Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan Negara Islam

(1)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PEMIKIRAN YUSUF AL-QARADHAWI TENTANG HAK KRITIK RAKYAT DALAM PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah

Jakarta, 12 Juni 2009 Dekan

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP: 150 210 422

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Asmawi, MAg (………)

NIP: 150 282 394

2. Sekretaris : Sri Hidayati, MAg (………) NIP: 150 282 403

3. Pembimbing: Dr. Abdurrahman Dahlan MA (………)

NIP: 150 234 496

4. Penguji I : Prof. Dr. Hj. Amany B. Lubis, MA (…………...………….) NIP: 150 270 614

5. Penguji II : Dr. H. A. Juwaini Syukri, Lc, MAg (………....) NIP: 150 256 967


(2)

KATA PENGANTAR

Untaian rasa syukur penulis haturkan kehadirat Allah swt. Hanya dengan rahmat-Nya penulis bisa menyelesaikan tugas akhir akademis berupa penulisan skripsi ini. Shalawat beriring salam semoga tetap tercurah keharibaan Nabi besar Muhammad saw. Insan yang memberi teladan dalam berucap, memberi contoh dalam bertindak.

Selesainya penulisan skripsi ini, tentunya tidak lepas dari motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Perkenankan penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan, MA selaku pembimbing dalam penyelesaian skripsi ini. Beliau dengan tulus telah memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berarti demi kelancaran penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Asmawi, MAg selaku ketua jurusan Jinayah Siyasah dan Ibu Sri Hidayati, MAg selaku sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah.

4. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany B. Lubis, MA selaku penguji I pada ujian Munaqasyah. Beliau telah banyak memberi masukan dan arahan untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini.


(3)

5. Bapak Dr. H. A. Juwaini Syukri, Lc, MAg selaku penguji II pada ujian Munaqasyah. Beliau dengan tulus telah memberikan masukan, pemikiran, dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Ayahanda dan Ibunda tercinta, kakak-kakak, adik-adik, dan semua famili yang ikut berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas semua motivasi dan kasih sayangnya.

7. Sahabat-sahabat dan orang terdekat penulis, Lia Hilyah, Jefriadi S. Sos.I, Ahmad Hamdalah SEI, Ahmad Masy’ari, dan Nurmadiah. Terima kasih atas dukungan kalian semua.

8. Sahabat-sahabat Siyasah Syar’iyyah angkatan 2005. Terima kasih atas semua kebersamaan dan persahabatannya.

9. Kepada teman-teman Himpunan Pelajar Mahasiswa Riau (HIPEMARI) Jakarta, dan Ikatan Pelajar Mahasiswa Kampar (IPMK) Jakarta. Semoga ke depan kita tetap utuh dalam bingkai persaudaraan.

10.Semua teman-teman penulis di mana pun berada, yang telah memberikan dorongan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berdo’a kepada Allah swt, agar seluruh pengorbanan yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, akan mendapatkan balasan yang setimpal di sisi-Nya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin

Jakarta, 27 Mei 2009


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….……….………...i

DAFTAR ISI ……….……….……….………..iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….………....1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….……....5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...6

D. Tinjauan Pustaka………...7

E. Metode Penelitian………...9

F. Sistematika Penulisan………...11

BAB II KEHIDUPAN INTELEKTUAL YUSUF AL-QARADHAWI A. Asal Usul Yusuf al-Qaradhawi………...14

B. Pendidikan………...18

C. Aktivitas……….21

D. Karya-Karya………...25

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KRITIK RAKYAT DALAM SUATU NEGARA DEMOKRASI A. Pengertian Hak Kritik Rakyat…...27

B. Eksistensi Hak Kritik Rakyat dalam Negara Demokrasi...27

C. Wadah Penyampaian Kritik terhadap Pemerintah...29

D. Sejarah Perkembangan Hak-Hak Politik Rakyat…………...36


(5)

BAB IV HAK KRITIK RAKYAT DALAM ISLAM

A. Pengertian……….44

B. Landasan Hukum………...44

C. Tata Cara Penyampaian Kritik………..49

D. Sejarah Perkembangan Hak Kritik Rakyat………...51

BAB V HAK KRITIK RAKYAT DALAM PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM MENURUT YUSUF AL-QARADHAWI A. Konsep dan Dasar-Dasar Hak Kritik Rakyat……….…55

B. Wadah Penyampaian Hak Kritik Rakyat………..62

C. Persamaan dan Perbedaan antara Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dengan Islam tentang Hak Kritik Rakyat...73

D. Relevansi Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang Hak Kritik Rakyat Dewasa ini...75

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan………...…77

B. Saran……….78


(6)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Menurut historis, persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama sesudah wafatnya Rasulullah saw adalah persoalan kekuasaan politik atau disebut juga masalah imamat.1 Permasalahan ini merupakan permasalahan yang bersifat dinamis dan selalu mengalami improvisasi setiap saat, sehingga hal tersebut timbul tidak hanya terfokus kepada pemilihan dan pengangkatan pemimpin di satu sisi, tetapi pada sisi yang lain tidak kalah pentingnya adalah gejolak-gejolak yang muncul pada saat atau selama pemimpin tersebut berkuasa.

Rakyat sebagai komunitas yang dipimpin akan selalu melihat kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah, karena rakyat adalah target atau sasaran kebijaksanaan itu sendiri. Negara Islam sebagai negara demokratis atau lebih tepatnya negara yang berasaskan syura, dimana rakyat sangat berperan aktif dan disebut dengan the controler. Untuk merealisasikan peran rakyat sebagai kontroler, maka rakyat berhak untuk mengawasi dan mengkritik kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah, dan juga mencegah hal-hal yang kontradiksi dengan ajaran Islam atau yang bersifat munkar.

Sejarah pemerintahan Islam telah menunjukkan tentang adanya mu'aradhah atau melakukan kritik terhadap pemerintah. Abu Bakar secara terbuka di hadapan umum mengatakan; “...bila aku berlaku baik, bantulah aku. Akan tetapi bila aku

1


(7)

berbuat salah, bawalah aku ke jalan yang benar. Kebenaran adalah suci, dan kesalahan adalah pengkhianatan”.2 Islam mengenal prinsip musyawarah, hal ini bertujuan untuk melibatkan dan mengajak semua pihak untuk berperan serta dalam kehidupan bernegara.3

Rakyat diwajibkan taat kepada pemerintah selama mereka tidak melakukan kesalahan dan pelanggaran serta berbuat zalim. Sebaliknya, jika pemerintah melakukan kesalahan dan bertindak zalim, maka rakyat tidak diwajibkan mentaatinya. Bahkan rakyat mempunyai hak untuk mengkritik pemerintah supaya mereka menyadari kesalahan dan pelanggaran yang telah dilakukan serta dikembalikan kepada jalan Allah dan Rasul-Nya.4

Abu al-a’la al-Maududi menjelaskan, bahwa setiap individu masyarakat atau rakyat memiliki hak dan kewajiban terhadap jalannya roda pemerintahan suatu negara Islam. Hal ini dapat diaktualisasikan dengan cara memberikan kontribusi pemikiran kepada pemerintah demi terwujudnya pemerintahan yang demokratis.5

2

Ridwan HR, Figh Politik; Gagasan, Harapan, dan Kenyataan (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), h. 41

3

Muhammad Tahir, Negara Hukum; Suatu Study tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992), h. 84

4

Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi. Terjemahan Wahib Wahab (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1999), h. 169

5

Musthafa bin Daud, Beberapa Aspek Pemikiran al-Maududi (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1988), h. 96


(8)

Mengemukakan pendapat bukan hanya sekedar hak, melainkan suatu kewajiban.6 Bahkan pandangan ini menurut Islam besar kedudukannya, apabila seseorang melihat kemunkaran maka ia harus mencegahnya sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda:

!" #$ #$

% ! &'( ) *+ ,

-% ! !+

.

7

Artinya : “Barang siapa melihat kemunkaran, maka dia harus merubahnya dengan tangannya, dan jika tidak sanggup maka rubah dengan kata-katanya, dan jika hal ini pun tidak sanggup, maka rubahlah dengan membencinya sepenuh hati. Dan inilah keadaan iman yang paling lemah.”

Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa mengubah kemunkaran merupakan hak setiap Muslim yang melihatnya, bahkan merupakan kewajiban baginya.8

Bila amanah amar ma’ruf dan nahi munkar sudah disia-siakan di tengah umat, maka umat ini akan kehilangan keistimewaannya dan akan ditimpa laknat seperti yang ditimpakan kepada umat-umat sebelumnya. Sebagaimana Nabi Muhammad saw bersabda:

/0 ! !+ !*1

2 3 !+456

/ ! 7/%'

)8+

$3

9: ,'

-;+!; < !+

.

9

Artinya: “Bila masyarakat melihat perbuatan zalim, lalu mereka tidak mencegahnya, maka Allah akan memberikan mereka hukuman secara umum.”

6

Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Makanatuha, Ma’alimuha, Thabi’atuha, Mauqifuha, min Dimaqratiyah wa Ta’addudiyah wa Maar’ah wa Ghairu al-Muslimin (Cairo: Dar al-Syuruq, 1997), h. 95

7

Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Salam, 1999), h. 167 8

Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah (Beirut: Darul Ma’rifah, 1988), h. 628 9


(9)

Yusuf al-Qaradhawi berpendapat, penguasa tidak lebih hanyalah seorang dari kaum Muslimin, dia tidak terlalu besar untuk dinasehati dan ditegur, dan rakyat pun tidak terlalu kecil untuk menasehati dan menegurnya. Dalam agama Islam hak berbicara dan berkritik,- jika berkaitan dengan kemaslahatan umat, kemaslahatan akhlak, dan kemaslahatan tata sopan- merupakan sesuatu yang wajib.10

Mengkritik dan melontarkan pendapat yang dilakukan rakyat terhadap pemimpin atau pejabat pemerintahan, merupakan tugas suci yang mendapat sanksi apabila diabaikan.11 Untuk itu, seorang Muslim dituntut supaya menentang kemunkaran dan memburunya sehingga kemunkaran tersebut tidak lagi hidup di permukaan bumi ini.12

Menurut Yusuf al-Qaradhawi, secara individu rakyat tidak mampu mencegah kemunkaran, apalagi kemunkaran tersebut sudah tersebar luas dan pelakunya memiliki kekuatan, atau kemunkaran tersebut dilakukan oleh penguasa atau pejabat yang seharusnya mereka berada di barisan terdepan untuk mencegahnya. Pencegahan tersebut hanya bisa dilakukan dalam bentuk amal jama’i (kerja kolektif) melalui suatu badan yayasan atau partai.13 Partai merupakan media yang dapat difungsikan untuk melontarkan kritikan, pendapat dan nasehat kepada penguasa/pemimpin/imam atau pun kepada pejabat-pejabat yang terkait. Hal ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, sebab sistem ini dapat menjamin rakyat dari pemerintahan diktator, yang sering

10

Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 148 11

Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 149 12

Yusuf al-Qaradhawi, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, h. 120 13


(10)

berlaku sewenang-wenang dan kejam. Di bawah pemerintahan seperti ini, rakyat akan kehilangan kekuatan untuk mengatakan ‘tidak” atau “mengapa”. Hal ini terbukti dalam sejarah masa lalu.

