1.2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh karakteristik pekerja di lingkungan kerja dan kualitas udara terhadap gangguan pernapasan pekerja
di Pabrik Gula Sei Semayang Kabupaten Deli Serdang.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh karakteristik pekerja umur, masa kerja, penggunaan masker, kebiasaan merokok dan kualitas udara
kadar debu, suhu, kelembaban terhadap gangguan pernapasan pekerja di Pabrik Gula Sei Semayang Kabupaten Deli Serdang.
1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh karakteristik pekerja umur, masa kerja, penggunaan masker, dan kebiasaan merokok dan kualitas udara
kadar debu, suhu, kelembaban terhadap gangguan pernapasan pekerja di Pabrik Gula Sei Semayang Kabupaten Deli Serdang.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi tentang efek partikel debu terhadap gangguan pernafasan
pada pekerja dan instansi terkait. 2.
Pengendalian dini terhadap pencemaran udara oleh debu untuk mencegah efek kesehatan yang merugikan para pekerja di Pabrik Gula Sei Semayang.
3. Menambah wawasan penulis dalam aplikasi keilmuan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pencemaran Udara
2.1.1. Pengertian Pencemaran Udara
Salah satu jenis pencemaran lingkungan hidup adalah pencemaran udara. Menurut Farsiaz 1992, udara di alam yang kita hirup tidak pernah ditemukan benar-
benar bersih tanpa polutan sama sekali tetapi selalu mengandung partikel-partikel asing yang jika konsentrasinya terlalu tinggi ataupun melewati nilai ambang batas
yang ditentukan akan dapat menyebabkan kualitas udara menurun atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan permukaannya. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara menyatakan bahwa pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat,
energy, dari komponen lain ke dalam udara ambient oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambient tidak
dapat memenuhi fungsinya. Menurut Mukono 2003 pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau
substraks fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tetentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia atau yang dapat dihitung
atau di ukur serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang vegetasi dan material selain itu pencemaran udara dapat pula dikatakan sebagai perubahan
7
Universitas Sumatera Utara
atmosfer oleh karena masuknya bahan kontaminan alami atau buatan ke dalam atmosfer tersebut.
Menurut Aditama 1992, pengertian lain dari pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrak fisik dan kimia ke dalam lingkungan udara normal
yang mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang dan mineral dikarenakan oleh kontaminan
alami dan buatan kedalam atmosfer. Menurut Maters 1991 yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah
bertambahnya bahan atau substratfisik atau kimia kedalam manusia atau yang dapat, dihitung dan diukur serta dapat memberikan efek pada manusia,
binatang, vegetasi dan material. Selain itu pencemaran udara dapat pula dikatakan sebagai perubaban atmosfer oleh karena masuknya bahan kontaminan alami atau
buatan ke dalam atmosfer tersebut.
Bahan pencemar udara atau polutan dapat di klasifikasikan menjadi 2 bagian Mukono H.J, 1997 yaitu :
Pencemaran udara oleh partikel dapat disebabkan karena peristiwa alamiah dan dapat juga disebabkan oleh ulah manusia, lewat kegiatan industri dan tekhnologi.
Partikel yang mencemari udara banyak macam dan jenisnya tergantung pada macam dan jenis kegiatan industri dan teknologi yang ada Summa’mur, 1995.
1. Polutan Primer adalah polutan yang dikeluarkan langsung dari sumber tertentu
dan dapat berupa :
Universitas Sumatera Utara
a Polutan gas seperti CO, CO2, Sulfur Oksida, Nitrogen Oksida, Amoniak, dan
senyawa halogen fluor, klorin, hydrogen khlorida, hidrokarbon terkhlorinisi, dan bromin.
b Partikel yang ada di atmosfer mempunyai karakteristik yang spesifik, dapat
berupa zat padat maupun suspense aerosol cair diatmosfer. Bahan partikulat tersebut berasal dari proses kondensasi, proses disperse seperti proses
menyemprotspraying maupun proses erosi bahan tertentu. Asap smoke sering kali dipakai untuk menunjukkan campuran bahan partikulat partikulat
matter, uap fumes, gas dan kabut mist. Penyebab terjadinya pencemaran lingkungan di atmosfer biasanya berasal dari
sumber kendaraan bermotor dan atau industri. Bahan pencemar yang dikeluarkan antara lain gas NO2, SO2, SO3, Ozon, CO, HC dan partikel debu.
Gas NO2, SO2, CO, dan HC dapat dihasilkan oleh proses pembakaran dari mesin yang menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil.
2. Polutan sekunder
Biasanya terjadi karena reaksi kimia dari dua atau lebih bahan kimia di udara, misalnya reaksi foto kimia. Sebagai contoh adalah disosiasi NO2 yang
menghasilkan NO dan O radikal. Proses kecepatan dan arah reaksinya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : konsentrasi relative dari bahan
reaktan, derajat fotoaktivasi, kondisi iklim, fotografi local dan adanya embun. Polutan sekunder mempunyai sifat fisik dan kimia yang tidak stabil. Termasuk
Universitas Sumatera Utara
dalam polutan sekunder ini adalah ozon, Peroxy Acyl Nitrat PAN, dan formaldehid.
Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan
lingkungan sekitarnya. Udara adalah juga atmosfir yang berada disekeliling bumi yang fungsinya sangat penting bagi kehidupan didunia. Dalam udara terdapat oksigen O
2
untuk bernapas, CO
2
untuk proses fotosintesis oleh klorofil daun dan Ozon O
3
Komposisi udara normal terdiri dari oksigen yang menempati 20 secara proporsional, nitrogen sebesar 78 hingga 79, selebihnya sekitar 1 ditempati oleh
berbagai zat, seperti CO2, argon, methane, ozone, NO2, amoniak, hydrogen dan lain sebagainya Achmadi, 1978, Mukono, 2009.
untuk menahan sinar ultraviolet.
Pengertian lain dari pencemaran udara adalah terdapat bahan kontaminan di atmosfer karna ulah manusia man made. Hal ini untuk membedakan dengan
pencemaran udara alamiah dan pencemaran udara di tempat kerja occupational air pollution.
Asal pencemaran udara dapat diterangkan dengan 3 tiga proses yaitu atrisi attrition, penguapan vaporization dan pembakaran combuslion. Dari ketiga
proses tersebut di atas, pembakaran merupakan proses yang sangat dominan dalam kemampuannya menimbulkan bahan polutan.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Tipe dan Bentuk Bahan Pencemaran Udara
Menurut Kusnoputranto 2000, tipe pencemaran udara dibagi menjadi 6 bagian yaitu :
a. Karbondioksida, yaitu CO
2,
sulfur oksida yaitu SO
2,
b. Hidrokarbon, yaitu senyawa organik yang mengandung karbon dan hydrogen
seperti metana, butane, benzene. Nitrogen oksida
c. Partikel padat atau cair diudara, asap, debu, asbestos, partikel logam, minyak,
garam-garam sulfur. d.
Oksidan fotokimia, yaitu ozon, PAN dan beberapa senyawa aldehid. e.
Senyawa anorganik mengandung karbon, estisida, herbisida berbagai jenis alcohol, asam dan zat kimia lainnya.
f. Zat radioaktif tritium, radon, enzim dan pembangkit tenaga.
Bentuk bahan pencemar yang sering ditemukan yaitu Sastrawijaya, 1991: a.
Gas yaitu uap yang dihasilkan dari zat padat atau zat cair karena dipanasi atau karena menguap sendiri contohnya SO
2
b. Aerosol, yaitu suspense udara yang bersifat padat detex atau cair kabut, asap,
uap yang berukuran 1 mikron , CO dan NO
Selanjutnya Sastrawijaya 1991, masalah pencemaran udara bukanlah masalah ringan karena dampak yang ditimbulkan sangat luas dan merugikan manusia
baik langsung maupun tidak langsung. Dampak negatif secara langsung dialami manusia adalah pada aspek kesehatan, kenyamanan hidup dan keselamatan.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan dampak negative tidak langsung yaitu berupa penyakit pada lingkungan hidup, perekonomian, estetika dan tumbuhan.
