Model Interaksi Spasial Pola Hubungan Wilayah Inter Regional

Untuk melakukan pendugaan nilai interaksi spasial di Kapet Bima digunakan model grafitasi. Dengan menggunakan data pergerakan orang dan barang melalui jalur transportasi laut antara Kapet Bima dan berbagai daerah di Indonesia maka hasil pendugaan parameter model interaksi spasialnya adalah seperti yang terlihat pada tabel 73. Berdasarkan model grafitasi melalui jalur transportasi laut terlihat bahwa dinamika interaksi spasial inter regional yang tergambar dari nilai arus penumpang dari Kapet Bima secara sigifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi wilayah daerah tujuan b = 0.82, dimana setiap kenaikan 1 PDRB daerah tujuan akan dapat meningkatkan arus penumpang dari Kapet Bima sebesar 0.82 dan menurun sebesar 2.68 seiring dengan penambahan jarak antar wilayah sebesar 1 . Hasil estimasi model I2 menunjukkan bahwa koefisien determinasi R 2 = 0.36, artinya bahwa arus penumpang melalui transportasi laut dari Kapet Bima ke berbagai daerah di Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel- variabel dalam model sebesar 36 , sedangkan sisanya sekitar 64 dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Arus penupang dari Kapet Bima yang dominan adalah menuju Makasar- Sulawesi Selatan yakni mencapai 8,669 orang pada tahun 2003, pada tahun 2004 sebanyak 7,918 orang, pada tahun 2005 sebesar 6,798 orang dan pada tahun 2006 mencapai 7,575 orang. Arus penumpang ini melakukan perjalanan untuk tujuan bisnisperdagangan, melanjutkan pendidikan dan karena kegiatan kunjungan keluargakerabat. Tingginya dinamika dunia pendidikan di Makasar dengan banyaknya alternatif bidang ilmu yang ditawarkan disamping biaya hidup yang cukup murah telah menjadi daya tarik tersendiri bagi pelajar dari Kapet Bima. Begitu pula dengan perkembangan ekonomi dan infrastruktur Kota Makasar, hal tersebut menjadi tarikan besar bagi arus migrasi dari Kapet Bima untuk mencari pekerjaan dan melakukan kegitan perdagangan. Arus barang dari Kapet Bima secara signifikan ditentukan oleh jumlah penduduk b = -0.50, dengan nilai R 2 = 0.41 dan PDRB wilayah tujuan b = -0.31, dengan nilai R 2 = 0.39, artinya setiap kenaikan jumlah penduduk dan PDRB daerah tujuan sebesar 1 akan menurunkan arus barang dari Kapet Bima masing-masing sebesar 0,50 dan 0.31 . Arus barang yang paling besar dari Kapet Bima adalah menuju ke berbagai daerah di Propinsi Nusa Tenggara Timur, selain itu juga menuju Makasar, Surabaya, Banjarmasin dan Balikpapan. Pada tahun 2006 saja arus barang menuju ke berbagai Propinsi Nusa Tenggara Timur yakni lebih dari 14,500 ton. Arus penumpang dari berbagai daerah menuju Kapet Bima ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi wilayah asal b = 0.64 dan jarak antar wilayah c = -2.31 , dengan nilai R 2 = 0.29, dimana setiap peningkatan nilai PDRB 1 akan meningkatkan arus penumpang sebesar 0.64 dan tambahan jarak antar wilayah sebesar 1 maka arus penumpang yang menuju Kapet Bima akan turun sebesar 2.31 . Sedangkan arus barang yang menuju Kapet Bima secara siginifikan ditentukan oleh jumlah penduduk Kapet Bima dan daerah asal serta jarak antar wilayah R 2 = 0.76, dimana setiap kenaikan 1 jumlah penduduk Kapet Bima dan jarak wilayah, maka secara signifikan menaikkan arus barang menuju Kapet Bima masing-masing sebesar 39.98 dan 93.74 , namun setiap kenaikan 1 jumlah penduduk daerah asal, arus barang menuju Kapet Bima menurun sebesar 66.15 . Komoditi Kapet Bima yang dikirim keluar daerah pada umumnya berupa hasil alam komoditi pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan garam sedangkan komoditi yang masuk ke Kapet Bima meliputi produk hasil industri seperti minyak goreng, tepung terigu, pakan ternak, kayu lapis, semen dan bahan bangunan lainnya, komiditi tersebut dominan berasal dari Surabaya dan Makasar. Dari model gravitasi di atas terlihat bahwa dinamika interaksi spasial inter regional di Kapet Bima adalah merupakan refleksi dari pertumbuhan penduduk dan perubahan PDRB dari tiap wilayah. Implikasinya adalah searah dengan pertumbuhan penduduk, maka perlu dibangun berbagai infrastruktur pelayanan umum serta yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah di Kapet Bima sesuai dengan keunggulan wilayah. Pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi oleh pertumbuhan pembangunan infrastruktur yang memadai akan mengakibatkan rendahnya kemampuan pelayanan sosial dan serapan tenaga kerja dalam wilayah yang dapat mendorong penduduk untuk melakukan migrasi ke daerah lain, baik dengan tujuan melanjutkan pendidikan maupun untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang layak, sehingga pada akhirnya sumber daya manusia khususnya yang memiliki tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang baik akan semakin berkurang. Pembangunan infrastruktur yang sesuai dengan karakter sumber daya lokal akan dapat menggerakkan ekonomi sektor riil. Rendahnya produktivitas ekonomi lokal karena tidak ditunjang oleh infrastruktur usaha yang memadai khususnya bagi kegiatan industri pengolahan sektor-sektor unggulan, sementara disisi lain keterbatasan infrastruktur transportasi dan komunikasi akan meningkatkan biaya transportasi dan transaksi yang dapat menurunkan daya kompetitif suatu komoditi wilayah.

5.4.4. Interaksi Spasial Dalam Tinjauan Sejarah

Penduduk daerah-daerah di wilayah Kapet Bima Bima dan Dompu merupakan pembauran antara induk ras Bangsa Melayu Purba dan Melayu Baru, sehingga antara keduanya tidak terdapat perbedaan yang tajam. Mereka hidup terpencarnomad di pesisir pantai, di pegunungan dan dataran tinggi. Mata pencaharian mereka bercocok tanam dengan berhuma. Mereka sudah mengenal alat-alat yang terbuat dari logam seperti tombak, sumpit, pisau dan parang. pakaian dengan warna dasar putih, merah, dan biru melengkapi kehidupan mereka Tajib, 1995. Melalui proses yang lama akhirnya mereka membentuk kelompok berdasarkan keturunan pertalian darah yang menghuni suatu daerah tertentu. Kelompok seperti itu disebut masyarakat paguyuban yang dipimpin oleh seorang Ncuhi kepala suku. Selanjutnya melalui musyawarah mufakat mereka membentuk semacam federasi antara Kerajaan Ncuhi 5 Kerajaan Ncuhi : Ncuhi Dara, Dorowoni, Banggapupa, Padolo dan Parewa yakni Dewan Pemerintahan Federasi dibentuk dengan nama ”DARI NCUHI” kemudian disebut ”DARI MBOJO” Perkawinan Sang Bima Tokoh yang datang dari Jawa dengan puteri setempat melambangkan persatuan antara pendatang dengan penduduk setempat dengan penuh perdamaian. Selanjutnya melalui perkawinan dan pertimbangan lain, Dari Mbojo sepakat untuk mengangkat Sang Bima sebagai raja mereka. Sejak kejadian itu, Federasi Ncuhi berubah statusnya menjadi kerajaan dan Sang Bima selaku raja pertama de jure, namun ia tidak pernah memerintah secara langsung. Pelaksanaan pemerintahan sehari-hari de facto tetap dilakukan oleh Dari Mbojo pimpinan Ncuhi Dara. Selanjutnya Sang Bima kembali ke Jawa bersama anak istrinya. Selanjutnya pada tahun 823 H = 1420 M anak keturunan Sang Bima yakni Indra Zamrut dan Indra Komala datang dari Jawa ke Bima untuk melanjutkan kepemimpinan atas Kerajaan Bima Tajib 1995. Kehidupan masyarakat Mbojo Bima dengan bercocok tanam sistem berkebun dan berhuma serta beternak merupakan kebiasaan sejak periode zaman Ncuhi tetap menjadi kegiatan pokok sampai pada masa pemerintahan raja ke-12, Raja Ma Waa Paja Longge. Dimungkinkan oleh lahan pertanian luas dengan penduduk sedikit, menyebabkan penduduk tidak terdorong untuk meningkatkan ketrampilan bercocok tanam dan beternak. Keadaan yang statis berdampak pula dalam struktur dan sistem pemerintahan. Hanya sedikit sekali pengaruh luar berperan dalam tata kehidupan masyarakat atau pola pikirnya. Kesemuanya itu dapat diduga bahwa kerajaan tidak mengalami perkembangan dan kemajuan. Perdagangan sebagai salah satu pintu kemajuan belum tumbuh apalagi berkembang. Tingkat kehidupan masyarakat berada pada tingkat yang amat sederhana. Titik Balik terjadi dalam abad XIV. Diawali dengan kebijaksanaan Raja Ma Waa Paju Longge. Raja melepaskan diri dari hidup isolasi dan berorientasi ke utara yakni ke Gowa. Hubungan Bima dan Gowa bukan hal baru atau kebetulan. Raja Bima dan Raja Gowa menurut silsilah adalah berasal dari moyang yang sama yaitu Maharaja Indra Palasar. Maharaja mempunyai 2 orang putera, masing- masing Indra Ratu menjadi cikal bakal raja-raja LuwuSarwigading dan Maharaja Tunggak Pandita menjadi cikal bakal raja-raja Bima. Jadi orientasi Raja Ma Waa Paju Longge pada dasarnya menghubungkan kembali mata rantai keluarga yang telah putus sekian lama. Kitab BO 1119 H-1709 H melukiskan : ” Ketika kakaknya Raja Ma Waa Paju Longge menjadi raja maka Ma Waa Bilama dan Manggapo Donggo disuruh berguru di Kerajaan Manurung. Oleh Raja Manurung kedua anak raja ini diantar kepada orang sakti di Gunung Lampobatang, di tempat tersebut mereka belajar