Efisiensi bagi tiap-tiap kapal pukat cincin yang beroperasi di perairan selatan dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah input. Sebagai contoh, kapal Kartika yang
memiliki persentase efisiensi sebesar 43.1 dapat ditingkatkan efisiensinya dengan cara mengurangi jumlah kapal sebesar 56.92, mengurangi lama waktu penangkapan
sebesar 76.13, mengurangi jumlah trip penangkapan sebesar 56.92 dan mengurangi biaya operasional sebesar 62.95. Proyeksi perbaikan untuk masing-
masing kapal pukat cincin dapat dilihat pada Lampiran 11. Tabel 28. Proyeksi perbaikan efisiensi kapal pukat cincin kartika
Nama Kapal Parameter
Skor
Data Aktual Target
Selisih Persentase
Kartika 0.431
GT Kapal 43.21
18.613 -24.60
-56.92 Lama Penangkapan jam
10 2.387
-7.61 -76.13
Jumlah tripbulan 10
4.308 -5.69
-56.92 Biaya Operasional
1215100 450196.56
-764903.44 -62.95
Keuntungan 19500000 19500000
0.00 0.00
Hasil Tangkapan 3000
3000 0.00
0.00
4.3.3 Pembahasan
Pemahaman yang paling sederhana terhadap kapasitas perikanan adalah kemampuan suatu kapal atau armada dalam melakukan penangkapan ikan.
Kemampuan ini didasarkan pada banyaknya nelayan dalam suatu armada, ukuran setiap kapal, peralatan teknis yang tersedia, kemampuan dan pengetahuan nelayan
dalam penangkapan dan waktu yang dibutuhkan dalam penangkapan. Masing-masing komponen ini memberikan kontribusi dalam usaha penangkapan ikan. Kapasitas
sering juga diartikan sebagai variabel yang sederhana dan mudah untuk diukur seperti jumlah kapal, karakterisitik fisik, waktu untuk penangkapan ikan, alat tangkap dan
metode yang digunakan. Dari perspektif teknologi, kapasitas diartikan sebagai seberapa besar jumlah ikan yang dapat ditangkap dengan sejumlah input tertentu
aktivitas armada dan stok ikan itu sendiri. Dalam perspektif ekonomi, kapasitas perikanan tangkap, atau bisa juga disebut efisiensi, pada dasarnya merupakan fungsi
dari input dan output. Kirkley and Squires 1999, mendefinisikan kapasitas dari sudut pandang ekonomi dan teknologi sebagai jumlah maksimum yang dapat
diproduksi per unit waktu dengan lahan dan peralatan yang ada, dimana keberadaan dari berbagai faktor produksi variabel tidak dibatasi.
Tingkat efisiensi produksi pada hakekatnya merupakan nilai yang menunjukkan perbandingan antara produksi perikanan dengan upaya yang dilakukan
pada tahun tertentu. Nilainya berkisar antara 0.1-1.0, artinya efisiensi produksi maksimum yang dapat dicapai adalah 100. Apabila pencapaian tingkat efisiensi
produksi berada di dibawah 1.0 maka masih terdapat peluang untuk meningkatkannya melalui berbagai upaya. Upaya tersebut dapat berupa pengurangan atau penambahan
baik input maupun output produksi. Untuk mengetahui tingkat efisiensi tahunan kegiatan perikanan di perairan
Gorontalo, maka dilakukan analisis DEA dengan menggunakan effort sebagai faktor input
dan produksi sebagai output dengan DMUnya adalah tahun periodik. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam dua puluh tahun terakhir tingkat efisiensi kegiatan
perikanan tangkap di perairan Gorontalo berfluktuasi. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh angka produksi perikanan dan juga fluktuatif dan effort yang cenderung
meningkat dari tahun-ketahun. Perikanan pelagis kecil di perairan utara yang didominasi oleh nelayan pukat
cincin, jaring insang hanyut, payang, bagan, jaring lingkar dan pukat pantai memiliki tingkat efisiensi antara 0.388-1.00. Pada tahun 2000 tingkat efisiensi perikanan pelagis
kecil di perairan utara mencapai 100. Walaupun efisiensi 100 hanya terjadi pada tahun tersebut bukan berarti pada tahun-tahun yang lain terutama untuk pengelolaan
perikanan dimasa mendatang tidak dapat dilakukan perbaikan. Untuk dapat meningkatkan nilai efisiensi perikanan tangkap pelagis kecil di perairan utara maka
dapat dilakukan pengurangan jumlah upaya yang telah melampaui upaya optimal sehingga dengan upaya yang lebih kecil mampu menghasilkan produksi yang optimal.
Berbeda dengan nilai tingkat efisiensi perikanan tangkap di perairan utara, di perairan selatan nilai efisiensi aktifitas perikanan tangkap pelagis kecil berkisar antara 0.235-
1.000. Persentase efisiensi 100 juga terjadi pada tahun 2000. Dengan nilai efisiensi mutlak 100 selayaknya data produksi dan effort pada tahun tersebut dapat dijadikan
acuan kebijakan pengelolaan perikanan sehingga fenomena excess capacity tidak terjadi.
Jumlah trip penangkapan ikan pelagis kecil baik di perairan utara maupun selatan saat ini telah melampaui jumlah trip optimum sehingga dikhawatirkan dapat
menimbulkan ancaman bagi kelestarian sumberdaya ikan di kedua perairan tersebut. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pada rezim pengelolaan MSY
yang saat ini di jadikan acuan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Indonesia, jika jumlah effort yang digunakan terus meningkat sementara hasil tangkapan cenderung
stagnan maka akan menimbulkan gejala tangkap lebih. Artinya fenomena kelebihan input dalam hal ini jumlah trip hendaknya segera dicarikan alternatif kebijakan
sehingga pronsip pemanfaatan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab dapat diterapkan.
Pada perikanan pelagis besar baik di perairan utara maupun selatan, terjadi tren penurunan angka efisiensi pada periode tahun 1992-1999. Hal ini antara lain
disebabkan oleh kenaikan biaya melaut diantaranya pencabutan subsidi BBM yang dilakukan oleh pemerintah sehingga mengakibatkan ongkos melaut semakin tinggi.