Menurut WHO 2000, kriteria penentuan udara tercermar atau tidaknya suatu daerah sebagai berikut:
Tabel 2.1. Kriteria Udara Bersih dan Udara Tercemar oleh WHO Parameter
Udara Bersih Udara Tercemar
Bahan Partikel 0,01 – 0,02 mgm
0,07 – 0,7 mgm
3 3
SO 0,003 – 0,02 ppm
2
0,02 – 2 ppm CO
1 ppm 5 – 200 ppm
NO 0,003 – 0,02 ppm
2
0,02 – 0,1 ppm CO
310 – 330 ppm
2
350 – 700 ppm Hidrokarbon
1 ppm 1 – 2 ppm
Sumber: WHO, 2000
2.2. Debu di Lingkungan Kerja 2.2.1. Pengertian Debu
Menurut Suma’mur 1998 debu adalah partikel-partikel zat padat yang ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan,
penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan baik organik maupun anorganik.
Secara fisik debu atau particulate dikategorikan sebagai pencemar udara yaitu dust dan aerosol.
Debu terdiri dari dua golongan, yaitu padat dan cair. Debu yang terdiri atas partikel-partikel padat dapat dibagi menjadi 3 macam :
Universitas Sumatera Utara
1.
Dust
Debu atau dust terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai yang besar. Debu yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhirup ke
dalam sistem pernafasan, umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat terhirup ke dalam paru-paru.
2.
Fumes
Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi oleh karena kondensasi dari bentuk gas, biasanya sesudah penguapan benda padat yang dipijarkan dan lain-lain
dan biasanya disertai dengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-zat seperti logam Cadmium dan timbal Plumbum.
3.
Smoke Smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan organik yang tidak
sempurna dan berukuran sekitar 0,5 mikron.
2.2.2. Macam dan Sifat-sifat Debu
Menurut macamnya, debu diklasifikasikan atas 3 jenis yaitu Depkes R.I, 1993 :
1.
Debu organik adalah debu yang berasal dari makhluk hidup debu kapas, debu
daun-daunan, tembakau dan sebagainya.
2.
Debu metal adalah debu yang di dalamnya terkandung unsur-unsur logam Pb, Hg,
Cd, dan Arsen.
3.
Debu mineral ialah debu yang di dalamnya terkandung senyawa kompleks SiO
2
, SiO
3
, dll.
Universitas Sumatera Utara
Debu memiliki karakter atau sifat yang berbeda-beda, antara lain debu fisik debu tanah, batu, dan mineral, debu kimia debu organik dan anorganik dan debu
biologis virus, bakteri, kista, debu eksplosif atau debu yang mudah terbakar batu bara, Pb, debu radioaktif uranium, tutonium, debu inert debu yang tidak bereaksi
kimia dengan zat lain. Debu di atmosfer lingkungan kerja biasanya berasal dari bahan baku atau hasil produksi. Sifat-sifat debu tidak berflokulasi, kecuali oleh gaya
tarikan elektris, tidak berdifusi, dan turun karena tarikan gaya tarik bumi. Menurut Depkes RI 1993 sifat-sifat debu adalah sebagai berikut :
1.
Sifat Pengendapan Yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya gravitasi bumi. Debu
yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di udara.
2.
Permukaan Cenderung Selalu Bersih Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena permukaannya
selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi penting sebagai upaya pengendalian debu di tempat kerja.
3.
Sifat Penggumpalan Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah maka debu
satu dengan yang lainnya cenderung menempel membentuk gumpalan. Tingkat kelembaban di atas titik saturasi dan adanya turbelensi di udara mempermudah
debu membentuk gumpalan.
Universitas Sumatera Utara
4.
Debu Listrik Statik Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang
berlawanan dengan demikian partikel dalam larutan debu mempercepat terjadinya penggumpalan.
5.
Sifat Opsis Opsis adalah partikel yang basahlembab lainnya dapat memancarkan sinar yang
dapat terlihat dalam kamar gelap. Berdasarkan sifat kimianya dibedakan atas 3 golongan yaitu Depkes RI,
1993 : 1.
Inert Dust Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis pada paru-
paru. Efeknya sangat sedikit sekali pada penghirupan normal. Reaksi jaringan pada
paru-paru terhadap jenis debu ini adalah :
a. Susunan saluran nafas tetap utuh
b. Tidak terbentuk jaringan parut fibrosis di paru-paru
c. Reaksi jaringan potensial dapat pulih kembali dan tidak menyebabkan
gangguan paru-paru. 2.
Profilferative Dust Golongan debu ini di dalam paru-paru akan membentuk jaringan parut Fibrosis.
Fibrosis ini akan membuat pengerasan pada jaringan alveoli sehingga mengganggu fungsi paru. Contoh debu ini yaitu debu silika, kapur, asbes dan
sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
3. Debu Asam atau Basa Kuat
Golongan debu yang tidak ditahan dalam paru namun dapat menimbulkan efek iritasi. Efek yang ditimbulkan bisa efek keracunan secara umum misalnya debu
arsen dan efek alergi, khususnya golongan debu organik.
2.2.3. Klasifikasi Debu
Berdasarkan kemudahan mengendapnya, debu industri yang terdapat dalam udara terbagi dua yaitu Pudjiastuti, 2002 :
1. Deposit Particulate Matter
Yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara, partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi.
2. Suspended Particulate Matter
Yaitu partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap. Debu dapat mengakibatkan gangguan pernafasan bagi pekerja pada industri-industri
yang berhubungan dengan debu yang dihasilkan proses produksinya. Lestari 2007 membedakan klasifikasi debu berdasarkan ukuran debu dan
lokasi tempat partikulat dapat terdeposit. Klasifikasi ini dibedakan atas dua fraksi, yaitu non inspirable fraction dan inspirable fraction. Inspirable fraction dapat di
subklasifikasikan menjadi lagi menjadi tiga bagian, yaitu fraksi nasofaring, fraksi trakeobronkial dan fraksi respirable.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Klasifikasi Debu
Sumber : Lestari, 2007
2.2.4. Ukuran Partikel Debu
Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru.Partikulat yang terdeposit pada bagian sistem pernafasan manusia sangat
bergantung kepada ukuran partikel tersebut. Partikulat dengan ukuran ≥ 100μm
terdeposit pada bagian hidung dan disebut sebagai inhalable particle. Partikulat dengan ukuran 4-
10 μm terdeposit pada bagian toraks dan disebut thoracic particle.
Dan partikulat 4 μm terdeposit pada bagian paru dan disebut sebagai partikel respirabel particle respirableLestari, 2007.
Partikel debu yang berdiameter 10 μ yang disebut coarse particle merupakan indikator yang baik tentang adanya kelainan saluran pernafasan, karena
adanya hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran pernafasan dengan kadar partikel debu di udara Pope, 2003.
Debu Total
Fraksi Non Inspirable Fraksi Inspirable
Fraksi Nasofaring
Fraksi Trakeobronkial
Fraksi Respirable
Universitas Sumatera Utara
2.2.5. NAB Debu di Lingkungan Kerja
Untuk menghindari bahaya gangguan kesehatan pekerja akibat paparan debu, pemerintah telah nenetapkan Nilai Ambang Batas NAB debu lingkungan kerja.
NAB debu adalah standar konsentrasi debu yang dianjurkan di tempat kerja agar tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit gangguan
kesehatan untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan NAB ini sebagai rekomendasi pada praktek hygiene perusahaan dalam melakukan
penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan.
Untuk partikel debu telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER 13MENX2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika dan Kimia di Udara Lingkungan Kerja adalah bahwa NAB kadar debu di udara tidak boleh melebihi 3,0 mgm³. NAB dari debu-debu yang hanya mengganggu
kenikmatan kerja adalah 10 mgm³. Nilai Ambang Batas NAB Konsentrasi debu pada udara ambien di Indonesia diatur juga dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1405MENKESSKXI2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, sebesar 10 mgm
3
2.2.6. Mekanisme Pengendapan Debu di dalam Paru
untuk waktu pengukuran rata-rata 8 jam.
Dengan menarik nafas, udara yang mengandung debu masuk ke dalam paru- paru. Partikel debu yang dapat dihirup oleh pernafasan manusia mempunyai ukuran
0,1 mikron sampai 10 mikron. Pada hidung dan tenggorokan bagian bawah ada cilia
Universitas Sumatera Utara
yang berfungsi menahan benda-benda asing seperti debu dengan ukuran 5-10 mikron yang kemudian dikeluarkan bersama secret waktu bernafas. Sedangkan yang
berukuran 3-5 mikron ditahan pada bagian tengah jalan pernafasan. Penumpukan dan pergerakkan debu pada saluran nafas dapat menyebabkan peradangan jalan nafas.
