tidak terjadi, ini menunjukkan kebijakan moneter hanya mampu menggerakkan dan mengendalikan variabel-variabel
makro dan belum mampu mentransmisikan ke sektor riil. Ketika angka pengangguran menunjukkan trend yang meningkat dari
tahun ketahun, ini menunjukkan bahwa SBI sebagai instrumen moneter kurang kredibel dalam melakukan kontraksi dan ekspansi untuk mempengaruhi
perekonomian dalam mengatasi masalah pengangguran. Selain itu jumlah
62
pengangguran yang meningkat setiap saat, karena selalu ada angkatan kerja baru yang memasuki pasar kerja, bila angkatan kerja baru tersebut tidak terserap maka
akan menambah angka pengangguran yang terjadi. Hal ini menunjukkan kebijakan moneter saja tidak cukup untuk mengatasi masalah pengangguran.
Mulai periode 29 respon SBI terhadap guncangan SBI itu sendiri menjadi permanen dan konvergen dengan nilai yang mulai stabil dalam interval minus 54
persen sampai minus 51 persen. Sedangkan guncangan SBI terhadap jumlah uang yang beredar mulai periode 11 sampai periode 60 bernilai positif, dengan nilai
cenderung naik dan menuju ke arah kestabilan mulai periode 44 dalam kisaran 0,55-0,62 persen. Dalam jangka panjang, inovasi dari SBI memiliki hubungan
yang permanen terhadap jumlah uang yang beredar, hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter dalam mengatur tingkat suku bunga harus selalu
disesuaikan dengan jumlah uang yang beredar. Proses kenaikan inflasi secara bertahap terjadi sampai periode 36 dan
mulai periode 37 sampai periode 60 respon inflasi menjadi permanen dengan nilai yang mulai stabil yaitu sekitar 0,8 persen. Dalam jangka panjang, inovasi dari SBI
memiliki hubungan yang permanen terhadap inflasi, hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter dalam mengatur tingkat suku bunga harus selalu
disesuaikan dengan inflation targeting yang telah ditetapkan oleh bank sentral. Mulai periode ke 32 sampai periode 60 respon nilai tukar terhadap
guncangan SBI menjadi permanen dan nilainya menjadi stabil dengan nilai sekitar minus 3,2 persen. Dalam jangka panjang, inovasi dari SBI memiliki hubungan
63
yang permanen terhadap nilai tukar, hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter akan selalu berpengaruh terhadap kestabilan Rupiah.
Pada periode 35 sampai periode 60, respon pengangguran menjadi permanen dan nilainya mulai stabil yaitu sekitar minus 10 persen. Cukup lamanya
respon variabel-variabel makroekonomi menuju ke arah kestabilan mulai periode 29 sampai periode 44 atau 7-11 tahun setelah guncangan menunjukkan bahwa
perekonomian Indonesia rentan terhadap perubahan, dan kebijakan moneter yang diterapkan kurang mampu menstabilkan perekonomian dalam jangka pendek.
5.6. Forecast Error Variance Decomposition FEVD