Besarnya biaya melaut ternyata tidak sebanding dengan hasil tangkapan yang diperoleh sehingga efisiensi penangkapan ikan pelagis besar semakin menurun.
Peningkatan jumlah upaya yang proporsional dengan peningkatan jumlah produksi akan meningkatkan efisiensi perikanan tangkap. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 35, 37, 41 dan 43 dimana mulai tahun 2001 terjadi tren peningkatan nilai
efisiensi baik perikanan pelagis kecil maupun pelagis besar di kedua perairan baik perairan utara maupun selatan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor
input oleh nelayan sudah cukup efisien untuk memperoleh hasil tangkapan yang
diinginkan. Alat tangkap pukat pantai, pukat cincin dan bagan merupakan alat tangkap yang
paling efisien untuk menangkap ikan pelagis kecil di perairan utara karena memiliki persentase skor efisiensi 100. Sedangkan di perairan selatan pukat cincin, jaring
lingkar dan baganlah yang menjadi alat tangkap paling efisien. Untuk perikanan pelagis kecil di perairan utara, jaring insang hanyut dan jaring lingkar merupakan alat
tangkap dengan efisiensi paling kecil. Keduanya memiliki persentase efisiensi masing- masing 7.5 dan 13.5. Dengan kondisi tersebut jaring insang hanyut dan jaring
lingkar perlu perbaikan sangat besar untuk mencapai efisiensi yang optimal. Jaring insang hanyut merupakan alat tangkap yang paling tidak efisien untuk
menangkap ikan pelagis kecil di perairan selatan dengan persentase efisiensi 11.40 diikuti pukat pantai 15 dan payang 22.40. Nilai efisiensi yang rendah
menggambarkan bahwa jumlah effort yang dilakukan oleh nelayan jaring insang hanyut, pukat pantai, payang dan jaring lingkar terlalu tinggi dan tidak sebanding
dengan produksi yang diperoleh. Untuk dapat meningkatkan nilai efisiensinya maka salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah mengurangi jumlah trip, sedangkan
untuk meningkatkan jumlah tangkapan sudah tidak direkomendasikan karena berdasarkan hasil pada bab sebelumnya produksi aktual ikan pelagis kecil di kedua
perairan telah berada diatas produksi optimal baik pada rezim pengelolaan MSY, MEY maupun open access.
Perikanan pelagis besar yang berkembang di perairan Gorontalo meliputi perikanan huhate, pancing ulur dan pukat cincin yang beroperasi di perairan utara
sedangkan huhate, pancing ulur, pukat cincin dan pancing tonda beroperasi di perairan selatan. Berdasarkan hasil analisis DEA ketiga jenis alat tangkap ikan pelagis besar
yang beroperasi di perairan utara sudah efisien. Sedangkan di perairan selatan hanya pancing ulur yang tidak efisien. Untuk dapat meningkatkan nilai efisiensi pancing ulur
dapat dilakukan dengan mengurangi faktor input yang digunakan sehingga sebanding dengan jumlah output yang diperoleh.
Hasil perhitungan efisiensi alat tangkap pada perikanan pelagis besar baik di perairan utara maupun perairan selatan akan digunakan dalam penentuan alokasi
optimum armada perikanan tangkap pelagis besar di kedua perairan. Pengalokasian dititik beratkan pada alat tangkap yang sudah efisien yaitu huhate, pancing ulur, pukat
cincin, dan pancing tonda. Hal yang sama juga dilakukan untuk perikanan pelagis kecil di kedua perairan. Hasil alokasi optimum yang akan dijelaskan pada bab
berikutnya diharapkan mampu memberikan alternatif kebijakan untuk keberlanjutan pengelolaan perikanan pelagis di perairan Gorontalo.
Fenomena kapasitas berlebih excess capacity merupakan suatu kondisi dimana terjadi kelebihan input dalam menghasilkan output yang diinginkan. Pada
kasus di perairan utara selisih effort target dengan effort aktual bernilai negatif. Pada perikanan pelagis kecil dan pelagis besar di perairan utara, fenomena kapasitas
berlebih terjadi dalam waktu 20 tahun terakhir. Excess capacity terbesar perikanan pelagis kecil terjadi pada tahun 1986 yaitu sebanyak 12 240 trip dan kemudian tahun
1996 sebanyak 10 293 trip. Pada perikanan pelagis besar, kapasitas berlebih terbesar terjadi pada tahun 1999 sebesar 15.69 atau 6 523 trip dan tahun 1997 dengan
kelebihan input sebesar 6 265 trip. Hal ini berarti bahwa dalam melakukan aktifitas penangkapan ikan pelagis, input dalam hal ini jumlah trip yang dilakukan nelayan
terlalu tinggi sehingga perlu dilakukan pengurangan untuk mencapai afisiensi penuh fully efficient dimana jumlah input yang digunakan sebanding dengan output berupa
hasil tangkapan yang diperoleh. Sementara itu, di perairan selatan fenomene excess capacity juga terjadi setiap
tahun, baik pada perikanan pelagis kecil maupun pelagis besar. Hal ini dapat dilihat dari adanya selisih antara effort target dengan effort aktual yang bernilai negatif.
Tingginya jumlah trip akan semakin menambah tekanan terhadap sumberdaya ikan
sehingga akan berdampak pada laju pemulihan sumber daya. Pada perikanan pelagis kecil, kapasitas berlebih terbesar terjadi pada tahun 1986 sebesar 11 atau 39 568 trip
sedangkan pada perikanan pelagis besar excess capacity terjadi pada tahun 1999 dengan kelebihan input sebesar 18 656 trip. Kebijakan pengurangan atau pembatasan
jumlah trip dengan cara melakukan closing area dan closing seasone dapat menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan efisiensi di perairan Gorontalo.