Peradangan yang terjadi dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas sehingga
akhirnya dapat menurunkan fungsi paru Suma’mur, 1998.
Untuk partikel 1- 3 mikron dapat masuk ke alveoli paru – paru dan partikel 0,1- 1 mikron tidak mudah hinggap di permukaan alveoli karena adanya gerakan
Brown, tetapi akan membentur permukaan alveoli dan dapat tertimbun di alveoli. Debu yang masuk alveoli dapat menyebabkan pengerasan pada jaringan fibrosis dan
bila 10 alveoli mengeras akibatnya mengurangi elastisitasnya dalam menampung volume udara. Kemampuan elastisitas alveoli yang berkurang akan menyebabkan
kemampuan untuk mengikat oksigen juga menurun. Fibrosis yang terjadi ini dapat menurunkan kapasitas vital paru Pudjiastuti, 2002.
Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama paparan berlangsung, maka jumlah partikel yang mengendap di paru-paru juga
semakin banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000
partikel per millimeter kubik, maka 10 dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru- paru. Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering
dihubungkan dengan terjadinya pneumoconiosis Mangkunegoro, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Pope 2003 mekanisme pengendapan partikel debu di paru berlangsung dengan berbagai cara sebagai berikut:
a. Gravitation, sedimentasi partikel yang masuk saluran napas karena gaya gravitasi.
b. Impaction yaitu terbenturnya di percabangan bronkus dan jatuh pada percabangan
yang kecil. c.
Brown Difusion yang mengendapnya partikel yang diameter lebih besar dari dua mikron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan keliling gerakan Brown dari
partikel oleh energi kinetik. d.
Elektrostatic terjadi karena saluran napas dilapisi mukus, yang merupakan konduktor yang baik secara elektrostatik.
e. Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel
berupa ukuran panjangbesar partikel hal ini penting untuk mengetahui dimana terjadi pengendapan.
2.2.7. Pengaruh Debu terhadap Pernafasan
Debu terinhalasi akan memberikan efek terhadap saluran pernapasan. Efek tersebut dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut Robbin Cotran, 2006 :
1. Banyaknya debu yang tertahan. Keadaan ini menggambarkan konsentrasi awal,
lamanya pajanan dan keefektifan mekanisme untuk membersihkannya. 2.
Ukuran, bentuk dan keterapungan partikel. Partikel yang berukuran 1-5 µm cenderung mengendap di dalam alveoli dan merupakan partikel yang secara
patologik paling signifikan.
Universitas Sumatera Utara
3. Reaktifitas fisika kimiawi dan kelarutan partikel. Partikel yang bersifat sangat larut
dapat menimbulkan toksisitas dengan cepat. Partikel lainnya mungkin tidak bisa bisa dilarutkan dan dengan bertahan dalam keadaan tak larut, partikel tersebut
berpotensi untuk menimbulkan reaksi fibrotik yang kronik. Dari hasil penelitian ukuran partikel debu dapat mencapai target organ sebagai
berikut Depkes RI, 2001 : 1.
Partikel diameter 5,0 mikron terkumpul di hidung dan tenggorokan. Ini dapat menimbulkan efek berupa iritasi yang ditandai dengan gejala faringitis.
2. Partikel diameter 0,5–5,0 mikron terkumpul di paru-paru hingga alveoli. Ini dapat
menimbulkan efek berupa bronchitis, alergi, atau asma. 3.
Partikel diameter 0,5 mikron terkumpul di alveoli dan dapat terabsorbsi ke dalam darah.
Paparan debu yang sama baik jenis, ukuran partikel, konsentrasi maupun lamanya paparan berlangsung, tidak selalu menunjukkan akibat yang sama. Sebagian
ada yang mengalami gangguan paru berat, namun ada yang ringan bahkan mungkin ada yang tidak mengalami gangguan sama sekali. Menurut Miller 1989 hal ini
diperkirakan berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu terinhalasi sebagai berikut Mangkunegoro, 2003 :
1. Secara Mekanik
Pertahanan tubuh secara mekanik yaitu pertahanan yang dilakukan dengan menyaring partikel yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran
pernafasan. Penyaringan berlangsung dihidung, nasofaring dan saluran nafas
Universitas Sumatera Utara
bagian bawah yaitu bronkus dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh bulu-bulu silia yang terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus
dilakukan reseptor yang terdapat pada otot polos dapat berkonstraksi apabila ada iritasi. Apabila rangsangan yang terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan
reaksi berupa bersin atau batuk yang dapat mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu dari saluran nafas bagian atas maupun bronkus.
2. Secara Kimia
Pertahanan tubuh secara kimia yaitu cairan dan silia dalam saluran nafas secara fisik dapat memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan
silia yang “mucociliary escalator” ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksifikasi dan bakterisid. Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terus
menerus dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik. Selanjutnya makrofag alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli.
3. Secara Imunitas
Pertahanan tubuh secara imunitas adalah melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan seluler.
Ketiga sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga partikel yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi
mekanisme rekasi atau perpindahan partikel. Debu yang masuk ke dalam saluan napas menyebabkan timbulnya reaksi
mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan napas dapat
Universitas Sumatera Utara
terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi biasanya bila kadar debu melebihi nilai ambang batas. Sistem mukosilier juga mengalami gangguan
dan menyebabkan produksi lendir bertambah. Bila lendir makin banyak atau mekanisme pengeluarannya tidak sempurna terjadi obstruksi saluran napas sehingga
resistensi jalan napas meningkat. Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan
berkumpul di bagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas
menyebabkan terjadinya autolisis. Makrofag yang lisis bersama silika bebas merangsang terbentuknya makrofag baru. Makrofag baru memfagositosis silika bebas
tadi sehingga terjadi lagi autolisis. Keadaan ini terjadi berulang-ulang. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus menerus berperan penting pada pembentukan
jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan interstisial.
Akibat fibrosis paru menjadi kaku, menimbulkan gangguan pengembangan paru yaitu kelainan fungsi paru Pope, 2003.
2.3. Sistem Pernafasan
2.3.1. Pengertian Pernafasan
Pernapasan atau respirasi adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O
2
atau oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO
2
atau karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar
Universitas Sumatera Utara
tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Pernafasan dapat berarti pengangkutan oksigen kesel dan pengangkutan CO
2
1. Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dandari alveoli.
Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh karena masih ada udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan
ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume residu. Volume ini penting karena menyediakan O
dari sel kembali ke atmosfer. Proses inidapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu Guyton Hall,
1997 :
2
2. Difusi O
dalam alveoli untuk menghasilkan darah.
2
dan CO
2
3. Pengangkutan O
antara alveoli dan darah.
2
dan CO
2
4. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.
dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari
sel-sel.
Menurut Raharjo dkk 1994 dari aspek fisiologis ada dua macam pernafasan,
yaitu :
a. Pernafasan luar external respiration yaitu penyerapan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida dari paru-paru.
b. Pernafasan dalam internal respiration yang aktivitas utamanya adalah pertukaran
gas pada metabolisme energi dalam sel.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Anatomi Pernafasan
Munurut Mukono 1997 anotomi saluran pernafasan terdiri dari: 1.
Hidung
Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolis dilapisi oleh membrane mukosa bersilia. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan
dilembabkan. Fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernafasan, yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel
goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat dalam lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan
mukosa. Gerakan silia menuju pharing. Udara inspirasi akan disesuaikan dengan suhu tubuh sehingga dalam keadaan normal, jika udara tersebut mencapai pharing,
dapat dikatakan hampir “bebas debu” yang bersuhu sama dengan suhu tubuh dan kelembabannya 100.
2. Pharing
Pharing atau tenggorokan berada dibelakang mulut dan rongga nasal dibagi dalam tiga bagian yaitu nasofaring, oropharing dan laringopharing. Pharing merupakan
saluran penghubung ke saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Normalnya bila makanan masuk melalui oropharing, epiglotis akan menutup secara otomatis
sehingga aspirasi tidak terjadi. Tonsil merupakan pertahanan tubuh terhadap benda-benda asing organisme yang masuk ke hidung dan pharing.