Pendapat Yusuf al-Qaradhawi di atas harus dilandasi dengan undang-undang dan tidak boleh menyalahi aturan atau inkonstitusional, sehingga kritikan dan nasehat yang dilakukan tidak mendatangkan dampak negatif yang menyebabkan kefatalan bagi kelangsungan negara atau pemerintahan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisa lebih jauh pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam. Yusuf al-Qaradhawi merupakan seorang pakar yang komprehensif. Beliau menguasai permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan ekonomi, politik, hukum, dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis mengangkat penelitian ini dengan judul: Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi Tentang Hak Kritik Rakyat dalam Pemerintahan Negara Islam

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Supaya penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari topik yang dibahas, maka penulis membatasi permasalahan penelitian ini pada pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam.


(11)

Dari pembatasan masalah di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana konsep dan dasar-dasar hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam menurut Yusuf al-Qaradhawi?

b. Bagaimana mekanisme penyampaian kritik rakyat menurut Yusuf al-Qaradhawi? c. Bagaimana relevansi konsep hak kritik rakyat Yusuf al-Qaradhawi dengan Barat dan Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini ada dua signifikasi yang akan dicapai, yaitu sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana konsep dan dasar-dasar pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam

b. Untuk mengetahui mekanisme dan wadah penyampaian kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam menurut Yusuf al-Qaradhawi

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah:

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan kajian ketatanegaraan Islam, khususnya masalah hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam.


(12)

b. Karya ilmiah ini merupakan wujud kontribusi dan sumbangan pemikiran penulis untuk almamater tempat penulis menuntut ilmu.

D. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penelitian dengan bahasan hak-hak politik rakyat khususnya tentang hak-hak kritik rakyat telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik topik tersebut maupun yang bersinggungan secara umum dengan bahasan penelitian. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut.

Tulisan pertama, ditulis oleh Muhammad al-Mubarok dalam bukunya “Sistem Pemerintahan dalam Persfektif Islam”. Buku ini menjelaskan tentang warga negara dan hak-hak manusia. Al-Mubarak memberikan pandangan berkenaan dengan adanya kebebasan bagi warga negara untuk berpartisipasi di bidang politik. Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk berpolitik. Ketentuan ini telah dipraktekkan sejak masa-masa awal perkembangan Islam. Fakta menggambarkan bahwa pengangkatan kepala negara (yang notabene merupakan kegiatan di bidang politik) sudah dilakukan sejak wafatnya Nabi Muhammad saw, yakni dengan majunya Abu Bakar sebagai khalifah menggantikan Nabi Muhammad saw.

Dalam bukunya penulis menjabarkan hak dan kebebasan berpolitik yang tercermin pada dua hal, yaitu hak untuk turut serta dalam pemilihan umum (Pemilu) serta adanya jaminan dalam kebebasan berpendapat dan berkritik. Setiap individu berhak melahirkan pendapat dalam urusan kehidupan umum, yang di dalamnya


(13)

terdapat kebebasan berpendapat, mengkritik, serta kebebasan berpolitik. Islam mengajak kepada umat Islam untuk menyampaikan aspirasi, bahkan kebebasan menyuarakan ide-ide dan kritikan. Tidak ada hak bagi siapa pun termasuk pemerintah untuk menghalang-halangi atau membatasi. Namun demikian, hal ini tentunya dibatasi pada tindakan yang positif dan tidak sampai menyebabkan perselisihan antar kelompok atau tidak menyebabkan kerugian bagi pihak lain.14

Kedua, “Freedom of Expression in Islam” karya Hassim Kamali. Dalam buku ini dijelaskan bahwa Mu’aradhah (melakukan kritik) terhadap pemerintahan zalim merupakan prinsip dasar sistem pemerintahan Islam. Hassim berpendapat, dalam al-Qur’an sandaran tekstual untuk hak ini adalah sama seperti seruan amar ma’ruf nahi munkar. (S. Ali Imran ayat 104). Al-Qur’an sangat tegas mengenai prinsip ini, sehingga mengangkatnya menjadi bagian yang terpenting. Al-Qur’an menempatkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sama berkenaan dengan mu’aradhah, dan setiap warga negara diberi hak untuk mengungkapkan dan tidak menyetujui pelanggaran, baik itu oleh pemimpin pemerintah, seorang warga negara, atau orang-orang yang memang terlibat dalam kriminalitas dan kejahatan.15

Ketiga, “Human Right in Islam” karangan Syaukat Hussain. Dalam buku ini, penulis menjelaskan bahwa Islam menganugerahkan hak bagi seluruh umat manusia untuk mengecam kezaliman pemerintah. Rasulullah saw telah mengingatkan umat Islam bahwa mengkritik pemerintah yang zalim merupakan jihad. Dari ajaran

14

Muhammad al-Mubarak, Sistem Pemerintahan dalam Islam (Solo: Pustaka Mantiq, 1995) 15

Muhammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam (Malaysia: Berita Publishing, 1994)


(14)

Rasulullah saw inilah menurut Syaukat berkembang situasi dimana selama era khulafah ar-rasidin rakyat tidak pernah sangsi untuk mengkritik dan menasehati khalifah.16

Dari beberapa tulisan yang penulis paparkan di atas, dapat dilihat bahwa hak kritik rakyat yang merupakan bagian dari hak-hak politik, tidak dapat dipisahkan dari hak-hak asasi manusia. Keberadaan hak-hak politik telah banyak dituangkan ke dalam karya-karya ilmiah yang banyak melakukan kajian dan pembahasan seputar hak atau kebebasan berkritik.

E. Metode Penelitian

Untuk mencapai tujuan serta hasil yang komprehensif dan akurat, serta bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual, maka penulis memerlukan metode penelitian yang mampu menjadi kerangka eksplorasi berbagai bahan dan perangkat yang diperlukan.

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode kualitatif, yang berarti data yang didapat merupakan kata-kata, ungkapan, norma, atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Adapun sifatnya adalah deskriptif, yaitu menggambarkan pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam. Penelitian ini juga merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif-doktriner.

16


(15)

2. Sumber Data

Penulis membagi sumber data dalam penelitian ini menjadi dua bagian, yaitu: a. Sumber data primer, yaitu sumber data pokok yang akan memaparkan masalah yang akan dikaji, data primer penulis ambil dari buku, Min Fiqh Daulah fi al-Islam, Makanatuha, Ma’alimuha, Thabi’atuha, Mauqifuha, min al-Dimaqratiyah wa al-Ta’addudiyah wa al-Maar’ah wa Ghairu al-Muslimin17 karangan Yusuf al-Qaradhawi.

b. Sumber data skunder, yaitu antara lain, Fatawa Mu’ashirah,18 Halal wa al-Haram,19 dan Malamih al-Mujtama’ al-Muslim Alladzi Nansyuduhu.20 Buku-buku tersebut juga merupakan karangan Yusuf al-Qaradhawi.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi dokumenter, yaitu mengambil data-data dari dokumen-dokumen atau literatur-literatur yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas.

17

(Cairo: Dar al-Syuruq, 1997) 18

(Beirut: Darul Ma’rifah, 1988) 19

(Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1980) 20


(16)

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam skripsi ini adalah deskriptif-analisis, yaitu mendeskripsikan data-data yang ada (primer dan sekunder), kemudian menganalisanya secara komprehensif agar tampak jelas rangkaian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok masalah.

5. Teknik Penulisan Skripsi

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku Panduan Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta Tahun 2007.21

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini akan disusun dalam beberapa bab. Tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub-sub bab, sesuai dengan kebutuhan kajian yang akan dilakukan. Yakni sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai karya ilmiah, penelitian ini dimulai dengan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah. Yaitu hal-hal apa saja yang melatar belakangi permasalahan yang dibahas. Agar masalah yang dibahas tidak melebar pemaparannya, maka masalah tersebut dibatasi, dan kemudian dirumuskan. Pada bab ini juga memaparkan tujuan dan manfaat penulisan, yaitu menjelaskan

21

Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syahid, 2007)


(17)

tujuan penulis melakukan penelitian, dan manfaat apa yang akan dicapai. Selanjutnya, dalam penelitian ilmiah harus ada metode penelitian agar penelitian tersebut dapat terarah dan sistematis. Untuk itu, pada bab ini penulis memaparkan metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II BIOGRAFI YUSUF AL-QARADHAWI. Dalam bab ini, penulis membahas sejarah ringkas kelahiran dan latar belakang keluarga Yusuf al-Qaradhawi, jenjang pendidikan yang pernah dilalui. Selanjutnya aktivitas dan bagaimana karir al-Qaradhawi di dunia Islam, dan karya-karya apa saja yang sudah dihasilkan. Pembahasan ini diperlukan agar penulis bisa mengetahui latar belakang keluarga Yusuf al-Qaradhawi, alur pemikiran, dan tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikirannya.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KRITIK RAKYAT DALAM NEGARA DEMOKRASI. Bab ini merupakan tinjaan umum tentang hak kritik rakyat dalam negara demokrasi. Penulis mengawali pembahasan ini dengan pengertian, bagaimana eksistensi kritik rakyat dalam suatu negara demokrasi, diteruskan dengan bagaimana mekanisme penyampaikan kritik terhadap pemerintah. Untuk mengetahui posisi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka pada bab ini penulis memaparkan sejarah perkembangan hak kritik rakyat dalam pemerintahan.

BAB IV TINJAUAN ISLAM TENTANG HAK KRITIK RAKYAT. Bab ini, disamping bertujuan untuk mengetahui pandangan Islam tentang hak kritik rakyat, pembahasan dalam bab ini juga sebagai perbandingan antara pandangan negara


(18)

demokrasi dengan pandangan Islam secara umum tentang hak kritik rakyat. Pembahasan dimulai dengan pengertian hak kritik rakyat, landasan hukum hak kritik rakyat, bagaimana tata cara penyampaian kritikan. Bab ini diakhiri dengan sejarah perkembangan hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam.

BAB V HAK KRITIK RAKYAT DALAM PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM MENURUT YUSUF AL-QARADHAWI. Setelah menjelaskan pandangan negara demokrasi dan pandangan Islam tentang hak kritik rakyat, maka pada bab ini penulis baru memaparkan pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam. Bab ini dimulai dari konsep dan dasar-dasar hak kritik rakyat menurut Yusuf al-Qaradhawi, wadah dan bentuk hak kritik rakyat menurut Yusuf Qaradhawi, apa persamaan dan perbedaan pandangan Yusuf al-Qaradhawi dengan Islam tentang hak kritik rakyat?

BAB VI PENUTUP. Bab ini merupakan sebuah kesimpulan dari bab-bab sebelumnya atau konklusi dari penelitian tentang pemikiran Yusuf al-Qaradhawi tentang hak kritik rakyat dalam pemerintahan negara Islam. Bab ini juga berisi saran-saran penulis, dengan apa yang telah penulis simpulkan.


(19)

(20)

BAB II

KEHIDUPAN INTELEKTUAL YUSUF AL-QARADHAWI A. Asal Usul Yusuf al-Qaradhawi

Yusuf Abdullah bin al-Qaradhawi lahir pada tanggal 9 September 1926 M di desa Safth At-Turab.22 Desa ini terletak antara kota Thantha dan kota Al-Mahallah Al-Kubra di Provinsi Barat Mesir. Desa tempat kelahiran beliau merupakan salah satu tempat makam sahabat Rasulullah saw yang bernama Abdullah bin Harits ra. Yusuf al-Qaradhawi berasal dari keluarga yang taat menjalankan ajaran agama Islam.23

Keluarga al-Qaradhawi adalah keluarga yang tidak terlalu besar, dan termasuk keluarga yang bermigrasi dari daerah lain. Tentang hal ini al-Qaradhawi pernah mendengar pamannya yang bernama Ahmad, mengatakan bahwa asal-usul nenek moyang Qaradhawi adalah dari sebuah daerah yang bernama Qaradhah dan al-Qaradhawi dinisbahkan kepada nama kampung tersebut, sehingga terkenal dengan nama al-Qaradhawi.24

Keturunan Qaradhawi yang paling terkenal adalah di daerah Sanhur al-Madinah, yang terletak di kota Dasuq. Akan tetapi yang terpenting adalah bahwa asas-usul keluarga di Safth At-Turab bermula dari kakek al-Qaradhawi yang bernama Haji Ali.25 Di antara keluarga al-Qaradhawi yang berprofesi sebagai pedagang dan banyak memiliki besan dari keluarga terpandang, tidak sedikit pun memiliki lahan

22Ensiklopedi Hukum Islam

(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), h. 1448 23

Sucipto Heri, Ensiklopedi Tokoh Islam, dari Abu Bakar Sampai al-Qaradhawi (Jakarta: Hikmah, 2003), h. 336

24

Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku. Terjemahan Cecep Taufiqurrahman, Nandang Burhanuddin (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 99

25


(21)

tanah. Karena itu, al-Qaradhawi yang bertani terpaksa menyewa tanah. Dari tanah itulah keluarga al-Qaradhawi memetik hasilnya untuk memenuhi kebutuhan primer keluarga dan untuk membiayai sewa tanah. Hal inilah yang menuntut seluruh anggota keluarga al-Qaradhawi untuk bekerja keras membanting tulang sampai batas maksimal, tidak mengenal istirahat dan tidak mengenal hura-hura.26

Sebelum menikah dengan ibu al-Qaradhawi, ayah al-Qaradhawi pernah menikah dengan wanita lain tetapi kemudian mereka bercerai. Pada saat itu ibu al-Qaradhawi adalah seorang janda yang masih sangat muda dari seorang saudara sepupu ibu Qaradhawi sendiri. Laki-laki yang pertama kali menikahi ibu al-Qaradhawi tinggal di Kairo, adalah seorang pemabuk yang suka meminum khamar dan biasa pulang ke rumah setelah larut malam dalam keadaan mabuk, pembicaraannya ngelantur dan tidak jelas. Saat itu ibu al-Qaradhawi adalah seorang gadis desa yang masih sangat asing dengan perilaku seperti itu.27

Situasi ini diketahui oleh kakek Qaradhawi saat ia mengunjungi ibu al-Qaradhawi. Oleh sebab itu, maka sang kakek meminta agar anaknya diceraikan oleh suaminya. Mulai saat itulah ibu al-Qaradhawi tinggal di rumah kakeknya, pada saat diceraikan ibu al-Qaradhawi sedang mengandung dan beberapa waktu kemudian melahirkan anak perempuan yang diberi nama Ruhiyah, saudara seibu al-Qaradhawi dan usianya (sekitar delapan tahun lebih tua dari al-Qaradhawi). Ruhiyah diasuh dan dibesarkan di rumah kakek dan paman al-Qaradhawi sampai Ruhiyah dinikahi oleh

26

Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 52 27


(22)

saudara sepupunya (dari pihak ayahnya) di kota Zifra. Dari pernikahannya ini, Ruhiyah dikaruniai beberapa orang anak laki-laki dan perempuan dan Ruhiyah meninggal dunia saat anak-anaknya masih kecil.28

Sementara ayah al-Qaradhawi dikarenakan masih sendiri, kemudian mengajukan lamaran untuk menikahi ibu al-Qaradhawi. Setelah pernikahan berlangsung beberapa tahun kemudian, ibu mengandung al-Qaradhawi. Ayah dan ibu sepakat jika bayi yang dilahirkan seorang laki-laki, maka akan dinamai Yusuf yang diambil dari nama paman al-Qaradhawi yang meninggal sebelum mempunyai anak. Nama Yusuf yang diberikan paman Qaradhawi adalah juga nama buyut al-Qaradhawi. Oleh sebab itu, maka nama lengkap al-Qaradhawi adalah Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf.29

Ayah al-Qaradhawi menurut cerita pamannya yang bernama Ahmad, adalah setengah petani dan setengah pedagang. Ketika ia berusia 2 tahun, ayahnya terserang penyakit Bilharsia, yaitu sakit pada saluran air kecil. Karena jumlah dokter masih sangat terbatas dan orang-orang yang dapat mengobati sangat terbatas maka ayah al-Qaradhawi pun meninggal.30 Sebagai anak yatim ia hidup dan diasuh oleh pamannya, ia mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pamannya itu seperti orang tuanya sendiri. Seperti keluarganya, mereka juga orang yang taat beragama sehingga Yusuf

28

Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 103 29

Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 103 30


(23)

lebih terdidik dan dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan agama dan syari’at Islam.31

Ibu al-Qaradhawi berasal dari keluarga al-Hajar, sebuah keluarga pedagang dan sangat terkenal dengan kecerdasannya. Ibu dan bibi al-Qaradhawi, adalah orang yang sangat cerdas dalam berhitung meskipun tidak menggunakan catatan. Saudara sepupu ibu al-Qaradhawi yang bernama Fatimah al-Hajar sangat pandai berhitung. Ia dapat menghitung perkalian atau pun pembagian dengan angka-angka yang rumit dalam waktu yang sangat singkat.32

Kakek al-Qaradhawi bernama Ali, memiliki seorang saudara laki-laki yang bernama Muhammad. Ada yang mengatakan bahwa saudara kakek yang bernama Muhammad itu pindah dari Shafth At-Turab dan menetap di kota Kafr Az-Ziyat. Ali memiliki dua orang saudara perempuan yang kedua-duanya menikah di Shafth At-Turab. Salah seorang di antara mereka bernama Fatimah menikah dengan seorang laki-laki dari keluarga besar al-Buhairi, yang dikenal sebagai tokoh masyarakat dan merupakan keluarga yang sangat kaya raya. Di antara keturunan mereka adalah Abdul Qadir, Abdul Wahab. Seorang lagi saudara perempuan kakek Qaradhawi menikah dengan Syaikh Hasan al-Azuni. Mereka memiliki beberapa orang anak yang di antaranya adalah Ahmad, Syasytawi, Abbas dan Muhammad. Mereka tinggal di kampung al-Qaradhawi dan sekaligus merupakan tetangga al-Qaradhawi.33

31Ensiklopedi Hukum Islam

, h. 1448 32

Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 103 33


(24)

Kakek al-Qaradhawi (dari pihak ibu) meninggal dunia saat al-Qaradhawi berusia tujuh tahun, al-Qaradhawi ikut menyaksikan pengurusan jenazahnya. Saat itu al-Qaradhawi banyak mendengar dari masyarakat tentang kakeknya yang menyanjung bahkan memujinya, dikarenakan kakek al-Qaradhawi adalah seorang ulama yang sederhana namun keilmuannya sangat tinggi. Kakek, nenek, paman, dan bibinya sangat menyayangi dan mencintai al-Qaradhawi. Kasih sayang mereka semakin bertambah di saat al-Qaradhawi menginjak kelas empat Ibtidaiyah Al-Azhar. Pada saat ibunya meninggal dunia, al-Qaradhawi saat itu masih duduk di kelas empat Ibtidaiyah, maka sejak saat itulah kakek, nenek, paman dan bibi al-Qaradhawi seolah-olah telah menjadi pengganti ibu kandung al-Qaradhawi yang telah meninggal dunia.34

Dengan menelusuri asusul dan latar belakang keluarga Yusuf al-Qaradhawi, penulis berpendapat bahwa masa kecil Yusuf al-Qaradhawi ternyata tidak begitu beruntung, ayah dan ibunya meninggal dunia saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Meskipun demikian, Yusuf al-Qaradhawi dilahirkan dari keluarga yang cerdas dan taat beribadah, sehingga ia tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang cerdas, dan cinta kepada ilmu pengetahuan.

B. Pendidikan

Yusuf al-Qaradhawi merampungkan pendidikan sekolah dasar di desa asalnya Thantha, kemudian ia melanjutkan sekolah menengah pertamanya di tempat yang

34


(25)

sama atau disebut Ma’had Tsanawi, yaitu sekolah agama Al-Azhar di kota Thantha. Ketika Yusuf al-Qaradhawi menjadi siswa pada tingkat ke-5 pada sebuah sekolah menengah agama di kota Thantha tersebut, tahun 1948 terjadi musibah pemerintah Mesir saat itu mengeluarkan keputusan pembubaran Jama'ah Ikhwanul Muslimin, kekayaan Ikhwan dirampas, pengikut-pengikutnya disiksa dan sebagian besar di antaranya dijebloskan ke dalam penjara. Musibah itu berakhir dengan adanya makar dari pemerintah untuk membunuh Mursyid Hasan al-Banna.35

Yusuf al-Qaradhawi saat itu termasuk siswa yang ditahan di sebuah penjara militer kelas 1 di Thantha. Setelah itu, kemudian dipindahkan ke penjara Haikastib lalu ke penjara At-Thur di Sinai dengan menumpang kapal laut “Ayidah” dari kota Suez dengan melintasi Teluk Suez menuju At-Thur, ia satu penjara bersama Muh al-Gazali al-Khulli pengarang kitab Tadzkiratud Du’at dan beberapa buku orisinil lainnya, maka dari merekalah ia banyak belajar atau berguru tentang sesuatu. Para pelajar sekolah menengah yang berada di penjara At-Thur termasuk Yusuf al-Qaradhawi dalam masa yang tidak terlalu lama dipindahkan ke Haikastib dekat kota Kairo sebagai langkah awal pembebasannya. Setelah menempuh perjalanan yang berat, melewati gurun pasir Sinai, dalam perjalanan kelompok ini dikumpulkan dalam sebuah lori (kereta angkutan) yang tidak beratap. Mereka dijejal di dalamnya seperti binatang ternak, panas matahari yang menyengat tubuh di siang hari, dinginnya malam hari padang pasir menusuk-nusuk. Setelah beberapa bulan di penjara Haikastib, kemudian dikembalikan ke penjara At-Thur dan dibebaskan setelah

35


(26)

jatuhnya kabinet Ibrahim Abdul Hadi pada akhir Ramadhan lebih kurang tahun 1949 dan ia termasuk orang yang pertama kali dibebaskan.36

Setelah menyelesaikan pendidikan Tsanawiyah di Ma’had Al-Azhar Thantha, kemudian al-Qaradhawi melanjutkan ke Universitas Al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin dan lulus pada tahun 1952, lalu memperoleh ijazah keguruan setahun berikutnya tahun 1953. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke jurusan khusus bahasa Arab di Al-Azhar selama 2 tahun. Dan ia menempati ranking pertama dari 500 mahasiswa lainnya dalam memperoleh ijazah internasional dan sertifikat pengajaran.37 Kemudian tahun 1958, ia memperoleh ijazah diploma dari Ma’had al-Dirasat Al-Arabiyah dalam bidang sastra dan bahasa. Selang tahun 1960 ia mendapatkan ijazah Master di jurusan ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Sunnah di Fakultas Ushuluddin.38

Selanjutnya Yusuf al-Qaradhawi menempuh jenjang pendidikan S3 di Al-Azhar dan memperoleh gelar Doktor pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat dan Dampaknya dalam Penanggulangan Kemiskinan” yang kemudian menjadi “Fiqh Zakat”, sebuah buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern. Di semua jenjang pendidikan tersebut ia memperoleh prestasi teratas dengan cumlaude. Sebab keterlambatannya meraih gelar Doktor dikarenakan ia

36

Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku, h. 130 37 Ensiklopedi Hukum Islam

, h. 1448 38Ensiklopedi Hukum Islam


(27)

sempat meninggalkan Mesir karena kejamnya rezim yang berkuasa saat itu dan menuju ke Qatar pada tahun 1961.39

Dengan demikian, Yusuf al-Qaradhawi telah membuktikan kecerdasannya ketika ia masih berstatus mahasiswa. Hal ini dibuktikan dengan berhasilnya Yusuf al-Qaradhawi menempati ranking pertama dari 500 mahasiswa dan mendapat predikat cumlaude. Dengan prestasi akademis yang membanggakan itu, telah mengantarkan Yusuf al-Qaradhawi menjadi seorang intelektual yang handal.

C. Aktivitas

Pada tahun 1949 yaitu pada masa pemerintahan Farouk, Yusuf al-Qaradhawi terlibat dalam pergerakan Ikhwanul Muslimin hingga ia masuk penjara April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi revolusi Juni di Mesir.40 Pada bulan Oktober kembali mendekam di penjara militer selama 2 tahun. Ia sibuk dengan kegiatan da’wah sejak muda, ia terlibat gerakan da’wah dan masuk penjara beberapa kali baik di masa kerajaan maupun di masa revolusi. Yusuf al-Qaradhawi meninggalkan Mesir pada tahun 1961 akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu, ia terpaksa menuju Qatar dan di sana mendirikan Fakultas Syariah di Universitas Qatar. Kemudian di saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian Sejarah dan

39Ensiklopedi Hukum Islam

, h. 1448 40Ensiklopedi Hukum Islam


(28)

Sunnah Nabi, ia mendapatkan kewarganegaraan Qatar dan menjadikan Doha sebagai tempat tinggalnya.41

Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia bekerja di bagian pengawas urusan agama bidang wakaf pemerintahan Mesir, dan di sekretariat bidang Kebudayaan Islam di Al-Azhar, lalu menjadi Direktur di lembaga-lembaga pendidikan agama miliknya. Bersamaan dengan itu, ia dipercaya sebagai ketua pendidikan agama miliknya, ia juga dipercaya sebagai Dekan pada Fakultas Syariah dan Studi Islam, juga sebagai Direktur Pusat Studi Sunnah dan Siroh yang ia sendiri sebagai pengawasnya sehingga sekarang jabatan itu masih diembannya.42

Ia juga seorang orator ulung, penulis yang handal, dan seorang yang mendalam ilmunya. Tulisan-tulisannya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ia pakar sebagai ilmuan keislaman dan sastrawan. Ia kini menjadi anggota di berbagai lembaga ilmiah, da’wah Arab Islam dan Internasional. Di antaranya adalah lembaga Fiqh di Rabithah Alam Islami, Lembaga Kajian Bidang Studi Peradaban Islam di Yordania, Pusat Studi Islam Oxford, Majelis Sekretaris-sekretaris Universitas Islam Internasional di Islamabad. Lembaga-lembaga Da’wah Islam di Khartoum dan lain-lain. Ia juga mengepalai Unit Pengawasan Syari’at di berbagai Bank Islam. Pada tahun 1991 M, al-Qaradhawi mendapat penghargaan dari IDB (Islamic Developmen Bank) atas jasa-jasanya di bidang perbankan. Sedangkan pada tahun 1992, al-Qaradhawi bersama Sayyid Sabiq mendapatkan penghargaan dari

41Ensiklopedi Hukum Islam

, h. 1448 42Ensiklopedi Hukum Islam


(29)

King Faisal Award karena jasa-jasanya dalam bidang keislaman. Pada tahun 1996, al-Qaradhawi mendapatkan penghargaan dari Internasional Islamic University Malaysia atas jasa-jasanya dalam ilmu pengetahuan, dan pada tahun 1997 mendapatkan penghargaan dari Sultan Hasan al-Bolkiah Brunai Darussalam atas jasa-jasanya dalam bidang fiqh.43

Aktivitas Yusuf al-Qaradhawi tidak terbatas pada penulisan buku saja, tetapi al-Qaradhawi juga terlibat langsung dengan berbagai media informatika, baik cetak maupun elektronik. Selain itu, al-Qaradhawi mempunyai andil yang cukup besar dalam beberapa acara televisi, seperti televisi Aljazeerah yang memberikan waktu khusus bagi al-Qaradhawi untuk satu program mingguan dengan tema “Syari’at dan Kehidupan”.44

Di samping itu, Yusuf al-Qaradhawi juga banyak tertarik pada tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin lainnya, karena fatwa-fatwa dan pemikiran mereka yang kokoh dan mantap. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Abdullah Darras, Bakhilal-Khauli, dan Muhammad al-Ghazali, dan selain itu ia juga kagum dan hormat kepada Imam Mahmud Syaltut mantan Rektor Al-Azhar dan Dr. Abdul Hakim Mahmud sekaligus dosen yang mengajarnya di Fakultas Ushuluddin dalam bidang Filsafat. Meskipun Yusuf al-Qaradhawi kagum dan hormat kepada tokoh-tokoh di atas, namun tidak sampai melenyapkan sifat kritis yang dimiliki Yusuf al-Qaradhawi. Beliau mengatakan:

43

Yusuf al-Qaradhawi, Perjalanan Hudupku, h. 131 44 Ensiklopedi Hukum Islam


(30)

=<, >?' + , + >@4% ! A,

B

# CD+ 4$ E Fﺕ

H 3 I! C%'

J+

3

+ $ '

1

AK $ﺡ H >@4 2 3 ,K A %ﺱ ! H ﺱ! ; C J

45

Artinya: Di antara nikmat Allah yang diberi kepada saya ialah terbebasnya saya sejak dini dari ikatan mazhab, taqlid, dan ta’ashshub (fanatik) terhadap pendapat seorang alim tertentu, meskipun pelajaran fiqh saya yang resmi adalah mazhab Abu Hanifah..46

Tokoh favorit Yusuf al-Qaradhawi adalah kelompok ulama yang telah memperkaya pembendaharaan kebudayaan Islam, yaitu ulama yang telah mengadakan pembaharuan. Di antaranya adalah Ibnu Taimiyah dan Hasan al-Banna, tidak aneh jika ia terpengaruh oleh mereka dalam produk ilmiah, sehingga Yusuf al-Qaradhawi dapat menampilkan sejumlah karangan yang berbobot yang tersebar ke berbagai dunia Islam.47 Yusuf al-Qaradhawi lebih mengutamakan kecintaannya kepada bahasa Arab, sebab bahasa Arab merupakan bahasa Islam dan pintu gerbang untuk memahami al-Qur’an dan Hadits. Yusuf al-Qaradhawi juga seorang ulama yang tidak menganut suatu mazhab tertentu. Dalam bukunya al-Halal Wa al-Haram, ia mengatakan, "saya tidak rela rasio saya terikat dengan satu mazhab".48

Demikianlah aktivitas Yusuf al-Qaradhawi, seorang ulama yang mengabdikan hidupnya untuk dakwah. Dan tidak mengherankan, Yusuf al-Qaradhawi beberapa kali

45

Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Mu’ashirah (Beirut: Darul Ma’rifah, 1988), h. 6 46

Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer. Terjemahan As’ad Yasin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 16

47Ensiklopedi Hukum Islam

, h. 1449 48


(31)

mendapatkan penghargaan dari berbagai negara atas jasa-jasanya dalam dunia dakwah.