Hasil analisis efisiensi jangka pendek terhadap 20 kapal pukat cincin di perairan utara menunjukkan bahwa jumlah kapal yang benar-benar efisien hanya 30. Sisanya
memiliki nilai efisiensi antara 61-99 . Jumlah kapal yang belum efisien tersebut mencapai 14 kapal. Dari ke empat belas kapal tersebut, kapal yang memiliki nilai
efisiensi paling rendah dapat dipertimbangkan lagi apakah izinnya akan dicabut atau diperpanjang. Kapal pukat cincin yang belum efisien tapi tetap diizinkan beroperasi
harus melakukan perbaikan terhadap faktor input berupa jumlah tripbulan, biaya operasional, ukuran GT kapal dan lama penangkapan demi pencapaian efisiensi
penuh. Dalam upaya perbaikan tersebut, potensi perbaikan yang dapat dilakukan oleh pemilik kapal adalah dengan menekan biaya operasional 17.50, mengurangi jumlah
tripbulan 18.16, mengurangi lama waktu penangkapan 47.96 memeperkecil ukuran GT kapal 16.39 dari ukuran saat ini.
Kapal pukat cincin yang beroperasi di perairan selatan lebih banyak yaitu 58 kapal. Dari jumlah tersebut 19 11 kapal diantaranya efisien. Jumlah ini jauh lebih
kecil dibandingkan dengan nilai efisiensi kapal sejenis di perairan utara. Sebanyak 17 kapal memiliki efisiensi berkisar 71-99 dan sisanya yaitu 30 kapal 52 memiliki
nilai efisiensi dibawah 70. Apabila melihat data tersebut dihubungkan dengan terjadinya akses berlebih di perairan selatan, maka salah satu kebijakan yag dapat
ditempuh adalah mencabut izin kapal-kapal pukat cincin yang efisiensinya paling rendah sehingga mampu mengurangi jumlah effort yang telah melampaui effort
optimal. Potensi perbaikan bagi kapal pukat cincin yang belum efisien dapat dilakukan dengan cara mengurangi ukuran GT kapal sebesar 27.97, mengurangi lama waktu
penangkapan ikan sebesar 29.49 , mengurangi jumlah tripbulan sebesar 26.87 dan mengurangi biaya operasional sebesar 15.67 .
Pukat cincin merupakan salah satu alat yang produktif dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Dengan selektivitas yang tinggi terhadap hasil
tangkapan, alat ini menjadi salah satu pilihan menarik bagi pengusahanelayan yang berniat terjun di dunia perikanan tangkap. Selain mampu menghasilkan tangkapan
yang berlimpah, pengoperasian pukat cincin juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah
besar mencapai 22 orang per kapal. Kenaikan harga BBM pada awal tahun 1998 menjadi kendala utama hingga saat ini bagi nelayan pukat cincin. Konsumsi BBM
merupakan komponen utama dalam pos biaya operasional yang harus ditanggung. Sehingga akibat melambungnya harga BBM tidak jarang jatah perbekalan BBM untuk
melaut dikurangi hingga mencapai 30. Pengurangan jumlah BBM tersebut berdampak pada kemampuan kapal dalam mencapai dan memburu ikan tangkapan
yang semakin berkurang. Dalam artian kapal pukat cincin hanya mampu menangkap ikan di sekitar perairan yang pada kenyataannya merupakan kawasan padat tangkap.
Adanya kapal-kapal lain yang juga mengalami masalah serupa menimbulkan persaingan antar nelayan. Tentu saja jumlah tangkapan akan menurun sementara
jumlah ABK dan biaya operasional tetap sama bahkan cenderung bertambah. Seperti dalam uraian sebelumnya bahwa jumlah kapal pukat cincin yang
memiliki efisiensi 100 hanya 17 kapal dari total 78 kapal yang beroperasi di perairan Gorontalo. Hal ini bisa terjadi karena ketatnya persaingan bukan saja antar
kapal pukat cincin tapi juga dengan kapal-kapal lain yang menangkap ikan di perairan yang sama. Rekomendasi untuk mengurangi jumlah kapal pukat cincin harus benar-
benar dipertimbangkan mengingat pencabutan izin bagi kapal-kapal yang tidak efisien memang akan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan. Tetapi dilain pihak
ABK kapal yang tidak berkerja lagi akan menimbulkan kerawanan sosial dan menimbulkan permasalahan baru di masyarakat. Untuk itulah diperlukan kajian
komprehensif terkait kebijakan pembatasan armada penangkapan di perairan Gorontalo.
Kapal huhate yang beroperasi di perairan utara berjumlah 24 kapal dimana 10 kapal 42 diantaranya sudah efisien. Sisanya 7 kapal 29 memiliki tingkat
efisiensi diatas 0.90 dan 7 kapal 29 memiliki efisiensi dibawah 0.90. Akan tetapi secara rata-rata tingkat efisiensi kapal mencapai angka 92. Angka ini menunjukkan
bahwa kapal yang belum efisien memerlukan perbaikan yang tidak terlalu besar. Potensi perbaikan efisiensi kapal pancing dapat dilakukan dengan menambah lama
waktu penangkapan ikan mencapai 50.79, pengurangan ukuran kapal sebesar 24.45, pengurangan jumlah trpbulan 16.45 dan penambahan biaya operasional
8.31. Pengurangan jumlah tripbulan akan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya dan menurunkan biaya operasional. Akan tetapi pengurangan jumlah
tripbulan dapat digantikan dengan menambah waktu penangkapan dilaut. Dengan demikian adanya penambahan biaya operasional dapat digunakan untuk menjangkau
fishing ground yang lebih potensial sehingga mampu meningkatkan hasil tangkapan.
