Reformasi Sitem Jaminan Sosial Sebagai Upaya Mewujudkan Negara Kesejahteraan (Studi Kasus: Implementasi Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional)

(1)

Proposal Skripsi:

REFORMASI SITEM JAMINAN SOSIAL SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN NEGARA KESEJAHTERAAN

(Studi Kasus: Implementasi Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional)

O L E H

050906067 FX OCTAVIANUS S.

Dosen Pembimbing: Warjio, S.S, MA

Dosen Pembaca : Indra Fauzan, M.Soc. Sc.

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

Penulis : FX Octavianus S.

Judul : Reformasi Sitem Jaminan Sosial Sebagai Upaya Mewujudkan Negara Kesejahteraan (Studi Kasus: Implementasi Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional)

ABSTRAKSI

Berbagai skema perlindungan sosial mulai diterapkan sejak bergulirnya reformasi tahun 1998, namun di dalam perkembangannya bentuk-bentuk perlindungan sosial tersebut dinilai terfragmentasi dan belum mencakup keseluruhan. Selain itu pemerintahan Megawati juga menilai bahwa skema tersebut tidak memperhatikan prinsip kesinambungan, oleh karena itu di tahun 2004 diterbitkan Undang-Undang No. 40 mengenai Sistem Jaminan Sosial dengan tujuan mereformasi sistem jaminan sosial dan mewujudkan negara kesejahteraan. Pergantian pemerintahan menyebabkan implementasi UU SJSN tersebut berada pada tangan pemerintahan berikutnya, baik pemerintahan SBY-JK dan diteruskan dengan pemerintahan SBY-Boediono, dan di era pemerintahan SBY implementasi UU SJSN belum terlaksana namun digantikan oleh berbagai skema perlindungan sosial model baru.

Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan melalui studi pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data, informasi serta segala sesuatu yang relevan dan mendukung penelitian. Selain pemaparan data mengenai bentuk-bentuk perlindungan sosial, sebelum dan sesudah diterbitkannya UU SJSN, peneliti juga berupaya melihat sejauh mana kaitan antara fenomena tersebut dengan evolusi konsep negara kesejahteraan dengan menggunakan pendekatan teoritis dan historis. Adapun tujuan lain dari penelitian ini ialah memberikan alternatif lain dalam melihat fenomena reformasi sistem jaminan sosial tidak hanya berupa alasan-alasan normatif tetapi juga kepentingan politik dan faktor-faktor ideologi yang mempengaruhi paradigma negara kesejahteraan, khususnya dalam hal memberikan jaminan sosial.

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini ialah, reformasi sistem jaminan sosial dilakukan tidak hanya dilakukan sebagai perwujudan negara kesejahteraan tetapi juga ada kepentingan politik dan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan lainnya. Selain itu perubahan sistem jaminan sosial tersebut terkait erat dengan perubahan konsep negara kesejahteraan itu sendiri. Di akhir skripsi ini peneliti juga menambahkan beberapa saran untuk dapat dilihat dan diperhatikan sebelum menentukan model sistem jaminan sosial.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya serta petunjuk sehingga skripsi dengan judul “Reformasi Sistem Jaminan Sosial Sebagai Upaya Mewujudkan Negara Kesejahteraan” dapat diselesaikan.

Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) Departmen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap fenomena reformasi sistem jaminan sosial di Indonesia sejak yang dimulai sejak krisis moneter tahun 1997 dan gelombang reformasi tahun 1998. Ketertarikan peneliti dalam konteks ini adalah untuk mengetahui secara mendalam faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan sistem jaminan sosial tersebut di Indonesia.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna. Oleh karena itu dengan kerendahan hati peneliti menerima saran dan kritikan yang sifatnya membangun intelektualitas dan meningkatkan kualitas skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan kalangan akademis.

Pada kesempatan ini tidak lupa peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang Tua peneliti, Ayahanda J. Sitohang dan Ibunda E. Sidabalok yang merupakan sumber inspirasi dan motivasi melalui perhatian, kasih sayang, nasehat, dan dukungan moril serta materi dan atas doa mereka yang selalu meyertai anak-anaknya. Kiranya dengan keberhasilan saya menyelesaikan studi dan menyandang gelar Sarjana Sosial dapat menjadi pelengkap kebahagiaan dan harapan baru bagi keluarga. Hanya doa pada Tuhan agar kiranya Dia selalu menyertai kedua orang tua peneliti yang bisa diberikan karena ucapan terima kasih dan balas budi tidak akan pernah cukup untuk membalasnya. Demikian juga kepada ketiga kakak saya, Kak Umiko Sitohang, Kak Rosary Sitohang, Kak Riris Sitohang dan Abang saya Samuel Sitohang saya ucapkan banyak terima kasih atas dukungan dan doanya, kiranya Tuhan menyertai keluarga ini dengan memberikan sukacita dan damai di tengah-tengah


(4)

kita. Begitu pula dengan keluarga besar dari Ayah dan dari Ibu, yang tak mungkin semuanya disebutkan satu persatu.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, saya banyak memperoleh bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Dengan kerendahan hati, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak, prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak, Drs. Heri Kusmanto, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak, Warjio, SS. MA selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan banyak saran selama penulisan skripsi ini. 4. Bapak, Indra Fauzan, S.H.I.,M.Soc.Sc selaku Dosen Pembaca yang

telah memberikan arahan dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen FISIP-USU khususnya yang mengajar pada

departemen Ilmu Politik atas bekal ilmu yang tak ternilai harganya selama kuliah.

6. Kepada Staf Pegawai FISIP-USU yang telah banyak memberikan bantuan kepada saya semasa kuliah sampai selesai.

7. Khususnya kepada sahabat-sahabat saya yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini dengan menjadi teman diskusi diskusi dan begitu pula sahabat-sahabat yang telah banyak membantu dimasa perkuliahan, kepada semua teman-teman ilmu politik angkatan 2005 terima kasih atas dukungan, doa dan kerjasamanya.

Penulis dengan segala kerendahan hati yang tulus berharap skripsi saya ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pihak-pihak yang bersangkutan.

Medan, Juli 2010 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………. ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR SINGKATAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah………. ... 1

2. Perumusan Masalah……….... ... 13

3. Pembatasan Masalah………... ... 14

4. Tujuan Penelitian………... 14

5. Manfaat Penelitian………... 15

6. Kerangka Dasar Pemikiran ... 15

6.1. Teori Negara ... 16

6.1.1. Teori Negara Kesejahteraan ... 18

6.2. Perlindungan Sosial ... 21

6.2.1. Jaminan Sosial ... 25

6.3. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial ... 26

7. Metodologi Penelitian... ... 30

7.1. Jenis Penelitian... ... 30

7.2. Teknik Pengumpulan Data... ... 31

7.3. Teknik Analisa Data ... 31

8. Sistematika Penulisan... ... 31

BAB II PENYAJIAN DATA 1. Bentuk-Bentuk Perlindungan Sosial di Indonesia……….34

1.1. Jaminan Kesehatan………... 34

1.1.a. JPK-Gakin……….. 35

1.1.b. JPKM………. 36

1.2. Jaminan Kesejahteraan Sosial ………37

1.2.a. BKS………37

1.2.b. ASKESOS………..39

1.3. Perlindungan Sosial Bagi Tenaga Kerja……….39

1.3.a. JAMSOSTEK……….40

1.3.b. ASABRI……….41

1.3.c. TASPEN……… 42

1.3.d. ASKES……….. 44

1.4. Perlindungan Sosial Bagi Masyarakat Rentan……….. 45

1.4.a. Jaring Perlindungan Sosial………. 45

1.4.b. Bantuan Sosial……… 49

1.4.c. Pemberdayaan Masyarakat……… 51

2. Reformasi Sistem Jaminan Sosial Melalui UU SJSN……… 52

2.1. Tiga Pilar Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional………… 55


(6)

2.3. Prinsip-Prinsip dalam SJSN……….. 58

2.4. Program dan Cakupan SJSN……… 61

3. Implementasi SJSN dan Perubahan yang Terjadi……… 65

3.1. Program Asuransi Sosial……… 66

3.1.a. ASKESKIN……….. 66

3.1.b. ASKESOS……… 68

3.2. Program Bantuan Sosial……… 70

3.2.a. Bantuan Langsung Tunai……….. 70

3.2.b. Bantuan Operasional Sekolah……… 70

3.2.c. Bantuan Beras Bersubsidi……….. 70

3.2.d. Program Keluarga Harapan………70

3.2.e. PNPM……… 70

3.2.f. KUR……….. 70

BAB III ANALISA DATA 1. Menjelaskan Perdebatan……… 72

1.1. Pendekatan Teoritis……… 72

1.1.a. Pendekatan Fungsional..……… 73

1.1.b. Pendekatan Konflik……… 75

1.2. Evolusi Konsep Negara Kesejahteraan………. 78

1.2.a. Fase Pertama……….. 79

1.2.b. Fase Kedua………. 87

2. Kepentingan Politik Dalam Reformasi SJSN……… 102

2.1. Masa Pemerintahan Megawati………... 104

2.1.a Berlimpahnya Bantuan Asing……… 104

2.1.b. Efisiensi Anggaran………. 106

2.1.c. Menggalang Dana Cadangan Negara………. 107

2.1.d. Menekan Laju Inflasi………. 108

2.1.e. Mengisi Kekosongan Segmen Asuransi……… 110

2.2. Masa Pemerintahan SBY……….. 111

2.2.a. Meniru Model Amerika………. 111

2.2.b. Melapangkan Jalan Neoliberalisme………... 113

2.2.c. Mengembalikan Kekuatan Sentralistik……….. 114

2.2.d. Kepentingan Perusahaan Farmasi……….. 115

2.2.e. Meninggalkan Model Negara Kesejahteraan………. 118

BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan………... 121

2. Saran……….. 122


(7)

DAFTAR SINGKATAN

ASKES Asuransi Kesehatan

ASKESKIN Asuransi Kesehatan Warga Miskin ASKESOS Asuransi Kesejahteraan Sosial

ASABRI Asuransi ABRI

BKS Bantuan Kesejahteraan Sosial

BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial DJSN Dewan Jaminan Sosial Nasional JAMKESMAS Jaminan Kesehatan Masyarakat JAMSOSTEK Jaminan sosial tenaga kerja JKS Jaminan Kesejahteran Sosial JPK Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

JPKM Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat JPS Jaring Pengaman Sosial

KUBE Kelompok Usaha Bersama

PPK Pemberi Pelayanana Kesehatan

PMKS Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial TASPEN Tabungan Pensiun


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Indonesia telah banyak mengalami kemajuan dan perubahan di berbagai bidang sejak reformasi digulirkan dan melengserkan pemerintah otoriter yang berkuasa pada massa itu. Kemajuan di bidang ekonomi mulai merangkak naik menunjukkan peningkatan sejak dilanda krisis moneter pada tahun 1997 dan di penghujung tahun 2009 kekuatan ekonomi Indonesia terbukti mampu bertahan dari gelombang krisis global. Tetapi dampak yang diakibatkan krisis moneter di tahun 1997 demikian hebatnya, hingga tercatat jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah penduduk. Data yang dirilis oleh International Labour Organization (ILO) ini belum termasuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang jumlahnya lebih dari 21 juta orang.1

Tekanan dari berbagai elemen masyarakat seperti serikat pekerja maupun LSM serta pengalaman pahit di massa lalu seputar pelanggaran HAM telah mendorong negara menjadi lebih manusiawi dan mengakui Hak-Hak Asasi Manusia. Di tahun 1998 MPR meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) melalui TAP MPR NO XVII/MPR/1998. Terjadi perubahan besar pada paradigma pemerintah dalam memandang kesejahteraan, bila pada

1

PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukupp untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan ini mengalami pula keterlantaran psikologis, sosial dan politik.