3. Laring
Universitas Sumatera Utara
Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan disini didapatkan pita suara dan epiglotis. Glotis merupakan pemisah antara
saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Kalau ada benda asing masuk sampai melewati glotis, maka dengan adanya reflex batuk akan membantu mengeluarkan
benda atau sekret dari saluran pernafasan bagian bawah. 4.
Trachea Terletak di bagian depan esophagus, dari mulai bagian bawah krikoid kartilago
laring dan berakhir setinggi vertebra thorakal 4 atau5. Trachea bercabang menjadi bronchus kanan dan kiri. Tempat percabangannya disebut karina yang terdiri dari
6-10 cincin kartilago. 5.
Bronkhus Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang-cabang menjadi segmen lobus,
kemudian menjadi segmen brokus. Percabangan ini diteruskan sampai cabang terkecil bronkiolus terminalis yang tidak mengandung alveolus, bergaris tengah
sekitar 1 mm, diperkuat oleh cincin tulang rawan yang dikelilingi otot polos. 6.
Bronchiolus Duktus alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan alveolus terminal,
merupakan struktur akhir paru-paru. Anderson 1999 mengatakan bahwa diluar bronkiolus terminalis terdapat asinus sebagai unit fungsional paru yang merupakan
tempat pertukaran gas, asinus tersebut terdiri dari bronkiolus respirasi yang mempunyai alveoli.
7. Paru-paru
Universitas Sumatera Utara
Setiap paru berisi sekitar tiga ratus juta alveolus dengan luas permukaan total seluas sebuah lapangan tenis. Alveolus dibatasi oleh zat lipoprotein yang disebut
surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan resistensi terdapat pengembangan pada waktu inspirasi serta mencegah kolapsnya alveolus pada
waktu respirasi Davis dan Cornwell, 1991. Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus tergantung dari beberapa faktor antara lain pendewasaan sel
alveolus dan sel sistem biosintesis enzim, ventilasi yang memadai, serta aliran darah kedinding alveolus. Surfaktan merupakan faktor penting dan berperan
sebagai pathogenesis beberapa penyakit rongga dada Raharjoe dkk, 1994. Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring,
laring, trakhea, bronkus dan bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Permukaan epitel diliputi
oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjarserosa Ganong, 1998. Anatomi sistem pernafasan manusia dapat ditunjukkan seperti gambar 2.2
dibawah ini :
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Anatomi Sistem Pernafasan Manusia
Sumber : Pearce, 1986
2.3.3. Volume dan Kapasitas Paru
Selama pernapasan berlangsung volume paru selalu berubah-ubah, dimana mengembang sewaktu inspirasi dan mengempis sewaktu ekspirasi.Dalam keadaan
normal, pernapasan terjadi secara pasif dan berlangsung hampir tanpa disadari Suma’mur, 1998. Beberapa parameter yang menggambarkan volume paru adalah:
a. Volume Tidal Tidal Volume = TVadalah volume udara yang dihirup atau yang
dihembuskan pada satu siklus pernapasan selama pernafasan biasa. Besarnya TV orang dewasa sebanyak 500 ml.
b. Volume Cadangan Inspirasi Inspiratory Reserve Volume = IRV adalah volume
udara yang masih dapat dihirup ke dalam paru sesudah inspirasi biasa. Besarnya IRV pada orang dewasa adalah 3100 ml.
c. Volume Cadangan Ekspirasi Ekspiratory Reserve Volume = ERV adalah volume
udara yang masih dapat dikeluarkan dari paru sesudah ekspirasi biasa. Besarnya ERV pada orang dewasa adalah 1200 ml.
d. Volume Residu Residual Volume = RV adalah udara yang masih tersisa di dalam
paru sesudah ekspirasi maksimal. Kapasitas paru merupakan penjumlahan dari dua volume paru atau lebih
Suma’mur,1998.Menurut Guyton 1997, kapasitas paru dapat diuraikan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a. Kapasitas Inspirasi
Kapasitas Inspirasi Inspiration CapacityIC adalah jumlah udara yang dapat dihirup oleh seseorang, dimulai pada tingkat ekspirasi normal dan pengembangan
paru sampai jumlah maksimum kira-kira 3500 ml. Nilai kapasitas ini merupakan hasil dari penjumlahan nilai volume tidal TV dengan volume cadangan inspirasi
IRV. b.
Kapasitas Residu Fungsional Kapasitas Residu Fungsional Fungtional Residual CapacityFRC adalah jumlah
udara yang tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal kira-kira 2300 ml. Nilai kapasitas ini adalah hasil dari penjumlahan volume cadangan inspirasi IRV
ditambah volume cadangan ekspirasi ERV. c.
Kapasitas Paru Total Kapasitas paru total Total Lung CapacityTLC adalah volume maksimum di
mana paru dapat dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa kira-kira
5800 ml.
d. Kapasitas Vital
Kapasitas vital paru Vital CapacityVC adalah jumlah gas yang dapat diekspirasi setelah inspirasi secara maksimal. Besarnya adalah 4800 ml. Kapasitas vital paru-
paru merupakan hasil penjumlahan dari volume tidal, volume cadangan inspirasi dan volume cadangan ekspirasi, seharusnya 80 TLC. Berdasarkan pada tinggi
badan seseorang dapat ditaksir besar kapasitas vitalnya. Orang yang semakin tinggi cenderung mempunyai kapasitas vital paru-paru yang lebih besar dari orang
Universitas Sumatera Utara
yang tinggi badannya rendah. Pada pria kapasitas vital prediksi = 27,63-0,112 UTB. U merupakan umur dalam tahun dan TB adalah tinggi badan dalam cm.
Persentase kapasitas paru dapat diukur dengan membandingkan kapasitas vital hasil pengukuran dengan spirometer terhadap kapasitas paru di prediksi dan
dinyatakan dalam satuan persen.
Gambar 2.3. Kurva Volume dan Kapasitas Paru 2.3.4. Nilai Standar Kapasitas Paru
Menurut Pinzon 1999, kapasitas paru prediksi untuk pria adalah 27,63- 0,112 U TB, sementara pada wanita adalah 21,78-0,101 U TB dimana U adalah
umur dalam tahun dan TB adalah tinggi badan dalam centimeter.
Menurut Koesyanto 2005 nilai standar kapasitas paru dibagi kedalam
perbedaan jenis kelamin adalah seperti pada tabel dibawah ini. Tabel 2.2. Nilai Standar Kapasitas Paru Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Usia Tahun
Nilai Standar Kapasitas Paruml
Usia Tahun
Nilai Standar Kapasitas Paru ml
Universitas Sumatera Utara
Laki-laki Perempuan
Laki-Laki Perempuan
17 4100
2750 27
4180 2740
18 4200
2800 28
4150 2720
19 4300
2800 29
4120 2710
20 4320
2800 30
4100 2700
21 4320
2800 31-35
3990 2640
Tabel 2.2. Lanjutan Usia
Tahun Nilai Standar Kapasitas
Paruml Usia
Tahun Nilai Standar Kapasitas
Paru ml Laki-laki
Perempuan Laki-Laki
Perempuan
22 4300
2800 36-40
3800 2520
23 4280
2790 41-45
3600 2390
24 4250
2780 46-50
3410 2250
25 4220
2770 51-55
3240 2160
26 4200
2760 56-60
3100 2060
Sumber : Koesyanto 2005 2.3.5. Pemeriksaan Kapasitas Paru
Pemeriksaan kapasitas paru adalah suatu pemeriksaan yang sering digunakan secara klinik sebagai indeks fungsi paru Ganong, 2003.
Pengukuran faal paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja, yaitu menggunakan spirometer dengan alasan spirometer lebih mudah digunakan, biaya murah, ringan
praktis, bisa dibawa kemana-mana, tidak memerlukan tempat khusus, cukup sensitif, akurasinya tinggi, tidak invasif dan cukup dapat memberi sejumlah informasi handal
Yunus, 2006. Cara kerja spirometer adalah dengan cara menarik nafas dan menghembuskan
nafas dalam keadaan hidung ditutup, sementara itu drum pencatat bergerak sesuai jarum jam sehingga pencatat akan mencatat sesuai dengan gerak tabung yang berisi
udara.
Universitas Sumatera Utara
Dengan spirometri ini dapat diketahui uji fungsi paru dasar yang meliputi Price and Wilson, 1992 :
1. Vital Capacity VC, adalah jumlah udara maksimal yang dapat diekspirasi
sesudah inspirasi maksimal 2.