Kapal jaring insang yang berhasil didata di perairan utara sebanyak 26 unit. Dari jumlah tersebut hanya 3 kapal 12 yang memiliki persentase efisiensi 100 , 6
kapal 23 dengan nilai efisiensi berkisar 0.60-0.80 sedangkan sisanya 17 kapal 65 berada di bawah skor 0.60. Rendahnya efisiensi kapal-kapal jaring insang
menunjukkan bahwa input yang digunakan dalam hal ini ukuran GT kapal, jumlah tripbulan, lama penangkapan dan biaya operasional tidak efisien. Karena nilai
efisiensi yang rendah tersebut maka sebaiknya untuk armada perikanan jaring insang dilakukan kajian ulang sehubungan statusnya untuk tetap beroperasi atau dihapus total
di perairan utara. Data kapal pancing dan jaring insang di perairan selatan tidak memadai untuk dilakukan analisis. Walaupun demikian seperti telah dijelaskan
sebelumnya bahwa di perairan selatan pancing dan pukat cincin merupakan alat tangkap yang paling efesien sehingga kebijakan pengelolaan perikanan tangkap
sebaiknya dititikberatkan pada kedua alat tangkap tersebut. Berdasarkan hasil analisis tingkat pemanfaatan sumberdaya di kedua lokasi
penelitian pada bab sebelumnya diketahui bahwa produksi aktual dalam lima tahun terakhir telah melampaui nilai MSY baik pada perikanan pelagis kecil maupun pelagis
besar di kedua perairan. Dengan berpedoman pada nilai MSY dan produksi aktual dalam kurun waktu lima tahun terakhir, maka peningkatan produksi perikanan baik
perairan utara maupun perairan selatan tidak direkomendasikan karena sudah mengarah adanya fenomena gejala tangkap lebih. Namun demikian dengan produksi
aktual rata-rata ikan pelagis kecil sebesar 4 306.46 ton, masih terdapat peluang untuk meningkatkan produksi sebesar 1 271.41 ton di perairan utara hingga mencapai angka
produksi lestari yang mencapai 3 034.95 ton. Sementara itu produksi aktual rata-rata ikan pelagis besar mencapai 1 163.87 ton sedangkan potensi lestarinya hanya sebesar
853 ton. Kondisi ini dapat mengindikasikan adanya gejala tangkap lebih. Akan tetapi diperlukan kajian lebih lanjut dengan sumber data yang lebih baik untuk dapat
menentukan bahwa status sumberdaya ikan pelagis besar di perairan utara telah mengalami gejala tangkap lebih.
Perikanan pelagis kecil di perairan selatan diperkirakan memiliki potensi lestari MSY sebesar 5 119.14 ton dan upaya optimum sekitar 14 156 trip. Produksi aktual
rata-ratanya mencapai 7 225.28 ton sehingga tidak dimungkinkan lagi untuk meningkatkan efisiensi penangkapan dengan cara menambah jumlah output dalam hal
ini hasil tangkapan. Sementara itu pada perikanan pelagis besar karena produksi aktual rata-ratanya sebesar 1 105.61 ton dengan upaya optimum 6 167 trip. Dengan produksi
aktual rata-rata mencapai 1 583.21 ton, maka seperti halnya pada perikanan pelagis
kecil tidak direkomendasikan untuk menambah jumlah input yang digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi penangkapan. Oleh karena pemerintah daerah
melalui Dinas Perikanan dan Kelautan harus menetapkan kebijakan pengurangan jumlah kapalalat tangkap, pengaturan musim penangkapan atau penutupan daerah
penangkapan untuk sementara demi menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Pengelolaan perikanan pada umumnya dirancang untuk mengendalikan
frekwensi dan intensitas penangkapan. Dalam kaitan dengan konsep pengelolaan perikanan, terdapat model pengelolaan untuk merespon praktek open access yang
sering menyebabkan dan menimbulkan over fishing. Model tersebut pada dasarnya dikelompokkan kedalam dua pendekatan, yaitu pengendalian output output control
dan pengendalian input input control. Untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya perikanan jangka pendek dengan
sasaran untuk meminimasi dampak kapasitas berlebih dan efisiensi, maka alternatif strategi pengelolaan perikanan tangkap di Gorontalo harus menggunakan pendekatan
pengendalian faktor input. Hal ini dapat dipahami karena langkah pembatasan input yang tepat sangat penting dalam konteks perikanan yang bertanggung jawab.
Keuntungan penggunaan pendekatan ini jika dibandingkan dengan pengendalian output
diantaranya lebih mudah dan murah untuk dipantau dan dilaksanakan khususnya dalam perikanan multi spesies.
Walaupun masih terdapat peluang peningkatan produksi dan effort baik di perairan utara maupun perairan selatan, namun kenyataannya yang paling mungkin
untuk dilakukan adalah mereduksi jumlah effort dan pembatasan jumlah armada. Untuk dapat melaksanakan skenario tersebut maka diperlukan analisis lebih
mendalam yang melibatkan ahli dari berbagai disiplin ilmu. Di samping itu skenario lain yang dapat dilakukan adalah model penerapan pajak dan kuota penangkapan.
Instrumen pembatasan jumlah kapal termasuk dalam regulasi pengendalian input. Hal ini dilakukan dalam kerangka mengatur effort penangkapan. Menurut Charles 2001
dalam konteks pengelolaan perikanan, model tersebut dapat dilakukan melalui empat elemen yaitu: pembatasan jumlah kapal penangkap, pembatasan kapasitas per kapal,
pembatasan intensitas operasi dan pembatasan waktu penangkapan. Dengan mengacu pada hasil analisis DEA terlihat bahwa di perairan utara, armada pukat kantong, pukat
cincin, pancing dan jaring angkat masih dapat dipertahankan dengan catatan perlu evaluasi lebih mendalam terkait jumlah armada ideal yang dapat beroperasi dengan
tetap memperhatikan dimensi ekologisnya.
Di perairan Indonesia Fauzi dan Anna 2005 telah menerapkan skala mikro teknik DEA untuk menganalisis konsep kebijakan berbasis kapasitas. Dari penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kelebihan kapasitas memang terjadi di Indonesia dan dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup signifikan.
Selanjutnya dikatakan bahwa kapasitas perikanan perairan pesisir DKI Jakarta dalam kaitannya dengan pengukuran efisiensi perikanan menunjukkan adanya kelebihan
kapasitas perikanan tangkap seperti bubu, muroami dan pancing, sehingga perlunya intervensi pengurangan dan pembatasan input untuk alat tangkap tersebut di wilayah
pesisir Jakarta. Untuk pembatasan input dengan penerapan kebijakan pajak pada tingkat nelayan
mampu mengurangi efek over kapasitas dalam jangka pendek. Namun dalam penerapannya agak sulit dan membutuhkan penyesuaian adjustment tingkat pajak
untuk mempertahankan tingkat kapasitas sesuai dengan tujuan pengelolaan Metzner, 2005. Menurut Fauzi 2004, sulit sekali menentukan tingkat pajak terhadap input,
karena komponen input pada perikanan terdiri dari berbagai komponen tenaga kerja, mesin, gross tonnage, jumlah trip dam sebagainya. Jika pajak diterapkan pada salah
satu jenis input seperti gross tonnage misalnya, akan terjadi substitusi ke input yang tidak dikenakan pajak seperti dengan menambah ABK dan jumlah trip. Dengan
demikian, pajak semacam ini tidak akan berlaku efektif terhadap pengurangan kelebihan upaya penangkapan. Meski penerapan pajak untuk membatasi kelebihan
upaya terlihat sangat mudah secara teoritis dan dilaksanakan, namun dalam praktiknya penerapan tersebut perlu dicermati secara hati-hati.
Dari sisi pemerintah, pajak merupakan komponen penting sebagai penerimaan pemerintah. Namun, kebijakan fiskal tersebut akan menjadi instrumen yang distortif
jika tujuannya adalah kelestarian sumber daya. Hal ini dikarenakan pengaturan pajak akan menciptakan praktek IUU fishing. Menurut Atmaja 2006, kejadian tersebut
mengindikasikan bahwa kapasitas kapal belum sepenuhnya dapat terkontrol dengan baik. Praktek sistem pungutan atau pajak perikanan selama ini dihitung berdasarkan
produktivitas dan gross tonnage yang besarnya bervariasi tergantung alat tangkap yang dioperasikan. Sebagai contoh penerapan pajak pungutan hasil perikanan pada
perikanan pukat cincin di Indonesia sebesar 2.5 akan menyebabkan tambahan biaya operasi. Apabila pemerintah akan menaikkan besaran PHP maka akan menambah
biaya per upaya yang pada gilirannya mengurangi profit yang diperoleh dan secara jelas akan berpengaruh terhadap kesejahteraan buruh nelayan. Pemerintah menetapkan
pungutan dengan mengacu pada ukuran kapal GT sebagai dasar perhitungan. Dari
sisi pengusaha, hal ini dianggap memberatkan karena dimensi kapal tersebut tidak mencerminkan kemampuan kapal menampung hasil tangkapan yang biasanya
menggunakan volume palka. Dengan demikan terdapat kecenderungan pengecilan GT yang dilakukan pengusaha kapal untuk menghindari PHP sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan. Namun, penentuan pajak yang terlalu rendah akan menimbulkan undervaluation
terhadap sumberdaya ikan. Menurut Sularso 2005 salah satu faktor yang menentukan dalam penerapan
kebijakan baik model kuota, pembatasan jumlah kapal dan penerapan pajak adalah penegakan hukum dari pemerintah serta kesadaran pelaku stakeholder guna mentaati
regulasi tersebut. Di lain pihak, penegakan hukum memiliki implikasi biaya yang cukup mahal karena memperhitungkan aspek biaya pengawasan dan pemeliharaan
sumberdaya serta kemampuan membayar dari kapal yang beroperasi Fauzi, 2005.
4.4. Alokasi Optimum Armada Perikanan Tangkap di Perairan Gorontalo 4.4.1 Pola pengembangan perikanan tangkap di Gorontalo
Pengembangan merupakan suatu usaha perubahan dari sesuatu yang dinilai kurang kepada sesuatu yang dinilai lebih baik. Program pengembangan sektor
perikanan dan kelautan di Provinsi Gorontalo sejalan dengan rumusan strategi pembangunan nasional yang bertumpu pada tiga pilar strategi, yaitu : 1 pengentasan
kemiskinan pro poor, 2 penyerapan tenaga kerja pro job dan 3 pertumbuhan ekonomi pro growth. Sejalan dengan ini pengembangan usaha perikanan khususnya
perikanan tangkap di Provinsi Gorontalo diarahkan pada peningkatkan kesejahteraan nelayan, peningkatan ekonomi masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan
penerimaan asli daerah dari sektor perikanan dan kelautan. Pengembangan usaha perikanan tangkap secara umum dapat dilakukan melalui
peningkatan produktivitas usaha perikanan dan produksi perikanan. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di
bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Pola pengembangan perikanan tangkap ditentukan dengan
mengoptimalkan alokasi armada penangkapan ikan dan dampaknya terhadap berbagai sasaran melalui pendekatan linear goal grogramming dengan menggunakan program
LINDO linear interactive descrete optimizer. Pada analisis goal programming dikenal 3 macam persamaan yaitu persamaan
fungsi tujuan, fungsi kendala dan persamaan variabel keputusan. Persamaan fungsi tujuan ditandai oleh kehadiran variabel deviasional dari kendala-kendala tujuan yang
harus diminimumkan. Variabel deviasional pada analisis goal programming yang dimaksud adalah variabel deviasional untuk menampung penyimpangan hasil
penyelesaian diatas sasaran DA dan variabel deviasional untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian dibawah sasaran DB. Kehadiran variabel-variabel
deviasional didalam fungsi kendala tujuan akan mengubah makna kendala menjadi sarana untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang dikehendaki.
Untuk mengalokasikan jumlah teknologi pilihan yang optimum dalam penelitian ini digunakan pendekatan linear goal programing. Tujuan yang ingin hendak dicapai
dalam pengalokasian ini adalah mengoptimumkan upaya penangkapan, pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai dengan MEY pro poor, mengoptimalkan jumlah tenaga
kerja yang berprofesi sebagai nelayan pro job dan pemasukan PAD dari dari sektor perikanan pro growth.