(9)

massa sebelumnya pemerintah hanya terfokus pada pembangunan negara (state centered) dan orientasinya adalah pertumbuhan ekonomi akan dengan sendirinya memberikan kesejahteraan bagi setiap orang dan pada gilirannya standar hidup yang layak mampu diupayakan setiap orang, sedangkan pemerintahan paska reformasi lebih percaya bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan tercapai bila negara menjamin Hak-Hak atas standar hidup yang layak setiap warganya terpenuhi.

Di dalam Pasal 22 DUHAM tersebut disebutkan tentang kesadaran akan pentingnya perlindungan sosial dan di dalam Pasal 25 disebutkan: “Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan negara guna menjamin warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.”2

Dalam upaya menyesuaikan dengan DUHAM tersebut maka dalam amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945,

Dengan meratifikasi kovenan tersebut maka negara berkewajiban untuk mengupayakan semaksimal mungkin untuk memenuhi Hak warga negaranya dan langkah pertama yang diambil oleh pemerintah adalah mengamandemen UUD 1945 agar sejalan dengan prinsip DUHAM tersebut.

3

2

Adnan Buyung Nasution, Instrumen internasional pokok hak-hak asasi manusia, BAB 22: Hak Atas Jaminan Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997, Mengutip pengertian Jaminan Sosial dalam Deklarasi PBB.

3

Perodisasi konstitusi di indonesia adalah sebagai berikut: 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1945 berlaku UUD 1945 yang disusun oleh PPKI; 28 Desember 1945 sampai 17 Agustus 1950 berlaku UUD RIS; 18 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 berlaku UUD Sementara yang memuat semua pasal tentang HAM; sejak 5 Juli 1959 sampai sekarang kembali ke UUD 1945 yang kemudian empat kali diamandemen: 14-21 Oktober 1999, perubahan pertama; 7-18 Agustus 2000, perubahan kedua; 1-9 November 2001 perubahan ketiga; 1-11 Agustus 2002 perubahan keempat. Pasal-pasal tentang HAM dimasukkan dalam perubahan kedua.

beberapa pasal mengalami perubahan dan penambahan mengenai sistem jaminan sosial dengan tujuan mereformasi dan memperluas cakupan sistem jaminan sosial yang sudah ada agar


(10)

manfaatnya dapat diterima oleh setiap warga negara tak terkecuali warga negara yang tidak mampu, antara lain:

• Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya Tahun 2002, Pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”

• Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya Tahun 2002, Pasal 28H ayat (3), “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” • Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya Tahun 2002, pasal 4 ayat

(1) “ Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” • Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya Tahun 2002, pasal 34

ayat (2) “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”

Di samping itu, Ketetapan MPR No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 juga menugaskan kepada Presiden untuk membentuk sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu.

Hal tersebut dinilai perlu, karena pada massa itu kemajuan dibidang ekonomi tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi semua orang, yang ada justru ketimpangan yang semakin signifikan karena kemajuan ekonomi tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang. Semakin banyaknya warga miskin yang


(11)

tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya menunjukkan belum adanya suatu mekanisme distribusi kesejahteraan yang lebih adil. Pengalaman di negara-negara kesejahteraan menunjukkan bahwa tersedianya sistem jaminan sosial yang baik mampu mencegah kemiskinan dan mendistribusikan kesejahteraan lebih merata.

Pengertian jaminan sosial sangat beragam. Dilihat dari pendekatan asuransi sosial, maka berarti jaminan sosial sebagai teknik atau metoda penanganan resiko hubungan industrial yang berbasis pada hukum bilangan besar (law of large number), dari sisi bantuan sosial, maka jaminan sosial berarti sebuah dukungan pendapatan bagi komunitas kurang beruntung untuk mendapatkan konsumsi.4

Perubahan tersebut dapat dicermati dari defenisi jaminan sosial yang dikeluarkan oleh ILO: “ Jaminan sosial adalah perlindungan yang diberikan oleh masyrakat untuk masyarakat melalui seperangkat kebijaksanaan publik terhadap tekanan ekonomi sosial bahwa jika tidak diadakan sistem jaminan sosial akan menimbulkan hilangnya sebagian pendapatan sebagai akibat sakit, persalinan, kecelakaan kerja, sementara tidak bekerja, cacat, hari tua dan kematian dini, perawatan medis termasuk pemberian subsidi bagi anggota keluarga yang

Pengertian jaminan sosial telah banyak mengalami perubahan, hal ini tak lain dipengaruhi oleh desakan untuk meminimalisir peranan pemerintah dan doktrin pasar bebas serta ketidak-mampuan APBN suatu negara untuk menanggung beban biaya yang sangat besar dalam memberikan jaminan sosial bagi rakyatnya.

4

Bambang Purwoko, Jaminan Sosial dan Sistem Penyelenggaraannya : Pandangan & Gagasan, Jakarta: Meganet Dutatama, 1999, hal. 28


(12)

membutuhkan.”5

1. Bantuan sosial (social assistance), Sistem ini didanai dari sumber pajak oleh negara atau sumbangan dari pihak yang mempunyai status ekonomi yang kuat.

Untuk membentuk sistem jaminan sosial semacam itu Bank Dunia merekomendasikan pendekatan tiga pilar (Three Pilars of Social Security World Bank), yang meliputi:

2. Asuransi sosial (social insurance), Setiap orang diwajibkan menabung untuk dirinya sendiri (provident fund) sebagaimana dilaksanakan dalam Jaminan Hari Tua Jamsostek atau sebagian jaminan pensiun Taspen. 3. Jaminan sosial sukarela (voluntary), Dimana setiap orang

mengiur/berkuntribusi atau membayar premi yang sifatnya wajib. Bisa juga premi/iuran dibayarkan oleh pihak lain atau oleh pemerintah, bagi mereka yang miskin.6

Ketiga pilar jaminan sosial itu menjadi dasar untuk membangun sistem penyediaan dana pensiun yang mana di dalam pengelolaannya dana tersebut harus bersifat non-profit (nirlaba).

Terlepas dari apakah jaminan sosial sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara terhadap warganya (vertikal) atau memang merupakan perlindungan dari masyarakat untuk masyarakat (horizontal), fungsi dari jaminan sosial mencakup tiga aspek, yakni:

5

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Perlindungan sosial bagi semua, Jilid 9 dari Seri rekomendasi kebijakan kerja layak dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia, Jakarta: ILO, 2004, hal. 14.

6

Pendekatan Tiga Pilar Jaminan Sosial direkomendasikan oleh Bank Dunia dan International Labour Organization (ILO) dan telah dikuatkan oleh Trade Union Rights Centre (TURC)


(13)

Aspek hukum jaminan sosial berkaitan dengan tanggung jawab negara untuk

melaksanakan Amanat Pasal 5 (2), Pasal 20, Pasal 28H (1), (2), (3), dan Pasal 34 (1) dan (2) UUD 1945: yaitu sistem perlindungan dasar bagi masyarakat terhadap risiko risiko sosial ekonomi.

Aspek ekonomi jaminan sosial terkait dengan redistribusi pendapatan melalui

mekanisme kepesertaan wajib dan implementasi uji kebutuhan untuk keadilan. sistem jaminan sosial diperlukan untuk ketahanan negara dan sekaligus peningkatan daya beli masyarakat agar terwujud keamanan ekonomi dalam jangka panjang.

Aspek politik jaminan sosial merupakan keinginan politik dari pemerintah

dalam upaya memberikan kesejahteraan yang seluas-luasnya bagi warga negaranya yang merupakan tujuan dibentuknya negara tersebut (welfare state).

Dari ketiga aspek tersebut terlihat bahwa di Indonesia jaminan sosial menjadi sangat penting dan berpengaruh terhadap eksistensi negara. Bila dari aspek hukum hal tersebut merupakan tanggung jawab negara yang diatur oleh konstitusi dan dalam aspek ekonomi hal tersebut diperlukan untuk stabilitas ekonomi dan sebagai upaya mendistribusikan kesejahteraan secara lebih merata, maka dari aspek politik hal tersebut merupakan tujuan dari dibentukknya negara, hal ini terkait dengan teori Negara kesejahteraan atau welfare state yang dianut oleh Indonesia.7

7

Lihat pembukaan UUD 1945 dan sila kelima dari pancasila, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ini berarti negara bertujuan untuk memberikan keadilan yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyatnya.

Maka akan semakin tampak jelas bahwa upaya untuk menjamin standar hidup yang layak bagi warga negara menempatkan Negara sebagai aktor yang bertanggung jawab.


(14)

Dengan kata lain suatu negara kesejaheraan harus mempunyai komitmen kuat untuk memberikan kesejahteraan bagi warganya yang mana salah satunya melalui pemberian sistem jaminan sosial. Namun yang menjadi pertanyaan ialah apakah Indonesia masih menganut sistem welfare state, ditengah gempuran kapitalisme dan doktrin Neoliberalisme banyak negar-negara kesejahteraan mempertanyakan kembali makna kesejahteraan komunal dan pemerataan. Kesuksesan kapitalisme telah mengubah paradigma berpikir sebagian besar manusia dan negara-negara yang awalnya menganut sistem welfare state, untuk menjadi lebih percaya kepada fundamentaslime pasar dan persaingan individu untuk mengupayakan kesejahteraannya masing-masing.

