Masa Pemerintahan Megawati KEPENTINGAN POLITIK DALAM REFORMASI SJSN

di Indonesia dan kebanyakan negara-negara berkembang pemerintahnya akan bersikap malu-malu dalam memeluk suatu pandangan tertentu. Sekalipun suatu pemerintahan dengan tegas mengakui apakah ia menganut pandangan liberal ataupun sosialis akan selalui dijumpai kesulitan dalam mengelompokkan seluruh kebijakan sosial yang dikeluarkannya berada pada ranah sosial atau liberal, karena ada kepentingan politik lain yang juga berpengaruh. Oleh karena itu dalam menjelaskan fenomena reformasi sistem jaminan sosial di Indonesia, analisis mengenai kepentingan politik dianggap perlu disamping pengaruh ideologi yang telah dijelaskan sebelumnya.

2.2. Masa Pemerintahan Megawati

2.1.a. Runtuhnya Orde Baru dan Berlimpahnya Bantuan Asing Dimasa pemerintahan Orde baru sistem jaminan sosial yang dianut oleh Indonesia ialah model minimal, yakni negara hanya mengupayakan jaminan sosial bagi pegawai pemerintahan PNS dan TNIPOLRI. Namun ketika terjadi reformasi yang menggulingkan kekuasaan Orde baru, justru bermunculan berbagai skema perlindungan sosial yang diberikan oleh negara, terutama kepada rakyat miskin dan tidak mampu. Hal ini tidak semata dikarenakan pemerintahan orde baru yang tidak peka terhadap rakyatnya tetapi juga disebabkan oleh faktor lain, yakni berlimpahnya bantuan asing yang masuk ke Indonesia paska reformasi. 105 105 Hal ini bisa dicermati dalam bab sebelumnya dimana World Bank dan Asian Development Bank merupakan penyokong dana satu-satunya selain APBN dalam berbagai program perlindungan sosial di Indonesia. Bantuan pinjaman asing kembali dikucurkan Indonesia bukan berarti karena pemerintah pada waktu itu telah melunasi utang-utangnya, namun Universitas Sumatera Utara setidaknya permohonan untuk mengundurkan tenggat waktu pembayaran hutang dan mekanisme debt to nature swap disetujui oleh negara kreditur. Dana kembali dikucurkan karena Indonesia paska pemeintahan Soeharto termasuk negara yang paling patuh terhadap lembaga triumvirat IMF, WTO dan WB. 106 Meskipun bila dicermati penggunaan dana tersebut untuk membiayai belanja publik melalui skema seperti Jaring Pengaman Sosial JPS adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip Neoliberalisme. Setidaknya ada tiga asumsi mengenai fenomena tersebut: pertama, sebagai rewards atas kepatuhan Indonesia dan juga sebagai bentuk bagi hasil dari keuntungan pembelian saham BUMN, 107 106 Di tahun 2000 sedikitnya Indonesia mengeluarkan tiga Undang-Undang yang berkaitan dengan TRIPS. UU No. 152002 tentang paten; UU No. 292000 tentang varietas tanaman; UU No. 31200 tentang desain industri. 107 Dari 1998-2002 setidaknya ada 16 BUMN yang diprivatisasi melalui mekanisme Initial Publik Offering IPO dan telah merugikan negara karena penawaran harga yang terlalu rendah padahal harga saham tersebut melonjak naik ketika krisis ekonomi mulai membaik. Lihat Revrisond Baswir, Privatisasi BUMN, bab 9. Dalam I. Wibowo dan Francis Wahono ed, Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras, 2003 meskipun pada akhirnya bantuan tersebut harus dibayarkan kembali. Kedua, untuk memulihkan nama baik lembaga-lembaga donor dimata rakyat Indonesia dengan memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan rakyat Indonesia di masa- masa krisis. Krisis ekonomi memang telah menimbulkan antipati terhadap IMF, sebagian rakyat Indonesia di tahun 2001 bahkan mendorong pemerintah untuk tidak memperpanjang kontrak dengan IMF yang berakhir pada tahun 2003. Ketiga, bukan tidak mungkin ini merupakan strategi untuk meredakan situasi masyarakat agar tidak berkecamuk, mengingat kondisi saat itu sedang memanas dan hampir setiap minggu terjadi demonstrasi. Hal tersebut membawa dampak buruk pada iklim usaha yang di investasikan di Indonesia melalui privatisasi BUMN maupun perusahaan multinasionalnya. Universitas Sumatera Utara 2.1.b. Efisiensi Anggaran Liberalisasi Sistem Jaminan Sosial Pemerintahan Megawati dihadapkan pada situasi sulit, sebagaimana yang dicatat oleh Stiglitz bahwa berbagai skema perlindungan sosial tergantung pada bantuan luar atau asing. Sementara itu membebankan pembiayaan berbagai skema perlindungan sosial pada APBN hanya akan memperparah defisit anggaran. Di lain pihak kontrak IMF yang berakhir di tahun 2003 kemudian diperpanjang kembali namun IMF tidak lagi memberikan toleransi penggunaan dana tersebut untuk membiayai belanja publik dan Indonesia harus kembali kepada fundmentalisme pasar, melakukan disiplin fiskal serta mengurangi belanja publik. Mengutip pernyataan mantan Kepala Ekonom Bank Dunia dan pemenang Hadiah Nobel untuk bidang ekonomi, Joseph Stiglitz, dengan bekerjasama dengan IMF maka negara harus memiliki kesetiaan terhadap fundamentalisme pasar meskipun itu akan memiliki sejumlah efek. 108 Solusi datang dari German Technical Cooperation GTZ, yang menawarkan Indonesia meniru sistem jaminan sosial model Bismarck yang diterapkan di Jerman. Singkatnya, Liberalisasi jaminan sosial adalah apa yang diinginkan IMF, tetapi itu akan berdampak buruk pada dukungan dalam pemilu di 2004. 109 108 1 negara-negara miskin, biasanya tanpa ekonomi pasar sepenuhnya dikembangkan, yang didorong ke dalam kemiskinan lebih lanjut sebagai perlindungan negara dan memelihara industri dalam negeri yang ditinggalkan, meninggalkan negara terbuka untuk pengambilalihan asing dan sektor jasa kunci; 2 Hambatan perdagangan telah dihapus, namun sebagai gantinya adalah aturan WTO, yang mendukung negara-negara kaya 2 Biaya makanan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan fungsi penting lainnya seperti subsidi penting dan program-program seperti lainnya telah dihapus; 3 kerusuhan sosial, atau sebagai Stiglitz menyebutnya, kerusuhan IMF terjadi karena biaya hidup menjadi tak tertahankan. 109 Mengenai keterlibatan Jerman dalam pembentukan UU SJSN, lihat Sulastomo, Loc. Cit., hal. 24-26. Sistem seperti itu mungkin memang akan mengubah makna jaminan sosial dari hak menjadi sebagai kewajiban dan tidak lagi sesuai dengan konvensi HAM, tetapi tentu saja pemerintah tidak menggunakan alasan Universitas Sumatera Utara efisiensi anggaran dan tidak mengatakan tujuan sebenarnya bahwa negara sedang berupaya mengalihkan sebagian tanggung jawabnya kepada masyarakat, seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya alasan yang digunakan pemerintah ialah reformasi sistem jaminan sosial membutuhkan gotong royong seluruh masyarakat untuk mencapai universal coverage dan bertujuan agar terciptanya pemerataan. Ini sama saja pemerintah meniru gaya pemerintahan Soeharto yang seringka li menyelimuti program-program pemerintah dengan prinsip-prinsip sosialisme. 2.1.c. Menggalang Dana Cadangan Negara Perwujudan dari gotong royong yang telah disebutkan sebelumnya ialah pemahaman terhadap prinsip asuransi sosial bahwa mekanisme asuransi harus mempertimbangkan sungguh-sungguh hukum bilangan banyak the law of large numbers, artinya ialah asuransi sosial harus diwajibkan bagi semua orang agar melalui mobiliasi dana seluruh masyarakat pengeluaran juga akan semakin kecil dan tercipta pemerataan pendapatan distribution of income. Sederhananya adalah begini: bila setiap sepuluh orang ada dua orang yang sakit dan setiap orang membayar premi sebesar Rp 10.000 maka dana yang tersedia untuk membiayai kedua orang tersebut adalah Rp. 100.000, bila diwajibkan untuk 100 juta orang maka terkumpul dana 1 triliun untuk membiayai 20 juta orang, tentu saja sakit yang diderita berbeda dan biaya yang dibutuhkan pun berbeda-beda sehingga akan tercipta subsidi silang. Sebenarnya alasan tersebut ada benarnya bila tujuannya adalah efisiensi, namun adalah terlalu utopis menganggap SJSN akan menjadi alat distribution of income. SJSN harus dibedakan menjadi dua; Jaminan Hari Tua, Jaminan Kecelakaan kerja, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian hanya ditujukan bagi Universitas Sumatera