Dalam alokasi pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Gorontalo dikaitkan dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dan kapasitas perikanan
tangkap sehingga sasaran-sasaran yang ingin dicapai disesuaikan dengan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Jenis unit penangkapan ikan yang digunakan
merupakan jenis alat tangkap yang terpilih efisien dari masing-masing alat tangkap berdasarkan jenis ikan dan dijadikan sebagai variabel keputusan sesuai dengan
pengembangan sumberdaya perikanan. Batasan dari jumlah sumberdaya ikan, upaya penangkapan dan nilai keuntungan merupakan nilai optimum dari rezim MEY . Untuk
mendapatkan pembatasan jumlah tenaga kerja sebagai nelayan dari masing-masing jenis ikan yaitu dengan cara membagi persentase dari total jenis ikan pelagis kecil atau
pelagis besar dengan jumlah setiap nelayan yang menangkap ikan. Untuk memudahkan dalam analisis maka masing-masing alat tangkap disimbolkan X1 =
Pukat pantai; X2 = pukat cincin; X3 = bagan alat tangkap ikan pelagis kecil; X1 = huhate, X2 = pukat cincin, X3 = pancing ulur alat tangkap ikan pelagis besar di
perairan utara dan X1= jaring lingkar, X2 = pukat cincin, X3 = bagan alat tangkap ikan pelagis kecil; X1 = Huhate, X2 = pukat cincin, X3 = pancing tonda alat
tangkap ikan pelagis besar di perairan selatan. Sebagai pertimbangan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang sudah
overfishing dan tingkat efisiensi armada penangkapan maka optimalisasi dan
perencanaan pengembangan perikanan tangkap ini bersifat tidak akan menambah jumlah aktual alat tangkap yang sudah ada melainkan akan mengatur keberadaan atau
bahkan akan membatasi jumlah alat tangkap yang sudah cukup memadai. Dengan
demikian kondisi variabel keputusan untuk masing-masing alat tangkap ikan pelagis kecil dan pelagis besar pada setiap perairan seperti pada Tabel 29.
Tabel 29. Variabel keputusan alat tangkap ikan pelagis kecil dan pelagis besar pada setiap perairan
Jenis sumberdaya berdasarkan alat tangkap
Perairan Utara Perairan Selatan
Ikan Pelagis Kecil X1
≤24, X2≤27, X3≤53 X1≤53, X2≤86, X3≤136 Ikan Pelagis besar
X1 ≤5, X2≤27, X3≤769 X1≤8, X2≤86, X3≤233
4.4.1.1 Perairan utara
Dalam pengembangan perikanan tangkap di perairan utara yang terdiri atas perikanan pelagis kecil dan pelagis besar, memiliki program target dengan urutan
prioritas yaitu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan, penyerapan tenaga kerja dalam hal ini ketersediaan jumlah nelayan dimaksimalkan, dan penerimaan
pendapatan asli daerah. Variabel keputusan untuk ikan pelagis kecil adalah jenis alat tangkap yang paling efisien yaitu adalah pukat pantai X
1
, pukat cincin X
2 ,
dan bagan X
3
. Untuk variabel keputusan ikan pelagis besar adalah Huhate X
1
, Pukat cincin X
2
dan Pancing Ulur X
3
. Sasaran yang ingin dicapai dalam mengoptimalkan alokasi armada teknologi
penangkapan pilihan di perairan utara adalah sebagai berikut: 1.
Mengoptimalkan upaya penangkapan Berdasarkan hasil pengumpulan data dan wawancara kepada nelayan bahwa
rata-rata setiap alat per bulan dalam melakukan penangkapan effort ikan pelagis kecil masing-masing adalah pukat pantai 26 trip, pukat cincin 25 trip, bagan 26 trip
dan ikan pelagis besar adalah huhate 15 trip, pukat cincin 25 trip dan pancing ulur 28 trip dan. Apabila upaya yang dilakukan dengan pembatasan disesuaikan dengan upaya
optimum dari rezim MEY di perairan utara untuk ikan pelagis kecil sebesar 4 848 trip dan ikan pelagis besar sebesar 1 675 trip maka model matematikanya berturut-turut
dapat di tulis sebagai berikut : 26X1+25X2+26X3-DA4= 4 848; 15X1+25X2+28X3-DA4= 1 675
Hasil analisis dengan program LINDO memperlihatkan bahwa target sasaran mengoptimalkan upaya penangkapan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan dapat
tercapai. Hal ini dapat dilihat dari nilai DA
4
sama dengan nol. Dengan demikian dari hasil analisis goal programming berhasil mengoptimalkan upaya penangkapan ikan
pelagis kecil dan pelagis besar di perairan utara. 2.
Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan wawancara dengan mengambil rata- rata total hasil tangkapan setiap jenis alat tangkap dikalikan dengan optimisme 80,
maka diperoleh rata-rata target dari 3 jenis alat tangkap yang beroperasi di perairan utara yang menangkap ikan pelagis kecil masing-masing pukat pantai 290 kg, pukat
cincin 600 kg dan bagan 350 kg dan ikan pelagis besar sebesar huhate 650 kg, pukat cincin 610 kg dan pancing ulur 40 kg. Dengan menggunakan perkiraan nilai optimum
pada rezim MEY ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar di perairan utara sebagai pembatas sebesar 2 720 030 kg dan 841 640 kg, maka model matematiknya berturut-
turut adalah : 290X1+600X2+350X3-DA5=2 720 030 ; 650X1+610X2+40X3-DA5=841 640
Hasil analisis dengan program LINDO memperlihatkan bahwa target sasaran mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan dapat tercapai. Hal ini dapat dilihat
dari nilai DA
5
, dimana nilainya sama dengan nol. Dengan demikian dari hasil analisis goal programming
pengalokasian armada penangkapan ikan berhasil mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan utara.
3. Mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja
Di harapkan dalam pengalokasian ini dapat menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin. Berdasarkan catatan statistik perikanan, jumlah nelayan di perairan utara
tercatat sebanyak 5252 orang. Dari jumlah tersebut diperkirakan 80 persennya merupakan nelayan penuh yang melakukan aktivitas penangkapan sepanjang tahun.