Di Indonesia memang telah lama beroperasi program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh beberapa badan usaha milik negara yaitu PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, PT Asabri, Bapel JPKM dan berbagai program-program jaminan sosial mikro. Badan-badan penyelenggara tersebut beroperasi secara parsial masing-masing berlandaskan Undang-undang atau peraturan-peraturan yang terpisah, tumpang tindih, tidak konsisten, dan kurang tegas. Sementara itu, diketahui bahwa manfaat yang diterima peserta masih terbatas sehingga peserta tidak terlindungi secara optimal. Pengelolaan lembaga dianggap belum transparan dan dengan manajemen yang profesionalitasnya masih perlu ditingkatkan.8

Sistem jaminan sosial yang sudah ada sejak jaman Orde baru tersebut cakupannya masih relatif rendah dan terbatas pada pekerja sektor formal. Bila pegawai negeri sipil diatur pemerintah melalui taspen maka angkatan

8

hal. 73


(15)

bersenjata diatur melalui PT Asabri, sedangkan di sektor swasta sistem jaminan sosial diatur dengan pendekatan skema asuransi yang mewajibkan pekerja formal untuk mengikuti program Jamsostek pada aspek jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua, pensiun dan kematian. Sedangkan bagi tenaga kerja informal dan masyarakat miskin belum tercantum.

Melihat fenomena demikian dan berpegang pada UUD 1945 yang telah direvisi serta mendapat dukungan dari MPR maka pemerintah berniat untuk melakukan reformasi sistem jaminan sosial nasional. Niat tersebut ditunjukkan dengan penerbitan Kepres RI No.20 Thn. 2002 Tentang Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kepres yang diterbitkan oleh Presiden Megawati ini sebenarnya bukan yang pertama kali, melainkan memperbaharui Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret sebelumnya yang ia terbitkan saat ia masih menjabat sebagai wakil presiden.

Tim SJSN memulainya dengan membuat Naskah Akademik (NA) SJSN yang kemudian di tuangkan kedalam RUU SJSN untuk diserahkan kepada pemerintah. Periode ini menghabiskan banyak waktu karena berulang kali terjadi revisi, baru pada 26 Januari 2004 pemerintah menyerahkan RUU SJSN tersbut pada pansus SJSN di DPR RI. Setelah mengalami beberapa kali revisi akhirnya pada 19 Oktober Tahun 2004 RUU tersebut disahkan menjadi UU No. 40 tentang SJSN sesaat sebelum Presiden Megawati mengakhiri massa jabatannya.

Namun Undang-Undang SJSN bukanlah merupakan tujuan akhir melainkan sebuah permulaan, ia tidak dapat berdiri sendiri tetapi masih membutuhkan 11 (sebelas) Peraturan Pemerintah dan 10 (sepuluh) Peraturan


(16)

Presiden. Selain itu pasal 52 ayat (3) Undang-Undang No.40 tentang SJSN menyatakan bahwa semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang ada saat ini; PT. JAMSOSTEK, PT. TASPEN, PT. ASABRI dan PT. ASKES perlu disesuaikan paling lambat 19 Oktober 2009 terutama mengenai badan hukum dengan prinsip nirlaba. Dan untuk pembentukan BPJS harus berdasarkan pada undang-undang, oleh karena itu pemerintah juga harus menerbitkan UU BPJS terlebih dahulu.

Kewajiban dan amanah tersebut diteruskan kepada pemerintahan SBY-JK sebagai presiden terpilih di tahun 2004, lalu di tahun 2009 SBY terpilih kembali sebagai presiden masa jabatan hingga 2010. Oleh karena itu SBY memiliki cukup waktu untuk mengimplementasikan UU SJSN tersebut, namun kenyataan di lapangan menunjukkan hingga kini pelaksanaan SJSN masih tampak stagnan karena pemerintah tidak meneruskan, tidak menolak, tidak merevisi, dan tidak menerapkan. Padahal oktober 2009 lalu merupakan batas waktu penyesuaian BPJS dan pemerintah seharusnya sudah menerbitkan UU BPJS. Respon pemerintah yang terkesan lambat dalam menyelengarakan SJSN dan membuat Undang-Undang BPJS bertolak belakang dengan respon yang sangat tanggap dalam melakukan bail-out terhadap kegagalan Bank Century maupun dalam upaya mengkonversi penggunaan minyak tanah ke LPG. Tidak hanya itu saja, respon yang sangat cepat dan terkesan terburu-buru dalam liberalisasi pasar melalui program ACFTA juga bertolak belakang dengan SJSN, dimana seharusnya sebelum pemerintah membuka pasar seluas-luasnya diperlukan pertahanan lebih kokoh dibidang jaminan sosial apalagi diantara negara-negara


(17)

yang tergabung dalam ACFTA hanya Indonesia saja yang belum memiliki sistem jaminan sosial.

Pada massa pemerintahan SBY-JK memang bisa ditemui berbagai program pemerintah yang berorientasi jaminan sosial sebagai upaya untuk mensubstitusi peranan SJSN, seperti Kementerian Sosial dengan Asuransi Sosial, Kementerian Kesehatan dengan Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun bentuk-bentuk perlindungan sosial semacam itu sifatnya parsial dan temporer, sama saja halnya dengan masa-masa awal reformasi dimana berbagai bentuk perlindungan sosial justru tidak efektif dan tidak efisien. dan upaya untuk mereformasi sistem jaminan sosial melalui UU SJSN sejak tahun 2001 hingga tahun 2004 dimentahkan kembali, karena berbagai terobosan perlindungan sosial tersebut membebankan pembiayaannya pada APBN.

Program perlindungan sosial di era pemerintahan SBY yang dipayungi oleh Keputusan Menteri tentu tidak mempunyai ketetapan hukum yang lebih kuat bila dibandingkan dengan SJSN yang dipayungi oleh undang-undang, sudah sepantasnya UU SJSN yang telah disahkan tersebut digunakan sebagai dasar dalam mengeluarkan Keputusan Menteri. Namun alasan yang digunakan pada masa itu ialah, UU SJSN masih membutuhkan pembentukan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta beberapa Peraturan Pemerintah, sedangkan kebutuhan masyarakat akan perlindungan sosial sangat mendesak dan tidak bisa di tunda-tunda. Memang ada benarnya, bila program tersebut dilakukan selagi pemerintah berupaya mempersiapkan implementasi UU SJSN, namun seperti yang dikatakan


(18)

sebelumnya implementasi SJSN terkesan sangat lambat karena pemerintah lebih fokus pada program barunya, hingga tahun 2010 pemerintahan SBY baru hanya membentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tetapi belum membentuk Undang-Undang Badang Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) dan 11 (sebelas) Peraturan Pemerintah serta 10 (sepuluh) Peraturan Presiden terkait dengan UU SJSN tersebut.

Apapun itu berbagai betuk perlindungan sosial yang sifatnya diberikan secara cuma-cuma sebagai hak setiap orang, seperti bantuan sosial, program keluarga harapan, jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan beras bersubsidi, pember- dayaan masyarakat mandiri, serta penyaluran kredit usaha rakyat (KUR), meskipun dampak negatifnya sangat membebani APBN, namun dampak positifnya telah merebut simpati masyarakat luas dan menimbulkan kepercayaan terhadap pemerintahan SBY, dan SBY kembali terpilih pada pemilu tahun 2009 .

Benarkah langkah tersebut hanya terkait dengan kepentingan pemilu semata? Karena respon pemerintah yang lambat dan terkesan mengulur-ulur waktu, seperti tanggapan Wakil Presiden Boediono beberapa waktu lalu: “sistem jaminan sosial untuk seluruh rakyat dapat terwujud asalkan dilakukan dengan perhitungan yang jelas. Pemerintah tidak perlu menargetkan tanggalnya, namun mulai tahun 2010 pemerintah akan mempersiapkan sistem untuk mencapai SJSN secepat mungkin.”9

9

Harian Kompas, Menagih Sistem Jaminan Sosial nasional, 1 Mei 2010

Tidak hanya itu, kuat dugaan bahwa SBY, akan membebankan tugas tersebut pada pemerintahan sesudahnya, dimana pada pemilu 2014 SBY tidak mungkin mencalonkan dirinya karena konstitusi


(19)

membatasi masa jabatan maksimal dua kali. Sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono : “pemerintah sedang mengupayakan pelaksanaan SJSN dengan semaksimal mungkin dan optimis penyelenggaraan SJSN tahap pertama yakni jaminan kesehatan akan mencakup keseluruhan di tahun 2014.10

Dengan demikian UU SJSN akan merusak keseimbangan tersebut karena memperoleh haknya tetapi mengalihkan kewajibannya kepada masyarakat khususnya pekerja dan pemberi kerja. Bila memang benar demikian, sudah sepantasnya pemerintahan SBY berinisiatif untuk menolak atau merevisi UU SJSN. Namun seperti yang sudah dikatakan di awal, tidak hanya Indonesia bahkan sebagian besar negara-negara yang menganut model kesejahteraan, telah merefomasi sistem jaminan sosialnya dan melibatkan pembiayaan dari tripartit (negara, pasar dan masyarakat), agar setiap orang memiliki tanggung jawab atas dirinya dan negara terhindar dari kebangkrutan. Sejarah telah membuktikan bahwa negara-negara dengan kapitalisme industri paling maju seperti Inggris dan

Atau langkah tersebut sengaja diambil karena pemerintahan SBY merasa mempunyai tugas mulia untuk mengembalikan fungsi negara kesejahteraan kepada bentuk semula, karena memang bila dasarnya diletakkan pada DUHAM, maka Jaminan Sosial adalah Hak setiap orang yang diberikan oleh negara, seperti yang tercatat berikut ini;

“Setiap negara ber-Hak untuk memperoleh dan mengumpulkan pajak, dan oleh karena itu negara juga ber-Kewajiban untuk memberikan apa yang menjadi Hak setiap orang, dengan demikian terjadi keseimbangan dalam prinsip Hak dan Kewajiban.”

10


(20)

Jerman sekalipun, tidak mampu membiayai belanja publik sepenuhnya tanpa melibatkan masyarakat dan pasar.

Disinilah yang menjadi letak permasalahannya, seringkali perubahan kepemimpinan diikuti oleh perubahan kebijakan, dampaknya ialah fungsi pemerintahan menjadi kurang efektif, namun hal tersebut bisa dipahami karena terdapat perbedaan pandangan dan perbedaan kepentingan politik dari tiap-tiap pemerintahan. Itu sebabnya sejak era Orde Lama, Orde Baru, Reformasi dan hingga era pemerintahan SBY seperti sekarang ini, Jaminan Sosial dan konsep negara kesejahteraan selalu mengalami perubahan intervensi negara di dalamnya, terkait dengan kondisi sosial-politik dan paradigma yang selalu berubah-ubah pula. Berangkat dari permasalahan tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; Pertama, bagaimana bentuk perlindungan sosial yang ada di Indonesia dan perubahan apa yang terjadi setelah reformasi jaminan sosial (UU SJSN). Kedua, apa yang menjadi kepentingan politik atau pertimbangan pemerintah dalam menentukan model jaminan sosial bagi rakyatnya.

2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari jalan pemecahannya. Atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan


(21)

pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah dan pembatasan masalah.11

1. Bagaimana kondisi jaminan sosial yang ada di indonesia saat ini?

Berangkat dari latarbelakang masalah, peneliti mencoba untuk merumuskan masalah yang hendak di teliti yaitu:

2. Apa yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan model jaminan sosial pada masa pemerintahannya?

3. Pembatasan Masalah

Untuk memperjelas dan mempertegas serta membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraian yang sistematis maka diperlukan adanya batasan masalah. Penenelitian ini membatasi masalah yang dibahas hanya pada hal berikut :

1. Penelitian ini akan melihat bagaimana kondisi jaminan sosial yang ada di Indonesia sebelum maupun sesudah UU SJSN dikeluarkan

2. Penelitian ini juga akan menganalisis apa saja pertimbangan pemerintah dalam menetukan model jaminan sosial.

4. Tujuan Penelitian

Ada pun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana kondisi jaminan sosial yang ada di Indonesia mengingat betapa pentingnya jaminan sosial untuk eksistensi suatu negara

11


(22)

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan model jaminan sosial.

5. Manfaat Penelitian

Layaknya penelitian ilmiah tentunya penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat baik bagi penulis maupun orang lain yang membaca laporan penelitian ini. Berikut adalah manfaat yang ingin dicapai dalam penlitian ini :

1. Secara akademis, penelitian ini untuk memperkaya penelitan ilmiah dibidang sistem jaminan sosial yang ada di Indonesia dan di beberapa negara lainnya.

2. Bagi penulis sendiri penelitian ini untuk mengembangkan kemampuan dalam menulis karya ilmiah khususnya dalam bidang jaminan sosial dan mengasah kemampuan penulis untuk menganalisis kepentingan politik suatu kebijakan.

6. Kerangka Dasar Pemikiran

Kerangka dasar pemikiran didalam penulisan mengacu kepada teori-teori yang berkaitan. Teori menjadi landasan berpikir yang akan mempermudah penulis menggambarkan apa yang sedang diteliti. Teori bisa berupa rangkaian asumsi, konsep, kontruksi, defenisi, dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Menurut Kerlinger, teori adalah sebuat konsep atau Construct yang berhubungan satu dengan yang lainnya, suatu set dari proposisi yang


(23)

mengandung suatu pandangan yang sistematis dan fenomenat.12

6.1. Teori Negara

Penggunaan teori menjadi penting dalam mengamati suatu masalah atau fenomena yang terjadi agar supaya pemaparan suatu permasalahan tersebut lebih sistematis. Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ada dua pembedaan fungsi dan tujuan negara, yakni fungsi dan tujuan negara klasik dan fungsi dan tujuan negara modern. Fungsi dan tujuan negara klasik ialah hanya memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat, negara hanya merupakan negara penjaga malam (nacht wakerstaat). Sedangkan fungsi dan tujuan negara yang modern adalah di samping berfungsi pemeliharaan ketertiban dan keamanan, negara juga berfungsi dan bertujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi seluruh warganya dalam arti seluas-luasnya, jasmaniah, rohaniah, di lapangan ekonomi, sosial, kultural, dan lain-lain.13

Proses terbentuknya negara klasik diasumsikan lahir karena sifat dasar manusia itu terkesan egois, sedangkan sifat keramahan, cinta, simpati kebaikan, semangat kerja sama dan berkorban tidaklah terdapat dalam unsur-unsur utama dari sifat dasar. Pada Dasarnya kelakuan manusia itu ditentukan oleh nafsu untuk mendapat kesenangan dan menjauhi kesakitan. Manusia maju beraktifitas tidak didasari oleh intelektual atau pertimbangan akal yang sehat, akan tetapi didasari

12

M. Arif Nasution, Metode Penelitian, Medan: FISIP USU Press, 2008, hal. 76.

13

J. Barent, Ilmu Politik , terjemahan dari De Wetenschap Der Politiek, Jakarta: PT. Pembangunan, 1965, hal. 15.


(24)

oleh nafsu yang besar.14

Berbeda halnya dengan Negara modern mengacu kepada teori kontrak yang banyak dipengaruhi oleh kaum Ulitarianisme seperti John Locke dan Rosseau. Dalam teori kontrak sosial disebutkan bahwa setiap warga membuat ‘persekutuan’ untuk melahirkan sebuah negara. Persekutuan adalah ketika orang menyerahkan kebebasannya untuk bergabung dalam suatu badan politik. Ini berarti bahwa kebebasan yang telah diserahkan akan dipertahankan dan dilindungi oleh negara. Negara tidak akan pernah bisa memiliki hak untuk menghancurkan, memperbudak atau secara sengaja memiskinkan warganya. Jika itu yang terjadi, maka warga negara berhak melakukan revolusi, menghancurkan persekutuan tersebut dan melakukan negosiasi ulang.

Karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasratnya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, itu sebabnya negara diperlukan untuk membatasi sifat dasar manusia itu dan bertidak demi memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat melalui hukum.

15

Karena itu, proses pembangunan sebagai sebuah upaya untuk memperbaiki kualitas hidup warga harus senantiasa di orientasikan pada penghormatan atas hak-hak dasar kemanusiaan. John Locke dapat dianggap sebagai pemikir pertama yang mengedepankan prinsip bahwa dalam merumuskan berbagai kebijakan, pemerintah harus melalui persetujuan rakyat dan komitmen negara haruslah dalam rangka melindungi kebebasan. “Manusia pada hakekatnya

14

Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Dikutip dari Thomas Hobbes, Leviathan, 1651.

15

S.P. Varma, Teori Politik Modern, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001, hal. 142-143. Dikutip dari Rosseau, Confessions, 2000


(25)

bebas, sama, dan independen. Tak seorang pun dapat dikeluarkan dari keadaan ini dan tunduk kepada kekuasaan politik dari orang lain tanpa persetujuannya. Satu-satunya cara, seseorang menyerahkan kebebasan alamiahnya dalam persekutuan masyarakat/warga negara adalah bersepakat dengan orang lain untuk bergabung dan bersatu dalam suatu komunitas.16

6.1.1. Negara Kesejahteraan (Welfare State)

Tujuannya, demi penghidupan yang nyaman, aman, dan berdamai satu dengan yang lainnya dalam suasana yang aman atas harta miliknya.

Di era globalisasi pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara. Namun, pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar tidak akan secara otomatis membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat. Pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal, ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah sosial. Untuk itu diperlukan sistem redistribusi pendapatan dan sistem jaringan pengaman sosial yang dikenal dalam konsep negara kesejahteraan

“The welfare state is an attempt to break away from the stigma of the Poor Law. It was not designed for the poor; it was supposed to offer social protection for everyone, to prevent people from becoming poor.”17

Dengan kata lain, dalam mengatasi kemiskinan, sistem negara kesejahteraan tidak hanya berupaya memberi bantuan pada orang miskin.

16

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 39. Dikutip dari John Locke, Second Treatise of Government: Of the Beginning of Political Society, 1690

17

Hotbonar Sinaga, Membangun Jaminan Sosial Menuju Negara Kesejahteraan, Jakarta : CV Java Madia Network, 2009, hal. 6. Dikutip dari Paul Spicker, Poverty and the Welfare State, Dispelling the Myths, London; Catalyst, 2002.


(26)

Melainkan memberikan perlindungan sosial bagi semua orang agar terhindar dari kemiskinan. Nilai penting yang dibawa Negara kesejahteraan adalah mereduksi jurang pemisah antara kaum kaya dan kaum miskin dengan cara mendistribusikan uang dari si kaya kepada si miskin. Distribusi kesejahteraan yang diatur oleh Negara ini bergantung pada bagaimana Negara tersebut memaknai welfare state. Didalam perkembangannya jaminan sosial di berbagai negara memang selalu berubah-ubah, namun paling tidak bisa dibedakan menjadi empat model kesejahteraan:18

1. Model minimal

Model ini umumnya diterapkan di negara-negara berkembang karena keterbatasan pemerintah dalam pendanaan. Model ini ditandai oleh pengeluaran pemerintah untuk pembangunan sosial yang sangat kecil. Program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, aparat militer dan pegawai swasta yang mampu membayar premi. 2. Model Residual

Model ini menjamin pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, penganggur, penyandang cacat dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Model ini mirip model universal yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan hak warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Namun, seperti yang dipraktekkan di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan relatif lebih

18

Hotbonar Sinaga, Ibid., hal. 13-15. Dikutip dari John D. Stephens Development and Crisis of the Welfare State: Parties and Policies in Global Market, USA: University of Chicago Press, 2001


(27)

kecil dan berjangka pendek daripada model universal. Perlindungan sosial dan pelayanan sosial juga diberikan secara ketat, temporer dan efisien. 3. Model Korporasi atau Work Merit Welfare States

Seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Model ini sering disebut sebagai Model Bismarck, karena idenya pertama kali dikembangkan oleh Otto von Bismarck dari Jerman.

4. Model universal

Pengertian ini biasanya merujuk kepada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya standar minimum kebutuhan material dan non-material. Pada model ini pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik kaya maupun miskin.

Perkembangan ekonomi global memiliki implikasi terhadap kesejahteraan negara. Namun itu berarti batas dan kekuatan negara-bangsa semakin memudar, memencar kepada lokalitas, organisasi-organisasi independen, masyarakat madani, badan-badan supra-nasional (seperti NAFTA atau Uni Eropa), dan perusahaan-perusahaan multinasional. Mishra menyatakan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter


(28)

Internasional (IMF) menjual kebijakan ekonomi dan sosial kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar memperkecil pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta.19

Hal tersebut menjelaskan fenomena perubahan sistem jaminan sosial diberbagai negara-negara maju dimana pengeluaran negara yang semakin tinggi dalam memberikan jaminan sosial berakibat perubahan mekanisme jaminan sosial yang melibatkan masyarakat dan pihak swasta. Tak terkecuali Indonesia yang meskipun konstitusi mengamanahkan bahwa jaminan merupakan hak setiap warga negaranya namun bila demikian dipastikan APBN tidak akan mampu menanggung beban tersebut sehingga pendekatan asuransi sosial atau compulsory social insurance, dipilih sebagai mekanisme SJSN.20

6.2. Perlindungan Sosial (social protection).

Hingga saat ini terdapat berbagai macam definisi perlindungan sosial dan jaminan sosial. Keragaman ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Berikut adalah beberapa dari sekian banyak definisi yang digunakan oleh berbagai institusi dan negara.

Asian Development Bank (ADB) menjelaskan bahwa perlindungan sosial pada dasarnya merupakan sekumpulan kebijakan dan program yang dirancang

19

Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi negara kesejahteraan: Peran Negara dalam Produksi dan Alokasi Kesejahteraan Sosial, Jakarta: LP3ES, 2006, hal. 31. Dikutip dari Mishra Ramesh (2000), Globalization and the Welfare State. USA: Edward Elgar Publishing, 1999

20

Pendekatan tersebut mengatur sistem jaminan sosial melalui asuransi yang dibiayai dari kontribusi/ premi yang dibayarkan oleh setiap tenaga kerja dan atau pemberi kerja. Sedangkan bagi warga miskin kewajiban membayar iuran tersebut dibayarkan oleh pemerintah. Pendekatan ini mirip dengan model korporasi atau work merrit system yang diterapkan di Jerman, tak heran bila mengingat SJSN sendiri merupakan hasil kerjasama dengan German Technical Cooperation.


(29)

untuk menurunkan kemiskinan dan kerentanan melalui upaya peningkatan dan perbaikan kapasitas penduduk dalam melindungi diri mereka dari bencana dan kehilangan pendapatan; tidak berarti bahwa perlindungan sosial merupakan keseluruhan dari kegiatan pembangunan di bidang sosial, bahkan perlindungan sosial tidak termasuk upaya penurunan resiko (risk reduction).21 Lebih lanjut dijelaskan bahwa istilah jaring pengaman sosial (social safety net) dan jaminan sosial (social security) seringkali digunakan sebagai alternatif istilah perlindungan sosial; akan tetapi istilah yang lebih sering digunakan di dunia internasional adalah perlindungan sosial. ADB membagi perlindungan sosial ke dalam 5 (lima) elemen,22

Namun, menurut Bank Dunia dalam “World Bank Social Protection Strategy”, konsep yang digunakan oleh ADB dalam membagi perlindungan sosial tersebut masih tradisional. Bank Dunia mendefinisikan perlindungan sosial sebagai

yaitu: (i) pasar tenaga kerja (labor markets); (ii) asuransi sosial (social insurance); (iii) bantuan sosial (social assitance); (iv) skema mikro dan area-based untuk perlindungan bagi komunitas setempat; dan (v) perlindungan anak (child protection).

23

21

Alex Arifianto, Loc Cit., hal. 41. Dikutip dari Asian Development Bank, Social Safety Net

22

Alex Arifianto, Ibid., hal. 44.

23

Alex Arifianto, Ibid., hal. 51. Dikutip dari World Bank, World Bank Social Protection Strategy.

: (i) jejaring pengaman dan ‘spring board’; (ii) investasi pada sumberdaya manusia; (iii) upaya menanggulangi pemisahan sosial; (iv) berfokus pada penyebab, bukan pada gejala; dan (v) mempertimbangkan keadaan yang sebenarnya. Menanggapi konsep ADB dan Bank Dunia, menyejajarkan


(30)

perlindungan sosial dengan jejaring pengaman bisa berarti menyempitkan makna perlindungan sosial itu sendiri.

Demikian pula halnya dengan ILO dalam “Social Security and Coverage for All”, perlindungan sosial merupakan konsep yang luas yang juga mencerminkan perubahan-perubahan ekonomi dan sosial pada tingkat internasional. Konsep ini termasuk jaminan sosial (social security) dan skema-skema swasta. Lebih jauh, dijelaskan bahwa sistem perlindungan sosial bisa dibedakan dalam 3 (tiga) lapis (tier)24

Interpretasi yang agak berbeda diberikan oleh Hans Gsager. Gsager berpendapat bahwa sistem-sistem perlindungan sosial dimaksudkan untuk mendukung penanggulangan situasi darurat ataupun kemungkinan terjadinya keadaan darurat.

: Lapis (tier) Pertama merupakan jejaring pengaman sosial yang didanai penuh oleh pemerintah; Lapis Kedua merupakan skema asuransi sosial yang didanai dari kontribusi pemberi kerja (employer) dan pekerja; dan Lapis Ketiga merupakan provisi suplementari yang dikelola penuh oleh swasta. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa definisi tersebut berdasarkan kontributor dana dalam tiap skema.

25

24

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Op. Cit.

25

Bambang Purwoko, Loc. Cit., hal. 41. Dikutip dari Hans Gsänger, Mainstreaming Poverty Reduction in German Development Co-operation, Berlin: German Development Institute, 1998

Dia memilah-milah jenis-jenis perlindungan sosial berdasarkan pelaksana pelayanan, yaitu pemerintah, pemerintah bersama-sama dengan lembaga non pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan kelompok masyarakat. Sedangkan menurut Barrientos dan Shepherd, perlindungan sosial secara tradisional dikenal sebagai konsep yang lebih luas dari jaminan sosial,


(31)

lebih luas dari asuransi sosial, dan lebih luas dari jejaring pengaman sosial.26

PBB dalam “United Nations General Assembly on Social Protection”, Saat ini perlindungan sosial didefinisikan sebagai kumpulan upaya publik yang dilakukan dalam menghadapi dan menanggulangi kerentanan, resiko dan kemiskinan yang sudah melebihi batas.

27

26

Bambang Purwoko, Ibid. Dikutip dari Armando Barrientos, Social protection for the poor and poorest: concepts, policies and politics, Basings Stoke: Palgrave Macmillan, 2008

27

Penjelasan UU RI No. 40/2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pustaka Yustisia, 2004, hal.9. Mengutip definisi perlindungan sosial yang digunakan oleh PBB, United Nations General Assembly on Social Protection.

yaitu sebagai kumpulan kebijakan dan program pemerintah dan swasta yang dibuat dalam rangka menghadapi berbagai hal yang menyebabkan hilangnya ataupun berkurangnya secara substansial pendapatan/gaji yang diterima; memberikan bantuan bagi keluarga (dan anak) serta memberikan layanan kesehatan dan permukiman. Secara lebih detail dijelaskan bahwa perlindungan sosial memberikan akses pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak dasar manusia, termasuk akses pada pendapatan, kehidupan, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan, gizi dan tempat tinggal. Selain itu, perlindungan sosial juga dimaksudkan sebagai cara untuk menanggulangi kemiskinan dan kerentanan absolut yang dihadapi oleh penduduk yang sangat miskin. Dengan demikian, perlindungan sosial menurut PBB dapat dibagi menjadi dua sub-kategori yaitu bantuan sosial (social assistance) dan asuransi sosial (social insurance). Bantuan sosial merupakan penyaluran sumberdaya kepada kelompok yang mengalami kesulitan sumber daya; sedangkan asuransi sosial adalah bentuk jaminan sosial dengan pendanaan yang menggunakan prinsip-prinsip asuransi. Definisi inilah yang kemudian diadopsi dalam penyusunan konsep SJSN yang menggunakan


(32)

pendekatan asuransi yang dibiayai oleh pengusaha maupun pekerja di sektor formal maupun informal dan pembiayaan oleh pemerintah bagi warga miskin.

6.2.1. Jaminan Sosial (Social Security).

Seperti halnya perlindungan sosial, terdapat pula berbagai macam interpretasi jaminan sosial (social security). ILO menyebutkan bahwa jaminan sosial merupakan bentuk perlindungan yang disediakan dalam suatu masyarakat untuk masyarakat itu sendiri melalui berbagai upaya dalam menghadapi kesulitan keuangan yang dapat terjadi karena kesakitan, kelahiran, pengangguran, kecacatan, lanjut usia, ataupun kematian.28

Dalam World Summit for Social Development di Kopenhagen tahun 1995 dikatakan bahwa sistem jaminan sosial merupakan komponen esensial dari perluasan pembangunan sosial dan dalam upaya menanggulangi kemiskinan.

Lebih jauh dijelaskan bahwa jaminan sosial terdiri dari asuransi sosial, bantuan sosial, tunjangan keluarga, provident funds, dan skema yang diselenggarakan oleh employer seperti kompensasi dan program komplimenter lainnya.

29

Von Hauff menambahkan selain untuk penanggulangan kemiskinan, jaminan sosial juga berfungsi sebagai perlindungan bagi individual dalam Lebih rinci, deklarasi summit tersebut antara lain mencanangkan:

“to develop and implement policies which ensure that all persons enjoy adequate economic and social protection in the event of unemployment, sickness, during motherhood and child-rearing, in the event of widowhood, disability and in old age.”

28

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Loc cit., hal. 21.

29

Bambang Purwoko, Loc. Cit., hal. 52. Dikutip dari World Summit for Social Development di Kopenhagen tahun 1995


(33)

menghadapi kondisi kehidupan yang semakin memburuk yang tidak dapat ditanggulangi oleh mereka sendiri.30

Barrietos dan Shepherd menjelaskan bahwa jaminan sosial lebih sempit dibandingkan perlindungan sosial. Jaminan sosial umumnya dihubungkan dengan hal-hal yang menyangkut kompensasi dan program kesejahteraan yang lebih bersifat ‘statutory schemes’.31

6.3. Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Adapun bentuk jaminan sosial yang sudah diselenggarakan adalah asuransi sosial yang mencakup asuransi kesehatan (PT Askes dan PT Asabri), asuransi kesejahteraan sosial (Askesos), tabungan pensiun (Taspen), jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek); kebijakan ketenagakerjaan seperti cuti hamil, cuti haid, tunjangan sakit/kecelakaan yang dibayarkan oleh perusahaan, dan sebagainya.

Salah satu keajiban negara adalah memberikan perlindungan sosial bagi warga negaranya dan jaminan sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan negara guna menjamin warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Hal tesebut tertuang di dalam deklarasi PBB tahun 1948 tentang HAM, dan Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi kovenan tersebut. Tidak hanya itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952 yang

30

Bambang Purwoko, Loc. Cit. Dikutip dari Michael von Hauff, The Relevance of Social Security for Economic Development, 1997

31

Bambang Purwoko, Ibid., Dikutip dari Barrietos, Civil Service Systems in Comparative Perspective Series, 1995


(34)

mengatur lebih rinci mengenai kewajiban negara memberikan jaminan sosial kepada pengangguran, cacat, janda dan jaminan hari tua.

Di Indonesia, ratifikasi terhadap kedua kovenan tersebut membawa dampak pada UUD Tahun 1945 hingga di tahun 2001 perihal mengenai jaminan tersebut diamanatkan dalam amandemen kedua, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta pasal 34 ayat (1) dan ayat (2). Berdasarkan perubahan tersebut MPR menugaskan kepada Presiden RI untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional TAP MPR RI No. X/MPR/2001.

Amanat ini direalisasikan dengan dibentuknya Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN) Tahun 2001 oleh Wakil Presiden RI (Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001), dengan tugas utama menyiapkan Naskah Akademik (NA) SJSN dan konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) SJSN. Kepseswapres tersebut diperbaharui dengan Keppres No. 20 Tahun 2002, tanggal 10 April 2002, tentang pembentukan Tim SJSN dengan bentuk penugasan yang sama.

Penyusunan NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan RUU SJSN. NA SJSN yang merupakan hasil kajian dan pemahaman tentang jaminan sosial, yang dilengkapi dengan hasil studi banding, lokakarya, pembahasan informal dengan DPR RI, sosialisasi, dan masukan dari masyarakat lainnya. NA SJSN mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali dan naskah terakhir dihasilkan tertanggal 26 Januari 2004.

NA SJSN secara lengkap diterbitkan terpisah dan selanjutnya dituangkan dalam konsep RUU SJSN. Perkembangan pembahasan sejak konsep awal RUU SJSN, 9 Februari 2003, terdiri dari 11 (sebelas) bab dan 42 (empat


(35)

puluh dua) pasal, hingga konsep terakhir, 14 Januari 2004, terdiri dari 12 (dua belas) bab dan 74 (tujuh puluh empat) pasal, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, setelah mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian Pemerintah menyerahkan RUU SJSN yang terdiri dari 12 (dua belas) bab dan 80 (delapan puluh) pasal kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari 2004.

Selama pembahasan Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI, RUU SJSN hingga diterbitkannya UU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Sehingga dalam perjalanannya, konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004, terdiri dari 9 bab dan 53 (lima puluh tiga) pasal.


(36)

Dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN tersebut, mensyaratkan seluruh rakyat, terlepas apakah ia pegawai negeri, pegawai swasta, atau pekerja mandiri seperti petani, nelayan, dan pedagang, harus mendapat jaminan sosial yang sama, yaitu Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian.

Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tatacara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara. Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut atau pensiun.

Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin agar setiap rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Kebutuhan dasar hidup yang layak yang dimaksud oleh UU SJSN adalah kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UU SJSN mensyaratkan Jaminan Sosial diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi sosial yaitu suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.


(37)

Sistem jaminan sosial nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Asas kemanusiaan berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat manusia. Asas manfaat merupakan asas yang bersifat operasional menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif. Asas keadilan merupakan asas yang bersifat ideal. Ketiga asas tersebut dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan program dan hak peserta.

Program jaminan sosial diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi sosial, bantuan sosial, dan atau tabungan wajib yang bertujuan untuk menyediakan jaminan sosial bagi seluruh penduduk, guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak. Sistem Jaminan Sosial juga dirancang untuk mampu mensinkronisasikan penyelenggaraan berbagai bentuk jaminan sosial yang dilaksanakan oleh beberapa penyelenggara yang telah ada yakni PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen, PT Asabri agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi seluruh peserta. Penyesuaian dijadwalkan terlaksana maksimal 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya UU SJSN.

7. Metodologi Penelitian 7.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah merupakan penelitian kualitatif, penekanan pada deskriptif dan analisis. Metode ini dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena yang sedikit pun mungkin belum diketahui. Metode ini memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit


(38)

diungkap oleh metode kuantitatif. Disamping itu, metode ini dapat dipergunakan untuk menyelidiki konsep atau ide-ide.32

7.2. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif, artinya peneilitian ini menganalisis masalah dengan melakukan pengumpulan data dan melalui studi pustaka (Library Research) dengan teknik pengumpulan bahan kepustakaan buku-buku, artikel, media massa baik cetak maupun elektronik serta data-data lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian.

7.3. Teknik Analisa Data

Metode kualitatif merupakan metode yang digunakan penulis dalam menganalisis berbagai hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini. Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian disusun sehingga diharapkan mampu memberikan keterangan terhadap masalah-masalah aktual yang dihadapi. Dalam penelitian kualitatif penulis tidak mencari kebenaran moralitas tetapi lebih kepada upaya pemahaman dari situasi yang dihadapi.

8. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih terperinci dan untuk mempermudah pemahaman dari isi skripsi ini, maka penulis membagi penelitian ini menjadi empat bagian (bab). Untuk itu disusun sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

32

Ansem Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tata Langkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 5.


(39)

Bab ini membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesa, teknik pengumpulan data, serta sistematika penulisan

BAB II :

PENYAJIAN DATA

Bab ini akan menggambarkan berbagai bentuk perlindungan sosial yang ada di Indonesia sebelum Undang-Undang No.40 tahun 2004 serta perubahan sistem jaminan sosial yang terjadi setelah UU SJSN diterbitkan

BAB III :

ANALISIS DATA

Bab ini membahas tentang reformasi sistem jaminan sosial di berbagai negara yang menjadi dasar bagi pemerintah dalam menetukan model Jaminan Sosial di Indonesia serta pertimbangan-pertimbangan lainnya yang mempunyai pengaruh.

BAB IV : PENUTUP

Bab terakhir ini berisikan kesimpulan dari keseluruhan penelitian serta temuan-temuan didalam penyusunan skripsi ini dan diakhiri dengan saran atau rekomendasi dari penulis.


(40)

BAB II

PENYAJIAN DATA

Salah satu kewajiban negara adalah memberikan perlindungan sosial bagi warga negaranya. Hal ini dikarenakan situasi yang tidak selalu bisa diprediksi di dalam masyarakat, baik yang dikarenakan oleh bencana alam, krisis maupun penyakit dan masyarakat mempunyai kemampuan berbeda-beda dalam menghadapi situasi demikian. Oleh karena itu negara berkewajiban untuk tanggap dan memberikan perlindungan sosial agar masyarakat dapat bangkit dan keluar dari situasi tersebut, maka wajar bila di hampir seluruh negara-negara yang menganut sistem negara kesejahteraan (welfare state), kesadaran untuk memberikan perlindungan sosial justru muncul ketika sebagian besar warga negara tersebut berada pada kondisi yang buruk.

Pada dasarnya bentuk dan mekanisme jaminan sosial di berbagai negara berbeda-beda karena adanya penyesuaian dengan kondisi sosial dan politik di negaranya masing-masing. Seperti di Swedia, Norwegia, Denmark maupun Finlandia, jaminan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik kaya maupun miskin dan negara sebagai pembayar tunggal (sole payer) berbeda dengan Jerman dan Austria yang memberikan jaminan sosial dengan melibatkan dunia usaha. Berbeda pula halnya AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru yang memberikan jaminan sosial terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups).

Demikian pula halnya dengan Indonesia, hingga saat ini reformasi sistem jaminan sosial melalui undang-undang SJSN belum juga terlaksana. Jaminan


(41)

sosial yang berlaku di Indonesia sebagian besar masih produk orde baru yang menganut model minimal, dimana program kesejahteraan dan jaminan sosial diberikan secara sporadis, parsial, minimal dan umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri, aparat militer dan pegawai swasta yang mampu membayar premi. Meskipun sejak keruntuhan Orde baru ada beberapa program yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai bentuk perlindungan sosial, namun itu hanya bersifat sementara dan tidak memiliki payung Undang-Undang.

1. BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN SOSIAL DI INDONESIA

Perlindungan sosial bukanlah hal baru bagi Indonesia, sejak pemerintahan Orde baru hingga diterbitkannya UU SJSN sudah ada 24 Undang-Undang yang terkait dengan perlindungan sosial,33 dan ada 17 Peraturan Pemerintah yang juga terkait dengan jaminan sosial.34

1.1. JAMINAN KESEHATAN

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebutlah yang mendasari berbagai bentuk perlindungan sosial yang ada di Indonesia, berikut ini akan dipaparkan berbagai bentuk perlindungan sosial tersebut berdasarkan bidangnya.

Kondisi Jasa pelayanan kesehatan saat itu yang makin lama makin mahal dan tingginya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh perseorangan

33

UU No. 33/1964; UU No. 34/1964; UU No. 11/1969; UU No. 6/1974; UU No. 8/1874 Jo UU No. 43/1999; UU No.2/1992; UU No. 3/1992; UU No. 11/1992; UU No. 23/1992; UU No. 4/1997; UU No. 13 1998; UU No. 13/2003; UU No. 34/2004

34

PP No. 17/1965; PP No. 18/1965; PP No.8/1965 yang diubah dengan PP No. 34/1978 Jo PP No. 39/1980; PP No. 25/1981; PP No. 26/1981; PP No. 42/1981; PP No. 67/1991; PP No. 68/1991; PP No. 69/1991; PP No. 6/1992; PP No. 76/1992; PP No. 77/1992; PP No. 14/1993; PP No. 73/1993; PP No. 36/1995; PP No. 28/2003; PP No. 22/2004.


(42)

menyebabkan tidak semua anggota masyarakat mampu untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Cara yang ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasi tingginya pembiayaan kesehatan adalah memperbaiki pembiayaan kesehatan dengan jaminan kesehatan sosial.

1.1.a. JPK-Gakin

Sejak tahun 1998, pemerintah telah membiayai pemeliharaan keluarga miskin (Gakin), melalui program jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin) khususnya untuk pelayanan kesehatan dasar yang kemudian diperluas untuk pelayanan pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (khususnya malaria, diare, dan TB paru).35

35

Daud Bahransyaf, Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat Melalui Sistem Jaminan Sosial Berbasis Masyarakat, Jakarta: Departemen Sosial RI, 2004, hal. 37

Untuk menjamin kesinambungan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin, sistem jaminan kesehatan dalam bentuk jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK Gakin) disubsidi pemerintah untuk keluarga miskin namun tidak langsung disalurkan ke pemberi pelayanan kesehatan (puskesmas, bidan atau rumah sakit), melainkan lewat badan penyelenggara jaminan pemeliharaan kesehatan (Bapel JPK).

Bapel JPK bertugas mengelola kepesertaan, membayarkan dana ke pemberi pelayanan kesehatan serta menjaga mutu pelayanan kesehatan. Pemerintah daerah/dinas kesehatan bertindak sebagai pembina/pengawas. Dengan sistem ini akan terjadi pemisahan fungsi yang tegas dan saling mengontrol. Keluarga miskin didorong memanfaatkan pelayanan serta dilayani secara terpadu oleh puskesmas dan rumah sakit.


(43)

Paket pelayanan standar untuk keluarga miskin meliputi rawat jalan di puskesmas, rawat jalan spesialistis di rumah sakit, rawat inap di rumah sakit sesuai kebutuhan medik untuk rata-rata lima hari serta pelayanan gawat darurat di puskesmas maupun rumah sakit.

Selain membebani APBN, kelemahan dari sistem asuransi ini adalah sebagian besar dana justru dihabiskan untuk membentuk dan membiayai operasional Bapel JPK, selain itu timbul diskriminasi pada penerapannya di lapangan oleh pihak Pemberi Pelayanan Kesehatan.

1.1.b. JPKM

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) merupakan kelanjutan dari program-program sosial sebelumnya yang dibuat untuk mengatasi krisis multi dimensi yang dialami masyarakat dari tahun 2001-2005. JPKM dirancang untuk memberi manfaat kepada semua pihak yang terkait dengan pemeliharaan kesehatan, baik masyarakat konsumen jasa kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan (PPK). JPKM mengarah kepada penyelenggaraan asuransi kesehatan komersial. JPKM bukan asuransi biasa, melainkan asuransi plus. Dalam arti, mengambil dana masyarakat dalam bentuk premi, kemudian melaksanakan pembiayaan kesehatan secara paripurna dan terkendali lewat pembayaran prospektif kepada penyedia pelayanan kesehatan, disertai sistem kendali mutu dan pemantauan utilisasi.36

JPKM adalah cikal bakal dibentukinya asuransi sosial kesehatan bersifat wajib bagi seluruh penduduk seperti yang kemudian ditegaskan oleh UU SJSN,

36


(44)

dimana untuk pembayarannya, premi bagi keluarga miskin dibayar oleh pemerintah, sedangkan keluarga mampu diminta membayar sendiri preminya.

Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM) yang diperkirakan bisa mengurangi beban masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Sampai dengan akhir tahun 2002, cakupan JPKM baru mencapai 20,2 persen (Data Susenas) dengan coverage 6,3 persen keluarga miskin yang memperoleh kartu sehat JPSBK.37

1.2. JAMINAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Upaya lain dari pemerintah saat itu dalam menjamin kesejahteraan sosial adalah dengan Jaminan Kesejahteran Sosial (JKS), Bentuk dari Jaminan Kesejahteraan Sosial ini terbagi dua, yaitu:

1.2.a. BKS

Bantuan Kesejahteraan Sosial diberikan kepada individual, keluarga, kelompok, atau komunitas yang tidak mampu. BKS terbagi dalam dua skema, yaitu skema permanen dan skema sementara. BKS Permanen diberikan secara terus menerus pada penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang permanen seperti lansia terlantar, anak terlantar, anak yatim piatu miskin, dan penyandang cacat fisik dan mental (cacat ganda). Adapun BKS Sementara diberikan dalam kurun waktu tertentu kepada PMKS non permanen seperti korban bencana alam dan sosial.

37


(45)

Bentuk dari BKS permanen adalah Jaminan Kesejahteraan Sosial Gotong Royong (JKS-GR). JKS-GR memberikan modal usaha kepada kelompok-kelompok penduduk miskin yang tergabung dalam koperasi-koperasi, kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE), dan lain-lain. Hasil usaha dari kelompok-kelompok tersebut kemudian disisihkan sebagian untuk membantu kesejahteraan PMKS permanen tadi.38

Kelemahan dari skema JKS-GR ini adalah bahwa kelompok-kelompok yang menjadi sasaran penerima bantuan modal umumnya adalah kelompok masyarakat yang tergolong miskin dengan penghasilan yang sangat terbatas. Penghasilan dari usaha kelompok bisa diperkirakan hanya akan cukup untuk keperluan mereka sendiri. Dengan mensyaratkan mereka untuk membagikan sebagian dari hasil usaha mereka pada PMKS permanen, tentu akan terasa sangat membebani.

Dengan kata lain, jaminan kesejahteraan sosial tidak diberikan secara langsung pada PMKS, tetapi dengan melalui kelompok-kelompok sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat. Sedangkan mekanisme yang digunakan dalam program pengembangan potensi kesejahteraan sosial dana diberikan secara langsung kepada PMKS.

39

Demikian pula halnya dengan BKS sementara, ini sama saja dengan bantuan sosial tanggap darurat yang tercakup dalam program pembangunan bidang kesejahteraan sosial dengan sasaran utama penerima manfaat (target beneficiary) adalah korban bencana alam dan bencana sosial untuk menstimulasi keberdayaan mereka menuju kemandirian. Dalam program pengembangan

38

Daud Bahransyaf, Loc Cit., hal. 43.

39


(46)

potensi kesejahteraan sosial, pelayanan sosial juga diperuntukkan bagi lanjut usia terlantar dan penyandang cacat. Perbedaan dari kedua upaya tersebut hanya pada mekanismenya.

1.2.b. ASKESOS

Bentuk lain dari JKS adalah Asuransi Kesejahteraan Sosial yang keanggotaannya masih bersifat sukarela dan terbatas dengan sasaran utama sebagai klien adalah pencari nafkah utama dalam keluarga miskin dan bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, tukang becak, pedagang sayur, dll. ASKESOS bertujuan untuk: 1) memperkuat sistem ketahanan keluarga rentan atau miskin melalui program pemeliharaan penghasilan; 2) memfasilitasi jaminan pertanggungan bagi warga negara yang kondisinya diambang batas miskin agar mereka mampu meningkatkan taraf hidupnya; dan 3) menciptakan suatu sistem perlindungan dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi warga masyarakat pekerja mandiri pada sektor informal.40

1.3. PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI TENAGA KERJA

Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia secara umum meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri. Penyelengaraan program Jamsostek didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program Taspen didasarkan pada PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No 69 Tahun 1991, program Asabri didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan program Pensiun didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang

40


(47)

dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS),dan anggota TNI/Polri.

1.3.a. JAMSOSTEK

Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, pada dasarnya bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi maupun produktivitas kerja. Program ini merupakan program perlindungan yang bersifat dasar bagi tenaga kerja yang bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap resiko-resiko sosial ekonomi, dan merupakan sarana penjamin arus penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan keluarganya apabila terjadi resiko-resiko sosial ekonomi, dengan mekanisme asuransi yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja.

PT Jamsostek (Persero) memberikan perlindungan dalam bentuk 4 program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya.41

41

Lanny Ramli, Jaminan sosial tenaga kerja di Indonesia, Jakarta: Airlangga, 1997, hal. 23

Dalam UU No. 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara perlindungan tenaga kerja swasta adalah PT Jamsostek. Setiap perusahaan swasta yang memperkerjakan sekurang-kurangnya 10 orang atau dapat membayarkan upah sekurang-kurangnya Rp 1 juta rupiah per bulan diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek.


(48)

Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial, karena penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang bersumber dari pemberi kerja dan pekerja. Model fully funded system tersebut secara teori merupakan mekanisme asuransi tetapi dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila mengalami defisit.42 Namun sampai dengan tahun 2002, secara akumulasi JKK telah mencapai 1,07 juta klaim, JHT mencapai 2,85 juta klaim, JK mencapai 140 ribu klaim, dan JPK mencapai 54 ribu klaim. Secara keseluruhan, nilai klaim yang telah diterima oleh peserta Jamsostek adalah sekitar Rp 6,2 trilyun. Namun demikian, posisi PT Jamsostek mengalami surplus sebesar Rp 530 milyar pada Juni 2002.43

Penyelenggaraan Program asuransi bagi PNS Dephan dan prajurit TNI/POLRI (waktu itu ABRI) diselenggarakan terhitung mulai tanggal 1 Agustus

Dengan demikian pemerintah justru ikut mendapatkan keuntungan dari dana yang dikumpulkan pemberi kerja dan pekerja karena di sisi lain, apabila penyelenggara program Jamsostek memperoleh keuntungan, pemerintah akan memperoleh deviden karena bentuk badan hukum Jamsostek adalah Persero, selain itu tanpa deviden pun pemerintah juga mendapat bagian dari pajak yang diwajibkan pada setiap perusahaan persero termasuk jamsostek, karena itu peserta sebenarnya sangat dirugikan.

1.3.b. ASABRI

42

Lanny Ramli, Ibid.

43


(49)

1971 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 1971 dan diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1991.44

Pada tahun 1992 telah ditetapkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan program pensiun. Di samping itu, penyelenggaraan program jaminan kesejahteraan PNS diatur dalam undang Nomor 11 Tahun 1956 tentang Pembelanjaan Pensiun; Undang-undang No. 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda; Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian; dan

Sedangkan Pembayaran pensiun diselenggarakan terhitung mulai tanggal 1 April 1989 berdasarkan Kepmenkeu Nomor 13/KMK.013/1989 tanggal 4 Januari 1989 dan Surat Keputusan Menhankam Nomor Skep/140/I/1989 Tanggal 19 Januari 1989

Selain itu program kesejahteraan bagi anggota TNI juga diatur dalam beberapa Undang-undang, seperti: Undang-undang No. 2 Tahun 1959 tentang Pemberian Pensiun Angkatan Perang RI; Undang-undang No. 6 Tahun 1966 tentang Pensiun, Tunjangan bersifat Pensiun dan Tunjangan bagi Mantan prajurut TNI dan Anggota POLRI; Undang-undang No. 75 tahun 1957 tentang Veteran Pejuang Kemerdekaan RI; dan Undang-undang No. 15 Tahun 1965 tentang Veteran RI.

Tidak banyak data yang bisa ditemukan mengenai Asabri ini, namun secara teknis Asabri tidak ada bedanya dengan Taspen, hanya cakupan pesertanya saja yang berbeda.

1.3.c. TASPEN

44


(50)

Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.

