1.2 Pokok Permasalahan
Ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini yaitu: 1.
Mengetahui makna dan struktur teks yang terkandung dalam andung tersebut. 2.
Bagaimana cara penyajian andung dalam pesta adat kematian masyarakat toba di desa sigumpar kecamatan lintong nihuta kabupaten humbanghasundutan.
3. Mengetahui fungsi andung bagi masyarakat toba dari nyanyian tersebut.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui dan membuat suatu deskripsi tentang makna struktur teks yang terdapat dalam andung
2. Untuk mengetahui dan membuat suatu deskripsi tentang penyajian andung dalam
pesta adat kematian masyarakat toba di desa sigumpar kecamatan lintong nihuta kabupaten humbanghasundutan.
3. Untuk mengetahui fungsi andung tersebut pada masyarakat toba di desa sigumpar
kecamatan lintong nihuta.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah: 1.
Untuk memahami makna budaya batak toba dari aspek andung terutama dalam kematian.
2. Sarana untuk memperluas tentang andung terhadap kesenian batak toba.
3. Sebagai perbendaharaan dokumentasi musik tradisional toba yang kemudian dapat
sebagai bahan perbandingan bagi yang memerlukannya atau untuk bahan penelitian selanjutnya.
1.4 Konsep dan Teori yang Dipergunakan
1.4.1 Konsep
Untuk memberikan pemahaman yang sama dalam tulisan ini perlu diuraikan kerangka konsep yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam penulisan yaitu: Andung merupakan
nyanyian ratapan atau musik vokal yang ada pada masyarakat toba yang disajikan pada konteks kematian dimana syair atau teksnya biasanya berisi uraian situasi yang pernah
dilakukan oleh orang yang meninggal tersebut sewaktu hidup. Nyanyian merupakan bagian dari musik. Secara umum musik terbagi atas tiga bagian
yaitu: Musik vokal, musik instrunmental dan gabungan antara instrumental dan vokal. Musik vokal adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut, bibir, lidah dan
kerongkongan yang memiliki irama, nada atau ritem, dinamik, melodi dan mempunyai pola- pola serta aturan untuk bunyi tersebut. Musik vokal dapat juga disebut sebagai nyanyian. Hal
ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Poerwadarminta 1985:680, bahwa nyanyian adalah sesuatu yang berhubungan dengan suarabunyi yang berirama yang merupakan
alatmedia untuk menyampaikan maksud seseorang atau tanpa iringan musik. Berdasarkan uraian diatas maka nyanyian andung dapat disebut juga sebagai musik vokal karena
menghasilkan bunyi yang memiliki irama, nada, dinamik dan pola-pola melodi. Analisis dapat diartikan menguraikan suatu hal atau ide kedalam setiap bagian-bagian
sehingga dapat diketahui bagaimana sifat, perbandingan, fungsi maupun hubungan dari bagian-bagian tersebut. Analisis yang penulis maksud disini adalah menguraikan struktur teks
serta makna yang terkandung dalam teks tersebut. Adapun yang dimaksud tekstual adalah segala aspek-aspek yang berhubungan dengan teks. Jadi makna tekstual adalah pengertian
yang lebih mendalam tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan teks Sumarjono 1990:42. Dalam hal ini makna teks yang dimaksud adalah suatu pengertian yang lebih
mendalam tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan teks andung dalam masyarakat toba.
Makna adalah suatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi suatu kata atau teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian yaitu makna konotatif dan makna denotatif.
Makna konotatif adalah makna kata yang mengandung arti tambahan atau disebut makna sebenarnya Keraf 1991:25
Teknik adalah sesuatu yang berhubungan dengan cara-cara Ali 1990:180. Sedangkan penyajian adalah menyangkut proses penyampaian, memberikan dan
mempertunjukkan Ibid : 163. Jadi teknik penyajian yang dimaksud dalam tulisan ini adalah merupakan cara-cara yang digunakan sebagai proses penyampaian atau mempertunjukkan
dalam hal ini andung. Pengertian adat menurut Koentjaraningrat adalah kompleksitas norma-norma umum
yang berda diatas individu yang sifatnya mantap dan kontinu dan yang mempunyai sifat memaksa atau sanksi 1986:199
Kematian menyangkut arti yang sangat luas yaitu akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara
permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan.
1.4.2 Teori
Sebagai landasan dalam membahas permasalahan penelitian ini penulis menguraikan teori yang relevan dengan Etnomusikologi:
Menurut Merriam 1964:87 salah satu sumber atau bahan yang paling jelas mengenai perilaku manusia dalam hubungannya dengan musik adalah teks. Dalam hal ini andung
merupakan bahan yang dapat menjelaskan perilaku manusia dalam hubungannya dengan musik. Untuk dapat memahami arti yang lebih mendalam dari aspek-aspek teks dari nyanyian
andung maka perlu dilakukan suatu kajian tekstual. Menurut Echols dan Shadily 1986:380 kajian tekstual adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan yang dilakukan dengan memakai
metode ilmiah atau mengkaji isi karangan atau isi teks sebuah nyanyian. Untuk menganalisis teks nyanyian penggunaan dan fungsi musik, penulis mengacu
kepada tulisan Merriam 1964:187 menyebutkan satu yang paling penting untuk mengerti tata tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan musik adalah melalui teks nyanyian.
Teks tentu saja adalah bahasa tingkah laku yang lebih dari bunnyi musik, mereka merupakan suatu kesatuan yang integral dari musik. Lebih lanjut Merriam 1964:233 mengatakan bahwa
penggunaan dan fungsi musik merupakan hal yang penting dibahas, karena hal ini menyangkut makna musik, menyangkut aspek timbal balik antara objek dan subjek serta
bagaimana efek musik terhadap manusia pemiliknya dan kelanjutannya perlu ditambah pula bahwa etnomusikologi adalah studi musik dalam kebudayaan, suara musik adalah hasil
proses tingkah laku dan kepercayaan orang yang mempunyai musik tersebut. Musik adalah produk manusia yang mempunyai eksistensi keadaan hidup dan tingkah laku yang
menghasilkannya terjemahan Marc Pellman.1992:3 Tekstual merupakan hal yang paling penting dalam tulisan ini, dimana tekstual yang
dipakai dalam penyajian andung adalah kata-kata sehari-hari dan kata-kata yang berbentuk
kiasan metafora. Kemudian untuk membahas masalah metafora penulis mengacu kepada apa yang dikatakan Field 1974:197 ada dua masalah yang mendasar sekali yang tersirat
yaitu: 1 Bahasa dalam musik, meliputi hubungan tekstual, sifat puitis, gaya bahasa didalam struktur nyanyian, dan 2 Musik didalam bahasa, meliputi eksistensi sifat properties
keunikan dari bahasa. Hal ini tentu untuk melihat eksisistensi akan adanya konsep didalam pemikiran masyarakat pendukung suatu kebudayaan yang mempertimbangkan kata-kata
musikal teks yang ada dalam tradisi musik mereka yang tentu berhubungan dengan teori masyarakat ethno-theory yang empunnya kebudayaan tersebut.
Dalam mendeskripsikan andung, sesuai yang dikemukakan Netll 1963:98 ada dua pendekatan didalam mendeskripsikan musik yaitu: 1 kita dapat menganalisis dan
mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, dan 2 kita dapat menganalisis musik tersebut diatas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat. Selanjutnya menurut Carles
Seeger mengemukakan seperti yang ditulis Netll 1964:100 mengemukakan dua tujuan pendeskripsian musikal yaitu preskriptif dan deskriptif dapat disebut sebagai notasi yang
tidak lebih dari untuk membantu mengingat pemain terhadap musikal pada saat melakukan pertunjukan. Sedang deskriptif adalah notasi yang menuliskan semua karakter musikal secara
rinci dari suatu komposisi musik yang pembaca tidak mengetahui sebelumnya. Berkenan dengan kebutuhan transkripsi dalam penulisan ini maka notasi dipakai
adalah dengan pendekatan deskriptif karena notasi deskriptif ini dapat juga diartikan sebagai notasi yang digunakan untuk menuliskan semua bunyi musik yang telah disajikan dari apa
yang didengar. Dalam membahas andung ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan seperti aspek psikologis, tekstual serta dalam konteks kebudayaan seperti fungsi dan
penggunaannya maka teori yang dipergunakan disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan. Berkaitan dengan musikologis, Malm 1977:8 mengatakan bahwa ada beberapa
karakteristik yang harus diperhatikan ketika mendeskripsikan melodi, yaitu: 1 Scale tangga
nada, 2 Nada dasar, 3 Range wilayah nada, 4 Frequency of notes jumlah nada-nada, 5 Prevalent intervals interval yang dipakai, 6 Cadence patterns pola-pola kadensa, 7
Melodic formulas formula-formula melodi, 8 Contour kontur Berkaitan dengan tekstual andung, Curt Sacs 1962:66 menulis tentang logogenik
dan melogenik. Logogenik adalah nyanyian yang mengutamakan teks daripada melodinya, karena melodinya merupakan perulangan-perulangan saja. Sedangkan melogenik adalah
sebaliknya dimana yang diutamakan adalah melodinya karena teks merupakan perulangan saja. Berdasarkan teori ini kita dapat melihat apakah andung lebih mengutamakan teks
daripada melodi atau sebaliknya.
1.5 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif. Penelitian deskriptif
adalah bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala
ke gejala lain dalam suatu masyarakat Koentjaraningrat 1990:29. Sedangkan meurut Hadari dan Mimi Martini 1994:176 penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau
proses menjaring datainformasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspekbidang kehidupan tertentu dalam objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan
sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Sejalan dengan itu, Bogdan dan Taylor dalam Meleong 1988:3, mengungkapkan bahwa metodologi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku masyarakat yang dapat diamati. Adapun teknik pengumpulan data
yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.5.1 Pemilihan Lokasi Penelitian
Sebagai suatu musik nyanyian yang dalam pewarisannya secara oral tradisi, maka dapat dipastikan setiap kali penyajian akan muncul suatu perbedaan bahkan oleh penyaji yang
samapun. Namun perbedaan itu dalam batas-batas toleransi sehingga tidak merubah persepsi dan makna dari nyanyian itu. Demikian juga halnya dengan andung batak toba, setiap kali
penyajian pasti ada perubahan dari penyajian sebelumnya misalnya dari setiap kata-kata yang diandungkan dari sebelumnya pasti ada perbedaannya. Untuk kepentingan penulisan ini,
penulis mengambil studi kasus pada seorang penyaji andung seorang natuatua yang sudah dianggap terbiasa dalam mangandung yaitu Op Bronson hutasoit. Op bronson ini berasal dari
desa sigumpar kecamatan lintong nihuta kabupaten humbang hasundutan yaitu tempat tinggal dia berada disana. Biasanya setiap ada orang meninggal Op bronson ini tidak pernah lupa
untuk mangandung, seperti halnya disebut seperti sudah terbiasa dalam mangandung. Sewaktu penulis juga melakukan wawancara terhadap Op Bronson tersebut, dia juga
mengatakan sebuah pendapat seperti ini “molo boi nian diganti ma andung on gabe ende- ende na mate” artinya “kalau bias menurut saya juga diganti aja andung jadi nyanyian-
nyanyian untuk orang meninggal”.
1.5.2 Studi Kepustakaan
Untuk mendukung informasi yang penulis peroleh tentang andung, penulis juga mencari buku-buku yang relevan terhadap masalah-masalah yang dibahas. Walaupun
demikian sepanjang yang penulis ketahui, buku-buku yang menjelaskan secara lengkap dan terperinci mengenai andung batak toba belum dapat ditemukan. Buku yang ada hannyalah
memberikan gambaran secara umum tentang seni dan nyanyian tradisional batak toba. Dalam hal ini juga penulis menggunakan referensi dari internet dan sebagian besar dari
beberapa skripsi yang relevan dengan objek yang diteliti.
1.5.1 Penelitian Lapangan Observasi
Teknik pengumpulan data dengan observasi adalah metode yang digunakan dengan menggunakan pengamatan dan pengundaraan untuk menghimpun data penelitian. Menurut
Bungin 2007:115 metode observasi merupakan kerja pancaindra mata serta dibantu dengan panca indra lainnya.
Dalam meneliti andung ini, penulis meneliti langsung kelapangan. Penulis melakukan penelitian pada bulan April 2012 dengan mendatangi sebuah rumah duka yang baru
meninggal yaitu Op Sandika hutasoit yang berumur 59 tahun. Penulis menghadiri adat pesta kematian Op Sandika hutasoit yang dilaksanakan didepan halaman rumahnya. Adapun lokasi
penelitian ini adalah didesa sigumpar kecamatan lintong nihuta kabupaten humbang hasundutan.
1.5.2 Wawancara
Salah satu teknik pengumpulan data dan informasi di peroleh dengan melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi dengan cara bertannya langsung. Adapun teknik
wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus focused interview yaitu membuat pertanyaan yang berpusat terhadap pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan
wawancara bebas free interview yaitu pertanyaan yang tidak hannya berfokus pada pokok permasalahan saja tetapi pertannyaan berkembang kepokok permasalahan lainnya yang
bertujuan untuk memperoleh data lainnya namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan Koentjaraningrat 1985:139. Disamping itu penulis juga melakukan
wawancara sambil lalu casual interview yaitu dimana penulis tidak mempunyai persiapan sebelumnya, dan orang yang diwawancarai itu secara kebetulan berjumpa disuatu tempat.
Melong menawarkan sebaiknya menggunakan wawancara berstruktur penulis dan wawancara tidak berstruktur 1997:138-139. Pada wawancara berstruktur penulis menyusun daftar
pertanyaan pada pokok permasalahn saja, sedangkan pada wawancara tidak berstruktur tannya jawab, penulis lakukan seperti dalam percakapan sehari-hari dengan melihat keadaan
dan ciri khas dari informan. Dengan melakukan teknik wawancara tersebut, maka penulis mendapatkan banyak informasi tentang objek yang diteliti. untuk merekam wawancara
penulis menggunakan handphone dan juga menggunakan catatan untuk mencatat hal-hal yang berhubungan dengan andung seperti aspek-aspek sosialnya dan sebagainya. Dalam hal ini
penulis melakukan wawancara terhadap beberapa informan yaitu: Op bronson br hts, Ibu masnida br Aritonang, Op jujur br marbun dan Op ropatina br hts. Wawancara dilakukan
dengan menggunakan bahasa batak toba dan selanjutnya diterjemahkan oleh penulis sendiri.
1.5.3 Kerja Laboratorium
Semua data yang diperoleh dan hasil wawancara dan hasil pengamatan dilapangan selanjutnya akan di telaah dan diolah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan-
pendekatan etnomusikologis, dan jika ada data yang dirasa kurang lengkap maka penulis melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dalam hal ini
dilakukan berulang-ulang. Dalam mengolah data penulis melakukan proses menjaring data, menyeleksi data, menambah data yang kurang, memodifikasi teori, klasifikasi data dan
memformulasi data. Setelah melakukan kerja laboratorium, maka penulis membuatnya kedalam sebuah
tulisan ilmiah berbentuk skripsi sesuai dengan teknik-teknik penulisan karya ilmiah. Dengan demikian tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan
pengetahuan dibidang etnomusikologi.
BAB II ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT DESA SIGUMPAR KECAMATAN
LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
Pada bab II ini saya akan menguraikan tentang keadaan lingkungan masyarakat yang tinggal di desa sigumpar, seperti lokasi lingkungan alam dan demografi, mata pencaharian
dan sistem bahasa, serta etnografi umum masyarakatdesa sigumpar seperti sistem religi, sistem kekerabatan maupun sistem keseniannya. Beberapa aspek tersebut menurut penulis
juga penting untuk dijelaskan, karena selain untuk mengenalkan daerah penelitian penulis kepada pembaca, beberapa aspek seperti sistem bahasa, sistem kekerabatan dan sistem
keseniannya juga berhubung dengan Andung. Penyajian Andung pada masyarakat desa sigumpar menggunakan bahasa batak Toba dan disajikan pada waktu ada orang yang
meninggal, dan biasanya orang yang menyajikan andung ini adalah pada umumnya salah satu kerabat dari orang yang meninggal tersebut. Penulis juga berpendapat bahwa sistem kesenian
juga menjadi aspek yang sangat penting untuk dibahas disini, karena Andung merupakan salah satu bentuk seni vokal dari kebudayaan musikal Toba. Berikut ini akan dijelaskan
beberapa aspek tersebut secara umum.
2.1 Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi
Daerah yang penulis ambil sebagai lokasi penelitian adalah desa sigumpar kecamatan lintong nihuta, kabupaten humbang hasundutan. Jarak desa sigumpar dari ibu kota provinsi
Sumatera utara lumayan jauh. Bila ditempuh dengan naik bus sekitar ± 7 jam. Desa sigumpar adalah lumayan berpotensi dalam bidang pertanian, padi, sayur-sayuran dan terutama dalam
penghasilan kopi. Masyarakat luar sering datang berkunjung ke daerah ini karena terkenal penghasil kopi, yang mana disebut dengan Kopi Lintong. Dengan suhu yang sangat begitu
dingin dan tanah yang lumayan subur membuat daerah ini sangat cocok untuk kegiatan
pertanian. Hasil dari usaha yang mereka lakukan biasanya ada yang di dagangkan kepasar dan sebagian di ekspor ke luar negeri.
2.2 Masyarakat Toba di Desa Sigumpar
Masyarakat toba didesa sigumpar selain mengenai besar kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat juga menghadapi soal perbedaan asa dan kompleksitas dari unsur
kebudayaan, biasanya membedakan kesatuan masyarakat yang ada di desa sigumpar berdasarkan kepada kriteria mata pencaharian dan sistem ekonomi, yang mencakup beberapa
macam yaitu: masyarakat peternak, masyarakat peladang, masyarakat petani pedesaan. Sebagai masyarakat orang batak toba mengakui kehidupan sosial mereka tidak dapat terlepas
dari kebudayaan yang dimiliki. Konsep kebudayaan masyarakat ini secara keilmuwan telah dibahas secara luas dari sudut disiplin ilmu sosiologi dan antropologi. Hal ini diungkapkan
oleh Koentjaraningrat tentang kebudayaan itu sebagai ungkapan dari ide, gagasan dan tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidup sehari-hari yang diperoleh melalui
proses belajar dan mengajar. Masyarakat yang berbudaya hidup dari berbagai faktor yang menentukan cara
kehidupan masyarakat, disamping lingkungan dan teknologi faktor lain adalah organisasi sosial dan politik yang berpengaruh dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Unsur-unsur itu
disebut dengan inti kebudayaan meliputi kemampuan pengetahuan masyarakat terhadap sumber daya yang ada.
2.2.1 Mata Pencaharian
Pada umunya pekerjaan masyarakat desa sigumpar adalah bercocok tanam padi disawah dan di ladang, selain itu didesa sigumpar juga terkenal dengan penanaman kopi yang
biasa di sebut dengan kopi lintong. Selain itu masyarakat desa sigumpar bermata pencaharian
sebagai pegawai dan wiraswasta. Pasar induk kopi di desa sigumpar kabupaten humbang hasundutan yang diproyeksikan untuk menampung hasil panen petani kopi di rencanakan
sudah dapat beroperasi. Dengan adanya pasar induk ini petani kopi dapat menjual biji kopi mentah dengan harga lebih tinggi, sehingga kesejahteraan petani kopi daerahnya meningkat.
Dalam berwiraswasta juga bidang usaha yang banyak dikelola oleh masyarakat dalam usaha kerajinan tangan seperti usaha penenunan ulos dan ukiran kayu. Saat ini sudah cukup banyak
juga yang memulai merambah kebidang usaha jasa dan bertani. Untuk mendukung peningkatan produtivitas bertani seperti menanam padi di sawah, bapak bupati desa sigumpar
menyediakan lahan yang akan di olah oleh desa sigumpar untuk menanam padi dan juga memperbaiki saluran irigasi, selain itu sebagian juga lahan di dapat dari pembagian yang
didasarkan marga. Setiap keluarga mendapatkan tanah tetapi tidak boleh menjualnya selain tanah ulayat ataupun tanah yang dimiliki perseorangan. Tanaman yang sering ditanam
diladang adalah tebu, tanaman ubi, sayur-sayuran dan mentimun. Peternakan juga salah satu mata pencaharian desa sigumpar antara lain, peternakan kerbau, babi, kambing, ayam dan
bebek. Beberapa tahun kemudian dilaksanakan percobaan penanaman tanaman seperti kentang dan kol, masyarakat pun menyambut baik usaha ini. Hasil produk pertanian yang ada
sebagian di jual kepasar dan sebagian ada juga di ekspor hingga keluar negri. Desa sigumpar memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa tertututp yang membentuk kelompok-
kelompok kecil masyarakatnya. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan margaklan atau masih memiliki hubungan kekerabatan dalam dalihan na tolu. Desa-desa tertutup ini disebut
huta. Adapun nama-nama huta di desa sigumpar antara lain huta banjar panova, banjar ina- ina, banjar gadong, dan banjar ganjang. Disekitar huta tersebut biasanya dekat dengan bahal
yang biasanya terdapat pohon baringin, biasanya disebut juga dengan hariara pohon beringin ada dua jenis rumah adat yang ada didalam huta batak yaitu rumah dan sopo yang
saling berhadapan. Diantara kedua deretan bangunan tersebut terdapat halaman yang luas
alaman yang menjadi tempat kegiatan orang tua maupun anak-anak. Kedua bangunan ini meskipun secara sekilas kelihatan sama sebenarnya berbeda dari sisi konstruksi dan fungsi.
2.2.2 Sistem Bahasa
Desa sigumpar merupakan salah satu daerah di kabupaten humbang hasundutan yang penduduknya adalah mayoritas suku batak toba. Bahasa batak toba merupakan bahasa yang
menetap dipakai disana. Hampir seluruh masyarakat batak toba menggunakan bahasa batak toba sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun percakapan dalam
kehidupan sehari-hari. Masyarakat batak toba juga memiliki aksara yang disebut surat batak adalah nama
aksara yang digunakan untuk menuliskan bahasa batak. Surat batak masih berkerabat dengan aksara nusantara lainnya. Aksara ini memiliki beberapa varian bentuk tergantung bahasa dan
wilayah. Secara garis besar ada lima varian surat batak di sumatra yaitu karo, toba, dairi, simalungun dan mandailing. Aksara ini wajib diketahui oleh para datu dukun yaitu orang
yang dihormati oleh masyarakat batak karena menguasai ilmu sihir, ramal, dan penanggalan. Kini aksara ini masih dapat ditemui dalam berbagai pustaha yaitu kitab tradisional
masyarakat batak. Masyarakat batak toba juga mengenal ina ni surat yaitu huruf-huruf pembentuk dasar huruf aksara batak. Selama ini ina ni surat yang dikenal terdiri dari: a, ha,
ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga, la, ya, nya, ca, nda, mba, i, u. Nda dan Mba adalah konsonan rangkap yang hanya ditemukan dalam variasi batak karo sedangkan
Nya hanya digunakan di mandailing akan tetapi dimasukkan juga dalam alfabat toba walaupun tidak digunakan. Aksara Ca hanya terdapat di karo sedangkan di angkola-
mandailing huruf Ca ditulis dengan menggunakan huruf Sa dengan sebuah tanda diakritik yang bernama tompi di atasnya
.
Ina ni Surat adalah induk dari surat batak yang merupakan huruf-huruf pembentuk yang menjadi huruf dasar dalam penulisan aksara batak. Ada 19 ina
ni surat, ina ni surat tersebut adalah: A, Ha, Ma, Na, Ra, Ta, Sa, Da, Ga, Ja, La, Pa, Ba, NGa, NYa, Wa, Ya, I dan U. Untuk lebih cepat mengingat ke 19 Ina ni surat ini kita kelompokkan
menjadi beberapa kata yaitu AhaMaNaRaTa ?? SaDaGaJa, BaNga, LaPa, NyaWa: Ya,I,U. Contoh Ina ni surat dalam batak toba :
2.2.3 Sistem Kepercayaan
Sebelum masyarakat toba desa sigumpar menganut Agama Kristen Protestant, mereka mempunyai sistem kepercayaan tentang debata mula jadi na bolon yang memiliki kekuasaan
di atas langit yang menyangkut jiwa dan roh yaitu: tondi, sahala dan begu. Tondi adalah jiwa atao roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberikan nyawa
kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang didalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka untuk itu diadakan
upacara mangalap menjemput tondi dari sombaon yang menawannya. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi tetapi tidak semua
orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula. Begu adalah tondi orang telah meninggal yang tingkah lakunya sama
dengan tingkah laku manusia, hannya muncul pada waktu malam. Disamping aliran kepercayaan agama suku tersebut diatas terdapat juga dua agama besar yang berpengaruh
dan dianut oleh masyarakat batak khususnya batak toba yaitu Kristen protestan dan Islam. Sebelum masyarakat toba memeluk agama kristen dan islam, diantara mereka masih ada yang
mengikut kercayaan seperti parmalim, parbaringin, dan parhudam-hudam. Religi-religi ini sering pula disebut agama si raja na batak karena religi ini diyakini oleh sebagian besar orang
batak toba. Dulu kepercayaan yang dianut masyarakat batak toba adalah kepercayaan terhadap mula jadi na bolon yang dipercayai oleh orang batak sebagai dewa tertinggi mereka
yaitu pencipta tiga dunia yaitu: dunia atas banua ginjang, dunia tengah banua tonga, dunia bawah banua toru.
Demikianlah religi dan kepercayaan suku batak toba yang walaupun sudah menganut agama kristen dan berpendidikan tinggi tetapi belum mau meninggalkan religi dan
kepercayaan yang sudah tertanam didalam hati sanubari mereka. Pada masyarakat desa sigumpar, siklus kehidupan seseorang dari lahir kemudian dewasa berketurunan sampai
meninggal, melalui beberapa masa dan peristiwa yang dianggap penting karenya pada saat- saat atau peristiwa penting tersebut perlu dilakukan upacara-upacara yang bersifat adat
kepercayaan dan agama. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara turun mandi, pemberian nama, potong rambut dan sebagainya pada masa anak-anak, upacara mengasah
gigi, upacara perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Dikalangan masyarakat batak dikenal upacara memberi makan enak kepada orang tua yang sudah lanjut usia tetapi masih
sehat, tujuannya untuk memberi semangat hidup agar panjang umur dan tetap sehat juga kepada orang tua yang sakit dengan maksud agar dapat sembuh kembali. Upacara ini disebut
“sulang-sulang”. Meskipun kini sebagian besar penduduk sudah memeluk agama kristen, tapi kepercayaan lama yang bersifat animistis masih terlihat dalam upacara-upacara yang
dilakukan. Misalnya upacara memanggil roh leluhur kerumah keluarga yang masih hidup
dengan perantaraan sibaso atau dukun wanita. Sibasoo nanti akan kemasukan roh sehingga setiap ucapannya dianggap kata-kata leluhur yang meninggal.
Dalam konteks kepercayaan tradisional agama batak toba terdapat konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada pada
dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya hingga kini masih terdapat
kepercayaan bagi masyarakat batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya. Misalnya pahean pakaian yang dikenakan
dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin dan ringgit sitio suara uang untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan jauh dari dunia
nyata kedunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh. Dari beberapa versi cerita kehidupan orang batak bahwa orang batak pada zaman
keberhalaan sudah mempercayai adanya allah yang satu yang disebut mula jadi na bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang batak kala itu percaya ada kekuatan besar
debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata mula jadi na bolon adalah sebagai ilah yang tidak bermula dan tidak
berakhir, dia adalah awal dari semua yang ada.
2.4 Sistem Kekerabatan
Masyarakat batak toba memiliki sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik antara invidu dengan individu ataupun individu dengan
masyarakat lingkungannya. Dari sistem ini biasanya bersumber masalah lain dalam sistem kemasyarakatan, seperti sistem daur hidup, kesatuan hidup setempat dan stratifikasi sosial.
Fungsi kekerabatan bagi masyarakat toba adalah pelaksanaan hak dan kewajiban kekerabatan dalam kegiatannya berdasarkan pandangan dalihan na tolu yang disebut: tohonna
partondongan. Dalihan na tolu dalam hak dan kewajiban yang paling mendasar terletak pada: Suhu Ampang Na Opat, yang dimulai dan tumbuh dari keluarga dasar atau saripe. Keluarga
dasar seperti ini adalah tiang tonggak dan menjadi pusat kegiatan atau inti kegiatan suhut yaitu Opat Pat Ni Pansa, yang terdiri dari:
a. Pamarai yaitu saudara laki-laki suhut, seayah se ibu atau saudara se ayah lain ibu,
sering juga disebut pangalap. b.
