BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut historis, persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama sesudah wafatnya Rasulullah saw adalah persoalan kekuasaan politik atau disebut
juga masalah imamat.
1
Permasalahan ini merupakan permasalahan yang bersifat dinamis dan selalu mengalami improvisasi setiap saat, sehingga hal tersebut timbul
tidak hanya terfokus kepada pemilihan dan pengangkatan pemimpin di satu sisi, tetapi pada sisi yang lain tidak kalah pentingnya adalah gejolak-gejolak yang muncul
pada saat atau selama pemimpin tersebut berkuasa. Rakyat sebagai komunitas yang dipimpin akan selalu melihat kepada
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah, karena rakyat adalah target atau sasaran kebijaksanaan itu sendiri. Negara Islam sebagai negara demokratis atau lebih tepatnya
negara yang berasaskan syura, dimana rakyat sangat berperan aktif dan disebut dengan the controler. Untuk merealisasikan peran rakyat sebagai kontroler, maka
rakyat berhak untuk mengawasi dan mengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah, dan juga mencegah hal-hal yang kontradiksi dengan ajaran Islam atau
yang bersifat munkar. Sejarah pemerintahan Islam telah menunjukkan tentang adanya muaradhah
atau melakukan kritik terhadap pemerintah. Abu Bakar secara terbuka di hadapan umum mengatakan; “...bila aku berlaku baik, bantulah aku. Akan tetapi bila aku
1
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jakarta: UI Press, 1978, h. 91
berbuat salah, bawalah aku ke jalan yang benar. Kebenaran adalah suci, dan kesalahan adalah pengkhianatan”.
2
Islam mengenal prinsip musyawarah, hal ini bertujuan untuk melibatkan dan mengajak semua pihak untuk berperan serta dalam
kehidupan bernegara.
3
Rakyat diwajibkan taat kepada pemerintah selama mereka tidak melakukan kesalahan dan pelanggaran serta berbuat zalim. Sebaliknya, jika pemerintah
melakukan kesalahan dan bertindak zalim, maka rakyat tidak diwajibkan mentaatinya. Bahkan rakyat mempunyai hak untuk mengkritik pemerintah supaya
mereka menyadari kesalahan dan pelanggaran yang telah dilakukan serta dikembalikan kepada jalan Allah dan Rasul-Nya.
4
Abu al-a’la al-Maududi menjelaskan, bahwa setiap individu masyarakat atau rakyat memiliki hak dan kewajiban terhadap jalannya roda pemerintahan suatu negara
Islam. Hal ini dapat diaktualisasikan dengan cara memberikan kontribusi pemikiran kepada pemerintah demi terwujudnya pemerintahan yang demokratis.
5
2
Ridwan HR, Figh Politik; Gagasan, Harapan, dan Kenyataan Yogyakarta: FH UII Press, 2007, h. 41
3
Muhammad Tahir, Negara Hukum; Suatu Study tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini
Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992, h. 84
4
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi
. Terjemahan Wahib Wahab Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1999, h. 169
5
Musthafa bin Daud, Beberapa Aspek Pemikiran al-Maududi Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1988, h. 96
Mengemukakan pendapat bukan hanya sekedar hak, melainkan suatu kewajiban.
6
Bahkan pandangan ini menurut Islam besar kedudukannya, apabila seseorang melihat kemunkaran maka ia harus mencegahnya sesuai dengan
kemampuannya. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
+ , -
+ .
7
Artinya : “Barang siapa melihat kemunkaran, maka dia harus merubahnya dengan tangannya, dan jika tidak sanggup maka rubah dengan kata-katanya, dan jika
hal ini pun tidak sanggup, maka rubahlah dengan membencinya sepenuh hati. Dan inilah keadaan iman yang paling lemah.”
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa mengubah kemunkaran
merupakan hak setiap Muslim yang melihatnya, bahkan merupakan kewajiban baginya.
8
Bila amanah amar ma’ruf dan nahi munkar sudah disia-siakan di tengah umat, maka umat ini akan kehilangan keistimewaannya dan akan ditimpa laknat
seperti yang ditimpakan kepada umat-umat sebelumnya. Sebagaimana Nabi Muhammad saw bersabda:
0 + 1 2 3 +456
7 8+
3 9: ,
- ;+; +
.
9
Artinya: “Bila masyarakat melihat perbuatan zalim, lalu mereka tidak mencegahnya, maka Allah akan memberikan mereka hukuman secara umum.”
6
Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Makanatuha, Ma’alimuha, Thabi’atuha, Mauqifuha, min al-Dimaqratiyah wa al-Ta’addudiyah wa al-Maar’ah wa Ghairu al-
Muslimin Cairo: Dar al-Syuruq, 1997, h. 95
7
Imam Muslim, Shahih Muslim Beirut: Dar al-Salam, 1999, h. 167
8
Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah Beirut: Darul Ma’rifah, 1988, h. 628
9
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Cairo: Matba’ah Al-Sa’adah, h. 413
Yusuf al-Qaradhawi berpendapat, penguasa tidak lebih hanyalah seorang dari kaum Muslimin, dia tidak terlalu besar untuk dinasehati dan ditegur, dan rakyat pun
tidak terlalu kecil untuk menasehati dan menegurnya. Dalam agama Islam hak berbicara dan berkritik,- jika berkaitan dengan kemaslahatan umat, kemaslahatan
akhlak, dan kemaslahatan tata sopan- merupakan sesuatu yang wajib.
10
Mengkritik dan melontarkan pendapat yang dilakukan rakyat terhadap pemimpin atau pejabat pemerintahan, merupakan tugas suci yang mendapat sanksi
apabila diabaikan.
11
Untuk itu, seorang Muslim dituntut supaya menentang kemunkaran dan memburunya sehingga kemunkaran tersebut tidak lagi hidup di
permukaan bumi ini.
12
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, secara individu rakyat tidak mampu mencegah kemunkaran, apalagi kemunkaran tersebut sudah tersebar luas dan pelakunya
memiliki kekuatan, atau kemunkaran tersebut dilakukan oleh penguasa atau pejabat yang seharusnya mereka berada di barisan terdepan untuk mencegahnya. Pencegahan
tersebut hanya bisa dilakukan dalam bentuk amal jama’i kerja kolektif melalui suatu badan yayasan atau partai.
13
Partai merupakan media yang dapat difungsikan untuk melontarkan kritikan, pendapat dan nasehat kepada penguasapemimpinimam atau
pun kepada pejabat-pejabat yang terkait. Hal ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, sebab sistem ini dapat menjamin rakyat dari pemerintahan diktator, yang sering
10
Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 148
11
Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149
12
Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 120
13
Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149
berlaku sewenang-wenang dan kejam. Di bawah pemerintahan seperti ini, rakyat akan kehilangan kekuatan untuk mengatakan ‘tidak” atau “mengapa”. Hal ini terbukti
dalam sejarah masa lalu. Pendapat Yusuf al-Qaradhawi di atas harus dilandasi dengan undang-undang
dan tidak boleh menyalahi aturan atau inkonstitusional, sehingga kritikan dan nasehat yang dilakukan tidak mendatangkan dampak negatif yang menyebabkan kefatalan
bagi kelangsungan negara atau pemerintahan. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisa
lebih jauh pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam. Yusuf al-Qaradhawi merupakan seorang pakar yang
komprehensif. Beliau menguasai permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan ekonomi, politik, hukum, dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis mengangkat
penelitian ini dengan judul: Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi Tentang Hak Kritik Rakyat dalam Pemerintahan Negara Islam
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah