Pengertian Landasan Hukum HAK KRITIK RAKYAT DALAM ISLAM

yaitu melalui tindakan amar maruf nahi munkar. Dengan kata lain, upaya perbaikan masyarakat menuntut seluruh warga negara untuk bekerja sama bahu membahu memperbaiki dan meningkatkan martabat umat melalui seluruh sarana yang ada. 108 Allah telah mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk melakukan kritik kepada penguasa apabila mereka merampas hak-hak rakyat, menyimpang dari hukum-hukum Islam. Dan perintah kepada mereka untuk mengubah para penguasa tersebut bersifat tegas. Dalil-dalil tentang perintah pada kemarufan serta menolak kemunkaran itu merupakan dalil-dalil yang mewajibkan muhasabah kepada seorang penguasa. Karena dalil-dalil itu bersifat umum yang mencakup penguasa maupun yang lain. 109 Dimana Allah telah memerintahkan amar maruf nahi munkar dengan perintah tegas. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104:    +, - .0 1  2 34 5 .689:  ; = 3 ?34 Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung. Ulama sepakat bahwa amar maruf nahi munkar itu merupakan kewajiban yang diperintahkan Allah melalui redaksi ayat tersebut, khususnya pada kalimat + 108 Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, h. 52 109 Nabhani, Taqiyuddin, Nizham al-Hukum fi al-Islam Bangil : Al-Izzah, 1997, h. 325 yaitu bentuk kata kerja present yang disisipi dengan harf al-lam al-amr, yang berarti amar maruf nahi munkar ini merupakan sesuatu yang wajib dijalankan dalam kehidupan kolektif. 110 Dalam surat Ali Imran ayat 110 Allah berfirman: A0 B .C D E.F2C  HI3JK .4 - = . K 1  2LM034 0 K NO - P Q; R: AM S 0 .C 3T 5  30 =  34  ; UV W X:L? Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. Surat al-Araf ayat 157 Allah berfirman: Y STO =  6[ \ 3] _`R aFbAcd e STO fg + 3 h i- A ;.  Y k l [A mQnoEp ; .4 - 3q rs 1  2LM 34 lQ h tu3 E: MbnTv w2b h tu x y .s89: M.z 3{|} 30  ; ~• |Q: ~ d `R€T E +SLB u x y 5 ‚ STO ƒ 0 „ g -  Hl e   …† + ƒ  6 K l l0 ‡e STO \2e+ 110 Ridwan HR, Fiqh Politik; Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 39 ?fg. ˆ .689:  ; = 3 ?34 Artinya: yaitu Orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang namanya mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang maruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban- beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya al-Qur’an, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Surat al-Araf ayat 157 Di dalam semua ayat tersebut, Allah telah memerintahkan amar maruf nahi munkar dan Allah menyertai perintah tersebut dengan qarinah indikasi yang menunjukkan adanya suatu keharusan Jazman dan pujian bagi orang yang melakukannya, dengan firman-Nya mereka adalah orang-orang yang beruntung. Maka indikasi tersebut merupakan sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu merupakan perintah yang bersifat tegas, dan itu berarti hukumnya adalah fardu. Sedangkan melakukan kritik terhadap penguasa itu tidak lain hanyalah memerintahkan untuk berbuat maruf sehingga muhasabah tersebut hukumnya fardu. 111 Selanjutnya, dalam surat an-Nisa ayat 148 Allah berfirman: ‰ Š h ‹O .Œ • ŠX - C R\ މ Cu W3 Artinya: Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Surat An-Nisa ayat 148 111 Syaukat Husein, Human Right in Islam India: Bhavan, 1984, h. 42 Maksudnya, Allah sangat mencela ucapan-ucapan buruk atau kutukan- kutukan yang keras. Namun bagi orang-orang yang menjadi korban ketidak adilan atau tirani, Allah memberikan hak kepada mereka untuk melakukan protes terbuka terhadap perlakuan zalim yang telah mereka terima. Hak ini tidak dibatasi terhadap pribadi-pribadi saja, tetapi berlaku untuk umum. Oleh karena itu, apabila pribadi atau sekelompok orang yang memegang kekuasaan dan kemudian menindas individu- individu, sekelompok manusia atau suatu partai, maka mereka yang tertindas itu memperoleh hak dari Allah untuk mengkritik penguasa tersebut secara terang- terangan, dan hak ini tidak bisa dirampas atau diingkari siapa pun. 112 Hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Quran, juga banyak menjelaskan perintah pada kemarufan dan mencegah perbuatan munkar. Nabi Muhammad saw juga menganggap protes terhadap penguasa zalim itu sebagai jihad yang paling baik. 113 Sebagaimana Rasulullah saw bersabda: O P H 3 ﺱ + 3 I 2 ﺹ H = D : 7R 03 ; = 3 A J S ﺝ ﺱ 3 - U + . 114 Artinya: Diriwayatkan dari al-Hudri, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda; Sesungguhnya di antara jihad yang paling utama adalah mengatakan keadilan perkataan yang benar di hadapan penguasa zalim. H. R. Imam al-Tirmizi. 112 Abu al-Ala al-Maududi, Hak Asasi dalam Islam. Terjemahan Achmad Nashir Budiman Bandung: Pustaka, 1985, h. 52 113 Syaukat Husein, Human Right in Islam, h. 64 114 Imam al-Tirmizi, Jami’ al-Tirmizi Riyadh, Dar al-Salam, 1999, Cet. 1, h. 499 Rasulullah saw pun telah memperingatkan kaum muslimin untuk tidak diam terhadap tirani atau kezaliman. Sayidina Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: + , - + . 115 Artinya : “Barang siapa melihat kemunkaran, maka dia harus merubahnnya dengan tangannya, dan jika tidak sanggup maka rubah dengan kata-katanya, dan jika hal ini pun tidak sanggup, maka rubahlah dengan membencinya sepenuh hati. Dan inilah keadaan iman yang paling lemah.” Kewajiban mengajak manusia ke arah kebaikan dan mencegah mereka menempuh jalan kemunkaran adalah kewajiban semua manusia Muslim sejati. Apabila ada pemerintahan suatu negara yang menyita hak tersebut dan menghalangi mereka untuk melaksanakan tugas tersebut, maka pemerintahan tersebut secara langsung telah menentang perintah Allah. Pemerintah tersebut tidaklah berkonflik dengan rakyat, tapi dengan Allah. Ia berperang dengan Allah dengan merampas hak rakyat yang telah diberikan Allah, bukan hanya sebagai hak tetapi juga sebagai kewajiban. 116

C. Tata Cara Penyampaian Kritik

Salah satu permasalahan kenegaraan yang sering muncul adalah pertentangan suatu pribadi atau kelompok terhadap kekuasaan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pemegang kekuasaan tidak mampu menyahuti dan memuaskan aspirasi semua 115 Imam Muslim, Shahih Muslim Beirut: Dar al-Fikr, 1973, h. 167 116 Ridwan HR, Fiqh Politik; Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 40 warga negaranya atau tidak mampu menjalankan pemerintahan dengan baik dan adil. 117 Menurut Mutazilah, Zaidiyah, Khawarij dan mayoritas Murjiah, umat Islam harus mengangkat senjata untuk menyingkirkan penguasa yang durhaka. Abu Bakar Asham al-Mutazili, salah seorang pemuka Mutazilah, berpendapat bahwa menyingkirkan kepala negara yang durhaka dengan kekuatan senjata adalah wajib, apabila telah ditemukan kepala negara lainnya yang lebih adil. 118 An-Nabhani juga menegaskan wajibnya umat Islam melakukan koreksi dan mengangkat senjata kepada penguasa. Sifat perintah ini tegas apabila kepala negara telah merampas hak-hak rakyat, mengabaikan kewajiban-kewajibannya, melalaikan urusan rakyat, menyimpang dari hukum Islam atau memerintah dengan selain hukum Islam yang diturunkan oleh Allah. 119 Namun kelompok Sunni berpendapat, bahwa mengangkat senjata kepada kepala negara yang durhaka tidak dibenarkan. Ibn Taimiyah malah mengharamkan pemberontakan terhadap kepala negara dan pendapat bahwa enam puluh tahun berada di bawah kepemimpinan kepala negara yang zalim lebih baik dari pada sehari hidup tanpa pemimpin. 120 117 Syaukat Husein, Human Right in Islam, h. 56 118 Muhammad Yusuf Musa, Mizham al-Hukm fi al-Islam Cairo: Dar Al-Katib Al-Arabi, t.tp., h. 120 119 Nabhani, Taqiyuddin, Nizham al-Hukum fi al-Islam, h. 331 120 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, h. 214