Force Vital Capacity FVC, adalah pengukuran kapasitas vital yang didapat pada ekspirasi dengan dilakukan secepat dan sekuat mungkin.
3. Forced Expiratory Volume in One Second FEV1, adalah volume udara yang
dapat diekspirasi dalam waktu satu detik selama tindakan FVC . Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengukuran fungsi paru dengan
menggunakan Spirometer, maka kesimpulan yang dapat diperoleh antara lain Aurorina, 2003 :
1. Normal bila FEV1FVC
≥ 75 dan FVC ≥ 80 2.
Gangguan restriksi bila FEV1FVC ≥ 75 dan FVC 80
3. Gangguan obstruktif bila FEV1FVC 75, FVC
≥ 80 dan FEV1 95 prediksi.
4. Gangguan campuran restriksi dan obstruktif bila FEV1FVC 75 dan FVC
80. Hasil pengukuran kapasitas paru tersebut dapat diklasifikasikan seperti pada
gambar 2.4 dibawah ini.
FEV1FVC Normal
75 Obstruksi
80 FVC
Restriksi
Obstuksi Restriksi
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Klasifikasi Penilaian Faal Paru
Sumber :American Thoracic Society, 1995 Menurut Alsagaf 2004 Forced Expiratory Volume in 1 Second FEV adalah
besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal dapat
mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80 dari nilai FVC. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-fase selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan
didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan nilai absolutnya tetapi pada perbandingan dengan FVC-nya. Bila
FEVFVC lebih dari 75 berarti normal. Penyakit obstruktif seperti bronchitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan FEV lebih besar dibandingkan kapasitas vital
kapasitas vital mungkin normal sehingga rasio FEV1FVC kurang 80.
2.3.6. Penyakit Gangguan Paru
Gangguan fungsi paru adalah gangguan atau penyakit yang dialami oleh paru- paru yang disebabkan oleh berbagai sebab, misalnya virus, bakteri, debu maupun
partikel lainnya. Penyakit-penyakit pernapasan yang diklasifikasikan karena uji spirometri ada 2 macam, yaitu penyakit-penyakit yang menyebabkan gangguan
ventilasi obstruktif dan penyakit-penyakit yang menyebabkan ventilasi restriktif Guyton, 1994.
1.
Penyakit Paru-paru Obstruktif Menahun
Universitas Sumatera Utara
Penyakit Paru-paru Obstruktif Menahun PPOM merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung
lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara Suyono, 1995. Menurut Guyton 1994, penyakit-penyakit yang terrmasuk PPOM yaitu:
a.
Bronkitis Kronik
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi
sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun. Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang terdapat
pada daerah industri.
b.
Emfisema Emfisema adalah penyakit obstruktif kronik akibat berkurangnya elastisitas
paru dan luas permukaan Alveolus. Resiko primer untuk emfisema adalah merokok. Pajanan berulang ke asap rokok perokok pasif juga dapat
menyebabkan emfisema. Selain itu terdapat suatu suatu bentuk emfisema familial yang timbul pada orang-orang yang tidak terpajan asap rokok.
c.
Asma Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitifitas cabang-
cabang takeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan
reversibel akibat bronkospasme.
d.
Bronkiektasis
Universitas Sumatera Utara
Bronkiektasis adalah peradangan nekrosis kronis yang menyebabkan atau mengikuti dilatasi abnormal dari bronki. Secara klinik, ditandai dengan batuk,
demam, dan dahak yang purulen, banyak sekali dan berbau.
2.
Penyakit Pernapasan Restriktif Menurut Suyono 1995, ada beberapa macam penyakit pernapasan restriktif,
yaitu: a.
Sarkoidosis Penyakit ini relatif sering ditemukan yang ditandai dengan grunuloma non-
kaseosa pada jaringan manapun. Paru adalah tempat yang biasa terkena, secara karakteristik granuloma tersebar difus menunjukkan gambaran
retikuloduner pada foto sinar X dan tidak terlihat secara makroskopik kecuali fokus granuloma yang berpadu. Lesi paru condong untuk penyembuh
sehingga mungkin terlihat sebagai parut secara mikroskopik. b.
Fibrosis Paru Idiopatik Kelainan yang ditandai oleh fibrosis interstinum paru progresif yang
menyebabkan hipoksia. Penyakit ini progresif pada kebanyakan kasus, berakibat insufisiensi paru, kor pulmonaler dan payah jantung.
c. Pneumokoniosis
Pneumokoniosis adalah sekelompok penyakit yang disebabkan karena inhalasi debu organik dan anorganik tertentu. Penyakit ini sering dikaitkan dengan
penyakit akibat kerja. Bahan-bahan lain yang dapat menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
pneumokoniosis antara lain silika, batu bara, besi, asbes. Pneumokoniosis hanya timbul setelah terpajan bertahun-tahun.
d. Pneumonitis Hipersensitivitas
Kelainan karena faktor imunologik ini disebabkan oleh debu atau antigen terinhalasi, misalnya spora pada jerami, protein bulu dan bakteri termofilik.
e. Eosinofilia Paru
Bermacam-macam kondisi klinikopatologik yang ditandai oleh sebutan infiltrasi eosinofil dalam interstinum paru danatau ruang alveolus, meliputi
eosinofilia paru sederhana, eosinofilia tropikal, eosinofilia paru kronik sekunder, pneumonia eosinofilia kronik idiopatik.
f. Bronkiolitis Obliterans atau Pneumonia Terorganisasi
Respons yang terjadi terhadap infeksi atau jejas radang pada paru, secara klinis terkait dengan batuk, sesak napas, dan sering dengan infeksi paru yang
baru, hubungan etiologi lain adalah toksin terinhalasi, obat, dan penyakit vaskuler-kolagen.
g. Hemoragi Paru Difus
Komplikasi yang serius pada beberapa penyakit paru interstisial, terutama yang disebut sindrom paru hemoragik, termasuk dalam penyakit ini adalah
sindrom goodpasture, hemosiderosis pulmonal idiopatik dan pendarahan yang berkaiatan dengan vaskulitis.
Universitas Sumatera Utara
h. Proteinosis Alveolar Paru
Penyakit ini dapat terjadi setelah pemaparan debu dan bahan kimia yang menyebabkan iritasi dan pada penderita yang tertekan kemampuan
imunologiknya. Bersifat progresif pada kebanyakan penderita, tetapi beberapa penderita dapat mengalami perjalanan-perjalanan penyakit yang ringan dan
akhirnya terjadi resolosilesi.
2.4. Pabrik Gula 2.4.1. Pabrik Gula Sei Semayang
Pabrik Gula Sei Semayang PGSS adalah salah satu dari dua unit pabrik penghasil gula yang dimiliki PT Perkebunan Nusantara II. PGSS adalah suatu
perusahaan penghasil gula yang pertama didirikan di luar pulau Jawa yang mempunyai kantor besar di jalan Tembakau Deli No. 4 Medan. Pabrik Gula Sei
Semayang merupakan industri manufaktur yang memproduksi gula pasir. Bahan baku utama dari produk tersebut adalah tebu yang berasal dari penyedian bahan baku.
PGSS yang telah mengolah selama ± 30 tahun, tahun awal 4.000 ton perhari dan sampai saat ini masih tetap berkapasitas 4.000 ton per hari dan masih mengolah tebu
menjadi gula. Perusahaan ini dalam masa operasinya, sering disebut dengan masa giling gula, yaitu apabila bahan baku tebu, mengalami masa panen yang cukup
untuk digiling dalam produksi. Produk gula yang dihasilkan sampai sekarang hanya untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri saja, khususnya daerah yang terdapat
di pulau Sumatera.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pengelompokan gula negara, Pabrik Gula Sei semayang dikategorikan dalam D pengelompokan berdasarkan SK Menteri Pertanian No.59
KpstEKK 101977 yang mengelompokan pabrik gula berdasarkan kapasitas: a.
Golongan A untuk pabrik dengan kapasitas 800 – 1200 ton b.
Golongan B untuk pabrik dengan kapasitas 1200 – 1800 ton c.
Golongan C untuk pabrik dengan kapasitas 1800 – 2700 ton d.
Golongan D untuk pabrik dengan kapasitas 2700 – 4000 ton Produk gula yang dihasilkan sampai sekarang hanya untuk memenuhi
kebutuhan gula dalam negeri saja, khususnya daerah yang terdapat di pulau Sumatera.