D. Karya-karya

Yusuf al-Qaradhawi merupakan seorang ulama dan cendekiawan Islam yang di dalam berbagai disiplin ilmu, berwawasan luas dan produktif. Tulisan-tulisannya tidak hanya dalam buku-buku saja, tetapi juga melalui berbagai media, apakah itu melalui majalah-majalah Islam atau melalui kaset-kaset ceramahnya atau tulisannya di media elektronik (internet). Berbagai judul telah ia hasilkan melalui karya-karyanya, dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa oleh kaum Muslim di seluruh dunia.49

Karya-karya Yusuf al-Qaradhawi antara lain, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, Makanatuha, Ma’alimuha, Thabi’atuha, Mauqifuha, min Dimaqratiyah wa al-Ta’addudiyah wa al-Maar’ah wa Ghairu al-Muslimin (Cairo: Dar al-Syuruq, 1997). Buku ini berisikan pembahasan tentang fiqh negara menurut pandangan Islam. Suatu masalah yang kurang populer di kalangan kebanyakan kaum Muslimin belakangan ini. Buku ini berupaya mengangkat isu sentral yang berkenaan dengan masalah fiqh, yaitu masalah negara Islam. Bagaimana kedudukan negara Islam? Bagaimana hukum mendirikannya? Apakah negara Islam merupakan negara madani? Atau negara teokrat yang dipimpin oleh kaum Agamawan? Bagaimana cara menolak prasangka yang mengatakan bahwa negara Islam merupakan negara agama yang ditegakkan

49


(32)

berdasarkan hak Allah? Bagaimana pandangan Islam terhadap sistem demokrasi, multipartai, dan non-Muslim? Dan masih banyak lagi topik-topik penting lainnya yang dibahas dalam buku ini.

Selanjutnya Figh al-Zakah (Beirut: Muassasat al-Risalah, 1973). Sebuah buku yang sangat komprehensif membahas persoalan zakat dengan nuansa modern. Buku ini awalnya merupakan disertasi Yusuf al-Qaradhawi yang berjudul “Zakat dan Dampaknya dalam Penanggulangan Kemiskinan”. Dalam buku ini dipaparkan kedudukan zakat dan dampaknya dalam kehidupan masyarakat, makna zakat fitrah, dan hukum zakat serta hikmahnya. Karya Yusuf al-Qaradhawi berikutnya adalah Fatawa Mu’ashirah (Beirut: Darul Ma’rifah, 1988). Buku ini berisikan fatwa-fatwa Yusuf al-Qaradhawi tentang masalah-masalah kontemporer. Isi buku ini adalah meliputi al-Qur’an dan tafsirnya, seputar hadits nabawi, aqa’id dan perkara ghaib, zakat fitrah, haji dan umrah, wanita dan keluarga, hubungan sosial, dan lain sebagainya.

Demikian sebagian karya-karya Yusuf al-Qaradhawi, dan masih banyak lagi karya-karya beliau yang lainnya. Karya-karya Yusuf al-Qaradhawi tersebut penulis cantumkan pada lampiran skripsi ini. Mengingat wawasan beliau yang luas, meskipun usianya sudah lanjut, penulis yakin Yusuf al-Qaradhawi masih akan cukup produktif untuk terus berkarya memperkaya khazanah pengetahuan dan peradaban Islam dengan buku-bukunya yang masih mayoritas berisi komentar problemantika kehidupan kontemporer.


(33)

BAB III

HAK KRITIK RAKYAT DALAM NEGARA DEMOKRASI A. Pengertian

Secara etimologi, hak kritik rakyat terbentuk dari tiga kata, yaitu hak, kritik, dan rakyat. Kata hak berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata haqqa, yahiqqu, haqqan,50 artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Haq adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.51 Sementara kritik berasal dari bahasa Inggris, yaitu critical yang berarti kecaman52. Selanjutnya kata rakyat juga berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata ra’iyyah.53 Adapun secara terminologi, hak kritik rakyat adalah wewenang rakyat untuk menyampaikan kecaman, anggapan dan penilaian tentang baik buruknya suatu pendapat, hasil karya dan sebagainya.54

B. Eksistensi Hak Kritik Rakyat dalam Suatu Negara Demokrasi

Membicarakan lebih jauh tentang eksistensi hak kritik rakyat dalam suatu negara demokrasi, penulis terlebih dahulu menjelaskan arti demokrasi. Demokrasi

50

A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir; Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 282

51

Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia; Dari UUD1945 Sampai dengan Amandemen UUD1945 tahun 2002 (Jakarta: Kencana, 2007), h. 94

52

John M. Echols, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 155

53

A. W. Munawwir, h. 511 54


(34)

berasal dari bahasa Yunani, yang secara etimologi “Demos" dan "Cratein”.55 Demos adalah rakyat atau penduduk suatu daerah, sedangkan Cratein adalah kekuasaan atau kedaulatan.56

Dari kedua kata tersebut lahirlah istilah demokrasi yang berarti sistem pemerintahan suatu negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat. Dapat juga dikatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Dalam kamus Ensiklopedi Politik dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yaitu dengan perantara wakil-wakilnya yang telah mereka pilih dalam suasana bebas. Dalam dunia modern, demokrasi diartikan dengan suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, for people).57

Jadi negara demokrasi adalah negara yang kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, rakyat berperan aktif dalam negara dan ikut serta menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan negara tersebut. Dalam suatu negara demokrasi, sangat menjunjung tinggi kebebasan menyampaikan kritikan, karena kebebasan tersebut merupakan suatu indikasi dari negara demokrasi, dan hal tersebut sebagai suatu bentuk partisipasi rakyat dalam pemerintahan negara bersangkutan.58

Sebagai contoh, demokrasi yang berlaku di Indonesia, Indonesia sebagai negara demokrasi tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 2:

55

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008), h. 81

56

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 241

57

A. Ubaeidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 3

58


(35)

"Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar".59 Makna kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi dalam mengatur negara haruslah ada di tangan rakyat, artinya milik rakyat. Salah satu mekanisme dalam menjalankan kedaulatan rakyat adalah pemilu, di mana rakyat memilih calon anggota legislatif dan calon presiden untuk menjalankan pemerintahan. Dalam kaitan ini, calon legislatif dan calon presiden mengikat kontrak (sosial) dengan rakyat selaku pemilik kedaulatan, yaitu semua janji yang diucapkan saat kampanye pemilu. Maka kontrak sosial tersebut wajib dijadikan sebagai program pemerintah. Antara kontrak sosial dan program pemerintah adalah satu paket, satu kesatuan yang utuh tidak boleh dipisah satu dengan lainnya.60

Di samping hak kritik, terdapat pula hak rakyat untuk berserikat, hak untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, pendidikan dan lain-lainnya. Semua hak-hak dasar tersebut juga harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Hak-hak rakyat tersebut harus dituangkan dalam undang-undang agar dijamin keberadaannya secara hukum.61

C. Wadah Penyampaian Kritik terhadap Pemerintah

Dalam suatu negara modern yang menganut sistem demokrasi, terdapat beberapa wadah dalam penyampaian kritikan terhadap pemerintah, yaitu melalui:

59

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Hasil Amendemen) Pasal 1 ayat 2 60

A. Ubaeidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 53 61

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Hasil Amendemen) Pasal 28H


(36)

1. Partai

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama.62 Tujuan dari kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.63

Dalam buku Miriam Budiardjo, memberikan beberapa definisi partai politik yang dikemukakan oleh beberapa tokoh diantaranya: Carl J. Friedrich berpendapat, partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatannya yang bersifat idil maupun materil. Menurut RH. Soltou, partai politik adalah sekelompok warga negara yang terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, dan bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.64

Partai politik memiliki peran yang sangat strategis terhadap proses demokratisasi. Partai politik adalah sebagai wadah bagi penampungan aspirasi rakyat. Peran tersebut merupakan implementasi nilai-nilai demokrasi, yaitu keterlibatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara melalui partai

62

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 161 63

F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik (Bandung: Bina Cipta, 1986), Cet. VII, h. 42 64


(37)

politik itulah segala aspirasi rakyat yang beraneka ragam dapat disalurkan secara teratur.65

Partai merupakan tempat berhimpunnya orang sepaham atau yang sama kepentingannya tentang apa yang hendak ia capai. Bahkan partai dapat menyalurkan kepentingan orang yang bukan anggota partai bersangkutan. Jadi pendapat yang disalurkan oleh suatu partai tidak mesti selamanya berasal dari anggota partai tersebut. Partai merupakan sarana atau wadah untuk menyampaikan pendapat, kritikan, dan salah satu bentuk partisipasi rakyat dalam mempengaruhi proses kebijaksanaan umum. Di samping itu, partai juga dapat menentukan pemimpin pemerintahan, partai politik atas nama partainya dapat mengajukan tuntutan, mendukung atau oposisi terhadap pemerintah.66

Sistem kepartaian yang berlaku di negara-negara demokrasi, berbeda antara satu negara dan negara lainnya. Pada setiap negara ada yang menerapkan sistem partai-tunggal (one-party system), sistem dwi-partai (two-party system), dan sistem multi-partai (multi-party system).67

Pertama, sistem partai-tunggal (one-party system). Dalam bentuk ini hanya ada satu partai yang berkuasa mutlak dalam suatu negara. Karena di negara dan dalam masyarakat itu hanya ada satu partai saja dan jumlah anggota partai tersebut hanya sedikit jika dibandingkan dengan seluruh penduduk, maka terdapat diktator

65

A. Ubaeidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 55 66

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 167 67


(38)

minoritas yaitu kekuasaan di tangan golongan kecil. Sebagai contoh partai Nazi di Jerman, partai Pascis di Itali, dan negara-negara komunis.68

Kedua, sistem ini adalah sistem dwi-partai (two-party system) sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat, seperti di Amerika Serikat, ada partai Republik dan Partai Demokrat. Adakalanya, sistem kepartaian di Inggris dan Australia digolongkan sebagai sistem dwi-partai, walaupun sebenarnya terdapat lebih dari dua partai, partai-partai lainnya bisa ikut dalam struktur pemerintahan jika berkoalisi dengan partai-partai besar, yaitu salah satu dari dua partai yang berpengaruh dan banyak pendukungnya.69

Ketiga, sistem multi-partai (multi-party system). Dalam Dewan Perwakilan Rakyat, terdapat banyak partai sebagai pencerminan dari kehendak rakyat. Sesudah pemilihan umum partai yang terbanyak memperoleh kursi di DPR, maka partai tersebut yang memegang pemerintahan. Contoh negara yang menganut sistem ini adalah Indonesia.70

Dengan demikian, partai politik melalui wakil-wakilnya di parlemen berfungsi sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat, idealnya harus benar-benar mendengarkan keluhan dan aspirasi rakyat. Biasanya partai oposisi yang paling gencar melakukan kecaman dan kritikan terhadap kebijakan pemerintah. Namun kenyataan yang ada, tidak sedikit partai politik yang tidak bisa sepenuhnya

68

A. Ubaeidillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 54 69

Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 54 70


(39)

menyalurkan aspirasi rakyat. Apalagi partai-partai yang secara tegas menyatakan koalisi dengan pemerintahan yang berkuasa.71

2. Pers

Istilah "pers" berasal dari Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press, secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publications).72

Dalam perkembangannya, pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam pengertian sempit hanya terbatas pada media massa cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletin kantor berita. Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi, sampai sekarang pers masih dianggap memiliki daya persuasi yang kuat dan berpengaruh besar kepada masyarakat. Kata-kata Napoleon Boneparte, "Aku lebih takut pada empat surat kabar yang terbit di Paris dari pada seratus serdadu dengan senapan bersangkur terhunus", sampai sekarang masih berlaku, pers diperlukan dan juga ditakuti.73

Pandangan cendekiawan Barat pada pers dengan pengaruhnya yang besar itu terlalu berbobot pada kelembagaan formal. Memang pers tidak dipilih melalui

71

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 167 72

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), h. 145

73


(40)

undang-undang seperti lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sebab pers adalah lembaga masyarakat. Karena merupakan lembaga kemasyarakatan, pers mempunyai tanggung jawab sosial (social responsibility). Meskipun pers merupakan lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan yang bertanggung jawab kepada masyarakat, tidak berarti ia tidak mempunyai tanggung jawab nasional (nation responsibility), tanggung jawab terhadap bangsa dan negara. Ini berarti, pers akan membela masyarakat bila pemerintah melakukan tindakan yang merugikan masyarakat. Akan tetapi, bila negara menghadapi bahaya, pers akan membelanya.74

Akan tetapi, bagaimana pun baiknya pemerintahan, tidak dapat dipastikan tidak ada kekurangan atau kesalahan. Oleh karena itu, secara konstitusional ada lembaga legislatif dan yudikatif yang mengawasinya. Dan bagaimana pun telitinya pengawasan yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, belum tentu juga tidak ada yang tidak terawasi. Dalam hubungan inilah pers sebagai wakil masyarakat dengan "kekuasaannya" itu mengawasi tindakan ketiga lembaga tadi dengan memberikan kritikan jika ternyata kebijakannya tidak sesuai atau menyimpang dari konstitusi.75

Indonesia sebagai negara demokrasi, menempatkan pers sebagai alat perjuangan nasional. Sebagaimana tercantum dalam undang-undang No 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Undang-undang tersebut dinyatakan: Pers adalah lembaga kemasyarakatan, alat perjuangan nasional yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa, yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya diperlengkapi atau tidak diperlengkapi

74

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi, h. 147 75


(41)

dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan alat-alat poto, klise, mesin-mesin stencil atau alat-alat tehnik lainnya.76

Definisi pers itu menunjukkan bahwa pers di Indonesia merupakan lembaga kemasyarakatan (social institution), bukan lembaga pemerintah. Mengenai hal ini, dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa "Pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifat konstruktif". Dengan demikian, pers Indonesia harus mempunyai idealisme, pers Indonesia merupakan alat perjuangan nasional, bukan sekedar penjual berita untuk mencari keuntungan finansial.77

Pers di negara-negara demokrasi -termasuk Indonesia- merupakan perusahaan yang mencari keuntunan finansial. Meskipun demikian, dalam upaya mencari finansial itu, pers tidak boleh kehilangan identitasnya sebagai lembaga yang dinamakan pers. Pers tanpa idealisme, dalam arti hanya mengejar keuntungan finansial, merupakan perusahaan semata-mata yang tidak ada bedanya dengan perusahaan teh botol atau perusahaan rokok. Idealisme yang melekat pada pers sebagai lembaga kemasyarakatan ialah melakukan social control dengan menyatakan pendapatnya secara bebas, tetapi sudah tentu dengan perasaan tanggung jawab bila pers itu menganut social responsibility.78

Idealisme yang disandang pers tidak selalu berarti harus menentang pemerintah, apalagi mencari-cari tindakan pemerintah yang negatif untuk kemudian menyebarluaskan kepada masyarakat. Idealisme pada pers berarti juga mendukung

76

Undang-Undang No 21 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. 77

Onong Unchjana Efendy, Dinamika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 65

78


(42)

pemerintah dan menyebarkan kegiatan-kegiatan pemerintah yang positif agar diketahui, dan memotivasikan masyarakat.79

Idealisme yang melekat pada pers dapat dijabarkan dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya, salah satu fungsi pers adalah fungsi mempengaruhi (to influence). Fungsi mempengaruhi inilah yang menyebabkan pers memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana Napoleon pada masa jayanya pernah berkata bahwa ia lebih takut kepada empat surat kabar dari pada seratus serdadu dengan senapan bersangkur terhunus. Sudah tentu surat kabar yang ditakuti ini ialah surat kabar yang independent, yang bebas menyatakan pendapat, kritik, kecaman, bebas melakukan social conrtol, bukan surat kabar yang membawakan "his Masteris voice". Fungsi mempengaruhi dari surat kabar, secara imlisit terdapat pada tajuk rencana dan artikel.80

D. Sejarah Perkembangan Hak-Hak Politik Rakyat

Perjalanan panjang umat manusia di dunia, banyak diwarnai dengan sisi kelam peristiwa-peristiwa yang mengungkapkan keprihatinan. Manusia baik secara individual maupun secara kolegial berjuang mati-matian melawan penindasan, pencampakan, serta perampasan hak-hak asasi manusia dari orang atau kelompok lain. Tindakan mengabaikan dan memandang rendah hak-hak dasar manusia telah menimbulkan kemarahan dalam hati sanubari setiap orang yang berakibat pada

79

Onong Unchjana Efendy, Dinamika Komunikasi, h. 65 80


(43)

timbulnya konflik fisik dan senjata yang berkepanjangan. Secara hisroris, usaha-usaha untuk memecahkan persoalan kemanusiaan telah dirintis sedemikian rupa. Hampir seluruh pemikiran yang telah berkembang menguatkan pendirian akan pentingnya citra manusia, yakni kemerdekaan dan kebebasannya.81

Perjuangan para bangsawan Inggris untuk mendapatkan kembali hak-haknya yang telah dicampakkan oleh kecongkakan kekuasaan raja John (saudara raja Richard berhati singa, seorang pemimpin tentara salib), merupakan salah satu upaya yang dilakukan dengan tujuan membendung kekuasaan raja yang bertindak secara sewenang-wenang. Perjuangan mereka pada akhirnya membuahkan hasil, ditandai dengan lahirnya sebuah Piagam Agung (Magna Charta) sebuah dokumen historis yang berisikan pemberian batasan yang jelas dan tegas terhadap kekuasaan raja yang absolut dan totaliter sehingga hak-hak dasar rakyat tetap terjamin.82

Secara umum, para pakar di Eropa berpendapat bahwa kemunculan hak politik rakyat di kawasan Eropa ditandai dengan munculnya “Perjanjian Agung” (Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215.83 Piagam ini berisikan tentang raja yang pada awalnya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan dapat diminta pertanggung jawabannya di muka hukum.84 Dengan piagam ini maka dipraktekkan ketentuan yang menjelaskan jika raja melanggar

81

Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 50 82

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kompilasi Hak-Hak Asasi Manusia (Jakarta: YLBHI, 1980), h. 4

83

Edward Powell, Kingship, Law and Society; Criminal Justice in the Reign of Henry V

(Oxford: Clarendon Press, 1989), h. 33 84


(44)

hukum, maka ia harus diadili sebagaimana rakyat jelata dan mempertanggung jawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen. Raja terikat oleh aturan hukum dan bertanggung jawab kepada rakyat. Pasal 21 Magna Charta mengatakan, “Earls and barons shall be fined their equal and only in proportion to the measure of the offence” (para Pangeran dan baron akan dihukum (didenda) berdasarkan atas kesamaan dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya).85

Kelahiran Magna Charta kemudian diikuti oleh lahirnya undang-undang hak (The Bill of Rights) di Inggris pada tahun 1628. Gerakan emansipatorik dan revolusi kemanusiaan yang terjadi di Inggris itu kemudian menjadi sumber inspirasi timbulnya gerakan revolusioner di Prancis dan Amerika.86

Pada 4 Agustus tahun 1789, di Prancis dicetuskan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits de I'homme et du Citoyen/Declaration of the Rights of Man and of the Citizen), sebuah deklarasi yang menjamin persamaan hak dan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, egalite (persamaan), fraternite (persaudaraan) dan liberte (kemerdekaan).87 Demikian pula di Amerika pada kurun waktu yang hampir bersamaan disahkan sebuah undang-undang hak (The Bill of Rights) yang kemudian menjadi bagian utama dari Undang-Undang Dasar Amerika pada 6 Juli 1776.88 Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi hak-hak politik rakyat terus menerus

85

Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 51 86

Edward C. Smith, The Constitution of the United States (New York: Barnes, 1966), h. 17 87

Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 52 88


(45)

mengalami perubahan. Franklin D. Roosevelt, presiden Amerika Serikat, pada 06 Januari 1941 memfokuskan empat macam hak asasi manusia yang kemudian dikenal dengan "The four freedoms", yaitu kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat, (Freedom of speech), kebebasan memeluk agama (freedom of religion), kebebasan dari kemiskinan (freedom of want), dan kebebasan dari ketakutan (freedom of fear).89

Rumusan yang dicetuskan oleh Roosevelt tersebut di atas dapat dijabarkan sebagai pembagian hak yang terdiri atas empat bagian, yakni kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya. Serta hak kebebasan dari ketakutan yang meliputi usaha pengurangan persenjataan, sehingga tidak satu pun bangsa (negara) berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap negara lain.90

Dari perkembangan historis di atas, penulis berpendapat bahwa terdapat perbedaan filosofis dari beberapa negara di Barat tentang perkembangan hak-hak dasar dan politik rakyat, baik dari segi nilai maupun orientasi. Di Inggris lebih menekankan pada pembatasan kekuasaan raja, dimana raja tidak dibenarkan berlaku sewenang-wenang, dan rakyat pun dibenarkan untuk mengkritik kebijakan raja yang melanggar undang-undang. Di Amerika Serikat lebih mengutamakan kebebasan individu, dimana setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan untuk

89

M. Lukman Hakim (ed), Deklarasi Islam tentang HAM (Surabaya: Risalah Gusti, 1993), h. 6

90


(46)

hidup dan mendapat kebahagiaan. Sedangkan di Prancis lebih memprioritaskan egalitarianisme persamaan kedudukan di hadapan di hadapan hukum (equality before the law).91

Dimensi baru hak-hak asasi manusia yang dirumuskan oleh D. Roosevelt itu kemudian menjadi inspirasi dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rumusan Universal Declaration of Human Rights 1948. Dimana umat manusia melalui wakil-wakilnya yang tergabung dalam organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sepakat dan bertekat untuk memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis formal terhadap hak-hak asasi serta mensosialisasikannya.92

Dari perspektif kultural dan sosial, pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia dapat dipandang sebagai puncak peradaban umat manusia dan merupakan titik temu antara dunia Timur dan dunia Barat.93 Deklarasi universal tentang hak asasi manusia merupakan salah satu prestasi signifikan yang diraih PBB dalam rentang sejarah berdirinya organisasi ini. Sejak pendeklarasiannya tahun 1948, isu tentang HAM terus hangat dibicarakan sampai sekarang. Dalam deklarasi tersebut, manusia mendapat posisi sentral dimana harkat dan martabat manusia, hak-hak dan kebebasan

91

Ramli Hutabarat, Persamaan di Hadapan Hukum(Equality Before the Law) di Indonesia

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 74 92

Bambang Sutiyo, Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia dalam UNISIA (Yogyakarta, UII Press, 2002), h. 85

93


(47)

politiknya dijunjung tinggi dengan tanpa membedakan suatu bangsa, jenis kelamin, warna kulit, bahasa, agama, atau unsur kedudukan lainnya.94

Upaya pembenahan hak-hak politik rakyat terus dilakukan dari waktu ke waktu. Dalam rangka mencari rumusan yang sesuai dengan konteks zaman. Untuk memberikan jaminan hukum dalam bidang politik, pada 16 Desember 1966 Sidang Umum PBB merumuskan persetujuan (covenant) internasional tentang hak-hak sipil dan politik (Internasional Covenant of Sipil and Political Rights). Dokumen ini merupakan dokumen bagi penyelenggaraan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam bidang politik. Covenan (dokumen persetujuan) ini terdiri atas 53 Pasal yang mengatur tentang hak-hak warga negara di bidang sipil dan politik.95

E. Hak Kritik Rakyat dalam Negara Indonesia

Dalam konteks hak rakyat untuk mengkritik, mengontrol, dan mengawasi jalannya pemerintahan, Indonesia sebagai suatu negara demokrasi telah memberikan jaminan hukum melalui konstitusi. Hal ini sebagai bukti bahwa negara bertanggung jawab atas tegaknya supremasi hukum.96 Bila dikaji baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasan akan ditemukan setidaknya ada 15 (lima belas) prinsip hak asasi dan hak politik warga negara, salah satu hak politik tersebut adalah sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD

94

Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 54 95

Majda al-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 55 96


(48)

1945) Pasal 28E ayat 3 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.97

Dalam undang-undang (Pasal 28E ayat 3) ini tidak ditemukan sebuah pengaturan yang tegas tentang hak rakyat dalam mengkritik pemerintah, undang-undang ini hanya memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengeluarkan pendapat. Akan tetapi, satu hal yang patut mendapat apresiasi positif adalah, bahwa para pendiri bangsa Indonesia telah berhasil memformulasikan sebuah tatanan kehidupan nasional berikut jaminan atas HAM.98

Selanjutnya, sebagai bagian dari hak politik rakyat, pada tanggal 26 Oktober 1998 diberlakukan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.99 (LNRI RI Tahun 1998 No. 181, TLNRI Nomor 3789). UU ini memiliki nilai penting dalam menjamin hak kebebasan berpendapat sebagai hak asasi manusia. Pasal 1 menyatakan, “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” 100

Dengan demikian, negara Indonesia merupakan yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machts-staat).101 Dimana

97

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Hasil Amandemen ke-2) Pasal 28E ayat 3 98

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia

(Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 85 99

UU ini terdiri dari 7 bab dan 20 Pasal 100

UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 1

101


(49)

undang-undang memberikan jaminan terhadap rakyatnya untuk ikut serta dalam penyelenggagaan negara. Rakyat diberikan hak untuk mengkritik pemerintah, apabila kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah tersebut tidak bertujuan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia.102

102

Harun al-Rasyid, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1983), h. 15


(50)

BAB IV

HAK KRITIK RAKYAT DALAM ISLAM

A. Pengertian

Dalam kamus bahasa Arab, secara etimologi, kata hak diambil dari kata haqqa, yahiqqu, haqqan,103 artinya benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Kata kritik disebut dengan kalimat N

,

" dan "

A( '

N yang berarti pertentangan pendapat.104 Sedangkan kata rakyat diambil dari kata ra’iyyah.105 Sedangkan dalam Islam, istilah kebebasan atau hak untuk mengajukan kritik dan memantau kegiatan pemerintah disebut dengan hurriyah al-mu'aradhah, juga dikenal sebagai hurriyyah naqd al-hakim.106

B. Landasan Hukum

Kehidupan masyarakat dalam negara Islam dibangun di atas suatu gagasan kemaslahatan bagi semua anggota masyarakat. Kemaslahatan ini terwujud ketika tidak ada pengekangan, apalagi perampasan hak-hak sosial dan hak-hak individual.107 Ketika kemaslahatan itu terganggu oleh pemerintah berikut aparaturnya, maka muncul kewajiban kolektif (wajib kifayah) untuk melenyapkan pelanggaran tersebut

103

A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir; Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 282

104

A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h. 1452 dan 919 105

A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h. 511 106

Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam (Malaysia: Berita Publishing, 1994), h. 49

107

Ridwan HR, Fiqh Politik; Gagasan, Harapan, dan Kenyataan (Yogyakarta: FH UII PRESS, 2007), h. 38


(51)

yaitu melalui tindakan amar ma'ruf nahi munkar. Dengan kata lain, upaya perbaikan masyarakat menuntut seluruh warga negara untuk bekerja sama bahu membahu memperbaiki dan meningkatkan martabat umat melalui seluruh sarana yang ada.108

Allah telah mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk melakukan kritik kepada penguasa apabila mereka merampas hak-hak rakyat, menyimpang dari hukum-hukum Islam. Dan perintah kepada mereka untuk mengubah para penguasa tersebut bersifat tegas. Dalil-dalil tentang perintah pada kema'rufan serta menolak kemunkaran itu merupakan dalil-dalil yang mewajibkan muhasabah kepada seorang penguasa. Karena dalil-dalil itu bersifat umum yang mencakup penguasa maupun yang lain.109

Dimana Allah telah memerintahkan amar ma'ruf nahi munkar dengan perintah tegas. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104:



!"

#$%

! &'

($ !* +&,$$ -

./0

1

 2!"

34

$% 5 .689:"

'

 *; <= 3" > ?34

$%

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.

Ulama sepakat bahwa amar ma'ruf nahi munkar itu merupakan kewajiban yang diperintahkan Allah melalui redaksi ayat tersebut, khususnya pada kalimat

# +

108

Mohammad Hashim Kamali, Freedom of Expression in Islam, h. 52 109


(52)

yaitu bentuk kata kerja present yang disisipi dengan "harf al-lam al-amr", yang berarti amar ma'ruf nahi munkar ini merupakan sesuatu yang wajib dijalankan dalam kehidupan kolektif.110

Dalam surat Ali Imran ayat 110 Allah berfirman:

A0 B

!.C D

E.F2!C

 $

>

HI3J&'"K

($ !*.4

$$ -

<=

./ "K

1

2!LM034

$%

0

"*K

NO$$ -

"

<P

%

Q;

R>: A(M

$%

S" "

%0 !.C

3/T

5

 3/0

<= 

"34

$%

 *; " UV

W (X:L?

$%

Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Surat al-A'raf ayat 157 Allah berfirman:

Y STO$% <= * 6[

\ 3]^!

$%

_`R

0

$%

aFbAcd$%

e STO$%

fg + 3 (/"h $i- A

*;.

