Analisis Tekstual Penyajian Andung Dalam Kematian Pada Masyarakat Toba Desa Sigumpar Kecamatan Lintong Nihuta Kabupaten Humbang Hasundutan

(1)

ANALISIS TEKSTUAL PENYAJIAN ANDUNG DALAM KEMATIAN

PADA MASYARAKAT TOBA DESA SIGUMPAR KECAMATAN

LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

Skripsi Sarjana

Dikerjakan

O

l

e

h

MEDINA HUTASOIT

NIM : 080707012

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN


(2)

ANALISIS TEKSTUAL PENYAJIAN ANDUNG DALAM KEMATIAN PADA MASYARAKAT TOBA DESA SIGUMPAR KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

MEDINA HUTASOIT

NIM 080707012

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Drs. Kumalo Tarigan, M.A Drs. Fadlin, M.A

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa menyertai dan memampuka penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul ANALISIS TEKSTUAL PENYAJIAN ANDUNG DALAM KEMATIAN PADA MASYARAKAT TOBA DESA SIGUMPAR KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, yang merupakan puncak perjuangan penulis selama menimba ilmu di Departemen Etnomusikologi.

Skripsi ini berisikan hasil penelitian mengenai penyajian andung dan fungsi andung pada masyarakat batak toba terutama di desa sigumpar kecamatan lintong nihuta. Adapun tujuan dari tulisan ini dibuat dalam rangka melengkapi tugas untuk menyelesaikan pendidikan di jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, baik dari segi bahasa maupun isinya sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga tulisan ini lebih sempurna.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, kemudian Ketua dan Sekretaris Departemen Etnomusikologi, FIB-USU, Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, dan Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd, serta seluruh dosen dan pegawai di lingkungan Departemen Etnomusikologi FIB-USU, yang telah memberikan peluang, kemudahan dan bantuan moril kepada penulis sejak awal duduk di bangku perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi ini. Begitu juga menghanturkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas cinta dan dukungannya kepada penulis selama penulis menimba ilmu sampai menyelesaikan skripsi ini, beberapa di antaranya antara lain :


(4)

1. Yang terhormat Ibunda dan Ayahanda yang tercinta. Atas cinta dan Doanya yang tak terhingga buat penulis serta dorongan-dorongan yang mereka berikan kepada penulis juga kepada Rindu Hutasoit sebagai abang kandung penulis yang telah memberikan bantuan-bantuan terutama dalam bantuan-bantuan dana.

2. Buat Kakak/Abang serta adek-adek ku juga yang telah memberikan semangat buat penulis.

3. Yang terhormat Drs. Kumalo Tarigan, M.A dan Drs. Fadlin, M.A yang merupakan Dosen pembimbing yang memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

4. Kepada teman-teman mahasiswa dan alumni Etnomusikologi USU angkatan 2008, penulis mengucapkan terimakasih atas dorongan-dorongan dan motivasinya. penulis bangga punnya teman seperti kalian 

5. Kepada Rikki Faisal Tarigan sebagai abang yang baik dan setia menemani penulis saat-saat mengerjakan skripsi dan membantu baik dari moral ataupun material.

6. Kepada perpustakaan-perpustakaan, warnet-warnet, toko buku dan semua pegawainya yang memberikan kemudahan kepada penulis untuk mencari informasi berkaitan dengan penelusuran kepustakaan dan pengumpulan data dalam rangka penulisan skripsi ini. Terimakasih juga kepada siapa saja yang langsung ataupun tidak langsung terlibat selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Terimakasih atas semuanya.

Semoga kebaikannya dibalas oleh Tuhan Yang Maha Pengasih 

Medan,

Penulis, Medina Hutasoit


(5)

ABSTRAK

Skripsi ini akan membahas tentang analisis tekstual penyajian andung yang ada pada kematian masyarakat batak toba. Andung adalah sebuah nyanyian ratapan yang disajikan oleh perempuan dalam konteks kematian. Isi daripada andung tersebut merupakan kisah hidup orang yang meninggal dunia dinyanyikan atau diandungkan dihadapan jasadnya dimana syair atau teksnya berisikan ungkapan perasaan mendalam umumnya mengungkapkan kesedihan dan duka lara. Andung hannya ditujukan kepada orang yang meninggal, sedangkan andung-andung berisi tentang penderitaan hidup seseorang atau perjalanan hidup seseorang. Perbedaan lainnya adalah andung biasanya tidak menggunakan unsur musik sedangkan andung-andung selalu diiringi oleh musik. Dalam hal ini yang menjadi pokok permasalahan adalah melihat bagaimana andung disajikan pada konteks kematian umumnya pada masyarakat batak toba dan bagaimana analisis tekstual andung tersebut. Berkenan dengan itu dalam penulisan ini, maka notasi dipakai adalah dengan pendekatan deskriptif karena notasi deskriptif ini dapat juga diartikan sebagai notasi yang digunakan untuk menuliskan semua bunyi musik yang telah disajikan dari apa yang didengar.


(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar isi vi

BAB I : PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah 1

1.2Pokok Permasalahan 7

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian 7 1.3.2 Manfaat Penelitian 7 1.4Konsep dan Teori yang Digunakan 8

1.4.1 Konsep 8

1.4.2 Teori 10

1.5Metode Penelitian 12

1.5.1 Pemilihan Lokasi Penelitian 13 1.5.2 Studi Kepustakaan 13 1.5.3 Penelitian Lapangan (Observasi) 14

1.5.4 Wawancara 14

1.5.5 Kerja Laboratorium 15 BAB II : ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT DESA SIGUMPAR KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

2.1 Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi 16 2.2 Masyarakat Toba di Desa Sigumpar 17


(7)

2.2.1 Mata Pencaharian 17

2.2.2 Sistem Bahasa 19

2.2.3 Sistem Kepercayaan 20

2.3 Sistem Kekerabatan 22

2.4 Kesenian 29

2.4.1 Seni Musik 29

2.4.2 Seni Sastra 34

2.4.3 Seni Tari 34

2.4.4 Seni Bangunan dan Ukir-ukiran 35 2.4.5 Seni Kerajinan Tangan (ulos) 35 BAB III : DESKRIPSI UPACARA KEMATIAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA

3.1 Tinjauan Umum Kematian pada Masyarakat Batak Toba 38 3.2 Jenis-jenis Kematian Masyarakat Desa Sigumpar 39

3.2.1 Sari Matua 40

3.2.2 Saur Matua 40

3.2.3 Mauli Bulung 42

3.3 Tahap Pelaksanaan Pesta Adat Saur Matua Desa Sigumpar 45 3.3.1 Tahapan ke arah pelaksanaan Adat 45


(8)

3.3.2 Jalannya Upacara Saur Matua 46 3.3.3 Pelaksanaan Upacara Adat 53 3.3.4 Lokasi Upacara Saur Matua 57 BAB IV : ANALISIS TEKSTUAL DAN FUNGSI SOSIAL BUDAYA NYANYIAN ANDUNG

4.1 Analisis Tekstual 59

4.2 Deskripsi Nyanyian Andung 60 4.2.1 Teks Nyanyian Andung 60 4.2.2 Pemilihan dan Penggunaan kata dalam teks

Nyanyian Andung 63 4.2.3 Struktur Teks Nyanyian Andung 63 4.2.4 Isi Teks Nyanyian Andung 64 4.2.5 Fungsi Sosial Budaya Nyanyian Andung

Pada Masyarakat Toba 64 4.3 Penggarapan Teks Nyanyian Andung 65

4.4 Aspek Bahasa 66

4.4.1 Proses Transkripsi 67

4.4.5 Formula Melodi 68


(9)

4.5 Meter 70 4.6 Gaya Yang ditimbulkan akibat Hubungan Teks dan Melodi 70 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 72

5.2 Saran 76

DAFTAR INFORMAN DAFTAR PUSTAKA DAFTAR WESITE TRANSKRIP


(10)

ABSTRAK

Skripsi ini akan membahas tentang analisis tekstual penyajian andung yang ada pada kematian masyarakat batak toba. Andung adalah sebuah nyanyian ratapan yang disajikan oleh perempuan dalam konteks kematian. Isi daripada andung tersebut merupakan kisah hidup orang yang meninggal dunia dinyanyikan atau diandungkan dihadapan jasadnya dimana syair atau teksnya berisikan ungkapan perasaan mendalam umumnya mengungkapkan kesedihan dan duka lara. Andung hannya ditujukan kepada orang yang meninggal, sedangkan andung-andung berisi tentang penderitaan hidup seseorang atau perjalanan hidup seseorang. Perbedaan lainnya adalah andung biasanya tidak menggunakan unsur musik sedangkan andung-andung selalu diiringi oleh musik. Dalam hal ini yang menjadi pokok permasalahan adalah melihat bagaimana andung disajikan pada konteks kematian umumnya pada masyarakat batak toba dan bagaimana analisis tekstual andung tersebut. Berkenan dengan itu dalam penulisan ini, maka notasi dipakai adalah dengan pendekatan deskriptif karena notasi deskriptif ini dapat juga diartikan sebagai notasi yang digunakan untuk menuliskan semua bunyi musik yang telah disajikan dari apa yang didengar.


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah

Masyarakat toba adalah masyarakat yang sangat menghormati norma-norma adat yang diwariskan nenek moyangnya kepada mereka baik upacara perkawinan dan kematian. Kesetiaan terhadap praktek adat tersebut mereka buktikan dengan pembagian energi yang besar terhadap praktek pesta adat pada masyarakat toba khususnya dalam hal andung pada adat kematian. Dalam hal ini, adat adalah suatu tatanan tingkah laku yang lazim di ikuti dan dilakukan yang diatur dalam norma-norma, aturan-aturan yang diwariskan nenek moyang kepada generasi berikutnya (Lothar Schriner 1972:18)

Dalam tulisan ini akan membahas tentang andung toba yang merupakan salah satu musik vokal bagi masyarakat toba di desa sigumpar kecamatan lintong nihuta kabupaten humbanghasundutan. Andung merupakan suatu nyanyian ratapan dalam konteks kematian atau kemalangan. Secara umum andung adalah berisi tentang kesedihan atau penderitaan hidup. Wujud dari kemalangan ini adalah kesedihan dan dukacita misalnya pada saat kematian orang tua, dan anggota keluarga. Ini adalah sebuah lagu ratapan kematian dikalangan orang batak toba, isi dari pada andung tersebut biasanya berupa kisah hidup orang yang meninggal dunia dan dinyanyikan (diandungkan) dihadapan jasadnya. Ketika melakukan andung ini orang-orang yang melayat dapat mengetahui dan mengenal sifat-sifat dari orang yang meninggal tersebut. Andung sebagai salah satu warisan budaya yang pernah hidup dan berperan kuat didalam masyarakat batak toba yang sampai saat ini masih dipakai. Hannya orang tua-tua tertentu saja yang masih dapat menguasai hata andung dan hannya mereka yang masih dapat melakukan andung dengan menggunakan hata andung dengan benar. Berbeda halnya dengan andung bahwa andung-andung masih hidup subur dan sangat


(12)

kuat peranannya hingga sekarang ini. Bahkan andung-andung masih senang mendengar lagu-lagu yang bernada andung-andung. Kekuatan andung-andung ialah bahwa ia menyimpan sebuah semangat hidup dibalik isinya yang sering berisikan tentang kesedihan dan penderitaan hidup.

Banyak pendapat mendefenisikan bahwa andung berarti tangis atau ratap. Namun andung harus dibedakan dari tangis yang biasa, karena andung diutarakan dengan bentuk melodi tertentu yang diulang-ulang dengan teks yang tertentu pula. Mangandung berarti melakukan andung atau ratap, sedangkan orang yang melakukan andung disebut pangandung. Siahaan (1964 : 70) mengatakan teks andung merupakan sejenis sastra lisan yang berisi curahan perasaan untuk meratapi jenazah orang yang dikasihi. Dalam teks andung banyak digunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang tidak lazim dalam penghidupan sehari-hari.

Penulis memandang keberadaan andung saat ini dalam konteks kematian mempunyai fungsi/tujuan sebagai suatu ekspresi dukacita yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan adat yang bermakna menghormati orang yang meninggal (serta roh/tondi orang itu dan tondi yang duluan meninggal) dan merupakan sebagai semacam komunikasi antara dunia ini dan dunia lain (yang sudah meninggal) agar permohonan dari dunia ini dapat di ajukan kepada nenek moyang dan tuah/berkat dari mereka dapat diberikan kepada orang yang hidup terutama ahli warisnya. Syair- syair dari lagu andung bervariasi sehubungan dengan subjek yang diandungkannya. Namun pada umumnya dapat membawa ekspresi dukacita, kesedihan dari orang yang berdukacita. Andung ini juga memakai beberapa macam ikon-ikon tangisan, dalam hal mangandung, sipangandung itu akan menggerakkan tangannya secara teratur dan berulang kali, yaitu dari arah orang yang meninggal tersebut kearah jantungnya sendiri dengan makna untuk mengambil sahala/berkat dari orang mati kepada dirinya atau kepada keturunan, gerakan ini disebut “Mangalap tondi ni namate/mangalap sahala ni na mate”. Proses mentansfer sahala ini dianggap sangat penting bagi proses penyembuhan luka yang


(13)

dialami komunitas karena meninggalnya seseorang dan juga untuk menguatkan komunitas berdukacita serta komunitas yang lebih luas dalam konteks dalihan na tolu yaitu hula-hula, dongan tubu dan boru1

Hata andung adalah bahasa ratapan dipakai untuk meratapi kerabat atau kenalan yang meninggal. Selanjutnya Sibarani (1999 : 84-85) menjelaskan bahwa andung-andung dalam prosa liras yang dikumandangkan untuk mengekspresikan perasaan sedih baik karemditinggal kekasih, teman, anak, orangtua atau karena kesedihan lain. Andung-andung umumnya mempunyai ritme yang sama dengan andung namun berbeda dalam hal tujuannya. Didalam

pada masa depan. Selain gerakan ini, orang yang mangandung terkadang menyentuh muka (pipi) orang yang meninggal tersebut terkadang bergoyang-goyang atau menggerakkan tangan dengan kuat dan penuh perasaan sambil meratap. Semua gerakan ini dan yang lain juga merupakan suatu aspek komunikatif dari kegiatan meratap dalam ritus kematian orang batak toba.

Dalam andung (ratapan) ini hannya ada suara tangisan yang langsung keluar tanpa adanya musik yang mengiringi, karena dalam sistem adat batak toba apabila seseorang yang meninggal muda dan keturunannya masih kecil tidak dapat menerima adat yang lengkap. Isi dari syair orang mangandung tersebut biasanya tentang kejadian yang menimpanya pada saat kejadian berlangsung dan merupakan ungkapan perasaan dari sipenyaji. Oleh karena itu, kata-kata yang diucapkan tidak sembarangan tetapi ada aturan atau norma tersendiri dalam penyampaian kata-kata tersebut. Biasanya dalam mangandung ini bisa juga diiringi dengan ende (lagu) yang dibawakan oleh salah satu orang disekitarnya kemudian diikuti oleh andung-andung. Seorang yang melakukan andung disebut pangandung, sedangkan pekerjaan melakukan andung disebut mangandung. Seseorang yang melantunkan andung-andung disebut mangandung-andung.

1

Hula-hula yaitu kelompok marga istri. Dongan tubu yaitu teman sesama marga. Boru yaitu kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita (anak perempuan).


(14)

andung kata-katanya harus menggunakan “hata andung”, sedangkan andung-andung tidak harus menggunakan bahasa andung dan tidak selalu berhubungan dengan kematian. Andung-andung menggambarkan tentang perjalanan hidup atau penderitaan seseorang.

Fungsi dari andung ini dalam masyarakat toba antara lain adalah bahasa ratapan, bentuk ini dipakai pada waktu meratapi orang yang meninggal. Kata-kata yang dipergunakan lain dari yang dipakai sehari-hari. Misalnya kata anak disebut menjadi ‘sinuan tunas’(putra), boru ‘sinuan beu’(putri), amang ‘parsinuan’(ayah), inang ‘pangintubu’(ibu). Andung ini bisa juga dikatakan sebagai sarana komunikasi untuk memberitahukan atau sebagai tanda bahwa ada orang yang meninggal dunia terhadap orang-orang disekitarnya. Pada waktu mangandung orang yang meninggal tersebut, maka penyaji mengungkapkan segala keluh kesah didalam kehidupannya, seperti contoh “boasama lao ho, tinggalhononmu ma hape hami na dison, lungun nai pakkilaanki di bahen ho”. Artinya: “kenapa kau pergi, kau tinggalkan nya rupanya kami disini, sedih hatiku kau buat”. Jadi, andung ini bisa dikatakan sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan/isi hati sipenyaji tentang penderitaan yang dialami dalam hidupnya. Semua keluh kesah diungkapkan didalam andung tersebut. Sipenyaji terus menerus mangandung dihadapan jenazahnya sampai puas mengungkapkan perasaannya. Biasanya mereka tidak perlu lagi dengan aktivitas atau kegiatan lain, sipenyaji terlarut dalam duka yang mendalam dan terus mengungkapkan perasaan yang ada dalam hatinya, kata-kata yang diungkapkan mengalir secara spontan. Dengan menyajikan andung tersebut maka sipenyaji merasa puas karena sudah mengungkapkan perasaan yang ada dalam hatinya.

Selain itu andung-andung ini juga banyak berfungsi sebagai pengisi waktu bersifat hiburan. Andung-andung yang menggambarkan kesedihan hidup misalnya “andung-andung ni na so marina” ratapan karena tidak mempunyai ibu. Andung-andung ini biasanya sangat sedih karena dalam batak toba ketika seseorang tidak mempunyai ibu lagi, orang-orang pun pada umumnya tidak mempedulikan atau tidak menghargai anak-anak yang ditinggalkan oleh


(15)

ibunya tadi. Sebagaimana berpendapat bahwa andung dan andung-andung pada prinsipnya nya adalah sama. Memang sekilas tidak ada bedanya, tetapi bila ditelusuri lebih jauh akan kita temukan persamaan dan perbedaan diantara keduannya. Andung-andung adalah tiruan dari andung dan yang ditiru adalah irama (ritme) nya.

Selanjutnya penulisan ini lebih memfokuskan pada penyajian andung pada pesta adat kematian khususnya pada orang yang saur matua. Saur matua yaitu seseorang yang meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak marpahompu sian boru. Biasanya pesta adat kematian orang yang saur matua pada masyarakat toba berlangsung antara 3-4 hari tergantung permintaan yang meninggal juga tetapi dalam penyajian andung ini berlangsung 1-2 hari saja, karena hari ke 3 adalah persiapan untuk memperlengkapi apa yang perlu dalam pesta tersebut kemudian hari terakhir orang yang meninggal tersebut diangkat/dibawa keluar halaman tempat pesta tersebut. Dalam memenuhi pesta adat kematian di masyarakat toba penyaji andung atau salah satu dari anggota keluarga tersebut diharapakan memiliki peran aktif, artinya tugas dia bukan hannya menyajikan andung tetapi begitu pesta adatnya dimulai dia harus aktif mengikuti jalannya pesta adat kematian tersebut dan memahami seluk beluk permasalahan diantara kelompok keluarga, sehingga pada saat dia menyajikan andung dia bisa memaparkan keadaan, menyampaikan maksud keinginan serta mendamaikan apabila ada terjadi permasalahan dalam kelurga tersebut. Dengan demikian penyaji andung memiliki peran yang penting dalam lingkungan keluarga pemilik pesta adat tersebut karena difungsikan juga mewakili orang atau kelompok yang akan menyampaikan kata-kata nasehat. Walaupun penyaji andung memiliki peran yang penting bagi pesta adat kematian masyarakat toba tetapi tidak juga menjadi keharusan tergantung keinginan sipenyaji.

Akan tetapi melihat keadaan saat ini tradisi atau kebiasaan meratap seperti ini ditentang oleh Greja (pinpinan/ajaran) yang menganggap bahwa penghormatan roh-roh nenek


(16)

moyang melalui andung-andung, serta benang-benang penghubung yang masih ada diantara tradisi ratapan dan kultus tondi (roh) adalah berlawanan dengan ajaran dogmatis/teologis dari Greja Protestan. Respon dari greja adalah untuk menggantikan tradisi andung dengan lagu-lagu greja (ende huria). Proses ini diungkapkan dalam ucapan “ganti andung gabe ende artinya ganti andung menjadi lagu greja. Lagu-lagu tersebut diambil dari buku nyanyian greja (buku ende) dan berasal dari lagu greja eropa yang dibawa oleh para penginjil pada masa penginjilan di tapanuli. Buku ende itu adalah buku nyanyian yang sah dari greja kristen batak protestan.

Dari uraian diatas ada beberapa hal yang menarik untuk disaji secara Etnomusikologi dalam bentuk karya ilmiah yaitu: berhubungan dengan analisis makna tekstual andung sehingga nyanyian itu dapat mempengaruhi orang dalam suasana duka. Maka penulis meneliti lebih lanjut dan membuat kedalam bentuk karya ilmiah dengan judul “ Analisis Tekstual Penyajian Andung dalam pesta adat Kematian pada Masyarakat Toba di Desa Sigumpar Kecamatan Lintong Nihuta Kabupaten Humbahas”.


(17)

1.2 Pokok Permasalahan

Ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini yaitu:

1. Mengetahui makna dan struktur teks yang terkandung dalam andung tersebut.

2. Bagaimana cara penyajian andung dalam pesta adat kematian masyarakat toba di desa sigumpar kecamatan lintong nihuta kabupaten humbanghasundutan.

3. Mengetahui fungsi andung bagi masyarakat toba dari nyanyian tersebut.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan membuat suatu deskripsi tentang makna struktur teks yang terdapat dalam andung

2. Untuk mengetahui dan membuat suatu deskripsi tentang penyajian andung dalam pesta adat kematian masyarakat toba di desa sigumpar kecamatan lintong nihuta kabupaten humbanghasundutan.

3. Untuk mengetahui fungsi andung tersebut pada masyarakat toba di desa sigumpar kecamatan lintong nihuta.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:

1. Untuk memahami makna budaya batak toba dari aspek andung terutama dalam kematian.


(18)

3. Sebagai perbendaharaan dokumentasi musik tradisional toba yang kemudian dapat sebagai bahan perbandingan bagi yang memerlukannya atau untuk bahan penelitian selanjutnya.

1.4 Konsep dan Teori yang Dipergunakan 1.4.1 Konsep

Untuk memberikan pemahaman yang sama dalam tulisan ini perlu diuraikan kerangka konsep yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam penulisan yaitu: Andung merupakan nyanyian ratapan atau musik vokal yang ada pada masyarakat toba yang disajikan pada konteks kematian dimana syair atau teksnya biasanya berisi uraian situasi yang pernah dilakukan oleh orang yang meninggal tersebut sewaktu hidup.

Nyanyian merupakan bagian dari musik. Secara umum musik terbagi atas tiga bagian yaitu: Musik vokal, musik instrunmental dan gabungan antara instrumental dan vokal. Musik vokal adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut, bibir, lidah dan kerongkongan yang memiliki irama, nada atau ritem, dinamik, melodi dan mempunyai pola-pola serta aturan untuk bunyi tersebut. Musik vokal dapat juga disebut sebagai nyanyian. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Poerwadarminta (1985:680), bahwa nyanyian adalah sesuatu yang berhubungan dengan suara/bunyi yang berirama yang merupakan alat/media untuk menyampaikan maksud seseorang atau tanpa iringan musik. Berdasarkan uraian diatas maka nyanyian andung dapat disebut juga sebagai musik vokal karena menghasilkan bunyi yang memiliki irama, nada, dinamik dan pola-pola melodi.

Analisis dapat diartikan menguraikan suatu hal atau ide kedalam setiap bagian-bagian sehingga dapat diketahui bagaimana sifat, perbandingan, fungsi maupun hubungan dari bagian-bagian tersebut. Analisis yang penulis maksud disini adalah menguraikan struktur teks


(19)

serta makna yang terkandung dalam teks tersebut. Adapun yang dimaksud tekstual adalah segala aspek-aspek yang berhubungan dengan teks. Jadi makna tekstual adalah pengertian yang lebih mendalam tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan teks (Sumarjono 1990:42). Dalam hal ini makna teks yang dimaksud adalah suatu pengertian yang lebih mendalam tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan teks andung dalam masyarakat toba.

Makna adalah suatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi suatu kata atau teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian yaitu makna konotatif dan makna denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang mengandung arti tambahan atau disebut makna sebenarnya (Keraf 1991:25)

Teknik adalah sesuatu yang berhubungan dengan cara-cara (Ali 1990:180). Sedangkan penyajian adalah menyangkut proses penyampaian, memberikan dan mempertunjukkan (Ibid : 163). Jadi teknik penyajian yang dimaksud dalam tulisan ini adalah merupakan cara-cara yang digunakan sebagai proses penyampaian atau mempertunjukkan dalam hal ini andung.

Pengertian adat menurut Koentjaraningrat adalah kompleksitas norma-norma umum yang berda diatas individu yang sifatnya mantap dan kontinu dan yang mempunyai sifat memaksa atau sanksi (1986:199)

Kematian menyangkut arti yang sangat luas yaitu akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan.


(20)

1.4.2 Teori

Sebagai landasan dalam membahas permasalahan penelitian ini penulis menguraikan teori yang relevan dengan Etnomusikologi:

Menurut Merriam (1964:87) salah satu sumber atau bahan yang paling jelas mengenai perilaku manusia dalam hubungannya dengan musik adalah teks. Dalam hal ini andung merupakan bahan yang dapat menjelaskan perilaku manusia dalam hubungannya dengan musik. Untuk dapat memahami arti yang lebih mendalam dari aspek-aspek teks dari nyanyian andung maka perlu dilakukan suatu kajian tekstual. Menurut Echols dan Shadily (1986:380) kajian tekstual adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan yang dilakukan dengan memakai metode ilmiah atau mengkaji isi karangan atau isi teks sebuah nyanyian.

Untuk menganalisis teks nyanyian penggunaan dan fungsi musik, penulis mengacu kepada tulisan Merriam (1964:187) menyebutkan satu yang paling penting untuk mengerti tata tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan musik adalah melalui teks nyanyian. Teks tentu saja adalah bahasa tingkah laku yang lebih dari bunnyi musik, mereka merupakan suatu kesatuan yang integral dari musik. Lebih lanjut Merriam (1964:233) mengatakan bahwa penggunaan dan fungsi musik merupakan hal yang penting dibahas, karena hal ini menyangkut makna musik, menyangkut aspek timbal balik antara objek dan subjek serta bagaimana efek musik terhadap manusia pemiliknya dan kelanjutannya perlu ditambah pula bahwa etnomusikologi adalah studi musik dalam kebudayaan, suara musik adalah hasil proses tingkah laku dan kepercayaan orang yang mempunyai musik tersebut. Musik adalah produk manusia yang mempunyai eksistensi keadaan hidup dan tingkah laku yang menghasilkannya (terjemahan Marc Pellman.1992:3)

Tekstual merupakan hal yang paling penting dalam tulisan ini, dimana tekstual yang dipakai dalam penyajian andung adalah kata-kata sehari-hari dan kata-kata yang berbentuk


(21)

kiasan (metafora). Kemudian untuk membahas masalah metafora penulis mengacu kepada apa yang dikatakan Field (1974:197) ada dua masalah yang mendasar sekali yang tersirat yaitu: (1) Bahasa dalam musik, meliputi hubungan tekstual, sifat puitis, gaya bahasa didalam struktur nyanyian, dan (2) Musik didalam bahasa, meliputi eksistensi sifat (properties) keunikan dari bahasa. Hal ini tentu untuk melihat eksisistensi akan adanya konsep didalam pemikiran masyarakat pendukung suatu kebudayaan yang mempertimbangkan kata-kata musikal (teks) yang ada dalam tradisi musik mereka yang tentu berhubungan dengan teori masyarakat (ethno-theory) yang empunnya kebudayaan tersebut.

Dalam mendeskripsikan andung, sesuai yang dikemukakan Netll (1963:98) ada dua pendekatan didalam mendeskripsikan musik yaitu: (1) kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, dan (2) kita dapat menganalisis musik tersebut diatas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat. Selanjutnya menurut Carles Seeger mengemukakan seperti yang ditulis Netll (1964:100) mengemukakan dua tujuan pendeskripsian musikal yaitu preskriptif dan deskriptif dapat disebut sebagai notasi yang tidak lebih dari untuk membantu mengingat pemain terhadap musikal pada saat melakukan pertunjukan. Sedang deskriptif adalah notasi yang menuliskan semua karakter musikal secara rinci dari suatu komposisi musik yang pembaca tidak mengetahui sebelumnya.

Berkenan dengan kebutuhan transkripsi dalam penulisan ini maka notasi dipakai adalah dengan pendekatan deskriptif karena notasi deskriptif ini dapat juga diartikan sebagai notasi yang digunakan untuk menuliskan semua bunyi musik yang telah disajikan dari apa yang didengar. Dalam membahas andung ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan seperti aspek psikologis, tekstual serta dalam konteks kebudayaan (seperti fungsi dan penggunaannya) maka teori yang dipergunakan disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan. Berkaitan dengan musikologis, Malm (1977:8) mengatakan bahwa ada beberapa karakteristik yang harus diperhatikan ketika mendeskripsikan melodi, yaitu: (1) Scale (tangga


(22)

nada), (2) Nada dasar, (3) Range (wilayah nada), (4) Frequency of notes (jumlah nada-nada), (5) Prevalent intervals (interval yang dipakai), (6) Cadence patterns (pola-pola kadensa), (7) Melodic formulas (formula-formula melodi), (8) Contour (kontur)

Berkaitan dengan tekstual andung, Curt Sacs (1962:66) menulis tentang logogenik dan melogenik. Logogenik adalah nyanyian yang mengutamakan teks daripada melodinya, karena melodinya merupakan perulangan-perulangan saja. Sedangkan melogenik adalah sebaliknya dimana yang diutamakan adalah melodinya karena teks merupakan perulangan saja. Berdasarkan teori ini kita dapat melihat apakah andung lebih mengutamakan teks daripada melodi atau sebaliknya.

1.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif. Penelitian deskriptif adalah bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat (Koentjaraningrat 1990:29). Sedangkan meurut Hadari dan Mimi Martini (1994:176) penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring data/informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu dalam objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Sejalan dengan itu, Bogdan dan Taylor (dalam Meleong 1988:3), mengungkapkan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku masyarakat yang dapat diamati. Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(23)

1.5.1 Pemilihan Lokasi Penelitian

Sebagai suatu musik (nyanyian) yang dalam pewarisannya secara oral tradisi, maka dapat dipastikan setiap kali penyajian akan muncul suatu perbedaan bahkan oleh penyaji yang samapun. Namun perbedaan itu dalam batas-batas toleransi sehingga tidak merubah persepsi dan makna dari nyanyian itu. Demikian juga halnya dengan andung batak toba, setiap kali penyajian pasti ada perubahan dari penyajian sebelumnya misalnya dari setiap kata-kata yang diandungkan dari sebelumnya pasti ada perbedaannya. Untuk kepentingan penulisan ini, penulis mengambil studi kasus pada seorang penyaji andung (seorang natuatua) yang sudah dianggap terbiasa dalam mangandung yaitu Op Bronson hutasoit. Op bronson ini berasal dari desa sigumpar kecamatan lintong nihuta kabupaten humbang hasundutan yaitu tempat tinggal dia berada disana. Biasanya setiap ada orang meninggal Op bronson ini tidak pernah lupa untuk mangandung, seperti halnya disebut seperti sudah terbiasa dalam mangandung. Sewaktu penulis juga melakukan wawancara terhadap Op Bronson tersebut, dia juga mengatakan sebuah pendapat seperti ini “molo boi nian diganti ma andung on gabe ende-ende na mate” artinya “kalau bias menurut saya juga diganti aja andung jadi nyanyian-nyanyian untuk orang meninggal”.

1.5.2 Studi Kepustakaan

Untuk mendukung informasi yang penulis peroleh tentang andung, penulis juga mencari buku-buku yang relevan terhadap masalah-masalah yang dibahas. Walaupun demikian sepanjang yang penulis ketahui, buku-buku yang menjelaskan secara lengkap dan terperinci mengenai andung batak toba belum dapat ditemukan. Buku yang ada hannyalah memberikan gambaran secara umum tentang seni dan nyanyian tradisional batak toba. Dalam hal ini juga penulis menggunakan referensi dari internet dan sebagian besar dari beberapa skripsi yang relevan dengan objek yang diteliti.


(24)

1.5.1 Penelitian Lapangan (Observasi)

Teknik pengumpulan data dengan observasi adalah metode yang digunakan dengan menggunakan pengamatan dan pengundaraan untuk menghimpun data penelitian. Menurut Bungin (2007:115) metode observasi merupakan kerja pancaindra mata serta dibantu dengan panca indra lainnya.

Dalam meneliti andung ini, penulis meneliti langsung kelapangan. Penulis melakukan penelitian pada bulan April 2012 dengan mendatangi sebuah rumah duka yang baru meninggal yaitu Op Sandika hutasoit yang berumur 59 tahun. Penulis menghadiri adat pesta kematian Op Sandika hutasoit yang dilaksanakan didepan halaman rumahnya. Adapun lokasi penelitian ini adalah didesa sigumpar kecamatan lintong nihuta kabupaten humbang hasundutan.

1.5.2 Wawancara

Salah satu teknik pengumpulan data dan informasi di peroleh dengan melakukan wawancara untuk mendapatkan informasi dengan cara bertannya langsung. Adapun teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus (focused interview) yaitu membuat pertanyaan yang berpusat terhadap pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara bebas (free interview) yaitu pertanyaan yang tidak hannya berfokus pada pokok permasalahan saja tetapi pertannyaan berkembang kepokok permasalahan lainnya yang bertujuan untuk memperoleh data lainnya namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan (Koentjaraningrat 1985:139). Disamping itu penulis juga melakukan wawancara sambil lalu (casual interview) yaitu dimana penulis tidak mempunyai persiapan sebelumnya, dan orang yang diwawancarai itu secara kebetulan berjumpa disuatu tempat. Melong menawarkan sebaiknya menggunakan wawancara berstruktur penulis dan wawancara tidak berstruktur (1997:138-139). Pada wawancara berstruktur penulis menyusun daftar


(25)

pertanyaan pada pokok permasalahn saja, sedangkan pada wawancara tidak berstruktur tannya jawab, penulis lakukan seperti dalam percakapan sehari-hari dengan melihat keadaan dan ciri khas dari informan. Dengan melakukan teknik wawancara tersebut, maka penulis mendapatkan banyak informasi tentang objek yang diteliti. untuk merekam wawancara penulis menggunakan handphone dan juga menggunakan catatan untuk mencatat hal-hal yang berhubungan dengan andung seperti aspek-aspek sosialnya dan sebagainya. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara terhadap beberapa informan yaitu: Op bronson br hts, Ibu masnida br Aritonang, Op jujur br marbun dan Op ropatina br hts. Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa batak toba dan selanjutnya diterjemahkan oleh penulis sendiri. 1.5.3 Kerja Laboratorium

Semua data yang diperoleh dan hasil wawancara dan hasil pengamatan dilapangan selanjutnya akan di telaah dan diolah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan-pendekatan etnomusikologis, dan jika ada data yang dirasa kurang lengkap maka penulis melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dalam hal ini dilakukan berulang-ulang. Dalam mengolah data penulis melakukan proses menjaring data, menyeleksi data, menambah data yang kurang, memodifikasi teori, klasifikasi data dan memformulasi data.

Setelah melakukan kerja laboratorium, maka penulis membuatnya kedalam sebuah tulisan ilmiah berbentuk skripsi sesuai dengan teknik-teknik penulisan karya ilmiah. Dengan demikian tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan pengetahuan dibidang etnomusikologi.


(26)

BAB II

ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT DESA SIGUMPAR KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

Pada bab II ini saya akan menguraikan tentang keadaan lingkungan masyarakat yang tinggal di desa sigumpar, seperti lokasi lingkungan alam dan demografi, mata pencaharian dan sistem bahasa, serta etnografi umum masyarakatdesa sigumpar seperti sistem religi, sistem kekerabatan maupun sistem keseniannya. Beberapa aspek tersebut menurut penulis juga penting untuk dijelaskan, karena selain untuk mengenalkan daerah penelitian penulis kepada pembaca, beberapa aspek seperti sistem bahasa, sistem kekerabatan dan sistem keseniannya juga berhubung dengan Andung. Penyajian Andung pada masyarakat desa sigumpar menggunakan bahasa batak Toba dan disajikan pada waktu ada orang yang meninggal, dan biasanya orang yang menyajikan andung ini adalah pada umumnya salah satu kerabat dari orang yang meninggal tersebut. Penulis juga berpendapat bahwa sistem kesenian juga menjadi aspek yang sangat penting untuk dibahas disini, karena Andung merupakan salah satu bentuk seni vokal dari kebudayaan musikal Toba. Berikut ini akan dijelaskan beberapa aspek tersebut secara umum.

2.1 Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi

Daerah yang penulis ambil sebagai lokasi penelitian adalah desa sigumpar kecamatan lintong nihuta, kabupaten humbang hasundutan. Jarak desa sigumpar dari ibu kota provinsi Sumatera utara lumayan jauh. Bila ditempuh dengan naik bus sekitar ± 7 jam. Desa sigumpar adalah lumayan berpotensi dalam bidang pertanian, padi, sayur-sayuran dan terutama dalam penghasilan kopi. Masyarakat luar sering datang berkunjung ke daerah ini karena terkenal penghasil kopi, yang mana disebut dengan Kopi Lintong. Dengan suhu yang sangat begitu dingin dan tanah yang lumayan subur membuat daerah ini sangat cocok untuk kegiatan


(27)

pertanian. Hasil dari usaha yang mereka lakukan biasanya ada yang di dagangkan kepasar dan sebagian di ekspor ke luar negeri.

2.2 Masyarakat Toba di Desa Sigumpar

Masyarakat toba didesa sigumpar selain mengenai besar kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat juga menghadapi soal perbedaan asa dan kompleksitas dari unsur kebudayaan, biasanya membedakan kesatuan masyarakat yang ada di desa sigumpar berdasarkan kepada kriteria mata pencaharian dan sistem ekonomi, yang mencakup beberapa macam yaitu: masyarakat peternak, masyarakat peladang, masyarakat petani pedesaan. Sebagai masyarakat orang batak toba mengakui kehidupan sosial mereka tidak dapat terlepas dari kebudayaan yang dimiliki. Konsep kebudayaan masyarakat ini secara keilmuwan telah dibahas secara luas dari sudut disiplin ilmu sosiologi dan antropologi. Hal ini diungkapkan oleh Koentjaraningrat tentang kebudayaan itu sebagai ungkapan dari ide, gagasan dan tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidup sehari-hari yang diperoleh melalui proses belajar dan mengajar.

Masyarakat yang berbudaya hidup dari berbagai faktor yang menentukan cara kehidupan masyarakat, disamping lingkungan dan teknologi faktor lain adalah organisasi sosial dan politik yang berpengaruh dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Unsur-unsur itu disebut dengan inti kebudayaan meliputi kemampuan pengetahuan masyarakat terhadap sumber daya yang ada.

2.2.1 Mata Pencaharian

Pada umunya pekerjaan masyarakat desa sigumpar adalah bercocok tanam padi disawah dan di ladang, selain itu didesa sigumpar juga terkenal dengan penanaman kopi yang biasa di sebut dengan kopi lintong. Selain itu masyarakat desa sigumpar bermata pencaharian


(28)

sebagai pegawai dan wiraswasta. Pasar induk kopi di desa sigumpar kabupaten humbang hasundutan yang diproyeksikan untuk menampung hasil panen petani kopi di rencanakan sudah dapat beroperasi. Dengan adanya pasar induk ini petani kopi dapat menjual biji kopi mentah dengan harga lebih tinggi, sehingga kesejahteraan petani kopi daerahnya meningkat. Dalam berwiraswasta juga bidang usaha yang banyak dikelola oleh masyarakat dalam usaha kerajinan tangan seperti usaha penenunan ulos dan ukiran kayu. Saat ini sudah cukup banyak juga yang memulai merambah kebidang usaha jasa dan bertani. Untuk mendukung peningkatan produtivitas bertani seperti menanam padi di sawah, bapak bupati desa sigumpar menyediakan lahan yang akan di olah oleh desa sigumpar untuk menanam padi dan juga memperbaiki saluran irigasi, selain itu sebagian juga lahan di dapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap keluarga mendapatkan tanah tetapi tidak boleh menjualnya selain tanah ulayat ataupun tanah yang dimiliki perseorangan. Tanaman yang sering ditanam diladang adalah tebu, tanaman ubi, sayur-sayuran dan mentimun. Peternakan juga salah satu mata pencaharian desa sigumpar antara lain, peternakan kerbau, babi, kambing, ayam dan bebek. Beberapa tahun kemudian dilaksanakan percobaan penanaman tanaman seperti kentang dan kol, masyarakat pun menyambut baik usaha ini. Hasil produk pertanian yang ada sebagian di jual kepasar dan sebagian ada juga di ekspor hingga keluar negri. Desa sigumpar memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa tertututp yang membentuk kelompok-kelompok kecil masyarakatnya. Biasanya kelompok-kelompok ini adalah kumpulan marga/klan atau masih memiliki hubungan kekerabatan dalam dalihan na tolu. Desa-desa tertutup ini disebut huta. Adapun nama-nama huta di desa sigumpar antara lain huta banjar panova, banjar ina-ina, banjar gadong, dan banjar ganjang. Disekitar huta tersebut biasanya dekat dengan bahal yang biasanya terdapat pohon baringin, biasanya disebut juga dengan hariara (pohon beringin) ada dua jenis rumah adat yang ada didalam huta batak yaitu rumah dan sopo yang saling berhadapan. Diantara kedua deretan bangunan tersebut terdapat halaman yang luas


(29)

(alaman) yang menjadi tempat kegiatan orang tua maupun anak-anak. Kedua bangunan ini meskipun secara sekilas kelihatan sama sebenarnya berbeda dari sisi konstruksi dan fungsi. 2.2.2 Sistem Bahasa

Desa sigumpar merupakan salah satu daerah di kabupaten humbang hasundutan yang penduduknya adalah mayoritas suku batak toba. Bahasa batak toba merupakan bahasa yang menetap dipakai disana. Hampir seluruh masyarakat batak toba menggunakan bahasa batak toba sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun percakapan dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat batak toba juga memiliki aksara yang disebut surat batak adalah nama aksara nusantara lainnya. Aksara ini memiliki beberapa varian bentuk tergantung bahasa dan wilayah. Secara garis besar ada lima varian surat batak di sumatra yaitu karo, toba, dairi, simalungun dan mandailing. Aksara ini wajib diketahui oleh para datu (dukun) yaitu orang yang dihormati ole Kini aksara ini masih dapat ditemui dalam berbaga masyarakat batak. Masyarakat batak toba juga mengenal ina ni surat yaitu huruf-huruf pembentuk dasar huruf aksara batak. Selama ini ina ni surat yang dikenal terdiri dari: a, ha, ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga, la, ya, nya, ca, nda, mba, i, u. Nda dan

