Sumber Karbon Molases Volatil Suspended Solid VSS

33 keracunan nitrat pada hewan akuatik sangat jarang terjadi Hanggono, 2004. Namun untuk ikan budidaya sebaiknya kurang dari 10 ppm Supratno dan Kasnadi, 2003.

2.6 Sumber Karbon Molases

Tetes tebu merupakan hasil samping industri gula yang mengandung senyawa nitrogen, trace element, dan kandungan gula yang cukup tinggi terutama kandungan sukrosa sekitar 34 dan kandungan total karbon sekitar 37 Suastuti, 1998. Molases adalah salah satu sumber karbon yang dapat digunakan untuk mempercepat penurunan konsentarasi N-anorganik di dalam air. Molase berbentuk cair bewarna coklat seperti kecap dengan aroma yang khas Suastuti, 1998. Oleh karena itu, penambahan molases ke dalam media budidaya diharapkan mampu menurunkan amonia dan peningkatan pertumbuhan ikan sehingga dapat meningkatkan produksi ikan.

2.7 Kualitas Air Pendukung

2.7.1 Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air yang paling menentukan pada budidaya ikan. Ketersediaan oksigen menentukan lingkaran aktivitas ikan. Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air. Peningkatan suhu sebesar 1 o C 34 akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10 Effendie, 2003. Oksigen dalam perairan berasal dari difusi O2 dari atmosfer serta aktivitas fotosintesis oleh fitoplankton maupun tanaman lainnya. Kebutuhan oksigen pada ikan bergantung pada : kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif metabolisme tubuh ikan. Fungsi oksigen bagi ikan yaitu : berperan dalam pembakaran bahan bakarnya makanan, dan untuk dapat melakukan aktivitas berenang, reproduksi, pertumbuhan. Ketersediaan oksigen bagi ikan menentukan aktivitas ikan, konversi pakan dan laju pertumbuhan. Pada kondisi DO 4 ppm, ikan masih mampu bertahan hidup namun pertumbuhan menurun tidak optimal. Rentang tingkat DO optimal yaitu ≥ 5 ppm. Rentang tingkat DO untuk pemeliharaan intensif yaitu 5-8 ppm. Batas toleransi kadar oksigen terlarut secara umum untuk budidaya tambak adalah 3 – 10 ppm, sedangkan nilai optimal untuk budidaya di tambak berkisar antara 4 – 7 ppm Poernomo, 1992. Kandungan oksigen terlarut dalam suatu perairan merupakan parameter kualitas air yang paling kritis dalam budidaya ikan, karena dapat mempengaruhi kelangsungan hidup ikan yang dipelihara. Oksigen yang terlarut di dalam perairan sangat dibutuhkan untuk proses respirasi, baik oleh tanaman air, ikan, maupun organisme lain yang hidup di dalam air Supratno dan Kasnadi, 2003. Bakteri heterotrofik dan bakteri autotrofik menggunakan oksigen dalam proses pemanfaatan ammonia. Bakteri heterotrofik adalah bakteri yang mengkonsumsi oksigen dalam proses perubahan amonia dengan produk akhir biomassa sel. Sedangkan bakteri autrofik nitrifikasi mengkonsumsi oksigen dan 35 karbondioksida pada saat oksidasi amonia dengan produk akhirnya nitrat Moriarty, 1996.

2.7.2 Derajat Keasaman pH

pH merupakan suatu ukuran konsentrasi ion H. Secara alamiah perairan dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan senyawa yang bersifat asam. Dalam budidaya ikan lele nilai pH yang dianjurkan adalah 6,5-8,5 Pescod, 1973. Air yang mempunyai pH antara 6,7 sampai 8,6 mendukung populasi ikan dalam kolam. Dalam jangkauan pH tersebut pertumbuhan dan pembiakan ikan tidak terganggu Sastrawijaya, 2009. Kisaran pH yang dapat menunjang pertumbuhan ikan adalah 6.5-9 Boyd, 1982. pH merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktivitas bakteri pengoksidasi amonia Esoy et al., 1998. Bakteri nitrifikasi bakteri pengoksidasi amonia lebih menyukai lingkungan yang basa dengan tingkat pH optimal untuk pertumbuhan berkisar antara 7,5-8,5 Ambarsari, 1999. Nilai pH optimum bagi pertumbuhan bakteri heterotrofik adalah sekitar 6-7 Irianto dan Hendrati, 2003.