Tulang yaitu saudara kandung laki-laki dan istri suhut tunggane se ayah se ibi atau se ayah lain ibu.
c. Simolohon atau simondokkon yaitu anak laki-laki dari suhut dan saudara laki-laki dari
perempuan dari putri suhut. d.
Pariban yaitu anak perempuan dari suhut dan saudara perempuan dari putri suhut. Fungsi dari Suhu Ampang Na Opat ini adalah pendukung utama dari kegiatan inti
atau dari pekerjaan suhut atau horja. Apa saja kegiatan suhut, keempat personil inilah yang turut bertanggung jawab bersama suhut. Dasar sistem sosial yang terdapat dalam masyarakat
batak toba adalah marga. Dalam kehidupan tradisional masyarakat pedesaan batak toba, terdapat dominasi marga yang dianggap sebagai pendiri desa itu bhs btk toba:sisuan bulu.
Masyarakat toba juga mempunyai sistem marga klan. Marga dalam bahasa batak toba tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut boru. Marga atau
boru ini disandang dibelakang nama seseorang. Marga atau boru ini diperoleh dari marga Ayah garis keturunan patrilineal. Garis keturunan patrilineal inilah yang selanjutnya dapat
memberikan arah dengan siapa seseorang boleh kawin dan tidak boleh kawin. Orang yang mempunyai marga dan boru yang sama dianggap bersaudara dan itu artinya mereka tidak
boleh kawin. Namun bila ditemukan seorang laki-laki dan perempuan yang bermarga sama mereka disebut mar’ito. Marga yang tinggal didesa sigumpar ini pada umunya marga
Sihombing, Silaban, Nababan dan Hutasoit. Inilah yang disebut siopatama oleh nenek moyang dulu.
Kekerabatan orang batak toba yang ditentukan berdasarkan wilayah pemukiman terlihat dari terbentuknya kesepakatan terhadap tradisi adat istiadat yang ada disetiap wilayah.
Hal ini dapat terjadi meskipun orang batak hannya bermukim diwilayah lain mereka tetap mempertahankan adat istiadatnya. Kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiaman ini
memiliki daya rekat yang sama kuat dengan kekerabatan yang berdasarkan keturunan. Hal ini tergambar dalam peribahasa batak toba: “Jonok dongan partubu jonokan do dongan
parhundul”. Artinya semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adlah suatu pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan batak lebih dekat lagi karena bermukim disuatu
wilayah. Kelompok kekerabatan suku bangsa batak toba berdiam didaerah pedesaan yang disebut huta kampung biasanya satu huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Marga
klan tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga yang membentuk sebuah klan kecil. Klan kecil tadi merupakan kerabat patrilineal garis keturunan ayah yang
masih berdiam dalam satu kawasan areal yang menciptakan sosial budaya. Sebaliknya klan besar yang anggotanya sudah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka
dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya, stratifikasi sosial orang batak didasarkan pada empat prinsip yaitu: perbedaan
tingkat umur, perbedaan pangkat dan jabatan, perbedaan sifat keaslian dan status kawin. Tempat tinggal suku batak toba terbagi dalam empat wilayah besar yaitu:
1. Wilayah samosir yaitu pulau samosir dan sekitarnya. Adapun marga yang hidup
diwilayah ini antara lain marga simbolon dan sagala.
2. Wilayah toba yaitu daerah balige, laguboti, porsea, parsoburan, sigumpar dan
sekitarnya. Adapun marga yang tinggal di daerah ini antara lain marga sitorus dan marpaung.
3. Wilayah humbang yaitu dolok sanggul, lintong nihuta, siborong-borong, dan
sekitarnya. Adapun marga yang tinggal didaerha ini antara lain marga simatupang, siburian dan sihombing lumbantoruan
4. Wilayah silindung yaitu daerah sipaholon tarutung, pahae dan sekitarnya. Adapun
marga yang hidup di daerah ini antara lain marga naipospos sibagariang, hutauruk, simanungkalit, situmeang, marbun dan huta barat
Nilai kekerabatan masyarakat batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat dalihan na tolu, dimana seorang harus mencari jodoh di luar kelompoknya, orang-orang dalam satu
kelompok selalu menyebutnya dalam sabutuha bersaudara, untuk kelompok yang menerima gadis untuk diperistri disebut hula-hula. Kelompok yang memberikan gadis disebut
boru. Orang batak memiliki kekerabatan dalam marga-margasonakmalela sebagai contoh:
a. Situmorang dengan sub marga Lumban pane.
b. Nainggolan dengan sub marga Lumban raja.
c. Aritonang dengan sub marga Oppu sunggu.
Marga dengan sub marganya dalam orang batak toba tidak dapat menikah, karena itu dianggap kerabat dekat atau dalam bahasa batak disebut “Ito”.
Demikian juga masyarakat batak toba memiliki falsapah azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam bahasa batak toba disebut dalihan na tolu
dan tarombo.
Dalihan na tolu yaitu somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Hula-hulamora adalah pihak keluarga dari istri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling
dihormati dalam pergaulan dan adat istiadat batak semua sub suku batak sehingga kepada semua orang batak dipesankan harus hormat kepada hula-hula somba marhula-hula
Dongan tubuhahanggi disebut juga dongan sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga, arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling
berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang
dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang batak berbudaya batak dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga,
diistilahkan manat mardongan tubu. Boruanak boru adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga keluarga lain.
Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai parhobas atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun terutama dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai
pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena melainkan pihak boru harus di ambil hatinya, dibujuk diistilahkan Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan batak. Sistem kekerabatan dalihan na tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya semua masyarakat batak passti
pernah menjadi hula-hula, juga sebagai dongantubu dan boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual, sehingga dalam tata kekerabatan batak buka
berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai tata krama dalam sistem kekerabatan batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut raja ni hula-
hula, raja ni dongan tubu dan raja ni boru.
Tarombosilsilah merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang batak. Bagi mereka
yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang batak kesasar nalilu. Orang batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan
marganya dan teman semarganya dongan tubu. Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya partuturanna dalam suatu klan atau marga.
Kekerabatan pada masyarakat batak memiliki dua jenis yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis. Semua
suku bangsa batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan sosilogis terbentuk berdasarkan perkawinan.
Sistem kekerabatan muncul ditengah-tengah masyarakat karena menyangkut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan hidup. Dalam tradisi batak, yang menjadi kesatuan adat
adalah ikatan sedarah yang disebut dengan marga. Suku bangsa batak terbagi kedalam enam kategori atau puak yaitu batak toba, batak karo, batak pakpak, batak simalungun, batak
angkola dan batak mandailing. Masing-masing puak memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan diantara mereka. Satu puak bisa
memiliki banyak marga. Sistem kekerabatan orang batak juga menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak
dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut dalihan na tolu. Dalam berbagai tulisan yang membicarakan masyarakat toba kini sudah lebih sering disebut batak toba istilah
dalihan natolu selalu diartikan atau diterjemahkan kedalam bahasa indonesia menjadi tiga tungku sejerangan. Pada masyarakat desa sigumpar dalihan na tolu di analogikan dengan tiga
tungku masak di dapur tempat menjerangkan periuk, maka adat batak pun mempunyai tiga tiang penopang dalam kehidupan yaitu: pihak semarga ingroup, pihak yang menerima istri
wife receiving party, pihak yang memberi istri giving party. Ketiga unsur atau posisi penting dalam kekerabatan masyarakat batak tersebut yaitu: hula-hula yaitu kelompok orang
yang posisinya diatas yang berasal dari keluarga marga pihak istri. Sebagai wujud penghormatan terhadap kelompok ini pada masyarakat batak dikenal sebutan “somba
marhula-hula” yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Dongan tubu yaitu kelompok orang-orang yang posisinya
sejajar yaitu temansaudara semarga yang harus tetap akrab dan kompak, sehingga dalam masyarakat batak toba dikenal sebutan yang mengatakan “manat mardongan tubu” artinya
menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Adapun unsur kekerabatan yang ketiga adalah boru yaitu kelompok penerima istri yang dalam suatu acara adat posisinya adalah
sebagai pekerja sehingga dalam masyarakat batak toba dikenal sebutan “elek marboru” yang artinya harus memperhatikan dan mengayomi kelompok penerima istri ini karena merekalah
yang akan bekerja apabila ada suatu acara adatpesta. Kedudukan ketiga hal tersebut diatas, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha pada upacara adat bisa menjadi berganti. Posisi
hula-hula pada saat lain mungkin menjadi boru, demikian juga halnya dengan boru yang bisa menjadi hula-hula. Dengan demikian setiap kelompok masyarakat batak toba akan desa
sigumpar menduduki metiga fungsi dalihan na tolu ini yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha. Nilai kekerabatan atau keakraban berada ditempat yang tinggi bagi aturan
kehidupan masyarakat batak toba. Nilai inti kekerabatan masyarakat batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat, selain itu terlihat pada tutur sapa dan bersikap. Dengan
perkawinan terjadilah ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang disebut tadi seolah olah mereka bagai tiga tungku didapur yang besar gunanya dalam menjawab persoalan hidup
sehari-hari. Cukup banyak fungsi adat ini bagi masyarakat pendukung diantaranya patuduhon holong yang artinya menunjukkan kasih sayang diantara sesama yang penuh sopan santun
atau etik. Dari fungsinya yang penuh kenikmatan maka adat dalihan na tolu dapat diterima oleh setiap masyarakat batak toba sekalipun mereka berbeda-beda agama. Mereka yang
menganut agama islam, kristen, katolik dan budha kadang-kadang begitu erat kaitannya
karena konsep adat telah berbentuk sejak mulai lahirnya kelompok masyarakat yang identitas utamanya adalah adanya marga. Dengan marga itu orang batak akan setia terhadap ketentuan
adatnya dimanapun mereka berada. Setiap warga batak yang sudah berumah tangga otomatis menjadi anggota pemangku adat dalihan na tolu. Tidak ada alasan bagi mereka yang telah
berumah tangga untuk tidak ikut tampil dalam menyelesaikan urusan ditengah-ditengah masyarakat secara adat dalihan na tolu. Karena bila salah satu unsur dari adat dalihan na tolu
tidak hadir maka suatu pekerjaan adat di pandang tidak sah dan tidak kuat. Adapun fungsi dalihan natolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur
ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat batak toba.
Dimana saja ada masyarakat batak toba secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu dan selama orang batak toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itupula lah
fungsi dalihan na tolu tetap di anggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya. Sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik
antara individu dengan individu atau individu dengan masyarakat lingkungannya.
2.2.5 Kesenian
Orang batak dikenal dengan sebagai masyarakat pecinta seni yang meliputi seni musik, seni sastra, seni tari, seni bangunan dan seni kerajinan tangan. Walaupun bagaimana
sederhananya mereka pasti terlibat dengan jenis-jenis seni tersebut.
2.2.5.1 Seni Musik
Seni musik dalam masyarakat batak toba dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu musik vokal ende dan musik instrumentalia gondang.
Musik vokal ende tradisional pembagiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat dari liriknya. Ben Pasaribu 1986:27-28 membuat pembagian
terhadap musik vokal tradisional batak toba dalam delapan bagian yaitu: 1.
Ende mandideng adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak 2.
Ende sipaingot adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan menikah dinyanyikan pada saat senggang pada hari menjelang pernikahan tersebut.
3. Ende pargaulan adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo-chorus” dan
dinyanyikan oleh kaum muda mudi dalam waktu senggang biasanya malam hari. 4.
Ende tumba adalah musik vokal yang khususnya dinyanyikan saat pengiring tarian hiburan tumba. Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat dan
berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh remaja di alaman halaman kampung pada malam terang bulan.
5. Ende sibaran adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang berkepanjangan.
Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, yang menyanyi ditempat yang sepi.
6. Ende pasu-pasuan adalah musik vokal yang berkenan dengan pemberkatan berisi
lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari yang maha kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh orang-orang tua kepada keturunannya.
7. Ende hata adalah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan
secara monoton seperti metric speech. Liriknya berupa rangkain pantun dengan bentuk aabb yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya dimainkan oleh
kumpulan kanak-kanak yang dipinpin oleh seorang yang lebih dewasa atau orangtua. 8.
Ende andung adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal dunia yang disajikan pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam
ende andung melodinya datang secara spontan sehingga penyanyinya haruslah
penyanyi yang cepat tanggap dan trampil dalam sastra serta menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini.
Demikian juga yang musik vokal dikategorikan menjadi tiga jenis yaitu: 1.
Ende namarhadohoan yaitu musik vocal yang dinyanyikan untuk acara-acara namarhadohoan resmi.
2. Ende siriakon yaitu musik vocal yang dinyanyikan oleh masyarakat batak toba dalam
kegiatan sehari-hari 3.
Ende sibaran yaitu musik vocal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita
Dari beberapa jenis musik vocal tersebut yang sering terdapat pada masyarakat toba adalah jenis ende andung dan ende sibaran, dimana saat terjadi peristiwa dukacita, maka akan
ada beberapa pihak dari keluarga yang meninggal dunia tersebut yang mangandungi jenazah orang yang meninggal dunia tersebut sebelum dimakamkan.
Musik tradisi masyarakat Batak Toba disebut sebagai gondang. Ada tiga arti untuk kata gondang yaitu satu jenis musik tradisi Batak toba, komposisi yang ditemukan dalam
jenis musik tersebut misalnya komposisi berjudul Gondang Mula-mula, Gondang Haroharo dan alat musik kendang. Ada 2 ansambel musik gondang yaitu gondang sabangunan yang
biasanya dimainkan diluar rumah dihalaman rumah dan gondang hasapi yang biasanya dimainkan dalam rumah. Gondang sabangunan terdiri dari sarune bolon sejenis alat
tiupobo, taganing perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci punya peran melodis dengan sarune tersebut, gordang sebuah kendang besar yang menonjolkan irama
ritme, empat gong yang disebut ogung dan hesek sebuah alat perkusi biasanya sebuah botol yang dipukul dengan batang kayu atau logam yang membantu irama.
Sarune Bolon adalah alat tiup double reed obo yang mirip alat-alat lain yang bisa ditemukan di Jaw, India, Cina. Pemain sarune mempergunakan teknik yang disebut marsiulak
hosa kembalikan nafas terus menerus dan biarkan pemain untuk memainkan frase-frase yang panjang sekali tanpa henti untuk tarik nafas. Seperti disebut di atas, taganing adalah
perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci dan punya peran melodis sama dengan sarune. Tangga nada gondang sabangunan disusun dalam cara yang sangat unik. Tangga
nadanya dikunci dalam cara yang hampir sama tapi tidak persis dengan tangga nada yang dimulai dari urutan pertama sampai kelima tangga nada diatonis mayor yang ditemukan
dimusik Barat: do, re, mi, fa, sol. Ini membentuk tangga nada pentatonis yang sangat unik, dan sejauh yang saya tahu, tidak bisa ditemukan ditempat lain di dunia ini. Seperti musik
gamelan yang ditemukan di jawa dan bali. Sistem tangga nada yang dipakai dalam musik gondang punya variasi diantara setiap ansambel, variasi ini bergantung pada estetis pemain
sarune dan pemain taganing. Kemudian ada cukup banyak variasi diantara kelompok dan daerah yang menambah diversitas kewarisan kebudayaan ini yang sangat berharga.
Ogung terdiri dari empat gong yang masing-masing punya peran dalam struktur irama. Pola irama gondang disebut doal dan dalam konsepsinya mirip siklus gongan yang
ditemukan dimusik gamelan dari jawa dan bali tetapi irama siklus doal lebih singkat. Sebahagian besar repertoar gondang sabangunan juga dimainkan dalam konteks ansambel
gondang hasapi. Ansambel ini terdiri dari hasapi ende sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main melodi, hasapi doal sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main pola
irama, garantung sejenis gambang kecil yang main melody ambil peran taganing dalam ansambel gondang hasapi, sulim sejenis suling terbuat dari bambu yang punya selaput
kertas yang bergetar, seperti sulim dze dari cina, sarune etek sejenis klarinet yang ambil peran sarune bolon dalam ansambel ini, dan hesek sejenis alat perkusi yang menguatkan
irama, biasanya alat ini ada botol yang dipukul dengan sebuah sendok atau pisau.
Tangga nada yang dipakai dalam musik gondang hasapi hampir sama dengan yang dipakai dalam gondang sabangunan, tetapi lebih seperti tangga nada diatonis mayor yang dipakai di
Barat. Ini karena pengaruh musik gereja Kristen. Musik instrumental ada beberapa instrumen yang lazim digunakan dalam ensambel maupun disajikan dalam permainan tunggal, baik
dalam kaitannya dalam upacara adat, religi maupun sebagai hiburan. Musik yang biasa dimainkan cenderung tergantung dengan upacara-upacara adat yang diadakan tetapi lebih
dominan dengan genderangnya. Musik batak sudah ada sejak zaman toba kuno dijaman dinasti tuan sorimangaraja berawal dari musik raja-raja. Bukan musik untuk raja tetapi musik
yang dimankan oleh raja. Maknya mainnya boleh berdiri lain halnya dengan musik tradisi suku lain seperti afrika, india, jawa dan lain-lain. Yang merupakan musik rakyat sehingga
kebanyakan bermusiknya sambil duduk. Musik batak awalnya diciptakan untuk upacara ritual yang dipimpin pada datu dukun pada masa itu untuk penghormatan leluhur, minta panen
yang sukses kepada mula jadi nabolon kemudian berkembang menjadi musik ritual di pesta adat. Pemainnya dinamakan pargonsi dibaca pargocci. Pargonsi mempunyai kedudukan
yang sangat penting. Karena yang memainkannya raja. Musik batak untuk ritual ini adalah disebut gondang sabangunan yang terdiri dari lima ogung dan lima gondang serta sarune
bolon lubang lima. Namun para rakyat juga ingin bermain musik maka berkembanglah musik batak ini dikalangan rakyat dengan format tanganing, garantung, hasapi, seruling dan sarune
etek. Dengan alat-alat musik ini lah tercipta banya sekali lagu rakyat yang bernuansa pentatois do re mi fa sol, kadang-kadang ada juga la dan susunan nada liksnya sangat kas
tidak didapati dimusik suku lain. Pada masyarakat batak toba terdapat dua ensambel musik tradisional, yaitu ensambel gondang hasapi dan gondang sabangunan. Selain itu ada juga
instrumen musik tradisional yang digunakn secara tunggal.
2.2.5.2 Seni Sastra
Pada masyarakat batak toba terkenal cerita siboru tumbaga dan terjadinya danau toba. Cerita siboru tumbaga ini menggambarkan perbedaan antara anak laki-laki dan wanita yang
masih tumpang terutama dalam hak waris. Cerita terjadinya danau toba menggambarkan bahwa seseorang yanbg melaggar janji akan dikutuk. Kutukan itu datangnya dari Tuhan
berupa keajaiban atau bentuk yang lain. Sastra batak khususnya cerita rakyat dalam bahasa toba disebut turi-turi
Masyarakat batak dikatakan kaya raya akan dongeng-dongeng. Cerita seperti ini masih populer khususnya oleh para nenek-nenek terhadap cucu-cucunya ataupun orang tua
terhadap anak-anaknya pada waktu senggang. Seni sastra ini dapat diungkapkan berupa umpa ma pantun. Bentuknya sama dengan pantun melayu, berbaris empat mengandung sampiran
dan sajaknya adalah ab-ab. Pantun batak bermacam-macam jenisnya menurut isinya, ada pantun yang biasa dipergunakan pada pidato-pidato dalam upacara-upacar hukum adat dan
ada pula yang mengenai percintaan antar muda-mudi. Tonggo-tonggo adalah ucapan yang disusun secara puitis dan biasanya diungkapkan pada waktu mengadakan upacara-upacara
ritual. Adakalanya kalimatnya panjang-panjang, isinya penuh mengandung gaya bahasa yang indah dengan aliterasi dan praktisme. Pada umumnya jarang orang yang bisa mengucapkan
hal tersebut dan hanya orang-orang tertentulah yang mengetahuinya. Teka-teki yang singkat disebut dalam bahasa batak toba disebut huling-hulingan. Kalu teka-teki itu memerlukan
jawaban, berupa cerita dinamakan torkan-torkan. Hal ini umpama oleh para orang tua terhadap anak-anak.
2.2.5.3 Seni Tari
Seni tari tortor adalah ekspresi gerakan yang estetis dan artistik akan menjelma dalam yang teratur sesuai dengan isi irama yang menggerakkan. Gerakan teratur ini dapat
dilakukan oleh perorangan, berpasangan ataupun berkelompok. Tarian perorangan misalnya yang berhubungan dengan ritus. Tarian seperti ini antara lain tarian tunggal panaluan, diman
sang dukun menari, berdoa dan sambl memegang tongkat sihir tersebut. Tarian bersama dalam upacara-upacara adat menurut tradisinya merupakan tarian dari masing-masing unsur
dalihan natolu pelaku gerakan tortor ini. Karena ketiga unsur ini secara fungsional dalam masyarakat bersama-sama mendukung upacaranya. Biasanya bentuk tarian ketiga unsur
dalihan natolu ini adanya pemimpin tortor yang mengatur gerakan yang sesuai dan selaras dengan pola gerakan etika didalam tortor. Di dalam pola gerakan tortor batak toba ada sebuah
gerakan berputar yang berlawanan dengan jarum jam, hal ini dilakukan apabila orang-orang manortor menari menarikan tortor gondang mangaliat diupacara adat.
