Wadah Hak Kritik Rakyat Menurut Yusuf al-Qaradhawi

melakukan tugas nasehat, amar maruf nahi munkar. Tugas tersebut tidak dapat dilakukan oleh individu yang terbatas kemampuannya. 151 Partai yang dimaksud Yusuf al-Qaradhawi harus memenuhi dua syarat, yaitu; - b ] ﺕ cdﺱ - A 8+ e ,3 - ; ﺕ_+ 1 7 J 1+ ﺕ+ H f 5 ; 7 ﺝ 7 ` W H e , A =ﺹ . - ﺕ _ `+ cdﺱg A ; A7ﺝ : F X 7ﺱ J 7D + 152 Artinya: Pertama, partai-partai itu harus mengakui Islam sebagai aqidah dan syariah, tidak boleh melanggar ajaran-ajarannya dan tidak boleh pula menjadikannya sebagai kedok, walaupun berbagai partai itu mempunyai ijtihad sendiri dalam memahaminya berdasarkan kaedah-kaedah ilmiah yang sudah ditetapkan. Kedua, partai-partai itu tidak boleh bekerja demi kepentingan pihak-pihak yang memusuhi Islam dan ummatnya, apa pun nama dan bentuknya. 153 Yusuf al-Qaradhawi tidak membenarkan mendirikan partai yang mengembangkan paham atheisme, liberalisme, dan sekularisme, atau paham yang mencela agama-agama samawi secara umum, khususnya Islam atau menghina berbagai keluhuran dan kesucian Islam, seperti aqidah, al-Qur’an dan hadits Nabi saw. 154 Sebagian kalangan umat Islam menolak pemberlakuan sistem partai, yang merupakan bagian dari demokrasi. Mereka beralasan bahwa demokrasi merupakan hasil import dari Barat dan sama sekali tidak ada relevansinya dengan Islam. Bahwa demokrasi berdasarkan suara mayoritas serta menganggap suara terbanyak merupakan pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan dan mengendalikan berbagai permasalahan, dan dalam menilai serta memutuskan benar 151 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149 152 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 148 153 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Negara, h. 190 154 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 148 terhadap salah satu dari masalah yang berbeda-beda dengan menggunakan pemungutan suara terbanyak. Maka pendapat manapun yang memenangkan suara terbanyak secara absolut, itulah pendapat yang diberlakukan, meskipun terkadang pendapat itu salah dan bathil. Padahal menurut mereka, Islam tidak menggunakan sarana seperti itu, dan tidak mentarjih mengunggulkan suatu pendapat atas pendapat yang lain. Karena adanya kesepakatan pihak mayoritas, tetapi Islam melihat pada pokok permasalahan tersebut, apakah ia salah atau benar. Jika benar, maka ia akan memberlakukannya, meskipun bersamanya hanya ada satu suara, atau bahkan sama sekali tidak ada seorang pun yang menganutnya. Jika salah, maka ia akan menolaknya meskipun bersamanya terdapat 99 orang dari 100 orang yang ikut. Bahkan, nash al-Qur’an menunjukkan bahwa suara mayoritas selalu berada dalam kebathilan. Sebagaimana yang terdapat pada firman Allah swt surat al-An’am ayat 116: { vK UV h Y 1’ l d Lq “}  mQn M.] NO 5  6[ މ ” TW  ; މ 3i h 1•• m Artinya: Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta terhadap Allah Ulama yang berpandangan demikian adalah Fadhallah Nuri dari Iran, Sayyid Kutb dari Mesir, dan Ali Benhadj dari Al-Jazair. Menurut pandangan Fadhallah Nuri, demokrasi adalah suatu hal yang tidak mungkin disejajarkan dalam sistem pemerintahan Islam. Misalnya konsep persamaan semua warga negara, lebih lanjut Fadhallah Nuri mengatakan bahwa persamaan tentu saja tidak bisa terjadi dalam kehidupan manusia, pastinya dalam kehidupan yang kompleks terdapat perbedaan seperti orang beriman dan kafir, kaya dan miskin, para fuqaha dan pengikutnya, yang kesemuanya pasti memiliki konsekuensi yang berbeda dalam sebuah negara. Demikian halnya dengan prinsip legislasi oleh manusia yang biasa dilakukan oleh lembaga legislatif. Fadhallah Nuri menganggap legislasi hukum bukanlah ketentuan manusia untuk mengaturnya, melainkan hukum adalah milik Allah swt semata. 155 Senada dengan komentar Fadhallah Nuri di atas, Sayyid Kutb seorang pemikir Mesir dan tokoh Ikhwanul Muslimin juga benar-benar tegas dalam menolak demokrasi sebagai sebuah sistem. Sayyid Kutb menganggap bahwa ide kedaulatan adalah gagasan demokrasi yang salah dan tidak sejalan dengan hukum Islam. Mengakui adanya kedaulatan rakyat, berarti secara bersamaan juga telah mengingkari kedaulatan Tuhan. Dalam konsep Islam, seorang pemimpin hanyalah jabatan yang tidak mutlak dimiliki dan dikuasai oleh manusia, tetapi ia hanya merupakan amanat Tuhan yang ada di bumi, dan kekuasaannya bersifat teosentris Tuhan sebagai pusat kekuasaan. 156 Tokoh selanjutnya yang juga menolak keras demokrasi ialah Ali Benhadj. Satu hal yang paling dikritik olehnya adalah prinsip mayoritas. Sebenarnya menurut Ali Benhadj, prinsip tersebut mudah dipatahkan dan ditolak, karena sebenarnya isu- 155 John L. Esposito dan James. P. Piscatory, “Islam dan Demokrasi”, dalam Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam , no. 4 April-Juni, 1994, h. 19-21 156 John L. Esposito dan James. P. Piscatory, Islam dan Demokrasi, h. 20 isu keadilan tidak bisa dikuantifikasi. Oleh karen itu, demokrasi secara umum hanyalah sebuah alat semata, dan bahwa demokrasi hanyalah baik apabila menguntungkan bagi Barat. 157 Menanggapi pendapat ini Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan: A Y , ﺝ - _ E F ? + E K 3 A ; J - h P F h + 7 + c 0 + J ﺡ 7 3 i K _+ aﺡ 7 1 U3 aﺡ+ 6 5 1 J F A ﺱ F j + E Rﺕ 2 1 h k _ + ] F A ,l + A 3 ﺝ + A ; ? D1 73 _+ 7 _ A ﺱ ﺱ + 158 Artinya: Bahwa substansi demokrasi –tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa menyimpang dan berbuat zalim, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran dan sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan mereka setujui. 159 Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa tidak ada satu syari’at pun yang melarang penyerapan pemikiran teori atau praktik empiris dari kalangan non-Muslim , termasuk konsep demokrasi. Bahkan merupakan hak kita untuk mengambil manfaat dari pemikiran, strategi, dan sistem yang memberikan manfaat kepada kita, selama tidak bertentangan dengan nash, dan kita harus menyaring dari apa yang kita ambil untuk selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh Islam. 160 157 Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi; Tela’ah konseptual dan Historis Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, h. 55-56 158 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, h. 632 159 Yusuf al-Qaradhawi, Figh Negara, h. 197 160 Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah, h. 643 Yusuf al-Qaradhawi mencontohkan pada Nabi sendiri pada perang Ahzab telah mengambil pemikiran “penggalian parit” sebagai strategi perang, padahal strategi tersebut berasal dari bangsa Persia. 161 Dalam hal ini, penulis sependapat dengan Yusuf al-Qaradhawi, bahwa penerapan sistem partai membawa manfaat bagi umat Islam. Mengingat beragam dan kompleksnya kehidupan masyarakat pada zaman modern ini, besarnya wilayah suatu negara, banyaknya jumlah penduduk, dan pertumbuhan organisasi pemerintah atau non-pemerintah, menjadi semakin sukar untuk mengetahui individu mana yang perlu dimintai pendapatnya dalam bermusyawarah. Ini berarti jalur langsung dalam menyampaikan aspirasi kepada pemimpin pemerintahan tidak seefektif pada zaman- zaman awal Islam. Lagi pula suara mayoritas tidak selamanya diartikan sebagai kehendak yang buruk, tetapi suara mayoritas juga mampu untuk mengambil keputusan yang benar dengan selalu mengajak kepada kekuatan hukum. Selanjutnya tentang sistem partai, Yusuf al-Qaradhawi berpendapat tidak ada larangan untuk memberlakukan sistem multi partai dalam negara Islam. Beliau mengatakan: b A + X5; Hﺱ ﺱ :Uﺡ mJ ;ﺝ+ H3 8 ﺝ _ A dﺱ 162 Artinya: Bahwa tidak ada larangan untuk memberlakukan sistem multi partai dalam negara Islam. 163 161 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 155 162 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 147 163 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Negara, h. 190 Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa partai-partai tersebut hanya sekedar keragaman bentuk dan spesialisasi, bukan keragaman yang bersifat kontradiktif. Seluruh anggota partai tersebut harus berdiri satu barisan dalam mempertahankan persoalan-persoalan prinsip yang berkaitan dengan eksistensi Islam, aqidah islamiyah, syariat Islam dan umat Islam. Selanjutnya Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa masing-masing partai politik itu harus komit dengan moral yang luhur. Tidak dibenarkan mencela dan mengkafirkan pihak lain. Bahkan semua anggota partai itu harus saling menasehati pada kebenaran, kesabaran, dan seraya berpegang teguh dengan prinsip hikmah dan mau’izhah hasanah. 