Kebijakan Operasional Pengelolaan Perikanan Tangkap

Gambar 9. Sistem bisnis perikanan tangkap Kesteven, 1973 dimodifikasi oleh Monintja, 2000.

2.5 Kebijakan Operasional Pengelolaan Perikanan Tangkap

Perairan Gorontalo baik wilayah selatan maupun utara adalah merupakan daerah potensial untuk pengembangan di Indonesia, dan diyakini memiliki permasalahan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan ini. Dalam hal pengelolaan perikanan khususnya di wilayah selatan telah ada perencanaan dalam sebuah kesatuan otorita Teluk Tomini namun sampai sekarang konsep pengelolaan tersebut disinyalir belum efektif dan maksimal. Tujuan dari pembentukan otorita pada intinya untuk memaksimalkan semua potensi yang tersedia di Teluk Tomini dan meminimalkan konflik yang akan terjadi antar nelayan. Disadari bahwa sejalan dengan waktu usaha perikanan di perairan ini telah berkembang dari tradisional menjadi semi industri, yang dicirikan dengan peningkatan kapasitas penangkapan yang meliputi ukuran dan kekuatan mesin kapal, perluasan daerah penangkapan, serta perubahan teknik penangkapan dari rumpon digantikan dengan penggunaan cahaya sebagai alat bantu pengumpul ikan. Hal ini disadari dengan adanya peningkatan kapasitas tersebut dapat menyebabkan terjadinya konflik nelayan. Konflik secara SARANA PRODUKSI Galangan Kapal Pabrik alat Pelatihan SDM UNIT PENANGKAPAN Alat tangkap Kapal Nelayan Aspek legal Sistem informasi UNIT SUMBER DAYA Spesies Habitat ruaya Musim Penangkapan, TAC, CE PRASARANA PELABUHAN UNIT PENGOLAHAN Handling Processing Packaging UNIT PEMASARAN Distribusi Segmen Pasar Penjualan P roduk d i ju all Hasil tangkap didaratkan Menangkap MASYARAKAT Pasar, Modal, Teknologi, Pembinaan,Konsumen Ekspor Transportasi Devisa Membangun Membuat Menyelenggarakan dijual membayar domestik diolah berkala akan muncul antara perikanan tradisional dengan perikanan semi industri dengan skala kecil dalam kompetisi perebutan stok ikan yang semakin terbatas. Oleh karena itu pemecahan yang menyeluruh meliputi aspek teknis-biologi dan sosial-ekonomi sehingga alternatif kebijakan pengelolaan perikanan yang ditawarkan diarahkan untuk menjamin kelangsungan usaha penangkapan dan kemungkinan pengembangan lebih lanjut. Kebijakan yang ditempuh sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip Kode Etik Perikanan Bertanggungjawab Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF FAO-1995. Dalam pasal 6 CCRF disebutkan bahwa negara-negara berkewajiban mencegah terjadinya overfishing dan kapasitas penangkapan yang berlebih serta mengimplementasikan peraturan sehingga tingkat upaya penangkapan seimbang dengan kapasitas produksi dari sumberdaya dalam rangka pemanfaatan secara lestari. Dalam konteks CCRF dan tujuan keberlanjutan perikanan secara menyeluruh, FAO juga menetapkan kapasitas usaha yang dapat diperkirakan baik berdasarkan faktor input maupun faktor output. Secara spesifik, FAO menguraikan lebih lanjut rekomendasi tersebut melalui International Plan of Action IPOA for the Management of Fishing Capacity atau suatu kerangka kerja “code of conduct” pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dengan fokus pada pengaturan kapasitas penangkapan dari alat tangkap itu sendiri. Sementara itu, ketentuan hukum nasional Indonesia seperti Undang-undang UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan terutama pasal 6 menjelaskan tujuan pengelolaan Perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia diantaranya untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Dalam rangka mendukung kebijakan tersebut, maka Menteri menetapkan rencana pengelolaan perikanan, potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan WPP; jumlah tangkapan yang diperbolehkan di WPP; jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan, dan lain-lain Pasal 7. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP 23MEN2001 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan, sebenarnya sudah menghadirkan dasar perhitungan kapasitas penangkapan ikan karena didalamnya terdapat data estimasi produktivitas kapal dikaitkan dengan ketentuan mengenai perijinan dan pungutan perikanan yang diatur oleh pemerintah pusat kapal-kapal berukuran 30 Gross Tonnage atau lebih. Tingkat produktivitas kapal penangkap ikan dan komposisi hasil tangkap menurut jenis alat penangkap yang dipergunakan dalam penghitungan Pungutan Hasil Perikanan PHP, yaitu : Dalam bidang perizinan, kewenangan pemerintah daerah untuk perijinan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 54 Tahun 2002, diberikan kepada provinsi untuk kapal 10-30 GT dan daya mesin 30-90 PK sedangkan bagi kabupatenkota diberikan otoritas untuk melayani ijin atas kapal ukuran 10 