Utara orang yang mampu membayar premi dan polisnya pun dibayarkan sesuai dengan premi yang disetor. Hanya Jaminan Kesehatan yang ditujukan bagi semua orang termasuk orang miskin dan tidak mampu dan yang sesungguhnya menganut prinsip pemerataan. Meskipun sebenarnya, bila yang dituju adalah distribution of income, sudah ada instrumen pajak yang bisa digunakan hanya tinggal menyesuaikannya saja. Seperti di Inggris dan negara-negara Skandinavia, sejak lama pembiayaan sistem jaminan sosial di ambil dari pajak. Bukan tidak mungkin yang dituju pemerintah hanyalah aspek makro, yakni sistem jaminan sosial dapat digunakan sebagai instrumen untuk menumpuk dana masyarakat dan membangun tabungan nasional, yang kemudian dapat digunakan untuk investasi, membuka lapangan kerja termasuk industri jasa untuk melayani peserta. Sebagai contoh, Malaysia melalui Employee Provident Fund EPF, memiliki dana 100 milliar dollar AS sekitar Rp. 930 trilliun; Singapura melalui Central Provident Fund, memiliki dana 166,8 milliar dollar Singapura; Korea Selatan adalah yang paling besar, memiliki 240 milliar dollar AS; dan sebagian besar investasi Jepang pada ORI berasal dari dana Asuransi Sosial di Jepang. 110 Salah satu pertimbangan pemerintah, yang memang juga bermanfaat bagi orang banyak, ialah SJSN dengan sendirinya akan menekan laju inflasi. Bisa dipahami bahwa inflasi ialah dampak dari terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat, dan cara-cara lama yang ditempuh biasanya dengan menaikkan suku bunga deposito, namun pengalaman memperlihatkan bahwa hal itu memicu 2.1.d. Menekan Laju Inflasi Khususnya Inflasi Jasa Kesehatan 110 Kompas, Jaminan Sosial Picu Daya Saing Nasional, 2 Juli 2010. Universitas Sumatera Utara bangkrutnya perbankan pada 1997 karena tidak mampu membayar bunga kepada masyarakat. Maka dengan adanya SJSN, selain negara mendapatkan dana cadangan paling tidak ada sejumlah uang yang ditarik dari peredarannya di masyarakat. Prof. Hasbullah Thabrany memprediksi bahwa iuran yang diperoleh dari SJSN pada tahun pertama saja akan mencapai Rp. 63 trilliun, pada tahun ketiga lebih dari Rp. 200 trilliun, dan pada tahun kelima sudah mencapai hampir Rp. 450 trilliun, jumlah ini belum termasuk profit yang diperoleh dari dana yang diinvestasikan. 111 Mungkin memang sejumlah dana tersebut tidak berdampak signifikan dalam mengendalikan inflasi ekonomi yang berkisar 5,8 persen per tahun, tetapi akan sangat berdampak terhadap inflasi bidang jasa pelayanan kesehatan. Inflasi biaya kesehatan mengalami laju kenaikan lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi makro, dampaknya ialah biaya kesehatan yang semakin tinggi dan tidak bisa dijangkau oleh semakin banyak orang. Seperti yang dialami Amerika Serikat dimana biaya kesehatan mengalami pertumbuhan dua hingga tiga kali inflasi tahunan, biaya kesehatan per kapitanya ialah yang termahal di dunia dan hampir dua kali biaya termahal di negara lain, bahkan biaya rawat inap per hari di Amerika mencapai 10 kali lebih mahal dibandingkan negara-negara maju lainnya yang memiliki pendapatan per kapita tidak jauh berbeda. 112 111 Kompas, Jaring Pengaman Ekonomi, 7 Juni 2010. 112 Hasbullah Thabrany, Perbandingan Model Asuransi, Cakupan, Biaya dan Status Kesehatan di Berbagai Negara Maju, disampaikan pada diskusi BPJSN, BAPPENAS, 29 April 2008. Hal itu bisa terjadi karena Amerika meliberalisasikan sistem jaminan sosialnya dan harga dokter, rumah sakit, obat, laboratorium serta alat-alat medis lainnya diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Dengan SJSN bidang kesehatan, pemerintah Universitas Sumatera Utara memiliki posisi tawar yang kuat dan berhak menentukan standarisasi biaya pelayanan kesehatan serta mengutamakan penggunaan obat-obat generik, selanjutnya ialah biaya kesehatan dapat dikendalikan. Hal yang perlu dicermati ialah, bukan tidak mungkin ini terkait dengan kepentingan Ikatan Dokter atau Asosiasi Rumah Sakit di Indonesia. