Pembahasan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan

500 1000 1500 2000 2500 3000 P rod uk s i ton MEY MSY Open Access Aktual Gambar 34. Perbandingan produksi dalam kondisi MEY , MSY, open access dan aktual ikan pelagis besar di perairan selatan.

4.2.6 Pembahasan

Menurut penelitian Budiono dan Atmini 2002 menunjukkan bahwa status pemanfaatan Teluk Tomini dan Laut Seram untuk ikan pelagis kecil, ikan demersal, dan udang paneid masih dalam tingkat pemanfaatan kategori sedang; dan lobster dalam tingkat pemanfaatan kategori rendah. Sedangkan tingkat pemanfaatan perikanan di Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik yaitu untuk ikan pelagis kecil dalam kategori rendah; demersal, udang paneid, dan lobster sudah dalam kategori tingkat pemanfaatan penuh. Tahapan analisis untuk menentukan tingkat pemanfaatan perikanan tangkap di perairan pantai utara dan pantai selatan dilakukan melalui pendekatan bioekonomi Gordon Schaefer . Pendekatan ini berangkat dari model biologi yang lebih dikenal dengan model surplus produksi, dan kemudian oleh Gordon dilengkapi dengan muatan ekonomi. Oleh karena itu sehingga pendekatan ini dapat menjelaskan tentang manfaat ekonomi rente ekonomi yang merupakan selisih penerimaan dari pemanfaatan sumberdaya ikan dengan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan tersebut. Hasil analisis produksi lestari yang dihasilkan merupakan data runtun waktu dari tahun 1986 – 2005 tentang produksi ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar dan upaya effort. Hasil perhitungan di perairan utara menunjukan bahwa hubungan nilai CPUE terhadap upaya ikan pelagis kecil menghasilkan persamaan regresi y= 0.6266- 0.0000243 X, dengan R 2 sebesar 0.7049. Ini artinya hubungan yang terjadi memiliki nilai intersep sebesar 0.6266 dan sudut kemiringan slope sebesar -0.0000243, dengan tingkat hubungan peubah tak bebas dependent variable dan peubah bebas independent variable sebesar 70.49. Hubungan nilai terhadap upaya ikan pelagis besar menghasilkan persamaan regresi y=0.4999-0.0000431X, dengan R 2 sebesar 0.2869. Hal ini berarti hubungan yang terjadi antara tingkat hubungan peubah tak bebas dependent variable dan peubah bebas independent variable sebesar 28.69 dengan nilai intersep sebesar 0.4999 dan sudut kemringan sebesar 0.0000431. Untuk perhitungan di perairan selatan menunjukan bahwa hubungan nilai CPUE terhadap upaya ikan pelagis kecil menghasilkan persamaan regresi y= 0.5074- 0.00000008X, dengan R 2 sebesar 0.682. Ini artinya hubungan yang terjadi memiliki nilai intersep sebesar 0.5074 dan sudut kemiringan slope sebesar -0.00000008, dengan tingkat hubungan peubah tak bebas dependent variable dan peubah bebas independent variable sebesar 68.2. Hubungan nilai terhadap upaya ikan pelagis besar menghasilkan persamaan regresi y=0.2281-0.000007X, dengan R 2 sebesar 0.5225. Hal ini berarti hubungan yang terjadi antara tingkat hubungan peubah tak bebas dependent variable dan peubah bebas independent variable sebesar 52.25 dengan nilai intersep sebesar 0.2281 dan sudut kemiringan sebesar 0.000007. Perspektif biologi menitikberatkan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan tujuan memproduksi ikan semaksimal mungkin secara besar tanpa melihat aspek lainnya. Pendekatan yang hanya mementingkan pada nilai MSY dianggap kurang tepat dalam kontek pengelolaan perikanan berkelanjutan karena beberapa alasan. Pertama, MSY hanya memperhatikan aspek biologi saja dimana ada keinginan untuk lebih meningkatkan produksi. Bila produksi melebihi MSY maka stok ikan akan lebih cepat menurun, sementara itu produksi aktual sama dengan tingkat MSY merupakan kondisi yang relatif sulit dicapai karena merupakan suatu titik yang disable atau tidak stabil. Bila produksi aktual kurang dari tingkat MSY maka hal ini juga akan tergantung dari ukuran stok ikan. Kedua, produksi yang tinggi belum tentu menghasilkan pendapatan yang tinggi karena tergantung dari faktor harga ikan dan biaya input. Padahal pemanfaatan sumberdaya ikan bertujuan untuk dapat memberikan manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya dan berkelanjutan Fauzi 2004. Dalam perspektif bioekonomi pemanfatan sumberdaya ikan bertujuan untuk memaksimumkan manfaat ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Dengan kata lain, bagaimana manfaat ekonomi dan ekstraksi sumberdaya ikan tersebut dapat diperoleh secara berkelanjutan. Analisis bioekonomi merupakan pemecahan masalah biologi dari sudut pandang ekonomi, yaitu bagaimana memanfaatkan manfaat ekonomi dari pengelolaan sumberdaya perikanan dengan kendala aspek biologi. Manfaat ekonomi tersebut merupakan rente sumberdaya ikan, yaitu selisih antara nilai produksi dan biaya untuk memproduksinya sehingga solusi bioekonomi yang dapat dilakukan adalah kondisi MEY pada tingkat produksi lestari dan upaya optimal MEY . Produksi lestari MEY adalah tingkat produksi optimal yang tidak mengancam kelestarian sumberdaya perikanan atau dapat dikatakan pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan secara biologi dan ekonomi. Tingkat effort MEY adalah tingkat upaya penangkapan yang dianjurkan agar hasil rente yang diperoleh masih dapat memberikan manfaat maksimal secara ekonomi Fauzi, 2004. Perhitungan terhadap parameter biologi, teknis dan ekonomi menghasilkan angka bahwa tingkat pertumbuhan intrinsik r sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan utara sebesar 2.32777. Artinya sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan utara memiliki kemampuan untuk tumbuh secara alami sebesar 232.77. Kemampuan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan utara untuk melakukan proses rekruitmen membutuhkan dukungan dari lingkungan. Hasil perhitungan terhadap daya dukung lingkungan K terhadap proses pertumbuhan ikan menghasilkan nilai 5 215.20. Angka tersebut berarti bahwa perairan pantai utara mempunyai kemampuan daya dukung terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil sebesar 5 215.20 ton per tahun. Untuk perairan selatan, tingkat pertumbuhan sumberdaya ikan pelagis kecil intrinsiknya r sebesar 2.6079. Artinya dalam satu tahun, sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan selatan mampu tumbuh secara alami sebesar 260.79 . Dengan daya dukung lingkungan K perairan selatan sebanyak 7 974.51 ton per tahun, maka baik nilai r maupun K perairan selatan lebih besar bila dibandingkan dengan perairan utara. Perairan utara memiliki daya dukung lingkungan yang lebih kecil, namun kemampuan pemulihan rekruitment sumberdaya ikannya melebihi dari kecepatan pemulihan stok ikan di perairan selatan. Hal ini mungkin diduga karena di perairan selatan memiliki tingkat aktifitas perikanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di perairan utara sehingga pertumbuhan ikan di perairan selatan lebih tertekan jika dibandingkan dengan perairan utara. Untuk tingkat pertumbuhan intrinsik r sumberdaya ikan pelagis besar di perairan utara sebesar 0.71473. Artinya sumberdaya ikan pelagis besar di perairan utara memiliki kemampuan untuk tumbuh secara alami sebesar 71.47. Hasil perhitungan terhadap daya dukung lingkungan K terhadap proses pertumbuhan ikan menghasilkan nilai 4 773.82. Angka tersebut berarti bahwa perairan pantai utara mempunyai kemampuan daya dukung terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil sebesar 4 773.82 ton per tahun. Untuk perairan selatan, tingkat pertumbuhan sumberdaya ikan pelagis besar intrinsiknya r sebesar 1.2796. Artinya dalam satu tahun, sumberdaya ikan pelagis besar di perairan selatan mampu tumbuh secara alami sebesar 127.9. Dengan daya dukung lingkungan K perairan selatan sebanyak 3 456.04 ton per tahun, maka baik nilai r maupun K perairan selatan lebih besar bila dibandingkan dengan perairan utara. Hasil analisis bioekonomi ikan pelagis kecil untuk perairan utara menghasilkan biomas sebesar 3 447.06 ton dengan tingkat produksi 2 720.03 ton untuk rezim MEY . Nilai biomas dan tingkat produksi tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan rezim MSY. Biomas pada rezim MSY sebesar 2 607.07 dengan tingkat produksi maksimum lestari 3 034.95 ton. Hal ini sesuai dengan teori dimana tingkat produksi ekonomi optimum akan tercapai sebelum produksi maksimum lestari dicapai. Begitu pula dengan hasil analisis untuk ikan pelagis kecil di perairan selatan, dimana biomass yang diperoleh sebesar 3 447.06 ton untuk rezim MEY dengan tingkat produksi 4819.28 ton. Rezim pengelolaan MSY mempunyai tingkat produksi 5 199.14 ton dengan nilai biomass sebesar 3 987.25 ton. Untuk sumberdaya ikan pelagis besar di perairan utara menghasilkan biomas sebesar 2662.33 dengan nilai produksi 841.64 ton pada rezim MEY . Biomas pada rezim MSY sebesar 2386.91 ton dengan nilai produksi 853 ton. Hal yang sama juga terlihat pada hasil analisis ikan pelagis besar pada perairan selatan yang menunjukan nilai biomas sebesar 2 184.68 ton dengan nilai produksi 1 028.36 ton pada rezim MEY . Untuk nilai biomas dan produksi pada rezim MSY masing-masing yaitu 1 728.02 ton dan 1 105.61 ton. Dengan melihat kenyataan tersebut maka dapat dipastikan bahwa pengeloaan perikanan akan lebih menguntungkan bila dilakukan dengan menggunakan rezim pengelolaan MEY . Selain untuk menjaga kelestarian sumber daya, pengelolaan perikanan dengan rezim ini diharapkan mampu mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan akibat effort yang terlalu berlebihan. Untuk masing-masing jenis sumberdaya ikan baik di perairan utara dan selatan rezim pengelolaan MEY rente ekonomi yang diperoleh lebih besar dari rezim MSY. Nilai rente ekonomi ikan pelagis kecil untuk perairan utara pada rezim MEY mencapai Rp6 056 510.86.- sedangkan pada rezim MSY hanya sebesar Rp 4 688 693.732. Untuk rente ekonomi ikan pelagis besar sebesar Rp7 624 810. pada rezim MEY dan Rp7 495 002 pada rezim MSY. Nilai rente ekonomi perairan selatan justru lebih besar, bahkan mencapai satu kali lipat dari rente ekonomi di perairan utara. Pada rezim pengelolaan MSY rente ekonominya ikan pelagis kecil sebesar Rp11 874 300.65, sedangkan pada rezim pengelolaan MEY rente ekonomi yang diperoleh sebesar Rp13 764 164.73. Untuk nilai rente ekonomi ikan pelagis besar sebesar Rp5 367 822 pada rezim MSY dan Rp6 233 958 pada rezim MEY . Dengan produksi yang lebih rendah dari produksi maksimum lestari, pengelolaan dengan rezim MEY mampu menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Keuntungan inilah yang menjadi keunggulan tersendiri yang membedakan antara masing-masing rezim pengelolaan. Pengelolaan perikanan di Indonesia sebagian besar bersifat akses terbuka open access . Pada rezim pengelolaan akses terbuka pertambahan upaya sulit dikendalikan sehingga penambahan upaya tersebut hanya akan berhenti ketika mencapai suatu titik keseimbangan. Titik keseimbangan yang dikenal dengan open access equilibrium merupakan suatu titik dimana jumlah penerimaan dari usaha eksploitasi sumberdaya ikan sama dengan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Dengan