GT. Pengaturan dibidang perikanan terkait juga dengan wacana desentralisasi wewenang pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah juga memberikan kewenangan kepada daerah untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan pantai sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut teritorial dan perairan kepulauan. Selain itu telah dikeluarkan regulasi tentang pengaturan jalur penangkapan ikan melalui SK Menteri Pertanian Mentan RI No. 392KptsIK.120499 mengatur jalur- jalur penangkapan ikan dan melarang alat-alat penangkap ikan dan kapal perikanan dari jalur yang lebih tinggi memasuki jalur penangkapan yang lebih rendah dengan maksud untuk melindungi nelayan kecil dan tidak menimbulkan tekanan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Pemerintah juga mengeluarkan regulasi tentang pembatasan ukuran mata jaring sebagai upaya untuk menjamin terpeliharanya kelestarian stok dan mengembalikan kemampuan reproduksi jenis-jenis ikan tertentu. Ketentuan tersebut dapat dilihat dari SK Mentan No 123KptsUm31975 yang mengatur ukuran mata jaring pukat cincin dengan hasil tangkapannya berupa ikan kembung, layang, selar, lemuru dan ikan pelagis sejenisnya yaitu 60 mm dan melarang jenis pukat cincin yang menggunakan ukuran mata jaring lebih kecil dari 2 inci pada bagian sayap dan kurang dari 1 inci pada bagian kantong. Dengan memperhatikan perkembangan pengelolaan sumberdaya perikanan laut dan permasalahannya, maka kebijakan operasional yang ditempuh antara lain adalah: penerapan prinsip perikanan bertanggung jawab, yaitu pengalokasian sumberdaya ikan dilakukan hanya bila sumberdaya ikan belum dimanfaatkan penuh atau berlebih. Pengalokasian sumberdaya ikan didasarkan pada Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan JTB atau Total Allowable Catch TAC untuk masing-masing jenis sumberdaya ikan di masing-masing wilayah pengelolaan perikanan Keputusan Menteri Pertanian No 995 tahun 1999 tentang potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan di Wilayah Perikanan Indonesia. Kebijakan pemerintah yang menggunakan instrumen fiskal dilakukan dalam bentuk pengenaan pajak Pungutan Hasil Perikanan terhadap input. Regulasi ini tertera dalam Peraturan Pemerintah No 62 tahun 2002 tentang jenis penerimaan negara bukan pajak PNBP yang berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan. Dalam regulasi tersebut dinyatakan bahwa salah satu jenis PNBP adalah pungutan perikanan. Pungutan Hasil Perikanan PHP adalah pungutan Negara yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan Ikan SPI yang dimiliki. Besarnya Pungutan Hasil Perikanan bagi perusahaan perikanan yang memenuhi kriteria perusahaan perikanan skala kecil sebesar 1 satu per seratus dikalikan produktivitas kapal dikalikan Harga Patokan Ikan, sedangkan bagi perusahaan perikanan yang memenuhi kriteria perusahaan perikanan skala besar sebesar 2.5 dua setengah per seratus dikalikan produktivitas kapal dikalikan Harga Patokan Ikan. Kebijakan pengendalian dan penataan di wilayah perairan yang sumber dayanya sudah dianggap kritis sudah harus menjadi prioritas pemerintah. Untuk wilayah yang tidak memiliki peluang pengembangan perlu dilaksanakan tindakan pengelolaan yang rasional, antara lain melalui pembatasan upaya penangkapan. Kuota hasil tangkapan dan pembatasan upaya penangkapan dapat mengurangi “over exploitation”, tetapi regulasi pada armada penangkapan harus memperhitungkan kenyataan di lapangan. Selain itu, untuk mengatasi overfishing di sebagian wilayah pengelolaan perikanan serta keberadaan struktur armada penangkapan yang didominasi skala kecil maka program pengembangannya diarahkan untuk realokasi usaha nelayan dari daerah padat tangkap ke WPP yang masih mempunyai potensi peluang pengembangan usaha perikanan. Untuk dapat mengoperasionalkan pengelolaan sumberdaya perikanan telah dibentuk kelembagaan yang berbentuk forum koordinasi dalam upaya pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan melalui Keputusan Menteri Pertanian No 994 tahun 1999 tentang Forum Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Ikan. Adapun lembaga dimaksud adalah Forum Koordinasi Pengendalian Pemanfaatan Sumberdaya FKPPS yang menghasilkan kesepakatan bersama antar provinsikabupatenkota antara lain: meminimalkan terjadinya tindak pelanggaran dan konflik sosial di daerah penangkapan serta menyeimbangkan alokasi sumberdaya dan upaya pemanfaatannya. Apalagi sering terjadi multitafsir dalam mensikapi otonomisasi daerah sehingga memerlukan penyeragaman pemahaman dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dalam pelaksanaannya FKPPS ini tidak hanya diikuti oleh aparat pemerintah, namun juga melibatkan stakeholders.

2.6 Tinjauan Studi