164 Yusuf al-Qaradhawi menjunjung tinggi sistem multi partai yang lebih menjamin terwujudnya kedaulatan rakyat. Konsep multi partai yang ditawarkan Yusuf al-Qaradhawi merupakan konsep yang bersifat aplikatif, karena lebih membantu rakyat dalam mengungkapkan aspirasinya di depan pemerintah, sebab masing-masing orang mempunyai ide dan gagasan yang berbeda. 165 Menurut penulis, di satu sisi sistem multi partai mempunyai nilai seakan mewujudkan dikotomi umat Islam antara satu dengan lainnya. Hal ini lebih menguntungkan partai lain yang tidak berdasarkan Islam, karena suara umat Islam terpecah dan minus kekuatan politiknya. Tetapi di sisi lain, sistem ini juga mendatangkan implikasi positif karena umat Islam dapat bersatu koalisi antara satu partai dengan partai yang lainnya. Tetapi yang perlu diingat, masing-masing partai 164 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 154 165 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 148 yang ingin berkoalisi agar dapat menyamakan visi dan misinya terlebih dahulu agar terjamin konsistensi perjuangan. Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bahwa keberagaman partai politik tidak selalu membawa perpecahan, dan tidak semua perbedaan itu buruk. Dalam hal ini Yusuf al-Qaradhawi menganalogikan pada perbedaan pendapat yang disebabkan oleh perbedaan ijtihad. Karena itu para sahabat sering berbeda pendapat dalam berbagai masalah cabang, namun hal ini tidak memecah belah persatuan mereka. Adanya sistem multi partai merupakan suatu gambaran pluralitas umat dalam bidang politik. Adanya keragaman, pluralitas, dan perbedaan dalam politik tersebut merupakan suatu gambaran menuju kesatuan syariat pada sisi yang konstan, karena politik dalam Islam tidak konstan sebagaimana konstanitas nash-nash dan tidak ada kata pasti sebagaimana kepastian nash-nash itu. Ia tidak terbatas pada apa yang terdapat dalam nash tetapi juga mencakup segala sesuatu di luar nash dan tidak bertentangan dengan nash. 166 Karena masalah politik merupakan masalah yang bersifat dinamis, dan selalu mengalami proses improvisasi setiap saat, maka tidak tertutup kemungkinan munculnya hal-hal baru sesuai dengan tingkat kemajuan berpikir manusia, sejauh hal tersebut tidak menyalahi nash. Mayoritas negara di dunia termasuk kebanyakan dari negara Islam terlibat dalam diskursus sistem politik. Dalam terminologi kontemporer, partai politik itu cenderung dipercaya sebagai tujuan dan ideologi politik yang 166 Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas; Perbedaan dan Kemajmukan dalam Bingkai Persatuan . Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattanie, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Cet. I, h. 85-86 dibangun bersama-sama yang secara mandiri mengatur sistem dan tujuan politik internalnya untuk merealisasikan program idealisme melalui beberapa pendekatan, dengan harapan mendapatkan umpan balik untuk bisa mempengaruhi kelompok lain yang ada di sekeliling mereka. 167 Dalam pandangan Islam, faktor keragaman melekat kepada pluralisme itu sendiri. Islam melihat pluralisme sebagai sunnatullah. Allah berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat 13: r 9: H 0 9+ - :• .C LB‘ 5`–+ :• ..F –-  T |Q—O 6S ƒ• l. A 5 - UV .  NO K 5 TO ˜€{  6.C Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Ayat ini menjelaskan tentang proses kejadian manusia, bahwa Allah swt menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan perempuan, Allah menjadikan manusia berbeda bangsa dan berlainan suku. Semua itu merupakan bentuk pluralisme yang melekat pada diri manusia itu sendiri. 168 167 Muhammad Thanthawi, Dkk. Problematika Pemikiran Muslim; Sebuah Analisis Syariyah. Terjemahan Wahib Wahab, Yogyakarta: PT. Tiara Wicana Yogya, 1998, Cet. I, h. 37 168 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Jakarta: Kencana, 2002, h. 125 Dalam perspektif Islam, menjaga pluralisme partai politik yang satu dari yang lainnya, menjaga furu dan ushul, hal ini merupakan kaedah dan landasan kemerdekaan manusia yang diciptakan oleh Allah swt, yaitu kemerdekaan dalam menentukaan beban pilihan sebagai salah satu sebab beban taklif. 169 Sebagai bukti sejarah, keragaman partai telah muncul dalam praktek ketatanegaraan Islam. Pada masa Daulah Abbasiyyah telah mulai muncul partai politik, baik yang mendukung pemerintah maupun yang menjadi oposisi pemerintah. Partai-partai yang muncul pada zaman Abbasiyyah tersebut adalah: Pertama ; Syiah. Partai Syiah merupakan partai oposisi yang berusaha menjatuhkan pemerintahan dengan terang-terangan. Awal munculnya aliran ini adalah pada masa khalifah Ustman, lalu tumbuh dan berkembang pada masa Ali bin Abi Thalib ra. Pokok-pokok aliran ini menurut Ibnu Khaldun sebagai berikut: Masalah kepentingan imamah bukanlah kepentingan rakyat yang pemilihan dan penentuannya diserahkan kepada mereka. Imamah bagi mereka adalah rukun Islam yang tidak boleh dilupakan oleh Nabi saw, dan diserahkan kepada umat. Beliau wajib menentukan seorang imam yang terpelihara dari dosa besar dan kecil. 170 Kedua; Khawarij. Gerakan Khawarij tidak terlalu berpengaruh pada masa Daulah Abbasiyyah, tetapi tetap berbahaya, karena mereka melakukan oposisi dengan jalan anarkis atau kekerasan. Ketiga; Mutazilah. Partai Mutazilah pada sebagian besar Daulah Abbasiyyah menjadi pendukung pemerintah, hanya sekali partai 169 Muhammad Thanthawi, Dkk. Problematika Pemikiran Muslim, h. 38 170 Syeikh Muhammad Abu Zahrah, Sejarah Mazhab Islam; Aliran Politik dan Aqidah. Terjemahan Ahmad Abdul Majid, Jatim: Al-Izzah, 1998, Cet. I, h. 32 Mutazilah menjadi partai oposisi. Partai Mutazilh telah memainkan peranan yang cukup penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Keempat; Ahlu’ Sunnah Wa al-Jamaah. Partai Ahlu’ Sunnah Wa al-Jamaah lahir sebagai partai tandingan terhadap partai Mutazilah, juga rival partai Syiah, dan Khawarij. Mereka menjadi pembangkang pemerintah, pada waktu Mutazilah menjadi pendukung, dan sebaliknya menjadi pendukung pada waktu Mutazilah menjadi pembangkang. 171 Tetapi partai politik pada waktu itu belum nampak sebagai wadah formal untuk menyampaikan kritikan dalam negara bersangkutan. Namun pada abad modern ini eksistensi partai dalam suatu negara benar-benar diakui dan negara pun membuat aturan-aturan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suatu partai. 172 C. Persamaan dan Perbedaan antara Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dengan Islam tentang Hak Kritik Rakyat Persamaan 1. Yusuf al-Qaradhawi berpendapat, bahwa dalam negara Islam, rakyat mempunyai hak untuk menyatakan pendapat, memberikan kritikan kepada pemerintah, apabila pemerintah melakukan kecurangan dan kezaliman. 173 Pendapat Yusuf al-Qaradhawi ini sesuai dengan prinsip Islam. Dalam al-Quran Allah menjelaskan bahwa dibenarkan bagi umat untuk mencegah kemunkaran, penyimpangan yang dilakukan penguasa merupakan suatu kemunkaran, maka 171 A. Hasyim, Sejarah Kebudayaan Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1995, Cet. V, h. 226 172 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 31 173 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 147 mengkritik penguasa yang zalim juga dibenarkan bahkan diwajibkan Surat Ali Imran ayat 104. Selanjutnya banyak hadits Rasulullah yang memberikan lampu hijau untuk menasehati dan bahkan mengkritik pemimpin zalim, hal ini dibuktikan dengan hadits Rasulullah yang menjadikan tugas menasehati ini sebagai jihad. 174 Bahkan para sahabat pun telah membenarkan rakyat untuk mengkritik pemerintah jika mereka menyimpang dari kebenaran. 175 2. Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa dalam mengubah kemunkaran yang dilakukan pemerintah harus mempunyai kekuatan, tetapi apabila rakyat tidak mempunyai kekuatan untuk mencegahnya, maka rakyat hendaknya bersabar. Hal ini juga sejalan dengan prinsip Islam. Hadits Rasulullah saw sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Quran, telah menjelaskan bahwa dalam mencegah kemunkaran, seseorang dituntut mencegahnya berdasarkan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya. Perbedaan Adanya perbedaan mengenai format penyampaian kritikan antara pendapat Yusuf al-Qaradhawi dengan praktek ketatanegaraan Islam yang terjadi pada masa Rasulullah saw. Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw di Madinah, umat yang ingin menyampaikan kritikan, dapat secara langsung datang kepada Rasulullah saw dan beliau menerima dengan senang hati. Tetapi Yusuf al-Qaradhawi berpendapat 174 Syaukat Husein, Human Right in Islam India: Bhavan, 1984, h. 43 175 Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam Malaysia: Berita Publishing, 1994, h. 50 bahwa dalam menyampaikan kritikan terhadap pemerintah, hendaknya tidak dilakukan secara individu tetapi melalui wadah formal seperti partai-partai politik beliau menyebutnya dengan kekuatan politik. 176 Penulis dalam hal ini melihat bahwa hal ini merupakan tuntutan zaman, karena pada zaman Rasulullah saw kondisi masyarakat jauh berbeda dengan kondisi masyarakat pada saat ini. Begitu juga dengan permasalahan saat ini jauh lebih kompleks dari masa Rasulullah saw. Pendapat Yusuf al-Qaradhawi ini sesuai dengan kondisi zaman sekarang ini, negara sudah berkembang dengan pesat, wilayah yang begitu luas dan rakyat yang begitu banyak. Dengan demikian agar kritikan itu lebih efektif, rakyat sebaiknya membentuk suatu wadah yaitu partai politik.

D. Relevansi Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang Hak Kritik Rakyat

Dewasa ini Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan, sangat relevan dengan kondisi zaman sekarang ini. Negara yang mengakui demokrasi sebagai suatu sistem politiknya, mengakui bahwa rakyat mempunyai kedaulatan yang penuh atas negara. Kedaulatan itu diwakilkan kepada para wakilnya di parlemen. Rakyat berhak untuk ikut berpartisipasi dalam politik, rakyat diberikan kebebasan untuk mengawal kelangsungan negara. Rakyat diberikan hak untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Protes terhadap pemerintah adalah bentuk partisipasi rakyat 176 Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149 yang dibutuhkan negara demokrasi, agar sistem politik bekerja lebih baik. 177 Hal yang menyangkut kebebasan menyampaikan kritikan tersebut sudah menjadi hak asasi yang bersifat universal, bahkan telah diputuskan oleh lembaga Perserikatan Bangsa- Bangsa melalui Universal Declaration of Human Rights 1948, Dimana umat manusia melalui wakil-wakilnya yang tergabung dalam organisasi Perserikatan Bangsa- Bangsa PBB sepakat dan bertekat untuk memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis formal terhadap hak-hak asasi dan politik manusia serta mensosialisasikannya. 178 Pendapat Yusuf al-Qaradhawi tentang partai politik sebagai wadah penyaluran hak kritik rakyat, juga relevan dengan kondisi saat ini. Bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Yusuf al-Qaradhawi tersebut sistem partai, telah diterapkan oleh negara-negara demokrasi di dunia. Partai politik diyakini memiliki peran yang sangat strategis terhadap proses demokratisasi. Partai politik adalah sebagai wadah bagi penampungan aspirasi rakyat. Peran tersebut merupakan implementasi nilai-nilai demokrasi, yaitu keterlibatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara melalui partai politik, segala aspirasi rakyat yang beraneka ragam dapat disalurkan secara teratur. Sistem partai ini lebih terjamin kedisiplinannya serta memiliki kekuatan. Rakyat tidak lagi dikekang mulutnya untuk bicara, 177 Asykuri ibn Chamim, Pendidikan Kewarganegaraan Yogyakarta: Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan, 2003, h. 90 178 Bambang Sutiyo, Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia dalam UNISIA Yogyakarta, UII Press, 2002, h. 85