demikian rente ekonomi pada rezim ini akan sama dengan nol. Pada rezim pengelolaan akses terbuka, tingkat produksi, biomas dan effort untuk ikan pelagis kecil di perairan utara berturut-turut 2 650.83 ton, 1 679.92 ton dan 9 696 trip. Adapun untuk tingkat produksi, biomas dan effort ikan pelagis besar berturut- turut 348.27 ton, 550.84 ton dan 3 351 trip. Untuk perairan selatan tingkat produksinya sebesar 4 101.88 ton dengan jumlah biomass 2 155.52 ton dan jumlah upaya 20 657 trip dari ikan pelagis kecil. Untuk ikan pelagis besar produksi, biomas dan effort berturut-turut yaitu 859.960 ton, 913.496 ton dan 9 074 trip. Nilai- nilai tersebut jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan tingkat produksi, biomas dan effort pada rezim pengelolaan lainnya. Jumlah trip yang sangat besar dan tidak sebanding dengan produksi yang dihasilkan menunjukkan bahwa pada rezim pengelolaan akses terbuka ini akan sangat merugikan bagi nelayan dan pemerintah. Penambahan upaya yang dilakukan justru akan menambah tekanan terhadap sumberdaya ikan sehingga akan mempengaruhi proses rekruitment. Terganggunya proses pemulihan stok juga akan berdampak terhadap hasil tangkapan nelayan. Bukan hanya dalam hal jumlah hasil tangkapan, ukurannya juga akan menjadi lebih kecil dengan daerah penangkapan yang semakin jauh. Dalam model ini dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan dengan rezim akses terbuka akan menimbulkan inefisiensi ekonomi. Hal ini disebabkan hilangnya potensi rente ekonomi sumberdaya yang ada dan pengalokasian investasi yang berlebihan capital waste karena upaya yang berlebihan. Seharusnya, kelebihan upaya tersebut dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif lainnya yang mampu memberikan nilai tambah secara ekonomi. Untuk mencegah terjadinya inefisiensi tersebut, maka dapat dilakukan penerapan instrumen ekonomi seperti pembatasan jumlah upaya, kuota dan penetapan pajak pada input dan output. Adanya pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Gorontalo secara terus yang melampaui tingkat produksi lestari terutama dalam kurun waktu 5 tahun terakhir mengakibatkan tekanan yang sangat tinggi terhadap proses pemulihan stok. Akibatnya kemampuan pertumbuhan ikan tidak sebanding dengan kematian ikan akibat penangkapan. Keseimbangan stok yang semakin kecil berdampak pada kualitas dan kuantitas hasil tangkapan nelayan. Clark 1987 mengemukakan bahwa sebagian besar stok populasi ikan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun karena produksi surplus dari suatu stok ikan ditentukan oleh indeks laju kematian alami, pertumbuhan dan rekruitmen. Apabila terjadi suatu gangguan pada salah satu parameter tersebut, maka stok ikan akan mengalami penurunan atau kenaikan yang disebut boom and bust. Lebih lanjut juga dikemukakan bahwa gejala fluktuasi stok ikan tahunan berkaitan dengan keberhasilan dan kegagalan pemijahan, perkembangan dan pertumbuhan telur maupun jevenil sehingga berpengaruh terhadap peningkatan maupun penurunan generasi. Dengan melakukan evaluasi dari hasil perhitungan dengan metode bioekonomi pada tiga rezim pengelolaan perikanan, maka rezim pengelolaan yang paling efektif adalah MEY. Dalam rezim MEY rente ekonomi yang dapat dicapai dapat dioptimalkan dengan jumlah upaya yang lebih rendah dari kedua rezim lainnya. Rente ekonomi yang tinggi akan berimplikasi pada kesejahteraan para pelaku usaha perikanan di Gorontalo. Selain itu, pengelolaan dengan rezim ini mampu menjamin kelestarian sumberdaya karena jumlah produksi ekonomi maksimumnya akan lebih kecil dari jumlah tangkapan maksimum lestari.

4.3. Analisis Kapasitas Perikanan Tangkap