Berdasarkan PP No. 26 Tahun 1981 (pasal 2), PT. TASPEN (Persero) ditetapkan sebagai penyelenggara program asuransi sosial bagi PNS yang terdiri dari Dana Pensiun dan Tabungan Hari Tua (THT). Disamping itu, pada saat ini PT. TASPEN juga membayarkan beberapa program lainnya seperti Asuransi Kematian; Uang Duka Wafat; Bantuan untuk Veteran; dan Uang TAPERUM dari BAPERTARUM. Pada awalnya pendanaan pension dibebankan kepada APBN, seperti yang tertulis dalam Undang-undang No. 11 Tahun 1969. Sistem ini disebut sebagai pendanaan

“pay as you go” (seorang PNS begitu pensiun langsung dibayar) dan telah dilakukan

sampai dengan akhir 1993. Namun di tahun 1994 pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menetapkan sistem pendanaan pensiun dengan pola “current cost

financing” yaitu suatu metode gabungan pay as you go dengan sistem funded,

dengan perbandingan 75 persen berasal dari APBN dan 25 persen dari iuran yang dibebankan pada PNS.45

Metode current cost financing digunakan sebagai upaya untuk meringankan beban APBN yang semakin besar akibat semakin banyaknya jumlah PNS aktif maupun PNS yang sudah pensiun, namun metode ini belum membawa dampak signifikan terhadap beban APBN, bahkan di tahun-tahun belakangan ini kebijakan itu kembali diperlunak menjadi 79 persen dibebankan pada APBN dan 21 persen dibebankan pada Taspen, meskipun demikian beban yang harus ditanggungnya masih relatif berat. Taspen harus membayar Rp 4,23 triliun (dari total Rp 16,93 triliun), sedangkan sisanya dibayar oleh APBN.46

45

Alex Arifianto, Ibid., hal. 58.

46


(1)

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari pemaparan tersebut, skripsi ini merumuskan kesimpulan bahwa betuk-bentuk perlindungan sosial pada umumnya digulirkan pada masa krisis ekonomi maupun instabilitas paska perang. Tidak terkecuali Indonesia yang mulai memberikan berbagai skema perlindungan sosial setelah terjadi krisis moneter tahun 1997. Dengan demikian wajar saja bila keadaan ekonomi suatu negara semakin membaik maka sistem jaminan sosial yang awalnya dibentuk sebagai strategi pemulihan kondisi ekonomi yang hancur paska perang tidak lagi menjadi fokus utama.

Selain itu penelitian ini juga menemukan bahwa sistem jaminan sosial juga digunakan oleh kaum keynesian sebagai upaya membendung pengaruh sosialisme dan negara-negara komunis sehingga ketika kemenangan neoliberalisme dan hancurnya pesaing utama ideologi tersebut sistem jaminan sosial tidak lagi dipandang sebagai kewajiban negara, tetapi justru dipandang sebagai penyebab krisis ekonomi karena telah menggangu sifat alami ekonomi dan perdagangan bebas. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa reformasi jaminan sosial juga dipengaruhi oleh evolusi paradigma konsep negara kesejahteraan itu sendiri yang diakibatkan besar kecilnya pengaruh dari suatu pendekatan teoritis maupun ideologis.

Dari pengamatan bentuk-bentuk perlindungan sosial di Indonesia khususnya pada era pemerintahan SBY, penelitian ini telah menarik kesimpulan


(2)

bahwa, faktor-faktor tersebut memang mempengaruhi cara pandang dalam menentukan model jaminan sosial tetapi tidak menghapuskan sama sekali program-program perlindungan sosial dan jaminan sosial oleh negara. Berbagai cara dapat ditempuh, termasuk dengan mengikutsertakan pendanaan dari pekerja dan pemberi kerja ataupun mempersempit cakupan jaminan sosial tersebut sebatas pada orang miskin dan tidak mampu. Berbagai skema perlindungan sosial masih dianggap relevan sekalipun negara tersebut menganut liberalisme dan menolak kesejahteraan komulatif hal tersebut erat kaitannya dengan kepentingan-kepentingan politik yang dipaparkan di akhir bab sebelumnya.

2. Saran

Dalam menilai fenomena reformasi sistem jaminan sosial di suatu negara khusunya di Indonesia sebaiknya kita tidak terjebak dengan alasan-alasan normatif yang sering digunakan pemerintah seperti demi kepentingan rakyat miskin ataupun demi mewujudkan negara kesejahteraan. Karena yang seringkali terjadi justru hal tersebut merupakan penyesuaian terhadap paradigma baru suatu negara memandang konsep negara kesejahteraan dan yang paling penting lagi adalah mewaspadai kepentingan-kepentingan politik dibalik upaya pemerintah ketika mengeluarkan suatu kebijakan sosial.

Peneliti tidak menyarankan dibentuknya sistem jaminan sosial seperti UU SJSN karena pada dasarnya sistem jaminan sosial hanya berhasil diterapkan di negara-negara yang masyarakatnya memiliki kesadaran tinggi untuk berkompetisi. Dari pandangan subjektif peneliti, kesejahteraan adalah hal yang harus diperjuangkan oleh setiap individu, namun disisi lain menimbulkan


(3)

persaingan yang akan menghasilkan kelompok yang menang dan yang kalah. Untuk itu yang diperlukan adalah keadilan sosial bagi yang kalah, tetapi bukan melalui sistem distribusi pendapatan yang diatur oleh pemerintah, melainkan kesadaran dari kelompok yang menang untuk memperbaiki keadaan orang yang kalah dan tidak beruntung, agar kelompok yang kalah dapat memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan berarti distribusi sumber daya secara adil tetapi tidak merata, mengutip statement John Rawls, “setiap orang memberi menurut kemampuannya, setiap orang menerima menurut kebutuhannya”.

Tidak diperlukan suatu program rinci mengenai suatu masyarakat yang berkeadilan sosial, karena langkah pertama ke arah distribusi pendapatan bukanlah merancang suatu skema untuk mengambil uang dari yang kaya dan memberikannya kepada yang miskin, langkah pertama ialah meyakinkan sejumlah besar orang bahwa itulah tujuan yang diinginkan. Pemusatan perhatian pada cara mengatasinya justru cenderung melestarikan keadaan semacam itu dan telah gagal untuk berbuat lebih baik seperti perdebatan yang sering terjadi selama ini.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, Roeslan, Sosialisme Indonesia, Surabaya: Grip, 1965

BUKU

Arifianto, Penelitian SMERU, 2004

Backman, Michael, Asian Eclipse: Exposing the Dark Side of Bussines in Asia, Singapore: John Wiley & Sons, 1999

Bahransyaf, Daud, Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat Melalui Sistem

Jaminan Sosial Berbasis Masyarakat, Jakarta: Departemen Sosial RI,

2004

Barent, J., Ilmu Politik , terjemahan dari De Wetenschap Der Politiek, Jakarta: PT. Pembangunan, 1965

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992

Jemadu, Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hal. 227.

Kleden, Paskal, Menuju Tengah Baru, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Malarangeng, Rizal, Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia, Jakarta: KPG, 2002

Nasution, Adnan Buyung, Instrumen internasional pokok hak-hak asasi manusia, BAB 22: Hak Atas Jaminan Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997

Nasution, M. Arif, Metode Penelitian, Medan: FISIP USU Press, 2008 Newman, Michael, Sosialisme Abad 21, Yogyakarta: Resist Book, 2006

Nugroho, DR. Heru, Negara Pasar dan Keadilan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Purwoko, Bambang, Jaminan Sosial dan Sistem Penyelenggaraannya :

Pandangan & Gagasan, Jakarta: Meganet Dutatama, 1999

Rahardjo, Julfita, Jaring Pengaman Sosial: Pengembangan, Konsep, dan

Aplikasinya, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1998

Ramli, Lanny, Jaminan sosial tenaga kerja di Indonesia, Jakarta: Airlangga, 1997 Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat dan kaitannya dengan kondisi

sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2002

Sinaga, Hotbonar, Membangun Jaminan Sosial Menuju Negara Kesejahteraan, Jakarta : CV Java Madia Network, 2009

Strauss, Ansem dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tata

Langkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


(5)

Suharto, Kemiskinan & perlindungan sosial di Indonesia, Jakarta: Alfabeta, 2009 Sulastomo, Sistem jaminan sosial nasional sebuah introduksi, Jakarta: Rajawali

Press, 2008

Sulastomo dan Son H. Adami, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN):

Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan, Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia,

2005

Sumardjan, Selo (ed), Kisah Perjuangan Reformasi, Jakarta: Sinar Harapan, 1999 Triwibowo, Darmawan dan Sugeng Bahagijo, Mimpi negara kesejahteraan:

Peran Negara dalam Produksi dan Alokasi Kesejahteraan Sosial, Jakarta:

LP3ES, 2006

Usman, Husani dan Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, Bandung: Bumi Aksara, 2004

Varma, S.P., Teori Politik Modern, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001 Wibowo, I. dan Francis Wahono (ed), Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras,

2003

Winarno, Prof. Budi, Pertarungan Negara VS Pasar, Yogyakarta: Media Pressindo, 2009

Wolf, Martin, Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004

Penjelasan UU RI No. 40/2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pustaka Yustisia, 2004

DOKUMEN

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Perlindungan sosial bagi semua, Jilid 9 dari Seri rekomendasi kebijakan kerja layak dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia, Jakarta: ILO, 2004

BAPPENAS, Perbandingan Model Asuransi, Cakupan, Biaya dan Status

Kesehatan di Berbagai Negara Maju. Makalah disampaikan pada diskusi

BPJSN 29 April 2008

Harian Kompas, Sistem Jaminan Sosial: Peluang dan Tantangan, 22 Desember 2008

ARTIKEL

Harian Kompas, Harga Obat Generik Termahal Se-ASEAN, Selasa, 6 April 2010. Harian Kompas, Menagih Sistem Jaminan Sosial nasional, 1 Mei 2010 Harian Kompas, Jaring Pengaman Ekonomi, 7 Juni 2010


(6)

Harian Kompas, Jaminan Sosial Picu Daya Saing Nasional, 2 Juli 2010 Harian Pos Kota, Pemerintah Serius Mengupayakan SJSN, 6 Jun 2010 Majalah Trust, Tahun-Tahun Terakhir Taspen , Rabu, 18 Agustus 2010

South Centre Bulletin 11, Developing Countries Must Stand Firm on People

Over Patents , 30 April 2001

The Nation, Millions for Viagra Pennies for Diseases of the Poor, 19 July 1999 Tempo Interaktif, UU SJSN harus ditinjau kembali, 4 Februari 2004

Washington Post, 5 Myths About Health Care Around the World, August 23, 2009


Dokumen yang terkait

Jaminan sosial kesejahteraan sebagai hak masyarakat dalam Undang-undang No. 40 th 2004 (kajian hukum Islam)

0 4 136

Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional - [PERATURAN]

0 2 33

Peran BPJS Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

1 19 104

PELAYANAN DAN PERLINDUNGAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN SEBAGAI PENYELENGGARA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DITINJAU DARI ASAS-ASAS UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL.

0 0 15

Peran BPJS Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

0 0 9

Peran BPJS Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

0 0 1

Peran BPJS Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

0 1 17

Peran BPJS Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

0 0 21

Peran BPJS Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

0 1 3

BAB II PENGATURAN SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (SJSN) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004 A. Sistem Jaminan Sosial Nasional - Kedudukan Hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

0 0 24