Y

k l

[A

$%

mQn(/oEp$%

*;! &'

($ !*.4

$$

-3/q rs

1

2!LM 34

$%

lQ

h

tu3/"

E: MbnTv

$%

w2b!

h

tu / x > y

.s89: M.z

$% 3{|}

3/0 

*; ~•

|Q: > ~ d$%

`R€T

$%

E +SLB u / x > y 5 <‚ STO$$"&

ƒ% 0

%

„ g -

Hl e 

!…† +

ƒ% * 6 K$%

l l0

$%

‡e STO$%

\2e+

110


(53)

?fg.*

ˆ

.689:"

'

 *;

<= 3" > ?34

$%

Artinya: (yaitu) Orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Surat al-A'raf ayat 157)

Di dalam semua ayat tersebut, Allah telah memerintahkan amar ma'ruf nahi munkar dan Allah menyertai perintah tersebut dengan qarinah (indikasi) yang menunjukkan adanya suatu keharusan (Jazman) dan pujian bagi orang yang melakukannya, dengan firman-Nya "mereka adalah orang-orang yang beruntung". Maka indikasi tersebut merupakan sebuah indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu merupakan perintah yang bersifat tegas, dan itu berarti hukumnya adalah fardu. Sedangkan melakukan kritik terhadap penguasa itu tidak lain hanyalah memerintahkan untuk berbuat ma'ruf sehingga muhasabah tersebut hukumnya fardu.111

Selanjutnya, dalam surat an-Nisa' ayat 148 Allah berfirman:

Š>

h

‹O$%

! /.Œ

$%

• ŠX

$$ - C

R\

"

$% Ž‰

Cu >W3

Artinya: Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (Surat An-Nisa' ayat 148)

111


(1)

36. Bayinat al-Hall al-Islami wa Syubuhat al-Ilmaniyyin wa al-Mustaqhribin (Penjelasan Mengatasi Masalah dengan Cara Islam dan Sangkaan Penganut Sekuler dan Orang Barat), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1988

37. A’da’ al-Hall al-Islami (Musuh-Musuh dalam Penyelesaian Cara Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah 2000

38. Al-Shaykh al-Ghazali Kama Araftuhu Khilala Nisf al-Qarn (Syeikh al-Ghazali Seperti yang Saya Kenal Selama Setengah Abad), Dar al-Wafa, Qahirah,1995 39. Abu Hasan al-Nadwi Kama Araftuh (Abu Hassan al-Nadwi Seperti yang Saya

Kenal), Dar al-Fikr, Beirut, 2001

40. Al-Hayat al-Rabbaniah wa al-‘Ilm (Kehidupan Rabbani dan Ilmu), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1995

41. Al-Niyat wa al-Ikhlas (Niat dan Keikhlasan), Maktabah Wahbah, Qahirah,1995 42. Al-Tawakkal (Bertawakal Kepada Allah), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1995 43. Al-Tawbah ila Allah ( Taubat Kepada Allah), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2000 44. Al-Sahwah al-Islamiah Bayn al-Juhud wa al-Tatarruf (Kebangkitan Islam antara

Penolakan dan Ekstrim), Dar al-Wafa, Qahirah, 1992

45. Al-Sahwah al-Islamiah Bayn al-Ikhtilaf al-Mashru’ wa al-Tafaruq al-Madzmum (Kebangkitan Islam antara Perbedaan Pendapat yang Dibolehkan dan Perpecahan yang Tercela), Dar al-Wafa, Qahirah, 1991

46. Al-Sahwah al-Islamiah wa Humum al-Watan al-Arabi (Kebangkitan Islam dan Keresahan Negara-Negara Arab), Dar al-Sahwah, Qahirah, 1993


(2)

47. Min Ajli Sahwah Rashidah Tujaddid al-Din wa Tanhad bi Dunya (Untuk Mencapai Kebangkitan, yang Membaharui Agama dan Memperbaiki Dunia), Dar al-Wafa, Qahirah,1995

48. Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah fi al-Marhalah al-Qadimah (Keutamaan Gerakan Islam pada Masa Depan), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2001

59. Fi Fiqh al-Aulawiyyat (Fiqih Prioritas), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2000 50. Al-Islam wa al-Ilmaniyyah wajhan li Wajhin (Islam dan Sekularisme

Berhadapan), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1997

51. Ayna al-Khalal (Di Manakah Kesalahannya?), Dar al-Sahwah, Qahirah, 1985 52. Al-Ummah al-Islamiyyah Haqiqatun la Wahm (Umat Islam adalah Suatu Hakikat

dan Bukan Khayalan), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1995

53. Al-Shaqafah al-Islamiyyah Bayn al-Aslah wa al-Mu’ashirah (Pengetahuan Islam antara Ketulenan dan Pembaharuan), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1994

54. Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islam (Non-Muslim dalam Masyarakat Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1992

55. Al-Muslimun wa al-Aulamah (Kaum Muslim dan Globalisasi), Dar al-Tawji’ wa al-Nashr, Qahirah, 2000

56. Al-Islam wa Hadarah al-Ghad (Islam Tamadun Masa Depan), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1995

57. Al-Sahwah al-Islamiah min al-Murahaqah ila al-Rusyd (Kebangkitan Islam dari Transisi kepada Panduan), Dar al-Shuruq, Qahirah, 2000


(3)

59. Al-Marji’yyat al-Ulya fi al-Islam al-Qur’an wa al-Sunnah (Sumber Rujukan Tertinggi dalam Islam ialah al-Qur’an dan al-Sunnah), Muasassah al-Risalah, Beirut, 1993

60. Al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Daw’ Nusus al-Shari’at wa Maqasiduha (Siyasah Syar’iyyah menurut Syariat dan Maksudnya), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2000 61. Kayfa Nata’amal Ma’a al-Turath (Bagaimana Berinteraksi dengan Buku-Buku

Klasik), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2001

62. Al-Iman wa al-Hayat (Iman dan Kehidupan), Maktabah Wahbah, Qahiah, 1990 63. Al-Ibadat fi al-Islam (Ibadat dalam Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1985 64. Al-Khasas’is al-Ammah li al-Islam (Keistimewaan Agama Islam), Maktabah

Wahbah, Qahirah, 1989

65. Madkhal li Ma’rifah al-Islam (Pengantar Mengenali agama Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1996

66. Al-Nass wa al-Haq (Manusia dan Kebenaran), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1993 67. Jail al-Nasr al-Mansyud (Generasi Harapan yang Dinantikan), Maktabah

Wahbah, Qahirah 1998

68. Durus al-Nakbah al-Thaniah (Pengajaran Mengenai Musibah Kedua), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1993

69. Liqaat wa Muhwarat Hawla Qadaya al-Islam wa al-‘Asr (Perbincangan tentang Permasalahan Islam dan Kontemporer), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2001

70. Qadaya Mua’sharah ala Basat al-Bahth (Kajian Mengenai Permasalahan Semasa)


(4)

71. Ri’ayah al-Bai’ah fi Syari’at al-Islam (Memelihara Alam Sekitar Menurut Syariat Islam), Dar al-Shuruq, Qahirah, 2001

72. Nafahat wa Lafahat (Syair), Dar al-Wafa, Qahirah, 2000

73. Al-Muslimun Qadimun (Orang Muslim Maju), Dar al-Wafa, Qahirah, 1998 74. Yusuf al-Sadiq (Nabi Allah Yusuf), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1997

75. Alim wa Taghiyyat (Golongan Ulama dan Golongan Pelampau), Maktabah Wahbah, 1998

76. Al-Din fi ‘Asr al-‘Ilm (Agama dalam Dunia Ilmu Pengetahuan), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1995

77. Al-Islam wa al-Fann (Islam dan Kesenian), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1996 78. Al-Niqab al-Mar’ah (Pemakaian Tudung Bagi Wanita), Maktabah Wahbah

Qahirah, 1996

79. Markaz al-Mar’ah fi al-Hayat al-Islamiah (Kedudukan Wanita dalam Kehidupan Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1996

80. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah (Fatwa-Fatwa tentang Wanita Muslimah), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1996

81. Jarimah al-Riddah (Jinayah Murtad), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1996

82. Al-Aqaliiyyat al-Diniyyat wa Hulli al-Islami (Minoriti Agama dan Penyelesaian Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1996

83. Al-Mubasyirat Bintisar al-Islamiah (Berita Kemenangan Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1996


(5)

84. Mustaqbal Usuliyyah al-Islamiah (Masa Depan Golongan Fanatik Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1997

85. Al-Quds Qadiyah Likulli al-Muslim (Quddus Tanggung Jawab Setiap Muslim), Maktabah Wahbah, 1998

86. Hajat al-Basyariah ila al-Risalah al-Hadariah li Ummatina (Keperluan Manusia Kepada Risalah Ketamadunan kita), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2000

87. Fatawa Min Ajli Palastin (Fatwa-Fatwa tentang Palestina), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2003

88. Zahirah al-Ghulu fi Takfir (Fanatik dalam Mengkafir), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1990

89. Al-Sunnah wa al-Bid’ah (Sunnah dan Bid’ah), Maktabah Wahbah, Qahirah,1999 90. Zawaj al-Maysar, Haqiqat wa Hukm (Perkawinan Maysar Hakikat dan Hukum),

Maktabah Wahbah, 1999

91. Dawabit al-Shar’iyyah Libina’ al-Masajid (Prinsip Syariat dalam Membina Masjid), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1999

92. Mawqif al-Islam al-Aqdi min Kufr al-Yahudi wa al-Nasara (Pendirian Islam terhadp Perjanjian dengan Yahudi dan Nasrani), Maktabah Wahbah, Qahirah, 1999

93. Al-Juwaini Imam al-Haramain (Juwaini Imam Haramain), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2000

94. Al-Istishaq wa al-Tubna fi Shari’at al-Islamiah (Penamaan dalam Syari’at Islam), Maktabah Wahbah, Qahirah, 2001


(6)

95. Umar ibn Abdul Aziz (Umar bin Abdul Aziz), Maktabah Wahbah, 2001

96. Likay Tanjaha Muasassah al-Zakat (Semoga Institusi Zakat Berjaya), Muasassah al-Risalah, Beirut, 1994