Mba adalah konsonan rangkap yang hanya ditemukan dalam variasi batak karo sedangkan

Nya hanya digunakan di mandailing akan tetapi dimasukkan juga dalam alfabat toba walaupun tidak digunakan. Aksara Ca hanya terdapat di karo sedangkan di angkola-mandailing huruf Ca ditulis dengan menggunakan huruf Sa dengan sebuah tanda diakritik yang bernama tompi di atasnya. Ina ni Surat adalah induk dari surat batak yang merupakan huruf-huruf pembentuk yang menjadi huruf dasar dalam penulisan aksara batak. Ada 19 ina


(30)

ni surat, ina ni surat tersebut adalah: A, Ha, Ma, Na, Ra, Ta, Sa, Da, Ga, Ja, La, Pa, Ba, NGa, NYa, Wa, Ya, I dan U. Untuk lebih cepat mengingat ke 19 Ina ni surat ini kita kelompokkan menjadi beberapa kata yaitu AhaMaNaRaTa ?? SaDaGaJa, BaNga, LaPa, NyaWa: Ya,I,U. Contoh Ina ni surat dalam batak toba :

2.2.3 Sistem Kepercayaan

Sebelum masyarakat toba desa sigumpar menganut Agama Kristen Protestant, mereka mempunyai sistem kepercayaan tentang debata mula jadi na bolon yang memiliki kekuasaan di atas langit yang menyangkut jiwa dan roh yaitu: tondi, sahala dan begu. Tondi adalah jiwa atao roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberikan nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang didalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka untuk itu diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula. Begu adalah tondi orang telah meninggal yang tingkah lakunya sama


(31)

dengan tingkah laku manusia, hannya muncul pada waktu malam. Disamping aliran kepercayaan (agama suku) tersebut diatas terdapat juga dua agama besar yang berpengaruh dan dianut oleh masyarakat batak khususnya batak toba yaitu Kristen protestan dan Islam. Sebelum masyarakat toba memeluk agama kristen dan islam, diantara mereka masih ada yang mengikut kercayaan seperti parmalim, parbaringin, dan parhudam-hudam. Religi-religi ini sering pula disebut agama si raja na batak karena religi ini diyakini oleh sebagian besar orang batak toba. Dulu kepercayaan yang dianut masyarakat batak toba adalah kepercayaan terhadap mula jadi na bolon yang dipercayai oleh orang batak sebagai dewa tertinggi mereka yaitu pencipta tiga dunia yaitu: dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga), dunia bawah (banua toru).

Demikianlah religi dan kepercayaan suku batak toba yang walaupun sudah menganut agama kristen dan berpendidikan tinggi tetapi belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam didalam hati sanubari mereka. Pada masyarakat desa sigumpar, siklus kehidupan seseorang dari lahir kemudian dewasa berketurunan sampai meninggal, melalui beberapa masa dan peristiwa yang dianggap penting karenya pada saat-saat atau peristiwa penting tersebut perlu dilakukan upacara-upacara yang bersifat adat kepercayaan dan agama. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara turun mandi, pemberian nama, potong rambut dan sebagainya pada masa anak-anak, upacara mengasah gigi, upacara perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Dikalangan masyarakat batak dikenal upacara memberi makan enak kepada orang tua yang sudah lanjut usia tetapi masih sehat, tujuannya untuk memberi semangat hidup agar panjang umur dan tetap sehat juga kepada orang tua yang sakit dengan maksud agar dapat sembuh kembali. Upacara ini disebut “sulang-sulang”. Meskipun kini sebagian besar penduduk sudah memeluk agama kristen, tapi kepercayaan lama yang bersifat animistis masih terlihat dalam upacara-upacara yang dilakukan. Misalnya upacara memanggil roh leluhur kerumah keluarga yang masih hidup


(32)

dengan perantaraan sibaso atau dukun wanita. Sibasoo nanti akan kemasukan roh sehingga setiap ucapannya dianggap kata-kata leluhur yang meninggal.

Dalam konteks kepercayaan tradisional agama batak toba terdapat konsep bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya. Misalnya pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan jauh dari dunia nyata kedunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh.

Dari beberapa versi cerita kehidupan orang batak bahwa orang batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya allah yang satu yang disebut mula jadi na bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang batak kala itu percaya ada kekuatan besar debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata mula jadi na bolon adalah sebagai ilah yang tidak bermula dan tidak berakhir, dia adalah awal dari semua yang ada.

2.4 Sistem Kekerabatan

Masyarakat batak toba memiliki sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik antara invidu dengan individu ataupun individu dengan masyarakat lingkungannya. Dari sistem ini biasanya bersumber masalah lain dalam sistem kemasyarakatan, seperti sistem daur hidup, kesatuan hidup setempat dan stratifikasi sosial.


(33)

Fungsi kekerabatan bagi masyarakat toba adalah pelaksanaan hak dan kewajiban kekerabatan dalam kegiatannya berdasarkan pandangan dalihan na tolu yang disebut: tohonna partondongan. Dalihan na tolu dalam hak dan kewajiban yang paling mendasar terletak pada: Suhu Ampang Na Opat, yang dimulai dan tumbuh dari keluarga dasar atau saripe. Keluarga dasar seperti ini adalah tiang tonggak dan menjadi pusat kegiatan atau inti kegiatan suhut yaitu Opat Pat Ni Pansa, yang terdiri dari:

a. Pamarai yaitu saudara laki-laki suhut, seayah se ibu atau saudara se ayah lain ibu, sering juga disebut pangalap.

b. Tulang yaitu saudara kandung laki-laki dan istri suhut (tunggane) se ayah se ibi atau se ayah lain ibu.

c. Simolohon atau simondokkon yaitu anak laki-laki dari suhut dan saudara laki-laki dari perempuan dari putri suhut.

d. Pariban yaitu anak perempuan dari suhut dan saudara perempuan dari putri suhut. Fungsi dari Suhu Ampang Na Opat ini adalah pendukung utama dari kegiatan inti atau dari pekerjaan suhut atau horja. Apa saja kegiatan suhut, keempat personil inilah yang turut bertanggung jawab bersama suhut. Dasar sistem sosial yang terdapat dalam masyarakat batak toba adalah marga. Dalam kehidupan tradisional masyarakat pedesaan batak toba, terdapat dominasi marga yang dianggap sebagai pendiri desa itu (bhs btk toba:sisuan bulu).

Masyarakat toba juga mempunyai sistem marga (klan). Marga dalam bahasa batak toba tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut boru. Marga atau boru ini disandang dibelakang nama seseorang. Marga atau boru ini diperoleh dari marga Ayah (garis keturunan patrilineal). Garis keturunan patrilineal inilah yang selanjutnya dapat memberikan arah dengan siapa seseorang boleh kawin dan tidak boleh kawin. Orang yang mempunyai marga dan boru yang sama dianggap bersaudara dan itu artinya mereka tidak


(34)

boleh kawin. Namun bila ditemukan seorang laki-laki dan perempuan yang bermarga sama mereka disebut mar’ito. Marga yang tinggal didesa sigumpar ini pada umunya marga

Sihombing, Silaban, Nababan dan Hutasoit. Inilah yang disebut siopatama oleh nenek moyang dulu.

Kekerabatan orang batak toba yang ditentukan berdasarkan wilayah pemukiman terlihat dari terbentuknya kesepakatan terhadap tradisi adat istiadat yang ada disetiap wilayah. Hal ini dapat terjadi meskipun orang batak hannya bermukim diwilayah lain mereka tetap mempertahankan adat istiadatnya. Kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiaman ini memiliki daya rekat yang sama kuat dengan kekerabatan yang berdasarkan keturunan. Hal ini tergambar dalam peribahasa batak toba: “Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul”. Artinya semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adlah suatu pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan batak lebih dekat lagi karena bermukim disuatu wilayah. Kelompok kekerabatan suku bangsa batak toba berdiam didaerah pedesaan yang disebut huta (kampung) biasanya satu huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Marga (klan) tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga yang membentuk sebuah klan kecil. Klan kecil tadi merupakan kerabat patrilineal (garis keturunan ayah) yang masih berdiam dalam satu kawasan areal yang menciptakan sosial budaya. Sebaliknya klan besar yang anggotanya sudah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya, stratifikasi sosial orang batak didasarkan pada empat prinsip yaitu: perbedaan tingkat umur, perbedaan pangkat dan jabatan, perbedaan sifat keaslian dan status kawin. Tempat tinggal suku batak toba terbagi dalam empat wilayah besar yaitu:

1. Wilayah samosir yaitu pulau samosir dan sekitarnya. Adapun marga yang hidup diwilayah ini antara lain marga simbolon dan sagala.


(35)

2. Wilayah toba yaitu daerah balige, laguboti, porsea, parsoburan, sigumpar dan sekitarnya. Adapun marga yang tinggal di daerah ini antara lain marga sitorus dan marpaung.

3. Wilayah humbang yaitu dolok sanggul, lintong nihuta, siborong-borong, dan sekitarnya. Adapun marga yang tinggal didaerha ini antara lain marga simatupang, siburian dan sihombing lumbantoruan

4. Wilayah silindung yaitu daerah sipaholon tarutung, pahae dan sekitarnya. Adapun marga yang hidup di daerah ini antara lain marga naipospos (sibagariang, hutauruk, simanungkalit, situmeang, marbun dan huta barat)

Nilai kekerabatan masyarakat batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat dalihan na tolu, dimana seorang harus mencari jodoh di luar kelompoknya, orang-orang dalam satu kelompok selalu menyebutnya dalam sabutuha (bersaudara), untuk kelompok yang menerima gadis untuk diperistri disebut hula-hula. Kelompok yang memberikan gadis disebut boru.

Orang batak memiliki kekerabatan dalam marga-marga/sonakmalela sebagai contoh: a. Situmorang dengan sub marga Lumban pane.

b. Nainggolan dengan sub marga Lumban raja. c. Aritonang dengan sub marga Oppu sunggu.

Marga dengan sub marganya dalam orang batak toba tidak dapat menikah, karena itu dianggap kerabat dekat atau dalam bahasa batak disebut “Ito”.

Demikian juga masyarakat batak toba memiliki falsapah azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam bahasa batak toba disebut dalihan na tolu dan tarombo.


(36)

Dalihan na tolu yaitu somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru.

Hula-hula/mora adalah pihak keluarga dari istri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat istiadat batak (semua sub suku batak) sehingga kepada semua orang batak dipesankan harus hormat kepada hula-hula (somba marhula-hula)

Dongan tubu/hahanggi disebut juga dongan sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga, arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang batak (berbudaya batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga, diistilahkan manat mardongan tubu.

Boru/anak boru adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai parhobas atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun terutama dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena melainkan pihak boru harus di ambil hatinya, dibujuk diistilahkan Elek marboru.

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan batak. Sistem kekerabatan dalihan na tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya semua masyarakat batak passti pernah menjadi hula-hula, juga sebagai dongantubu dan boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual, sehingga dalam tata kekerabatan batak buka berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai tata krama dalam sistem kekerabatan batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut raja ni hula-hula, raja ni dongan tubu dan raja ni boru.