Selanjutnya dari hasil tersebut dikali dengan total persentase jumlah ikan pelagis kecil atau ikan pelagis besar sehingga mendapatkan jumlah nelayan masing-masing jenis
ikan sebesar 3070 orang untuk nelayan yang menangkap ikan pelagis kecil dan 1132 orang yang menangkap ikan pelagis besar. Hasil observasi dan wawancara
menunjukan bahwa setiap alat tangkap dapat menyerap tenaga kerja masing-masing pukat pantai sebanyak 9 orangunit, pukat cincin sebanyak 28 orangunit, bagan
sebanyak 2 orangunit dan huhate sebanyak 9 orangunit dan pancing ulur sebanyak 2 orangunit. Berdasarkan informasi ini, maka persamaan kendala tujuan goal
constrain untuk penyerapan tenaga kerja yang optimal masing-masing jenis ikan
berturut-turut dapat dituliskan sebagai berikut : 9X1+28X2+2X3-DA6= 3 070; 9X1+28X2+2X3-DA6= 1 132
Berdasarkan hasil olahan program LINDO menunjukkan bahwa target sasaran mengoptimalkan tingkat penyerapan tenaga nelayan dapat tercapai. Dengan demikian
pengalokasian armada penangkapan di perairan utara berhasil mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja nelayan.
4. Mengoptimalkan target penerimaan asli daerah PAD
Berdasarkan hasil wawancara harga rata-rata Rp 4 342kg untuk ikan pelagis kecil dan Rp 11 420kg untuk ikan pelagis besar, maka setiap unit dari jenis teknologi
penangkapan terpilih diestimasi sebagai berikut: pukat pantai dapat menyumbang sebesar Rp 720 000unit
,
pukat cincin dapat menyumbang sebesar Rp2 400 000unit, dan bagan dapat menyumbang sebesar Rp1 400 000unit untuk ikan pelagis kecil dan
huhate dapat menyumbang sebesar Rp610 000unit, pukat cincin dapat menyumbang sebesar 6 000 000 dan pancing ulur dapat menyumbang sebesar Rp 450 000unit.
Target penerimaan PAD sektor perikanan sesuai dengan PERDA perikanan sebesar 2.5 dari hasil keuntungan pada rezim MEY sebesar Rp.15 141 277.- untuk ikan
pelagis kecil dan Rp.19 062 027 untuk ikan pelagis besar. Berdasarkan nilai estimasi
dan target tersebut maka persamaan kendala tujuan goal constrain untuk memaksimumkan penerimaan asli daerah dari sektor perikanan tangkap berturut-turut
dapat dituliskan sebagai berikut : 720.000X1+2400.000X2+1400.000X3+DB7= 151412.7715
6100.000X1+6000.000X2+450.000X3+DB7= 190620.27 Berdasarkan hasil analisis LINDO, target mengoptimalkan pendapatan asli
daerah dapat tercapai. Hal ini dapat dilihat dari nilai DB nya =0. Dengan demikian pengalokasian armada penangkapan mampu mengoptimalkan pendapatan asli daerah
PADsesuai Perda Perikanan tahun 2004 di Gorontalo. Hasil perhitungan ini juga menunjukan bahwa pengalokasian jenis alat penangkapan ikan pelagis kecil di
perairan utara secara optimal adalah pukat pantai X
1
, pukat cincin X
2 ,
dan bagan
X
3
. Hasil alokasi optimum dari alat tangkap ikan pelagis kecil dan pelagis besar di perairan utara disajikan pada Tabel 30 dan 31.
Tabel 30. Alokasi optimum alat tangkap ikan pelagis kecil di perairan utara
No. Alat Tangkap
Jumlah Aktual Optimal
1. 2.
3. Pukat Pantai X
1
Pukat Cincin X
2
Bagan X
3
24 27
53 17
27 53
Tabel 31. Alokasi optimum alat tangkap ikan pelagis besar di perairan utara
No. Alat Tangkap
Jumlah Aktual Optimal
1. 2.
3. Huhate X
1
Pukat Cincin X
2
Pancing Ulur X
3
5 27
769 2
27 34
Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa jenis alat tangkap yang sesuai dengan alokasi optimum dari jenis ikan pelagis kecil yaitu alat tangkap pukat
cincin dan bagan tidak mengalami perubahan, sedangkan pukat pantai perlu dilakukan pengurangan sebesar 7 unit. Untuk ikan pelagis besar yaitu pukat cincin tidak
mengalami perubahan sedangkan untuk pengurangan perlu dilakukan pada alat tangkap huhate sebanyak 3 unit dan pancing ulur sebanyak 95.6 atau 735 unit.
4.4.1.2 Perairan selatan
Tujuan pengembangan perikanan tangkap di perairan selatan serupa dengan tujuan pengembangan perikanan tangkap di perairan utara yang terdiri atas perikanan
pelagis kecil dan pelagis besar. Program target dengan urutan prioritas yaitu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan, penyerapan tenaga kerja dalam hal
ini ketersediaan jumlah nelayan dimaksimalkan, dan penerimaan pendapatan asli daerah. Varabel keputusan untuk ikan pelagis kecil adalah jenis alat tangkap yang
paling efisien di perairan selatan yaitu adalah jaring lingkar X
1
, pukat cincin X
2
, dan bagan X
3
. Untuk variabel keputusan ikan pelagis besar adalah Huhate X
1
, Pukat cincin X
2
dan Pancing tonda X
3
. Sasaran yang ingin dicapai dalam mengoptimalkan alokasi armada teknologi
penangkapan pilihan di perairan selatan adalah sebagai berikut: 1.
