tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesan yang mengalami industrialisai yang mendadak
akan memunculkan konflik social sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat
berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti menjadi nilai
kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan
struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang
pamanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam
dunia industri. Perubahan-perubahan ini jika terjadi secara cepat dan mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial dalam
masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan
masyarakat yang sudah ada.
2.2. Tahapan Konflik
Fisher, dkk menyebutkan ada beberapa alat bantu unntuk menganalisis situasi konflik, salah satunya adalah penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat,
melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda Fisher,2001:19-20. Tahap-tahap ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Pra-Konflik: merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuain
sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun salah satu pihak atau lebih
mungkin mengetahui potensi terjadi konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan atau keinginan untuk
menghindari kontak satu sama lain. 2.
Konfrontasi: pada saat ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya
satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya.
3. Krisis: ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan kekerasan
terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal
diantara dua pihak kemungkinan putus, pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.
4. Akibat: kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi dengan atau tanpa
perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak untuk menghentikan
pertikaian. 5.
Pasca-Konflik: akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri
berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan
masalah-masalah yang timbul karena sasran mereka saling bertentangan
Universitas Sumatera Utara
tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra- konflik.
2.3. Tipe dan Akar Permasalahan Konflik Sosial
Secara teoritis, konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu konflik sosial vertikal dan konflik sosial horizontal. Konflik
sosial vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Negara dan dapat dikatakan konflik latent, sebab benih-benih konflik sudah ada dan telah terpendam pada
masa sebelumnya. Seperti di Indonesia, konflik social vertikal ini dapat dicermati dari
beberapa upaya daerah yang melepaskan diri dari belenggu pemerintahan pusat. Konflik ini semakin tidak akan terkendali karena pendekatan penyelesaian masalah diwarnai
dengan pendekatan militer. Peranan aparat militer masih mendominasi daripada diplomasi politik dan kultural.
Ada beberapa hal yang menjadi akar permasalahan terjadinya intensitas konflik vertikal, khususnya di Indonesia antara lain:
1. Luapan kekecewaan dan ketidakpuasan terhdap perilaku
pemerintah dan aparatur pemerintah yang secara sistematis mengeksploitasi sumber daya alam daerah-daerah demi
kepentingan orang-orang yang berkuasa. 2.
Pemerintah pusat dengan berdalih pembangunan seringkali semena-mena merampas dan menduduki hak-hak penduduk
lokal di suatu daerah.
Universitas Sumatera Utara
3. Menurunya kepercayaan masyarakat daerah pada pemerintah
karena pemerintah tidak lagi memihak dan melayani kepentingan-kepentingan tuntutan masyarakat tetapi secara
terencana memperdaya masyarakat. 4.
Terbukannya ruas sosial social space. Hal ini merangsang terjadinya konflik vertikal dan tanpa disadari mendorong
masyarakat untuk bereuphoria sebagai bentuk balas dendam atau sekedar melepas rasa ketidakpuasan pada pejabat
pemerintah. 5.
Tidak tertutup kemungkinan konflik vertikal ini terjadi karena ditunggangi oleh sekelompok elit yang rakus dan haus
kekuasaan.
Konflik sosial horizontal, disebabkan karena konfik antar etnis, suku, golongan , agama, atau antar kelompok masyarakat yang dilatarbelakangi oleh
kecemburuan sosial yang memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial. Adapun hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya konflik horizontal adalah:
1. Saling mengklaim dan menguasai sumber daya alam yang mulai terbatas
akibat tekanan penduduk dan kerusakan lingkungan. 2.
Kecemburuan sosial yang bersumber dari ketimpangan-ketimpangan ekonomi anatra kaum pendatang dan penduduk lokal. Keberhasilan
ekonomi para pendatang sebagai usaha kerja keras dan tidak mengenal
Universitas Sumatera Utara
lelah yang kemudian dapat mengausai pasar dan peluang ekonomi sering dilihat sebagai penjajahan ekonomi.
3. Dorongan emosional kesukuan karena ikatan-ikatan norma tradisional.
Konflik ini dapat juga muncul disebabkan karena kefanatikan ajaran ideologi tertentu .
4. Mudah dibakar dan dihasut oleh para dalang kerusuhan, elit politik dan
orang-orang yang haus kekuasaan.hal ini didorong oleh kualitas sumber daya manusia yang rendah, juga diikuti oleh rendahnya kesadaran sosial.
2.4. Pola Konflik