(37)

Tarombo/silsilah merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang batak kesasar (nalilu). Orang batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.

Kekerabatan pada masyarakat batak memiliki dua jenis yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis. Semua suku bangsa batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan sosilogis terbentuk berdasarkan perkawinan. Sistem kekerabatan muncul ditengah-tengah masyarakat karena menyangkut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan hidup. Dalam tradisi batak, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan sedarah yang disebut dengan marga. Suku bangsa batak terbagi kedalam enam kategori atau puak yaitu batak toba, batak karo, batak pakpak, batak simalungun, batak angkola dan batak mandailing. Masing-masing puak memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan diantara mereka. Satu puak bisa memiliki banyak marga.

Sistem kekerabatan orang batak juga menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut dalihan na tolu. Dalam berbagai tulisan yang membicarakan masyarakat toba kini sudah lebih sering disebut batak toba istilah dalihan natolu selalu diartikan atau diterjemahkan kedalam bahasa indonesia menjadi tiga tungku sejerangan. Pada masyarakat desa sigumpar dalihan na tolu di analogikan dengan tiga tungku masak di dapur tempat menjerangkan periuk, maka adat batak pun mempunyai tiga tiang penopang dalam kehidupan yaitu: pihak semarga (ingroup), pihak yang menerima istri (wife receiving party), pihak yang memberi istri (giving party). Ketiga unsur atau posisi penting dalam kekerabatan masyarakat batak tersebut yaitu: hula-hula yaitu kelompok orang


(38)

yang posisinya diatas yang berasal dari keluarga marga pihak istri. Sebagai wujud penghormatan terhadap kelompok ini pada masyarakat batak dikenal sebutan “somba marhula-hula” yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Dongan tubu yaitu kelompok orang-orang yang posisinya sejajar yaitu teman/saudara semarga yang harus tetap akrab dan kompak, sehingga dalam masyarakat batak toba dikenal sebutan yang mengatakan “manat mardongan tubu” artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Adapun unsur kekerabatan yang ketiga adalah boru yaitu kelompok penerima istri yang dalam suatu acara adat posisinya adalah sebagai pekerja sehingga dalam masyarakat batak toba dikenal sebutan “elek marboru” yang artinya harus memperhatikan dan mengayomi kelompok penerima istri ini karena merekalah yang akan bekerja apabila ada suatu acara adat/pesta. Kedudukan ketiga hal tersebut diatas, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha pada upacara adat bisa menjadi berganti. Posisi hula-hula pada saat lain mungkin menjadi boru, demikian juga halnya dengan boru yang bisa menjadi hula-hula. Dengan demikian setiap kelompok masyarakat batak toba akan desa sigumpar menduduki metiga fungsi dalihan na tolu ini yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha. Nilai kekerabatan atau keakraban berada ditempat yang tinggi bagi aturan kehidupan masyarakat batak toba. Nilai inti kekerabatan masyarakat batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat, selain itu terlihat pada tutur sapa dan bersikap. Dengan perkawinan terjadilah ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang disebut tadi seolah olah mereka bagai tiga tungku didapur yang besar gunanya dalam menjawab persoalan hidup sehari-hari. Cukup banyak fungsi adat ini bagi masyarakat pendukung diantaranya patuduhon holong yang artinya menunjukkan kasih sayang diantara sesama yang penuh sopan santun atau etik. Dari fungsinya yang penuh kenikmatan maka adat dalihan na tolu dapat diterima oleh setiap masyarakat batak toba sekalipun mereka berbeda-beda agama. Mereka yang menganut agama islam, kristen, katolik dan budha kadang-kadang begitu erat kaitannya


(39)

karena konsep adat telah berbentuk sejak mulai lahirnya kelompok masyarakat yang identitas utamanya adalah adanya marga. Dengan marga itu orang batak akan setia terhadap ketentuan adatnya dimanapun mereka berada. Setiap warga batak yang sudah berumah tangga otomatis menjadi anggota pemangku adat dalihan na tolu. Tidak ada alasan bagi mereka yang telah berumah tangga untuk tidak ikut tampil dalam menyelesaikan urusan ditengah-ditengah masyarakat secara adat dalihan na tolu. Karena bila salah satu unsur dari adat dalihan na tolu tidak hadir maka suatu pekerjaan adat di pandang tidak sah dan tidak kuat.

Adapun fungsi dalihan natolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat batak toba. Dimana saja ada masyarakat batak toba secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu dan selama orang batak toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itupula lah fungsi dalihan na tolu tetap di anggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya. Sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik antara individu dengan individu atau individu dengan masyarakat lingkungannya.

2.2.5 Kesenian

Orang batak dikenal dengan sebagai masyarakat pecinta seni yang meliputi seni musik, seni sastra, seni tari, seni bangunan dan seni kerajinan tangan. Walaupun bagaimana sederhananya mereka pasti terlibat dengan jenis-jenis seni tersebut.

2.2.5.1 Seni Musik

Seni musik dalam masyarakat batak toba dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu musik vokal (ende) dan musik instrumentalia (gondang).


(40)

Musik vokal (ende) tradisional pembagiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat dari liriknya. Ben Pasaribu (1986:27-28) membuat pembagian terhadap musik vokal tradisional batak toba dalam delapan bagian yaitu:

1. Ende mandideng adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak

2. Ende sipaingot adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan menikah dinyanyikan pada saat senggang pada hari menjelang pernikahan tersebut. 3. Ende pargaulan adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo-chorus” dan

dinyanyikan oleh kaum muda mudi dalam waktu senggang biasanya malam hari. 4. Ende tumba adalah musik vokal yang khususnya dinyanyikan saat pengiring tarian

hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh remaja di alaman (halaman kampung) pada malam terang bulan.

5. Ende sibaran adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, yang menyanyi ditempat yang sepi.

6. Ende pasu-pasuan adalah musik vokal yang berkenan dengan pemberkatan berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari yang maha kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh orang-orang tua kepada keturunannya.

7. Ende hata adalah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan secara monoton seperti metric speech. Liriknya berupa rangkain pantun dengan bentuk aabb yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya dimainkan oleh kumpulan kanak-kanak yang dipinpin oleh seorang yang lebih dewasa atau orangtua. 8. Ende andung adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang

telah meninggal dunia yang disajikan pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung melodinya datang secara spontan sehingga penyanyinya haruslah


(41)

penyanyi yang cepat tanggap dan trampil dalam sastra serta menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini.

Demikian juga yang musik vokal dikategorikan menjadi tiga jenis yaitu: 1. Ende namarhadohoan yaitu musik vocal yang dinyanyikan untuk acara-acara

namarhadohoan (resmi).

2. Ende siriakon yaitu musik vocal yang dinyanyikan oleh masyarakat batak toba dalam kegiatan sehari-hari

3. Ende sibaran yaitu musik vocal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita

Dari beberapa jenis musik vocal tersebut yang sering terdapat pada masyarakat toba adalah jenis ende andung dan ende sibaran, dimana saat terjadi peristiwa dukacita, maka akan ada beberapa pihak dari keluarga yang meninggal dunia tersebut yang mangandungi jenazah orang yang meninggal dunia tersebut sebelum dimakamkan.

Musik tradisi masyarakat Batak Toba disebut sebagai gondang. Ada tiga arti untuk kata gondang yaitu satu jenis musik tradisi Batak toba, komposisi yang ditemukan dalam jenis musik tersebut (misalnya komposisi berjudul Gondang Mula-mula, Gondang Haroharo) dan alat musik kendang. Ada 2 ansambel musik gondang yaitu gondang sabangunan yang biasanya dimainkan diluar rumah dihalaman rumah dan gondang hasapi yang biasanya dimainkan dalam rumah. Gondang sabangunan terdiri dari sarune bolon (sejenis alat tiup/obo), taganing (perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci punya peran melodis dengan sarune tersebut), gordang (sebuah kendang besar yang menonjolkan irama ritme), empat gong yang disebut ogung dan hesek sebuah alat perkusi (biasanya sebuah botol yang dipukul dengan batang kayu atau logam) yang membantu irama.


(42)

Sarune Bolon adalah alat tiup double reed (obo) yang mirip alat-alat lain yang bisa ditemukan di Jaw, India, Cina. Pemain sarune mempergunakan teknik yang disebut marsiulak hosa (kembalikan nafas terus menerus) dan biarkan pemain untuk memainkan frase-frase yang panjang sekali tanpa henti untuk tarik nafas. Seperti disebut di atas, taganing adalah perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci dan punya peran melodis sama dengan sarune. Tangga nada gondang sabangunan disusun dalam cara yang sangat unik. Tangga nadanya dikunci dalam cara yang hampir sama (tapi tidak persis) dengan tangga nada yang dimulai dari urutan pertama sampai kelima tangga nada diatonis mayor yang ditemukan dimusik Barat: do, re, mi, fa, sol. Ini membentuk tangga nada pentatonis yang sangat unik, dan sejauh yang saya tahu, tidak bisa ditemukan ditempat lain di dunia ini. Seperti musik gamelan yang ditemukan di jawa dan bali. Sistem tangga nada yang dipakai dalam musik gondang punya variasi diantara setiap ansambel, variasi ini bergantung pada estetis pemain sarune dan pemain taganing. Kemudian ada cukup banyak variasi diantara kelompok dan daerah yang menambah diversitas kewarisan kebudayaan ini yang sangat berharga.

Ogung terdiri dari empat gong yang masing-masing punya peran dalam struktur irama. Pola irama gondang disebut doal dan dalam konsepsinya mirip siklus gongan yang ditemukan dimusik gamelan dari jawa dan bali tetapi irama siklus doal lebih singkat. Sebahagian besar repertoar gondang sabangunan juga dimainkan dalam konteks ansambel gondang hasapi. Ansambel ini terdiri dari hasapi ende (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main melodi), hasapi doal (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main pola irama), garantung (sejenis gambang kecil yang main melody ambil peran taganing dalam ansambel gondang hasapi), sulim (sejenis suling terbuat dari bambu yang punya selaput kertas yang bergetar, seperti sulim dze dari cina), sarune etek (sejenis klarinet yang ambil peran sarune bolon dalam ansambel ini), dan hesek (sejenis alat perkusi yang menguatkan irama, biasanya alat ini ada botol yang dipukul dengan sebuah sendok atau pisau).