Mengoptimalkan upaya penangkapan Berdasarkan hasil pengumpulan data dan wawancara kepada nelayan bahwa
rata-rata setiap alat per bulan dalam melakukan penangkapan effort ikan pelagis kecil masing-masing adalah jaring lingkar 24 trip, pukat cincin 26 trip, bagan 28 trip
dan ikan pelagis besar adalah huhate 15 trip, pukat cincin 26 trip dan pancing tonda 26 trip. Apabila upaya yang dilakukan dengan pembatasan disesuaikan dengan upaya
optimum dari rezim MEY di perairan selatan untuk ikan pelagis kecil sebesar 10 328 trip dan ikan pelagis besar sebesar 4 537 trip maka model matematikanya berturut-
turut dapat di tulis sebagai berikut : 24X1+26X2+28X3-DA4= 10 328; 15X1+26X2+26X3-DA4= 4 537
Hasil analisis dengan program LINDO memperlihatkan bahwa target sasaran mengoptimalkan upaya penangkapan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan dapat
tercapai. Hal ini dapat dilihat dari nilai DA
4
sama dengan nol. Dengan demikian dari hasil analisis goal programming berhasil mengoptimalkan upaya penangkapan ikan
pelagis kecil dan pelagis besar di perairan selatan. 2.
Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan Berdasarkan hasil pengumpulan data dan wawancara dengan mengambil rata-
rata total hasil tangkapan setiap jenis alat tangkap dikalikan dengan optimisme 80, maka diperoleh rata-rata target dari 3 jenis alat tangkap yang beroperasi di perairan
selatan yang menangkap ikan pelagis kecil masing-masing sejumlah jaring lingkar 150 kg, pukat cincin 650 kg, dan bagan 250 kg dan ikan pelagis besar sebesar huhate 700
kg, pukat cincin 300 kg, dan pancing tonda 50 kg. Dengan menggunakan perkiraan nilai optimum pada rezim MEY ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar di perairan
utara sebagai pembatas sebesar 4 819 280 kg dan 1 028 363 kg, maka model matematiknya berturut-turut adalah :
150X1+650X2+250X3-DA5=481 928; 700X1+300X2+50X3-DA5=1 028 363 Hasil analisis dengan program LINDO memperlihatkan bahwa target sasaran
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan dapat tercapai. Hal ini dapat dilihat dari nilai DA
5
, dimana nilainya sama dengan nol. Dengan demikian dari hasil analisis goal programming
pengalokasian armada penangkapan ikan berhasil mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan selatan.
3. Mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja
Di harapkan dalam pengalokasian ini dapat menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin. Berdasarkan catatan statistik perikanan, jumlah nelayan di perairan selatan
tercatat sebanyak 9 772 orang. Dari jumlah tersebut diperkirakan 80 persennya merupakan nelayan penuh yang melakukan aktivitas penangkapan sepanjang tahun.
Selanjutnya dari hasil tersebut dikali dengan total persentase jumlah ikan pelagis kecil atau ikan pelagis besar sehingga mendapatkan jumlah nelayan masing-masing jenis
ikan sebesar 7 138 orang untuk nelayan yang menangkap ikan pelagis kecil dan 909 orang yang menangkap ikan pelagis besar. Hasil observasi dan wawancara
menunjukkan bahwa setiap alat tangkap dapat menyerap tenaga kerja masing-masing jaring lingkar sebanyak 15 orangunit, pukat cincin sebanyak 28 orangunit, bagan
sebanyak 2 orangunit dan huhate sebanyak 10 orangunit, pukat cincin sebanyak 28 orangunit dan pancing tonda sebanyak 2 orangunit. Berdasarkan informasi ini, maka
persamaan kendala tujuan goal constrain untuk penyerapan tenaga kerja yang optimal masing-masing jenis ikan berturut-turut dapat dituliskan sebagai berikut :
15X1+28X2+2X3-DA6= 7 138; 10X1+28X2+2X3-DA6= 909 Berdasarkan hasil olahan program LINDO menunjukkan bahwa target sasaran
mengoptimalkan tingkat penyerapan tenaga nelayan dapat tercapai. Dengan demikian pengalokasian armada penangkapan di perairan utara berhasil mengoptimalkan
penyerapan tenaga kerja nelayan. 4.
Mengoptimalkan target penerimaan asli daerah PAD Berdasarkan hasil wawancara harga rata-rata Rp4 705kg untuk ikan pelagis
kecil dan Rp11 422kg untuk ikan pelagis besar, maka setiap unit dari jenis teknologi penangkapan terpilih diestimasi sebagai berikut: jaring lingkar dapat menyumbang
sebesar Rp390 000unit
,
pukat cincin dapat menyumbang sebesar Rp2 400 000unit, dan bagan dapat menyumbang sebesar Rp910 000unit untuk ikan pelagis kecil dan
huhate dapat menyumbang sebesar Rp 6 700 000unit, pukat cincin dapat menyumbang sebesar 2 400 000unit dan pancing tonda dapat menyumbang sebesar
Rp 400 000unit dan. Target penerimaan PAD sektor perikanan sesuai dengan PERDA perikanan sebesar 2.5 dari hasil keuntungan pada rezim MEY sebesar Rp34 410 424
untuk ikan pelagis kecil dan Rp15 584 895 untuk ikan pelagis besar. Berdasarkan nilai
estimasi dan target tersebut maka persamaan kendala tujuan goal constrain untuk memaksimumkan penerimaan asli daerah dari sektor perikanan tangkap berturut-turut
dapat dituliskan yaitu : 390.000X1+2400.000X2+910.000X3+DB7= 344104.2455
6700.000X1+2400.000X2+400.000X3+DB7= 155848.95 Berdasarkan hasil analisis LINDO, target mengoptimalkan pendapatan asli
daerah dapat tercapai. Hal ini dapat dilihat dari nilai DB
7
nya = 0. Dengan demikian pengalokasian armada penangkapan mampu mengoptimalkan pendapatan asli daerah
PADsesuai Perda Perikanan di Gorontalo Hasil perhitungan ini juga menunjukan bahwa pengalokasian jenis alat
penangkapan ikan pelagis kecil di perairan selatan secara optimal adalah pukat pantai X
1
, pukat cincin X
2 ,
dan bagan X
3
. Hasil alokasi optimum dari alat tangkap ikan pelagis kecil dan pelagis besar di perairan selatan disajikan pada Tabel 32 dan 33.
Tabel 32. Alokasi optimum alat tangkap ikan pelagis kecil di perairan selatan
No. Alat Tangkap