2.4.2. Proses Pengolahan Tebu menjadi Gula di Pabrik Gula Sei Semayang
Tebu adalah tanaman yang di tanam untuk bahan baku gula. Tanaman tebu dapat tumbuh hingga 3 m di kawasan yang mendukung.Umur tanaman sejak di tanam
sampai bisa di panen kurang lebih dari satu tahun. Tebu dapat dipanen dengan cara manual atau menggunakan mesin-mesin pemotong tebu. Daun kemudian dipisahkan
dari batang tebu, kemudian di bawa ke pabrik untuk diproses menjadi gula. Tahap-tahapan dalam proses pembuatan gula di mulai dari penanaman tebu,
proses ekstrasi, pembersih kotoran, penguapan, kristalisasi, afinasi, kabonisasi, penghilangan warna dan sampai proses pengepakan sehingga sampai ke tangan
konsumen. Proses produksi yang terdapat di PGSS yang memproduksi Gula GKP Gula Kristral Produk 1 dengan bahan baku utama adalah tebu dan bahan pembantu
proses adalah kapur tohor dan belerang. Tanaman tebu dipanen saat tanaman memiliki kadar gula dan sukrosa yang tinggi yakni pada umur sekitar 10-12 bulan.
Universitas Sumatera Utara
Kadar gula yang diperoleh dari batang tebu adalah 7-8 . Batang tebu pada dasarnya terdiri dari :
• Zat padat sabut
• Zat cair terdiri dari : air, gula bukan gula kotoran terlarut
Tebu segar menggambarkan bahwa tebu digiling dalam rentang waktu kurang dari 24 jam setelah ditebang. Tebu yang terlambat tergiling biasanya mengandung
destran dalam jumlah banyak sehingga akan menggangu proses pemurnian dan menurunkan perolehan sukrosa. Tebu yang layak giling bila telah mencapai fase
kemasakan dimana rendeman batang tebu bagian pucuk mendekati rendeman bantang tebu bagian bawah. Tebu yang masak selnya mudah pecah sehingga pemecahan dapat
optimal dibandingkan dengan tebu yang belum masak. Proses Pengolahan Tebu menjadi gula di PGSS dilakukan pada 7 stasiun yaitu
; 1.
Stasiun Gilingan Tebu yang telah ditimbang kemudian disorong oleh chanehilo langsung ke atas
meja chane peeding table. Setelah itu tebu di potong-potong dengan alat pemotong 1 cane cutter 1 dan kemudian diteruskan ke alat pemotong 2 Cane
cutter 2 yang berfungsi untuk menyayat tebu sampai menjadi serpihan tebu halus sehingga mempermudah penggilingan. Penggilingan perahan dilakukan
Universitas Sumatera Utara
sebanyak 5 kali yang terdiri dari lima unit gilingan yang disusun seri dengan memakai tekanan hidrolik yang berbeda-beda.
Pada dasarnya sistem kerja penggilingan yaitu nira yang terekstraknya nira mentah dari batang akan jatuh ke bagian bawah gilingan, sementara ampas akan
terus bergerak hingga gilingan akhir. Ampas tebu dari gilingan 5 yang memiliki kadar kering ampas 0,8-0.9 di bawa menuju boiler untuk bahan bakar dan
sebagian dibawa menuju ke gudang ampas sebagai cadangan. 2.
Stasiun Pemurnian Pada pabrik gula proses pemurnian yang digunakan adalah gabungan antara
proses defikasi dan sulfitrasi. Tujuan utama dari stasiun pemurnian adalah untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang terkandung dalam nira mentah. Di dalam
proses pemurnian ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu: a.
Timbangan Nira mentah b.
Pemanas Nira c.
Tangki Mashall d.
Tangki Defikasi e.
Tangki Sulfitrasi f.
Pemanas Nira II g.
Tangki Pengembangan h.
Tangki Pengendapan 3.
Stasiun Penguapan Evaporator
Universitas Sumatera Utara
Stasiun penguapan pada proses pengolahan gula menggunakan 4 unit evaporator yang disebut Quabruple evaporator dan memakai forward feed. Tujuan dari
stasiun penguapan adalah untuk menguapkan air yang terkandung dalam nira encer sehingga nira akan lebih mudah dikristalkan di stasiun masakan.
Temperatur penguapan dalam evaporator berada pada rentang suhu 50°C - 110°C.
4. Stasiun Talodura
Stasiun Talodura bertujuan untuk memusnahkan kotoran yang terkandung dalam nira kental yang sudah disulfitasi. Sebelum diproses, nira kental ditampung di
Buffer Tank, dari Buffer Tank nira dipompa ke Heat Exhanger untuk pemanasan pada suhu 80° C dimana pada temperature tersebut dapat menguraikan kotoran-
kotoran dalam nira. Kemudian nira kental dialiri dengan asam phospat yang dapat menyerap kotoran melayang yang dikandung nira kental.
Untuk menyempurnakan atau mempercepat proses pengapungan di tambahkan Talofloc. Kemudian nira kental di alirkan ke Aerator Tank yang dilengkapi
dengan pengaduk yang mengalir ke Talo Clarifier secara Overflow. Sebelumnya ditambahkan Talofloc sebanyak 3 ppm untuk mengikat kotoran. Di Talo Clarifier
terjadi pemisahan secara Overflow ke Scum Tank untuk selanjutnya dipompa ke tangki nira mentah tertimbang sedangkan nira kental yng sudah jernih
dikeluarkan melalui pengaturan Valve Teleskop yang dialirkan ke Treated Tank dan selanjutnya di pompakan ke stasiun masakan kristalisasi
5. Stasiun Masakan Kristalisasi
Universitas Sumatera Utara
Nira di pompakan kental dari stasiun Talodura ke stasiun masakan. Kristalisasi adalah salah satu langkah dalam rangkaian proses pengerjaan larutan yang
mengandung gula dengan tujuan untuk membentuk Kristal gula dari nira kental sampai kualitas yang mudah ditentukan. Konsentrai nira kental pada stasiun
masakan adalah 80 – 85 brix, brix kental 60 – 65 dan kadar air 35 – 40 .
Proses kristalisasi dilakukan dalam tiga tingkatan masakan yaitu : •
Masakan A •
Masakan B •
Masakan D Untuk mencapai kualitas gula dalam nira kental tidak cukup dikristalkan dalam
satu kali prose kristalisasi saja. Adapun tujuan utamanya adalah untuk mengeluarkan gula sebanyak mungkin dari nira lewat jenuh dengan cara
menguapkan sampai terbentuk Kristal gula dengan temperature masakan 60 – 60 C.
6. Stasiun Putaran
Fungsi dari stasiun putaran untuk memisahkan Kristal Gula dan Stroop yang
masih tersisa pada waktu masakan. Alat putaran ini terdiri dari 2 jenis yaitu :
• High Grade Centrifugal 1600 rpm terdiri dari 9 unit putaran yaitu 5 untuk
memutar masakan gula A dan B dan 4 untuk memutar gula produk.
Universitas Sumatera Utara
• Low Grade Centrifugal terdiri dari 12 putaran yaitu 9 untuk memutar
masakan D gula D1 dan 3 untuk memutarkan masakan D2. Putaran bekerja berdasarkan gaya centrifugal yang menggunakan full automatic discontinue.
7. Finishing
a. Dryer dan Cooler
Pengeringan dilakukan dengan udara panas dengan temperature sekitar 70 °C yang kemudian didinginkan kembali karena gula tidak tahan terhadap
temperature tinggi. Tujuan pengeringan ini adalah untuk menghindari kerusakan gula yang disebabkan oleh mikroorganisme dan agar gula tahan
lama pada penyimpanan sebelum disalurkan kepada konsumen. Sebelum proses pengeringan ini berlangsung, juga dilakukan pengisapan debu gula
dan kotoran-kotoran yang melekat pada Kristal gula dengan menggunakan alat inducedfan.
b. Gudang Penyimpanan
Gula yang sudah ditimbang, dimasukkan ke dalam karung plastik lalu dijahit dengan bag sewing machine kemudian gula dikirimkan ke gudang
penyimpanan. Suhu kelembaban dalam gudang harus di jaga. Kelembaban lebih kurang dari 65 atau lebih rendah. Pengeluaran gula dari gudang juga
baru diatur berdasarkan System First in First Out FIFO. Untuk itu, gudang minimal harus mempunyai 2 pintu, satu untuk memasukkan dan satu untuk
Universitas Sumatera Utara
pengeluaran. Waktu Pengeluaran gula dari gudang juga harus diatur terutama waktu udara luar kering.
2.4.3. Debu di Lingkungan Pabrik Gula Sei Semayang
Limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan tebu menjadi gula adalah limbah cair, limbah padat dan limbah partikulat. Adapun limbah tersebut merupakan :
a. Limbah Cair
Merupakan produk sisa kegiatan pabrik gula yang bersumber dari air kondensat dan proses pengilingan, stasiun pemurnian, stasiun penguapan, stasiun masakan,
stasiun putaran serta pencucian peralatan.
b. Limbah padat
Merupakan ampas tebu, blotong, abu ketel dan sluge IPAL c.
Limbah Partikulat Merupakan limbah gas di dalam pabrik dipengaruhi oleh proses pembuatan gas
sulfit dari ruangan tobong belerang dan asap pembakaran boiler Adapun sumber limbah PG Sei Semayang yang dikeluarkan dari masing -
masing stasiun adalah merupakan limbah cair, limbah padat serta partikulat adalah sebagai berikut :
1. Stasiun Gilingan
: Merupakan tumpahan nira, cipratan nira, bocoran pompa nira serta cucian lantai, ampas, tetesan minyak pendingin
metelan. 2.
Stasiun Boiler : Air Bolw down, air siraman abu boiler, abu dapur
Universitas Sumatera Utara
3. Stasiun Pemurnian : Tumpahan nira, bocoran pompa dan blotong
4. Stasiun Evaporator : Air soda, bekas skrap tromol evaporator, air cucian lantai
5. Stasiun Masakan
: Air Dingin 6.
Stasiun putaran : bocoran pompa stroop, tetes, stroop, klare, gula dan
kertas bekas tapisan filtrate
2.5. Karakteristik Pekerja
2.5.1. Karakteristik Individu
Kelainan paru karena adanya deposit debu dalam jaringan paru disebut pneumokoniosis. Menurut definisi dari International Labor Organization ILO
pneumokoniosis adalah akumulasi debu dalam jaringan paru dan reaksi jaringan paru terhadap adanya akumulasi debu tersebut. Bila pengerasan alveoli telah mencapai
10 akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam
jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya Khumaidah, 2009.
Nilai kapasitas vital paru pada dasarnya dipengaruhi oleh bentuk anatomi tubuh, posisi selama pengukuran kapasitas vital, kekuatan otot pernapasan serta
pengembangan paru dan otot dada compliance paru. Penurunan kapasitas paru dapat disebabkan oleh kelumpuhan otot pernapasan, misalnya pada penyakit poliomyelitis
atau cedera saraf spinal, berkurangnya compliance paru, misalnya pada penderita asma kronik, tuberkulosa, bronchitis kronik, kanker paru dan pleuritis fibrosa dan
Universitas Sumatera Utara
pada penderita penyakit bendungan paru, misalnya pada payah jantung kiri Guyton,
1994.
Daya tahan kardiorespirasi, yaitu kesanggupan jantung, paru dan pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal pada keadaan istirahat dan latihan untuk
mengambil oksigen dan mendistribusikan ke jaringan yang aktif untuk metabolisme tubuh, dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor antara lain: keturunangenetik, usia,
jenis kelamin, masa kerja, waktu kerja, kebiasaan merokok, riwayat penyakit gangguan pernafasan, status gizi, kebiasaan berolah ragaaktivitas fisik dan
penggunaan alat pelindung diri berupa masker Yunus, 1997; Guyton Hall, 1996; Harrington, 2005; Murray Lopez, 2006; Suma’mur, 1994; Raharjoe dkk, 1994.
Berikut dijabarkan faktor-faktor yang memengaruhi nilai kapasitas vital paru sebagai berikut :
1. KeturunanGenetik
Dari penelitian diketahui bahwa 93,4 volume O
2
2. Umur
max ditentukan oleh faktor genetik. Hal ini dapat dirubah dengan melakukan latihan yang optimal Yunus,
1997.
Pada individu normal terjadi perubahan nilai fungsi paru secara fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya lung growth. Mulai pada
fase anak sampai kira-kira umur 22-24 tahun terjadi pertumbuhan paru sehingga pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan pertambahan
umur. Beberapa waktu nilai fungsi paru menetap stasioner kemudian menurun
Universitas Sumatera Utara
secara gradual pelan – pelan, biasanya umur 30 tahun sudah mulai penurunan, berikutnya nilai fungsi paru FVC = Force Vital CapacityKapasitas Vital Paksa
dan FEV1 = Force Expiratory VolumVolume Ekspirasi Paksa Satu Detik Pertama mengalami penurunan rata-rata sekitar 20 ml tiap pertambahan satu
tahun umur individu Pearce, 1986. Kapasitas paru orang berumur 30 tahun rata-rata 3.000 ml sampai 3.500 ml, dan
pada mereka yang berusia 50 tahun lebih kecil dari 3.000 ml. Meningkatnya umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya
gangguan saluran pernafasan pada tenaga kerja Yunus, 2006.
3. Jenis Kelamin
Nilai kapasitas vital paru pria dan wanita sampai usia pubertas tidak berbeda, namun setelah itu dewasa laki-laki lebih tinggi 20-25 dari pada wanita dewasa.
Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan kekuatan otot pria dan wanita Yunus, 1997.
4. Kebiasan Merokok
Raharjoe dkk 1994 mengungkapkan bahwa kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan ventilasi paru karena menyebabkan iritasi dan sekresi
mucus yang berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini dapat mengurangi efektifitas mukosilier dan membawa partikel-partikel debu sehingga merupakan
media yang baik tumbuhnya bakteri.
Universitas Sumatera Utara
Yunus 1997 mengatakan asap rokok meningkatkan risiko timbulnya penyakit bronchitis dan kanker paru, untuk itu tenaga kerja hendaknya berhenti merokok
bila bekerja pada tempat yang mempunyai risiko terjadi penyakit tersebut. Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun adalah 28,721 ml untuk non perokok
dan 38,4 ml untuk bekas perokok dan 41,7 ml untuk perokok aktif. Pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari pengaruh debu yang hanya sepertiga dari pengaruh
buruk rokok Depkes RI, 2009. Kebiasaan merokok menurut Jama 1994 telah membagi menjadi 3 tiga kategori
perokok yaitu sebagai berikut : a.
Perokok ringan, bila jumlah rokok yang dihisap antara 1-6 batanghari b.
Perokok sedang, bila jumlah rokok yang dihisap antara 7-12 batanghari c.
Perokok berat, bila jumlah rokok yang dihisap lebih dari 12 batanghari. 5.
Kebiasaan Berolah Raga Faal paru dan olahraga mempunyai hubungan yang timbal balik. Gangguan faal
paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga. Sebaliknya, latihan fisik yang teratur atau olahraga dapat meningkatkan faal paru Yunus, 1997. Secara umum
olah raga akan meningkatkan total kapasitas paru. Pada banyak individu yang melakukan olah raga secara teratur maka kapasitas paru akan meningkat meskipun
hanya sedikit, tetapi pada saat yang bersamaan residual volume atau jumlah udara yang tidak dapat berpindah atau keluar dari paru akan menurun. Selanjutnya untuk
meningkatkan kapasitas vital paru, olah raga yang dilakukan hendaknya
Universitas Sumatera Utara
memperhatikan empat hal, yaitu mode atau jenis olah raga, frekuensi, durasi, dan intensitasnya Wilmore, 1994.
6. Waktu Kerja
Menurut Harrington 2005, lama bekerja adalah durasi waktu untuk melakukan suatu kegiatanpekerjaan setiap harinya yang dinyatakan dalam satuan jam.
Budiono 2003 menyatakan lama kerja sebagai durasi waktu pekerja terpapar risiko faktor fisika atau faktor kimia dalam melakukan pekerjaannya time
exposure.
Untuk mengantisipasi efek negatif paparan debu di tempat kerja, maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan
kesehatan tenaga kerja. Salah satu upaya pencegahan tersebut adalah menetapkan waktu bekerja sehari-hari yaitu selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam
per minggu UU Nomor 13, 2003. 7.
Masa Kerja Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di suatu
tempat.Menurut Suma’mur 1994 semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja
tersebut. Lama kerja diperlukan untuk menilai lamanya pekerja terpajan debu. Semakin
lama seseorang terpajan debu, akan semakin besar risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Pada pekerja yang berada di lingkungan dengan kadar debu tinggi
dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru obstruktif. Masa
Universitas Sumatera Utara
kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi pada
pekerja di industri yang berdebu lebih dari 5 tahun Khumaidah, 2009.
8. Riwayat Penyakit Gangguan Pernafasan
Kondisi kesehatan saluran pernafasan dapat mempengaruhi kapasitas vital paru seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit Ganong,
2002. Nilai kapasitas paru otomatis akan berkurang pada penyakit paru-paru, penyakit jantung yang menimbulkan kongesti paru dan pada kelemahan otot
pernapasan Price Wilson, 1995.
Mukono 1997 mengatakan bahwa pada orang normal tidak ada perbedaan antara Force Vital Capacity FVC dan Vital Capacity VC, sedangkan pada keadaan
kelainan obstruksi terdapat berbedaan antara VC dan FVC. Vital Capacity VC merupakan refleksi dari kemampuan elastisitas atau jaringan paru atau kekakuan
pergerakan dinding toraks. Vital Capacity VC yang menurun merupakan kekuatan jaringan paru atau dinding toraks, sehingga dapat dikatakan pemenuhan
compliance paru atau dinding toraks mempunyai korelasi dengan penurunan VC. Pada kelainan obstruksi ringan VC hanya mengalami penurunan sedikit atau
mungkin normal. 9.
Penggunaan Masker Masker dan respirator digunakan untuk melindungi saluran pernapasan dari
pernapasan secara inhalasi terhadap sumber-sumber bahaya di udara pada tempat kerja seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh partikel debu, kabut, asap dan
uap logam, pencemaran oleh gas atau uap. Alat pelindung pernafasan adalah
Universitas Sumatera Utara
bagian dari alat pelindung diri yang digunakan untuk melindungi pernafasan terhadap gas, uap, debu, atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang
dapat bersifat racun ataupun korosi. Pelindung pernafasan adalah alat yang penting, mengingat 90 kasus keracunan sebagai akibat masuknya bahan-bahan
kimia beracun atau korosi lewat saluran pernafasan Milos, 1991. Penggunaannya selain menutup mulut dan hidung, ada juga yang mencakup wajah
dan kepala. Penggunaan masker dan respirator hendaklah memperhatikan apa yang sebaiknya digunakan, dengan memperhatikan jenis bahaya yang dihadapi dan
berapa banyak kontak dengan bahan berbahaya tersebut. Respirator berdasarkan jenisnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu Milos, 1991 :
a. Respirator yang Bersifat Memurnikan Udara
Respirator yang bersifat memurnikan udara dibagi menjadi 3 jenis,yaitu respirator yang mengandung bahan kimia, respirator dengan filter mekanik,
respirator yang mempunyai filter mekanik dan bahan kimia. b.
Respirator yang Dihubungkan dengan Suplai Udara Suplaiudaranya berasal dari saluran udara bersih atau kompresor, alat
pernapasan yang mengandung udara self contained breathing apparatus. c.
Respirator dengan Suplai Oksigen Biasanya berupa self contained breathing apparatus. Pekerja yang aktivitas
pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat
terhirup. Masker berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikel-
Universitas Sumatera Utara
partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan. Masker dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu agar risiko paparan debu yang dapat
terinhalasi ke paru-paru, sehingga pengendapan partikel dan penurunan nilai kapasitas vital paru dapat diminimalisir.
Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung debu, merupakan upaya mengurangi masuknya partikel debu kedalam saluran
pernapasan. Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan akibat terpapar udara yang kadar
debunya tinggi Suma’mur, 1996.
2.5.2. Kondisi Fisik Lingkungan Kerja
Banyak faktor yang memengaruhi gangguan saluran pernafasan khususnya pada aspek tenaga kerja selain dipengaruhi oleh karakteristik individu juga dipengaruhi
oleh faktor lingkungan kerja yaitu ventilasi, suhu dan kelembaban. Faktor lingkungan ini diuraikan sebagai berikut :
1.
Suhu Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja industri yang nyaman di tempat kerja
adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga kerja yaitu berkisar antara 18
C sampai 31 C. Suhu yang rendah dapat
menyebabkan polutan dalam atmosfir terperangkap dan tidak menyebar,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan suatu polutan udara, yang menyebabkan partikel debu bertahan lebih lama di udara
sehingga memungkinkan terhisap oleh pekerja lebih banyak. Hal itu yang menjadikannya faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru bagi
pekerja. Bila suhu udara 31 C perlu menggunakan alat penata udara seperti air
conditioner, kipas angin dan lain-lain.Bila suhu udara luar 18
2.
Kelembaban C perlu
menggunakan alat pemanas ruangan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13MENX2011.
Kelembaban udara tergantung berapa banyak uap air dalam yang terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara berada dalam
kondisi jenuh dalam arti kelembaban tinggi dan segala sesuatu menjadi basah.Kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada
kesehatan pekerja berkisar antara 65 - 95 . Udara yang lembab menyebabkan bahan pencemar berbentuk partikel dapat berikatan dengan air di udara sehingga
membentuk partikel yang berukuran lebih besar. Partikel tersebut mudah mengendap. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja secara tidak langsung
dapat menghambat sirkulasi udara. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20 dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran.
Sedangkan kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid
dari material bangunan
Universitas Sumatera Utara
Suma’mur,1996. Bila kelembaban udara ruang kerja95 perlu menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja 65 perlu
menggunakan humidifier Peraturan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405MENKESSKXI2002.
2.6. Landasan Teori
Menurut Achmadi 2012 gangguan kesehatan terhadap seseorang atau masyarakat disebabkan oleh adanya agen penyakit yang sampai pada tubuhnya.Agen
yang berasal dari sumbernya menyebar melalui simpul media atau wahana yang meliputi udara, air, tanah, makanan dan vektor atau manusia itu sendiri.
Mengacu dari tinjauan teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan pernapasan dalam membuat kerangka konsep, peneliti
menggunakan landasan teori dari Achmadi 2012 tentang paradigma kesehatan lingkungan dengan teori simpul kejadian penyakit. Dalam teori simpul kejadian
penyakit tersebut, proses kejadian penyakit dapat diuraikan ke dalam 4 simpul yakni
sebagai berikut :
1. Simpul 1 disebut sumber penyakit
Sumber penyakit adalah titik yang secara konstan maupun sewaktu-waktu mengeluarkan satu atau lebih berbagai agent penyakit. Sumber penyakit dalam
penelitian ini yaitu agen penyakit risk agent berupa adanya bahan pencemar di lingkungan kerja yang berasal dari partikel debu akibat proses pengolahan tebu
Universitas Sumatera Utara
menjadi gula di Pabrik Gula Sei Semayang yang dapat menimbullkan gangguan penyakit melalui kontak langsung atau melalui media perantara.
2. Simpul 2 merupakan komponen lingkungan yang merupakan media transmisi
penyakit. Media transmisi penyakit dalam penelitian ini yaitu udara lingkungan tempat
kerja di PGSS yang telah tercemar dengan partikel debu risk agent 3.
Simpul 3 merupakan perilaku pemajanan Behavioral Exposure Perilaku pemajanan Behavioral Exposure adalah jumlah kontak antara manusia
dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit agen penyakit. Dalam penelitian ini adalah kadar partikel debu di PGSS yang terhirup
oleh para pekerja selama bertahun – tahun di tempat kerja yang berdebu serta ketika sedang bekerja tidak menggunakan masker dan perilaku merokok.
4. Simpul 4 adalah Kejadian Penyakit
Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan.
Manifestasi dampak akibat hubungan antara pekerja dengan lingkungan kerja menghasilkan penyakit pada pekerja. Dalam penelitian ini, yang akan dinilai
kapasitas parunya apakah masih normal atau telah mengalami gangguan.
MANAJEMEN PENYAKIT
Universitas Sumatera Utara
Simpul 1 Simpul 2
Simpul 3 Simpul 4
Gambar 2.5. Model Simpul Perjalanan Penyakit
Sumber: Achmadi, 2012
2.7. Kerangka Konsep Penelitian