2.2.5.4 Seni Bangunan dan Ukir-ukiran
Rumah adat tradisional batak terbuat dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Atapnya terbuat dari bahan ijuk dan bentuk atapnya adalah melengkun. Diujung atap
bagian depan terdapat tanduk kerbau. Pada umumnya rumah-rumah adat batak selalu dihiasi dinding depan dan samping dengan berbagai macam atau ornamen, yang terdiri dari warna
merah, hitam dan putih. Merah melambangkan benua tengah, hitam melambangkan benua atas dan putih melambangkan benua bawah. Sekarang ini, rumah adat tradisional sudah mulai
menuju kepunahan dari daerah batak.
2.2.5.5 Seni Kerajinan Tangan ulos
Seni kerajinan tangan khususnya ulos selalu dikaitkan dengan angka, warna, struktur sosial, religius yakni tiga, lima, hitam dan putih, atas tengah dan bawah dan segitiga, garis
tiga, manunggal dan lain sebagainya. Setiapa ulos mempunyai pola dasar tertentu dan berdasarkan itulah namanya disebutkan sesuai rencana pemula dari yang mengerjakan. Ulos
dipergunakan pada waktu upacara, keercayaan dan adat istiadat serta belakangan ini bernilai ekonomis sebagai mata pencaharian
Pada setiap ujung pangkal ulos terdapat rambu, yakni benang yang dipintal dipulos berjumlah sepuluh atau lima tergantung besar benangnya. Antara badan ulos dan rambu
selalu dibuat sirat corat sebagai hiasan untuk memperindah, juga berfungsi untuk menyatukan ulos itu sendiri agar benang-benangnya jangan lepas. Pada bagian tengah ada
juga hiasan lukisan yang bertempel yang disebut dengan jungkit. Hampir semua sub suku memiliki jenis kesenian yang unik dan berbeda dari sub suku
lainnya. Kesenian orang batak toba sendiri cukup beragam mulai dari tarian, alat musik dan jenis-jenis nyanyian. Tarian yang menjadi ciri khas orang batak toba adalah tari tortor dengan
berbagai jenis nama tari untuk berbagai jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tortor atau tari menari merupakan salah satu kebudayaan batak yang tertua. Dahulu kala seni tari menari di
hubungkan dengan kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan kuasa-kuaca magic. Acara tari menari diadakan untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan kehidupan sejahtera
kepada dewa-dewa. Acara tari menari juga diadakan bila mana ada orang yang lahir, akil balik dan diterima sebagai anggota suku pada saat menikah dan pada waktu sudah mati.
Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi bersifat animisme, tetapi lebih dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekerabatan dalam dalihan natolu.
Selain menari orang batak juga sangat senang menyanyi baik secara perorangan, maupun berkelompok. Lagu-lagu yang dinyanyikan bercerita tentang pemujaan terhadap
kampung halaman, keindahan negeri, dan panorama yang indah permai. Sedangkan andungratapan adalah salah satu jenis nyanyian yang secara khusus dinyanyikan pada acara
dukacita atau menggambarkan suasana hati yang sedang berduka dan sedih.
Sebagai contoh alat musik batak toba yang digunakan untuk mengiringi tarian tortor dan nyanyian juga beraneka ragam. Alat musik ini ada yang terbuat dari bahan perunggu,
kulit, kayu, dan bambu. Alat musik berbahan perunggu seperti ogung atau gong. Ogung merupakan instrumen empat jenis gendang yang berlainan bunyinada, oloan,ihutan, doal dan
panggora. Sedangan alat musik dari bahan kulit, kayu dan bambu meliputi taganing, hesek, hasapi, saga-saga, garantung, suling sordam dan salohat. Alat musik taganing merupakan
seperangkat instrumen yang terdiri dari satu gondang sebagai bas, satu odap-odap dan lima taganing. Orang batak toba juga membedakan peralatan musik ini dalam dua golongan besar
yaitu gondang bolon terdiri dari gordang atau gendang besar, taganing atau gendang ukuran sedang dengan lima lempeng kayu, odap-odap atau gendang kecil yang kadang-kadang
diganti dengan lempengan logam, gong dari tembaga ditambah empat gong perunggu, dan sarune atau seruling dan gondang hasapi terdiri dari dua buah hasapi, sarune kecil, suling atau
seruling, garantung atau bambu kecil dengan lima lempeng kayu sebagai pengganti taganing.
BAB III DESKRIPSI UPACARA KEMATIAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA
3.1 Tinjauan Umum Kematian Pada Masyarakat Batak Toba
Berbicara tentang kematian suku Batak mempunyai tradisi yang unik. Ada pula konsep “kematian ideal” pada suku Batak. Kematian mate ideal yang dimaksud disini
adalah mate saur matua. Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen
baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan.
Pada masyarakat batak kematian mate di usia yang sudah sangat tua merupakan kematian yang paling diinginkan terutama bila orang yang mati telah menikahkan semua
anaknya dan telah memiliki cucu dari anak-anaknya. Dalam tradisi budaya masyarakat batak khususnya batak toba kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua. Tulisan ini
membahas mate saur matua sebagai sebuah upacara kematian warisan produk kebudayaan masa lampau melalui tinjauan etnoarkeologi
2
2
Etnoarkeologi merupakan ilmu arkeologi yang menggunakan data etnografi sebagai analogi untuk membantu memecahkan masalah-masalah.
. Kiranya tulisan ini mampu memberikan tinjauan kritis dan arif terutama melalui konteks sistem hubungan masyarakat Batak Kristen
dengan upacara saur matua dari waktu terdahulu hingga terkini. Apalagi dimasa terkini upacara ini sering memunculkan kontroversi seputar ketidaksetujuan dari sebagian
masyarakat batak kristen untuk melestarikannya. Upacara saur matua dianggap bertentangan dengan ajaran agama baru kristen yang mereka anut. Motivasi awal upacara saur matua di
masa prakristen adalah agar kedudukan sahala kemuliaan, hikmat, dan otoritas arwah orang tua bisa naik terus hingga setingkat para dewa. Pada upacara adat orang yang mati saur matua
umumnya akan disembah, setidaknya dari keturunannya pomparan supaya sahala arwah meningkat dan mereka juga akan mendapatkan berkat sahala dari orang tua tersebut. Kini
suku batak memandang upacara adat saur matua sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas umur panjang dan kesempatan melihat anak cucunya. Bagi suku batak pesta ini dilakukan
sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian kepada orang tua yang sudah meninggal. Namun dari kacamata iman Kristen hal itu tidak berguna karena orang tersebut sudah
meninggal. Seharusnya bentuk pengabdian seorang anak ditunjukkan ketika orang tuanya masih hidup.
Kematian satu kata yang identik dengan kesedihan dan air mata, serta biasanya dihindari manusia untuk diperbincangkan. Namun, sebenarnya itulah yang ditunggu-tunggu
manusia yang sadar bahwa tanpa kematian tidak ada proses pada kehidupan yang kekal dan abadi. Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Maka kematian pada
dasarnya adalah hal yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti, karena cepat atau
lambat akan menjemput kehidupan dari masing-masing manusia.
Namun, wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian
itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.
3.2 Jenis-jenis Kematian Masyarakat Desa Sigumpar