(43)

Tangga nada yang dipakai dalam musik gondang hasapi hampir sama dengan yang dipakai dalam gondang sabangunan, tetapi lebih seperti tangga nada diatonis mayor yang dipakai di Barat. Ini karena pengaruh musik gereja Kristen. Musik instrumental ada beberapa instrumen yang lazim digunakan dalam ensambel maupun disajikan dalam permainan tunggal, baik dalam kaitannya dalam upacara adat, religi maupun sebagai hiburan. Musik yang biasa dimainkan cenderung tergantung dengan upacara-upacara adat yang diadakan tetapi lebih dominan dengan genderangnya. Musik batak sudah ada sejak zaman toba kuno dijaman dinasti tuan sorimangaraja berawal dari musik raja-raja. Bukan musik untuk raja tetapi musik yang dimankan oleh raja. Maknya mainnya boleh berdiri lain halnya dengan musik tradisi suku lain seperti afrika, india, jawa dan lain-lain. Yang merupakan musik rakyat sehingga kebanyakan bermusiknya sambil duduk. Musik batak awalnya diciptakan untuk upacara ritual yang dipimpin pada datu (dukun) pada masa itu untuk penghormatan leluhur, minta panen yang sukses kepada mula jadi nabolon kemudian berkembang menjadi musik ritual di pesta adat. Pemainnya dinamakan pargonsi (dibaca pargocci). Pargonsi mempunyai kedudukan yang sangat penting. Karena yang memainkannya raja. Musik batak untuk ritual ini adalah disebut gondang sabangunan yang terdiri dari lima ogung dan lima gondang serta sarune bolon lubang lima. Namun para rakyat juga ingin bermain musik maka berkembanglah musik batak ini dikalangan rakyat dengan format tanganing, garantung, hasapi, seruling dan sarune etek. Dengan alat-alat musik ini lah tercipta banya sekali lagu rakyat yang bernuansa pentatois (do re mi fa sol, kadang-kadang ada juga la) dan susunan nada liksnya sangat kas tidak didapati dimusik suku lain. Pada masyarakat batak toba terdapat dua ensambel musik tradisional, yaitu ensambel gondang hasapi dan gondang sabangunan. Selain itu ada juga instrumen musik tradisional yang digunakn secara tunggal.


(44)

2.2.5.2 Seni Sastra

Pada masyarakat batak toba terkenal cerita siboru tumbaga dan terjadinya danau toba. Cerita siboru tumbaga ini menggambarkan perbedaan antara anak laki-laki dan wanita yang masih tumpang terutama dalam hak waris. Cerita terjadinya danau toba menggambarkan bahwa seseorang yanbg melaggar janji akan dikutuk. Kutukan itu datangnya dari Tuhan berupa keajaiban atau bentuk yang lain. Sastra batak khususnya cerita rakyat dalam bahasa toba disebut turi-turi

Masyarakat batak dikatakan kaya raya akan dongeng-dongeng. Cerita seperti ini masih populer khususnya oleh para nenek-nenek terhadap cucu-cucunya ataupun orang tua terhadap anak-anaknya pada waktu senggang. Seni sastra ini dapat diungkapkan berupa umpa ma (pantun). Bentuknya sama dengan pantun melayu, berbaris empat mengandung sampiran dan sajaknya adalah ab-ab. Pantun batak bermacam-macam jenisnya menurut isinya, ada pantun yang biasa dipergunakan pada pidato-pidato dalam upacara-upacar hukum adat dan ada pula yang mengenai percintaan antar muda-mudi. Tonggo-tonggo adalah ucapan yang disusun secara puitis dan biasanya diungkapkan pada waktu mengadakan upacara-upacara ritual. Adakalanya kalimatnya panjang-panjang, isinya penuh mengandung gaya bahasa yang indah dengan aliterasi dan praktisme. Pada umumnya jarang orang yang bisa mengucapkan hal tersebut dan hanya orang-orang tertentulah yang mengetahuinya. Teka-teki yang singkat disebut dalam bahasa batak toba disebut huling-hulingan. Kalu teka-teki itu memerlukan jawaban, berupa cerita dinamakan torkan-torkan. Hal ini umpama oleh para orang tua terhadap anak-anak.

2.2.5.3 Seni Tari

Seni tari (tortor) adalah ekspresi gerakan yang estetis dan artistik akan menjelma dalam yang teratur sesuai dengan isi irama yang menggerakkan. Gerakan teratur ini dapat


(45)

dilakukan oleh perorangan, berpasangan ataupun berkelompok. Tarian perorangan misalnya yang berhubungan dengan ritus. Tarian seperti ini antara lain tarian tunggal panaluan, diman sang dukun menari, berdoa dan sambl memegang tongkat sihir tersebut. Tarian bersama dalam upacara-upacara adat menurut tradisinya merupakan tarian dari masing-masing unsur dalihan natolu pelaku gerakan tortor ini. Karena ketiga unsur ini secara fungsional dalam masyarakat bersama-sama mendukung upacaranya. Biasanya bentuk tarian ketiga unsur dalihan natolu ini adanya pemimpin tortor yang mengatur gerakan yang sesuai dan selaras dengan pola gerakan etika didalam tortor. Di dalam pola gerakan tortor batak toba ada sebuah gerakan berputar yang berlawanan dengan jarum jam, hal ini dilakukan apabila orang-orang manortor (menari) menarikan tortor gondang mangaliat diupacara adat.

2.2.5.4 Seni Bangunan dan Ukir-ukiran

Rumah adat tradisional batak terbuat dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Atapnya terbuat dari bahan ijuk dan bentuk atapnya adalah melengkun. Diujung atap bagian depan terdapat tanduk kerbau. Pada umumnya rumah-rumah adat batak selalu dihiasi dinding depan dan samping dengan berbagai macam atau ornamen, yang terdiri dari warna merah, hitam dan putih. Merah melambangkan benua tengah, hitam melambangkan benua atas dan putih melambangkan benua bawah. Sekarang ini, rumah adat tradisional sudah mulai menuju kepunahan dari daerah batak.

2.2.5.5 Seni Kerajinan Tangan ( ulos)

Seni kerajinan tangan khususnya ulos selalu dikaitkan dengan angka, warna, struktur sosial, religius yakni tiga, lima, hitam dan putih, atas tengah dan bawah dan segitiga, garis tiga, manunggal dan lain sebagainya. Setiapa ulos mempunyai pola dasar tertentu dan berdasarkan itulah namanya disebutkan sesuai rencana pemula dari yang mengerjakan. Ulos


(46)

dipergunakan pada waktu upacara, keercayaan dan adat istiadat serta belakangan ini bernilai ekonomis (sebagai mata pencaharian)

Pada setiap ujung pangkal ulos terdapat rambu, yakni benang yang dipintal (dipulos) berjumlah sepuluh atau lima tergantung besar benangnya. Antara badan ulos dan rambu selalu dibuat sirat (corat) sebagai hiasan untuk memperindah, juga berfungsi untuk menyatukan ulos itu sendiri agar benang-benangnya jangan lepas. Pada bagian tengah ada juga hiasan lukisan yang bertempel yang disebut dengan jungkit.

Hampir semua sub suku memiliki jenis kesenian yang unik dan berbeda dari sub suku lainnya. Kesenian orang batak toba sendiri cukup beragam mulai dari tarian, alat musik dan jenis-jenis nyanyian. Tarian yang menjadi ciri khas orang batak toba adalah tari tortor dengan berbagai jenis nama tari untuk berbagai jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tortor atau tari menari merupakan salah satu kebudayaan batak yang tertua. Dahulu kala seni tari menari di hubungkan dengan kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan kuasa-kuaca magic. Acara tari menari diadakan untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan kehidupan sejahtera kepada dewa-dewa. Acara tari menari juga diadakan bila mana ada orang yang lahir, akil balik dan diterima sebagai anggota suku pada saat menikah dan pada waktu sudah mati. Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi bersifat animisme, tetapi lebih dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekerabatan dalam dalihan natolu.

Selain menari orang batak juga sangat senang menyanyi baik secara perorangan, maupun berkelompok. Lagu-lagu yang dinyanyikan bercerita tentang pemujaan terhadap kampung halaman, keindahan negeri, dan panorama yang indah permai. Sedangkan andung/ratapan adalah salah satu jenis nyanyian yang secara khusus dinyanyikan pada acara dukacita atau menggambarkan suasana hati yang sedang berduka dan sedih.


(47)

Sebagai contoh alat musik batak toba yang digunakan untuk mengiringi tarian tortor dan nyanyian juga beraneka ragam. Alat musik ini ada yang terbuat dari bahan perunggu, kulit, kayu, dan bambu. Alat musik berbahan perunggu seperti ogung atau gong. Ogung merupakan instrumen empat jenis gendang yang berlainan bunyi/nada, oloan,ihutan, doal dan panggora. Sedangan alat musik dari bahan kulit, kayu dan bambu meliputi taganing, hesek, hasapi, saga-saga, garantung, suling sordam dan salohat. Alat musik taganing merupakan seperangkat instrumen yang terdiri dari satu gondang sebagai bas, satu odap-odap dan lima taganing. Orang batak toba juga membedakan peralatan musik ini dalam dua golongan besar yaitu gondang bolon terdiri dari gordang atau gendang besar, taganing atau gendang ukuran sedang dengan lima lempeng kayu, odap-odap atau gendang kecil yang kadang-kadang diganti dengan lempengan logam, gong dari tembaga ditambah empat gong perunggu, dan sarune atau seruling dan gondang hasapi terdiri dari dua buah hasapi, sarune kecil, suling atau seruling, garantung atau bambu kecil dengan lima lempeng kayu sebagai pengganti taganing.


(48)

BAB III

DESKRIPSI UPACARA KEMATIAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA 3.1 Tinjauan Umum Kematian Pada Masyarakat Batak Toba

Berbicara tentang kematian suku Batak mempunyai tradisi yang unik. Ada pula konsep “kematian ideal” pada suku Batak. Kematian (mate) ideal yang dimaksud disini adalah mate saur matua. Kematian atau ajal adalah akhir dari dalam organisme biologis. Semua baik karena penyebab alami seperti

Pada masyarakat batak kematian (mate) di usia yang sudah sangat tua merupakan kematian yang paling diinginkan terutama bila orang yang mati telah menikahkan semua anaknya dan telah memiliki cucu dari anak-anaknya. Dalam tradisi budaya masyarakat batak (khususnya batak toba) kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua. Tulisan ini membahas mate saur matua sebagai sebuah upacara kematian warisan produk kebudayaan masa lampau melalui tinjauan etnoarkeologi2

2

Etnoarkeologi merupakan ilmu arkeologi yang menggunakan data etnografi sebagai analogi untuk membantu memecahkan masalah-masalah.

. Kiranya tulisan ini mampu memberikan tinjauan kritis dan arif terutama melalui konteks sistem (hubungan masyarakat Batak Kristen dengan upacara saur matua dari waktu terdahulu hingga terkini). Apalagi dimasa terkini upacara ini sering memunculkan kontroversi seputar ketidaksetujuan dari sebagian masyarakat batak kristen untuk melestarikannya. Upacara saur matua dianggap bertentangan dengan ajaran agama baru (kristen) yang mereka anut. Motivasi awal upacara saur matua di masa prakristen adalah agar kedudukan sahala (kemuliaan, hikmat, dan otoritas) arwah orang tua bisa naik terus hingga setingkat para dewa. Pada upacara adat orang yang mati saur matua


(49)

umumnya akan disembah, setidaknya dari keturunannya (pomparan) supaya sahala arwah meningkat dan mereka juga akan mendapatkan berkat sahala dari orang tua tersebut. Kini suku batak memandang upacara adat saur matua sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas umur panjang dan kesempatan melihat anak cucunya. Bagi suku batak pesta ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian kepada orang tua yang sudah meninggal. Namun dari kacamata iman Kristen hal itu tidak berguna karena orang tersebut sudah meninggal. Seharusnya bentuk pengabdian seorang anak ditunjukkan ketika orang tuanya masih hidup.

Kematian satu kata yang identik dengan kesedihan dan air mata, serta biasanya dihindari manusia untuk diperbincangkan. Namun, sebenarnya itulah yang ditunggu-tunggu manusia yang sadar bahwa tanpa kematian tidak ada proses pada kehidupan yang kekal dan abadi. Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Maka kematian pada dasarnya adalah hal yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti, karena cepat atau lambat akan menjemput kehidupan dari masing-masing manusia. Namun, wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.

3.2 Jenis-jenis Kematian Masyarakat Desa Sigumpar

Ada banyak jenis kematian pada adat suku batak, diantaranya adalah Sari Matua, Saur Matua, Mauli Bulung. Jenis kematian lain seperti “martilaha” (anak yang belum berumah tangga meninggal dunia), “mate mangkar” (yang meninggal suami atau istri, tetapi belum berketurunan), “matipul ulu” (suami atau istri meninggal dunia dengan anak yang masih kecil-kecil), “matompas tataring” (istri meninggal lebih dahulu juga meninggalkan anak yang masih kecil)


(50)

3.2.1 Sari Matua

Sari matua adalah seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau istri yang sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, tetapi masih ada diantara anak-anaknya yang belum kawin (hot ripe).

3.2.2 Saur Matua

Saur matua adalah seseorang yang ketika meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru artinya seseorang juga berstatus saur matua seandainya anaknya hanya laki-laki atau hannya perempuan, namun suda semuanya hot ripe dan punnya cucu. Saur matua juga dikatakan bila orang yang mati telah menikahkan semua anaknya dan telah memiliki cucu dari anak-anaknya. Inilah kematian yang paling “didambakan” oleh suku batak toba. Mayat orang yang meninggal tersebut di baringkan di ruang tengah yang kakinya mengarah ke jabu (bona rumah suhut) selanjutnya di selimuti dengan kain batak tau ulos. Pada saat yang bersamaan pihak laki-laki baik dari keturunan orang tua yang meninggal maupun sanak saudara berkumpul dirumah duka dan membicarakan bagaimana upacara yang akan dilaksanakan kepada orang tua yang sudah saur matua itu. Dari musyawarah keluarga akan diperoleh hasil-hasil dari setiap hal yang di bicarakan. Hasil-hasil ini di catat oleh para suhut untuk kemudian dipersiapkan ke musyawarah umum. Penentuan hari untuk musyawarah umum ini juga sudah ditentukan dan mulailah di hubungi pihak family dan mengundang pihak hula-hula, boru, dan dongan tubu. Sesudah acara mangarapot selesai maka diadakanlah pembagian tugas bagi pihak hasuhuton. Beberapa orang dari pihak hasuhuton pergi mengundang (manggokkon hula-hula,boru,dongan sabutuha3

3

Dongan sabutuha artinya terdiri dari teman semarga,teman sahuta, teman satu kampung serta sanak saudara yang ada di rantau.


(51)

Motivasi awal upacara saur matua di masa prakristen adalah agar kedudukan sahala (kemuliaan, hikmat, dan otoritas) arwah orang tua bisa naik terus hingga setingkat para dewa. Pada upacara adat, orang yang mati saur matua umumnya akan disembah, setidaknya dari keturunannya (pomparan) supaya sahala arwah meningkat dan mereka juga akan mendapatkan berkat sahala dari orang tua tersebut. Kini suku batak memandang upacara adat saur matua sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas umur panjang dan kesempatan melihat anak cucunya. Namun dalam praktiknya ada banyak hal yang perlu dikritisi. Upacara adat ini sarat dengan kemewahan misalnya untuk pesta saur matua jumlah yang tidak wajar untuk merayakan kematian seseorang. Bagi suku batak, pesta ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian kepada orang tua yang sudah meninggal. Namun dari kacamata iman Kristen, hal itu tidak berguna karena orang tersebut sudah meninggal. Seharusnya bentuk pengabdian seorang anak ditunjukkan ketika orang tuanya masih hidup.

Mate Saur matua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara bagi masyarakat batak terkhusus batak toba, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya yaitu mate saur matua bulung artinya mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan. Namun keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal artinya meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi. Dalam kondisi seperti inilah masyarakat batak mengadakan pesta untuk orang yang meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang meninggal tersebut memang sudah waktunya sudah tua untuk menghadap Tuhan dan ini disambut dengan rasa bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada tapi mengingat meninggalnya memang dikarenakan proses alami sudah tua maka kesedihan tidak akan berlarut-larut. Ibaratnya orang yang meninggal dalam status saur matua hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/lunas. Dalam


(52)

masyarakat batak hutang orang tua itu adalah menikahkan anaknya. Jadi, ketika hutang seseorang itu lunas maka sangatlah wajar jika dia merasa tenang dan lega.

3.2.3 Mauli Bulung

Mauli bulung adalah seseorang yang meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru sahat tu namarnini sahat tunamarnono dan kemungkinan ke “marondok-ondok” yang selama hayatnya tak seorang pun dari antara keturunannya yang meninggal dunia (manjoloi) seseorang yang beranak pinak, bercucu, bercicit mungkin hingga ke buyut. Dapat diprediksi umur yang mauli bulung sudah sangat panjang, barangkali 90 tahun keatas di tinjau dari segi generasi. Mereka yang memperoleh predikat mauli bulung sekarang ini sangat langka.

Dalam tradisi adat batak, mayat orang yang sudah mauli bulung di peti mayat dibaringkan lurus dengan kedua tangan sejajar dengan badan (tidak dilipat). Kematian seseorang dengan status mauli bulung, menurut adat batak adalah kebahagiaan tersendiri bagi keturunannya. Tidak ada lagi isak tangis, mereka bleh bersyukur dan bersuka cita , berpesta tetapi bukan hura-hura, memukul godang ogung sabangunan, musik tiup, menari, sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Kasih lagi penyayang. Pada masyarakat toba ada juga jenis kematian yang ada yaitu kematian sempurna. Kematian sempurna yang dimaksud disini adalah masyarakat batak toba begitu percaya bahwa kematian merupakan sebuah peristiwa yang tak kalah istimewa dengan peristiwa kelahiran. Mereka percaya bahwa orang yang mati hannya raga, sedangkan jiwanya berjalan terus menempuh perjalanan ke alam lain alam yang sangat gaib dan tak terjangkau oleh mereka yang masih hidup. Orang yang masih hidup mengangap perjalanan jiwa orang mati menuju alam lain itu memerlukan perlakuan khusus agar rohnya merasa tenteram dan dihargai oleh keturunannya.


(53)

Dalam tradisi batak toba didesa sigumpar, orang yang mati disebut saur matua dan akan disembah dalam upacara saur matua setidaknya oleh semua anaknya. Penyembahan yang diterima roh orangtua alias si mati melalui upacara saur matua dan upacara mangogkal holi dari para keturunannya akan menambah kekuatan sahala (kekuatan) roh bersangkutan di alam lain, sementara keturunannya mendapatkan berkat sahala dari roh bersangkutan. Konsep kepercayaan awal hannya mengantarkan simati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan simati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan simati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan simati melalui ritual pemanggilan, penghormatan, hingga pada akhirnya pemujaan terhadap roh simati. Saking istimewanya, perlakuan terhadap jasad simati tentunya sangat spesial begitu pulak setelah upacara penguburan usai maka keluarga yang ditinggalkan masih merasa perlu mengekspresikan kesedihan mereka yang ditinggal oleh simati. Kini, masyarakat batak toba di desa sigumpar masih mengekspresikan pemujaan simati dalam sebuah upacara penguburan sekunder yang disebut mangongkal holi. Disebut sekunder karena sebelumnya telah dilakukan upacara penguburan (primer) simati. Upacara penguburan sekunder dilakukan melalui penggalian tulang belulang simati dari kubur awal (primer) untuk dikuburkan kembali kedalam kubur sekunder.

Pada masyarakat batak toba didesa sigumpar, kematian (mate) diusia yang sudah sangat tua terutama telah menikahkan semua anaknya dan memiliki cucu merupakan kematian yang paling diinginkan. Dalam tradisi budaya masyarakat batak (khususnya batak toba) kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua. Upacara adat kematian ini diklasifikasikan berdasarkan usia dan status simati. Untuk yang mati ketika dalam masih kandungan (mate dibortian) maka ia belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati), bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate


(1)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Op Bronson Hutasoit

Umur : 56 Tahun

Alamat : Desa Sigumpar Kecamatan Lintong Nihuta Pekerjaan : Bertani

2. Nama : Ibu Masnida br Aritonang

Umur : 37 Tahun

Alamat : Desa Sigumpar Kecamatan Lintong Nihuta Pekerjaan : Berdagang

3. Nama : Op Jujur br Marbun

Umur : 60 tahun

Alamat : Desa Parulohan Kecamatan Lintong Nihuta Pekerjaan : Bertani

4. Nama : Op Ropatina br Hutasoit

Umur : 53 Tahun

Alamat : Desa Sigumpar Kecamatan Lintong Nihuta Pekerjaan : Wiraswasta


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaya, James

1994 Folklor Indonesia

Jakarta PT Pustaka Utama Grafiti

Echols dan Shadily

1983 Kamus Inggris Indonesia

Jakarta Gramedia

Ensiklopedia Musik

1991 Jakarta: Adi pustaka

Handari dan Mimi Martini

1994 Penelitian Terapan

Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Keraf, Gorys

1991 Diksi dan Gaya Bahasa

Jakarta: PT Gramedia

Koentjaraningrat

1985 Pengantar Ilmu Anthropologi


(3)

1990 Metode-metode Penelitian Masyarakat

Jakarta: PT Gramedia

1991 Manusia dan Kebudayaan Indonesia

Jakarta: PT Gramedia

Malm, William P

1997 Music Cultures of The Pasifik, The Near East and Asia

Second edition: Englewood Cliffs

New Jersey, Rentice Hall, Inc

Merriam, Alan P

1964 The Antropoloogy of Music

Evastrol III, University Press

Netll, Bruno

1963 Theory and Method in Etnomusikology

New York: The Free Press a Division of Mac Milan Publishing Co, Inc

Poerwodarmita

1984 Kamus Umum Bahasa Indonesia

Jakarta: PT Gramedia


(4)

(5)

DAFTAR WEBITE

www.deepdownproductions.com/andung-t-2.html

www.tobanet.com

www.toba.wordpress.com www. Masyarakat batak toba.net


(6)

ANDUNG BATAK TOBA