2.7.3 Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan ikan terutama dalam proses kimia dan biologi. Ikan akan tumbuh dengan baik pada suhu 25ºC-32ºC. perubahan suhu yang mendadak dapat menyebabkan ikan stres dan kemudian mati Cholik, 1991. 36 Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen. Setiap spesies mempunyai suhu optimumnya. Ada ikan yang mempunyai suhu optimum 15ºC, ada yang 24ºC, dan ada yang 32ºC. Jika suhu berbeda jauh dari optimumnya, hewan itu akan mati atau bermigrasi ke daerah baru. Selisih 5ºC sudah cukup untuk ikan mengakhiri hidupnya, terutama apabila terjadi serentak karena limbah panas Sastrawijaya, 2009. Suhu merupakan parameter lingkungan yang sangat besar pengaruhnya pada hewan akuatik. Suhu air sangat berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tambak, yang akibatnya mempengaruhi fisiologis kehidupan hewan akuatik atau hewan air. Secara umum laju pertumbuhan ikan akan meningkat jika sejalan dengan kenaikan suhu pada batas tertentu. Jika kenaikan suhu melebihi batas akan menyebabkan aktivitas metabolisme organisme air atau hewan akuatik meningkat, hal ini akan menyebabkan berkurangnya gas-gas terlarut di dalam air yang penting untuk kehidupan ikan atau hewan akuatik lainnya. Walaupun ikan dapat menyesuaikan diri dengan kenaikan suhu, akan tetapi kenaikan suhu melebihi batas toleransi ekstrim 35°C pada waktu yang lama akan menimbulkan stress atau kematian ikan Supratno dan Kasnadi, 2003.

2.8 Volatil Suspended Solid VSS

Solid merupakan materi padat yang terdapat didalam air dan dianalisa dengan penimbangan, pemanasan atau penguapan. Volatile merupakan materi organik, materi yang hilang pada penguapan 550ºC setelah dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 103ºC. Volatile suspended solid adalah banyaknya materi padat 37 organik yang tersuspensi di dalam air atau zat padat organik yang tertahan pada filter dan hilang pada suhu 550ºC. Padatan tersuspensi dibedakan menjadi volatile solid dan non volatile solids. Volatile solid adalah bahan organik yang teroksidasi pada pemanasan dengan suhu, sedangkan non volatile solid adalah fraksi bahan anorganik yang tertinggal sebagai abu pada suhu tersebut Effendi, 2003. Volatile solid dapat dijadikan sebagai parameter utama dan penting bagi keberadaan bioflok pada sistem budidaya dengan teknologi bioflok Schryver et al., 2008. 38

BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Juli 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Sistem Budidaya Ikan, Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar LRPTBPAT, Sukamandi, Subang, Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: bak fiber bulat dengan dasar berbentuk corong ukuran 250 L, aerator, jaring penutup, peralatan lapangan mangkok, ember, gelas plastik, corong plastik, saringan, selang, dan plastik kiloan, botol sampel, corong, pipet tetes, gelas ukur, tissue, erlenmeyer, labu ukur, beaker glass, timbangan digital, timbangan analitik, Water quality checker, desikator, oven, vakum, pipet volumetrik, kertas saring wathman no.42, furnance, cawan porselen, dan Spektrofotometer U-I500. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: ikan lele Clarias gariepinus ukuran 50 gramekor, pakan ikan lele Pro-vite 781, molases, bakteri komersil minabacto, reagent amonia, reagent nitrit, dan reagent nitrat.