menggugatnya karena menganggap bahwa tidak adilnya pembagian tanah warisan tersebut diantara mereka.
4.2.1.10. Ar. Sitepu
Ar. Sitepu adalah salah satu pihak tergugat dalam kasus konflik tanah ini. Informan digugat oleh saudara perempuannya, karena diduga mengambil tanah warisan
yang seharusnya milik saudara perempuannya tersebut. Ar. Sitepu menegaskan bahwa diri nya lah yang lebih berhak atas tanah tersebut, mengingat masyarakat karo menganut
system kekerabatan patrilineal. Dalam hal ini , informan mengatakan perempuan sebenarnya tidak berhak mendapatkan tanah warisan karena mereka juga akan
mendapatkannya dari suami mereka. Pria berusia 45 tahun ini menambahkan bahwa biasanya harta warisan yang diterima oleh saudara perempuannya adalah berupa perkuah
ate pemberian karena belas kasihan dari saudara laki-laki nya.
4.3. Faktor- Faktor Penyebab terjadinya Konflik Perebutan Tanah Warisan Pada Masyarakat Karo
Menurut Dedy Armayadi 2008:60, ada tiga akar permasalahan yang melandasi konflik lahan, pertama adalah adanya penggunaan lahan milik orang lain oleh
seseorang yang tidak jelas proses penafsiran pemerolehannya oleh masing-masing orang. Si pengguna kadang-kadang berpendapat bahwa lahan tersebut telah diminta dan menjadi
miliknya, tetapi sipemilik asal berpendapat bahwa lahan tersebut hanya dipinjamkan; kedua, adanya proses jual beli lahan warisan oleh salah seorang ahli waris yang tidak
diketahui oleh ahli waris lainnya dan, ketiga, adanya proses pemberian lahan berstatus
Universitas Sumatera Utara
bebas belum ada pemiliknya oleh pemimpin kampung kepada anggota keluarganya yang berasal dari luar kampung terutama kampung yang bersebelahan, kawasan itu
kemudian diklaim sebagai bagian dari wilayah kampung tersebut, karena lahannya telah dikelola oleh mereka.
Konflik ketidakjelasan batas wilayah disebabkan oleh beberapa faktor seperti, pertama, kebiasaan penduduk melakukan pembukaan lahan untuk ladang
berpindah yang disertai oleh pemindahan pusat pemukiman masyarakat; kedua, kebijakan pemerintah melakukan penggabungan beberapa kampung menjadi desa yang dibagi
menjadi dusun-dusun yang tidak sesuai dengan batas awal ketika pemukiman tersebut menjadi kampung; ketiga, pembuatan batas administrasi antar desa dusun yang dibuat di
atas meja tanpa survey lapangan, sehingga tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan; keempat, pergantian pemimpin kampung yang tidak disertai oleh pemahaman tentang
batas wilayah. Pemimpin baru tidak mengetahui batas wilayahnya karena tidak diberitahu oleh pemimpin sebelumnya; dan, kelima, diketahuinya nilai ekonomi lahan di wilayah
perbatasan wilayah , sehingga kawasan itu menjadi bernilai ekonomi tinggi dan akhirnya menjadi rebutan satu sama lain Dedy Armayadi, 1008:62. Penyebab konflik sosial
secara umum adalah disebabkan adanya perbedaan antar individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan , dan akibat perubahan sosial.
Faktor utama konflik perebutan tanah warisan di desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran ini adalah sebagai berikut:
Salah satu penyebab munculnya konflik perebutan tanah warisan pada masyarakat Karo adalah adanya perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
Masyarakat Karo menganut garis keturunan laki-laki patrilineal. Marga bapak adalah
Universitas Sumatera Utara
marga seluruh keturunan. Perempuan yang telah kawin mengikuti marga suami, namun marganya tidak ditinggalkan. Bagi masyarakat Karo anak laki-laki lebih diutamakan
daripada anak perempuan. Laki-laki adalah penerus keturunan, pelanjut marga bapak penerus pohon kehidupan Tobing,963 dalam Konflik Status dan Kekuasaan Orang
Batak Toba sedangkan anak perempuan adalah pelanjut keturunan marga lain. Artinya, perempuan adalah penerus kelanjutan marga suaminya. Keistimewaan itu tergambar
dalam pemberian warisan yang hanya untuk laki-laki. Anak perempuan tidak mempunyai hak waris dari orang tuanya. Akan tetapi, budaya yang telah lama dianut oleh
masyarakat tersebut mengalami pergeseran. Pada perkembangannya orang tua juga sudah mempertimbangkan
keberadaan anak perempuan. Hal ini dapat dilihat dengan diikut sertakannya perempuan sebagai penerima harta warisan, walaupun jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan
dengan harta warisan yang di terima laki-laki. Akibat pergeseran budaya tersebut cenderung memicu konflik, disebabkan pihak laki-laki merasa dirugikan jika perempuan
diikut sertakan. Pada saat tertentu saudara laki-laki nya tersebut akan meminta kembali tanah warisan yang selama ini telah dikuasi oleh saudara perempuannya.
Berikut ini sesuai dengan penuturan informan di bawah ini:
“Saya tidak setuju jika tanah yang sudah menjadi milik saya diminta kembali oleh siapapun, termasuk saudara laki-laki saya
sendiri. Pada awalnya kan sudah ada kesepakatan, jadi dia tidak berhak memintanya kembali. Saya tetap akan mempertahankan
apa yang menjadi hak saya”. Sumber: Hasil Wawancara dengan R. Br Ginting.
Penuturan informan di atas menunjukkan bahwa konflik muncul disebabkan adanya perbedaan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat
Universitas Sumatera Utara
karo. Faktor lain penyebab terjadinya perebutan tanah warisan yang menimbulkan konflik disebabkan karena masyarakat cenderung menghilangkan kepemilikanhak akan
tanah. Hal ini disebabkan karena tidak transparannya pembagian harta warisan kepada anak.
Konflik perebutan tanah warisan yang terjadi pada masyarakat desa Kuta Rayat ini disebabkan karena tidak adanya bukti otentik pemberian warisan terhadap
keturunan perempuan, sehingga kurang dihargai oleh keturunan laki-laki. Kebudayaan masyarakat Karo yang merasa keberatan jika membagikan tanah warisan ketika masa
hidupnya, juga menjadi penyebab terjadinya konflik. Pada umumnya, pembagian warisan dalam masyarakat Karo dilakukan
ketika orang tua dalam keluarga sudah meninggal dunia. Konflik perebutan tanah warisan ini biasanya terjadi pada beberapa generasi berikutnya, dengan alasan merasa tidak puas
terhadap aturan-aturan yang sudah berlaku selama ini. Berikut merupakan ungkapan dari salah satu informan:
“ perselisihan yang kami hadapi ini disebabkan karena saat pembagian tanah warisan itu tidak dibuat surat hak kepemilikan.
Saya percaya dan saya tidak pernah berfikir kalau tanah warisan yang sudah diberikan kepada saya diminta kembali oleh saudara
saya. Kebanyakan masyarakat disini pun tidak pernah mengurus hak kepemilikian tanah jika tanah itu diperoleh dari harta warisan, karena
sebenarnya sudah saling mengetahui hak masing-masing”. Sumber: Hasil Wawancara dengan A. Ginting.
Dari penuturan informan diatas tersebut diketahui bahwa pada dasarnya pembagian tanah warisan yang berlaku dalam masyarakat Karo dilatarbelakangi oleh
modal kepercayaan dan adanya perasaan sungkan jika tanah warisan tersebut dibuat sertifikat kepemilikannya. Ketidak adaan bukti otentik kepemilikan tanah warisan
Universitas Sumatera Utara
tersebut cenderung memicu terjadinya konflik perebutan tanah warisan tersebut. Berikut ini merupakan hasil wawancara dengan salah satu informan:
“kalau pembagian tanah warisan memang biasanya tidak ada di buat nota kepemilikannya, karena ada perasaan sungkan dan biasanya
kerabat yang lain pun akan berfikir negative…..adanya dugaan terlalu ingin menguasai, kalau kita ingin mengurus surat tanah
tersebut harus dibubuhi tanda tangan anak beru, dan juga orang- orang yang dianggap perlu memberi persetujuan.
Sumber: Hasil Wawancara dengan J. Sembiring. Penetapan kepemilikan tanah warisan yang disertai dengan sertifikat tanah
pada masyarakat Karo memiliki perbedaan dengan masyarakat lain. Untuk menetapkan kepemilikan tanah warisan yang diterima oleh seseorang harus diikutsertakan dengan
persetujuan pihak anak beru, kalimbubu, maupun sembuyak. Hal ini lah yang mengakibatkan banyaknya masyarakat Karo yang tidak mengurus suratsertifikat
kepemilikan atas tanah warisan yang mereka terima, sehingga berujung dengan konflik perebutan tanah warisan seperti yang terjadi pada mayarakat desa Kuta Rayat ini.
Salah satu informan mengalami konflik perebutan tanah warisan di desa Kuta rayat ini disebabkan karena suatu ketika informan meninggalkan kampung halaman,
dan memberi kepercayaan terhadap saudara nya untuk mengelola tanah warisan yang sudah menjadi miliknya tersebut. Namun, setelah puluhan tahun informan pulang
kembali ke kampung halaman dan meminta tanah miliknya tersebut, akan tetapi sudaranya yang selama ini sudah menguasi tanah tersebut tidak bersedia memberikannya
kembali, sehingga menimbulkan konflik perebutan tanah warisan.
“ suatu ketika saya meninggalkan kampung ini, karena pada saat itu saya menjabat sebagai salah satu anggota dewan dan saat itu saya
berdomisi di Medan. Tanah warisan yang saya peroleh dari orang tua di kelola oleh saudara saya. Sebenarnya dia hanya memilki hak
Universitas Sumatera Utara
pinjam dan kami bersepakat jika saya meminta kembali, maka dia wajib mengembalikannya karena saya juga tidak pernah meminta
biaya sewa terhadapnya. Saya sangat kecewa ….ketika saya minta kembali tetapi dia tidak bersedia mengembalikannya dan mengakui
bahwa itu adalah bagiannya”.
Sumber: Hasil Wawancara dengan P. Sitepu. Adanya perbedaan tingkat kesuburan tanah yang dibagikan ketika
pembagian harta warisan juga dapat menimbulkan konflik . Pada awalnya , memang tidak ada pihak yang merasa keberatan, namun setelah melihat adnya perbedaan hasil produksi
pertanian dari tanah warisan yang dibagikan tersebut menimbulkan konflik. Pihak yang menerima bagian yang tanah nya kurang subur yang
berpengaruh terhadap rendahnya hasil pertanian akan mempermasalahkan pembagian yang sebelumnya dilakukan, pada saat itu juga lah pihak yang merasa di rugikan ini akan
meminta agar tanah tersebut dibagikan ulang. Dalam situasi ini pihak yang memperoleh tanah yang subur sebelumnya tidak bersedia untuk membaginya kembali dan akan
menimbulkan konflik. Hal ini sesuai dengan ungkapan informan berikut ini: “ saya tidak mungkin setuju jika tanah yang sudah dibagikan
sebelumnya…. dan sudah tercapai kesepakatan….. dan kemudian diminta agar dibagikan ulang, kalau masalah tingkat kesuburanya
berbeda…. itu kan disebabkan karena faktor perawatan tanaman dan berhubungan juga dengan rejeki. Mungkin tanah itu memang cocok
buat saya, karena belum tentu juga jika tanah itu dia yang mengelola hasilnya memuaskan”.
Sumber: Hasil Wawancara dengan R. Ginting
Letak suatu lahan juga berpengaruh terhadap terjadinya konflik perebutan tanah warisan pada masyarakat Karo. Pada waktu pembagian harta warisan ada
perbedaan luas lahan yang dibagikan, disebabkan karena jaraknya ke jalan raya. Biasanya tanah yang dekat dengan jalan raya atau dapat dilewati oleh transportasi akan dianggap
lebih berharga dibandingkan tanah yang letaknya terisolir, apalagi bila tidak dapat dilalui
Universitas Sumatera Utara
oleh sarana transportasi. Pihak penerima tanah warisan yang letaknya terisolir akan mendapatkan luas lahan yang lebih besar dibandingkan penerima tanah warisan yang
lebih dekat ke jalan raya. Hal ini juga berkaitan dengan nilai jual tanah tersebut sehingga dianggap wajar, akan tetapi pembagian luas lahan yang berbeda tersebut suatu ketika
dapat menimbulkan konflik. Berikut merupakan hasil wawancara dengan informan: “ pada awalnya juga saya sudah merasa keberatan atas pembagian
tanah warisan tersebut, karena luas tanah warisan yang kami terima luasnya hampir sama, namun letaknya sangat berbeda. Tanah yang
diberikan kepada saya berada di pelosok desa yang hanya bisa ditempuh dengan menggunakan gereta lembu, sedangkan tanah yang
diterima oleh saudara saya itu berada di pinggir desa dan mudah di jangkau oleh sarana transportasi. Saat pembagian itu saya sudah
tidak terima, dan meminta akan di bagikan ulang tetapi dia berjanji untuk mengantinya dengan uang…. Namun sampai sekarang dia
tidak pernah mengingatkannya lagi dan seolah-olah memusuhi saya. Ketika saya minta kembali, dia marah dan mengatakan kalau
pembagian itu sudah adil, dan membantah sudah berjanji memberikan ganti rugi”.
Sumber: Hasil Wawancara dengan Pj.Sitepu.
Adapun yang menyebabkan munculnya konflik ini adalah ketika tanah yang tadinya terisolir mengalami perkembangan, sudah tersedianya sarana transportasi
dan nilai jualnya juga meningkat maka dapat menimbulkan keinginan pihak penerima tanah warisan yang luasnya lebih sedikit agar dilakukan pembagian ulang. Kondisi ini
memiliki dampak yang besar atas munculnya konflik perebutan tanah warisan pada masyarakat Karo, khususnya masyarakat desa Kuta Rayat kecamatan Naman Teran ini.
Konflik perebutan tanah warisan pada masyarakat Karo juga cenderung terjadi karena faktor domisili pihak yang berkonflik. Dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh penulis diketahui bahwa salah satu informan yang mengalami konflik perebutan tanah warisan ini disebabkan karena tanah warisan yang menjadi miliknya dikuasi oleh
Universitas Sumatera Utara
saudara laki-laki nya. Pada saat itu ibu informan berdomisili di kampung suaminya, pada keturunan berikutnya mereka meminta kembali tanah yang pernah dipinjamkan oleh ibu
mereka, namun keturunan dari suadara laki-laki ibunya tersebut tidak bersedia mengembalikannya sehingga memicu terjadinya konflik perebutan tanah warisan.
“ tanah warisan milik ibu saya, yang diperoleh dari kakek selama ini dipinjamkan kepada saudara laki-lakinya, dan saat ini dikuasai oleh
anaknya. Alasan ibu saya meminjamkannya karena pada waktu itu kami tidak tinggal didesa kuta rayat ini, tetapi karena saya sudah
menikah dan mengingat bahwa di sini juga ada tanah warisan yang menjadi hak ibu saya sehingga ingin menetap disini. Persoalan ini
muncul karena mereka yang sudah meminjam tidak bersedia lagi mengembalikannya dan mengaku bahwa tanah itu miliknya”.
Sumber: Hasil Wawancara dengan penggugat A.Sitepu.
Universitas Sumatera Utara
Matriks 4.2. Faktor Penyebab Terjadinya Konflik Perebutan Tanah Warisan yang dialami Informan
NO INFORMAN
Penyebab konflik perebutan tanah warisan.
1 A. SITEPU
Perbedaan pembagian luas lahan. 2
R. GINTING Ketidaksesuaian pembagian tanah
warisan.
3 P. SITEPU
Tanah warisan yang dipinjamkan, diambil alih oleh pihak keluarga yang meminjam
sebelumnya.
4 S. SITEPU
Informan tidak memiliki keturunan laki- laki, sehingga diminta kembali oleh
saudara laki-laki nya.
5 R BR GINTING
Informan dianggap tidak berhak mendapatkan tanah warisan, karena
posisinya sebagai perempuan.
6 A. GINTING
Karena tidak adanya bukti otentiksertifikat kepemilikan tanah
warisan.
7 PJ. SITEPU
Adanya perbedaan luas tanah warisan yang dibagikan.
8 J. SEMBIRING
Informan dianggap menghilangkan kepemilikan tanah warisan untuk
keturunan saudara kandungnya.
9 P. SEMBIRING
Karena tidak adanya bukti otentik sertifikat kepemilikan tanah warisan.
10 A. SITEPU
Informan diduga mengambil hak saudara perempuannya, padahal informan
mengaku bahwa pada awalanya tanah tersebut dipinjamkan.
Universitas Sumatera Utara
4.4. Proses Penyelesaian Konflik Perebutan Tanah Warisan pada Masyarakat Karo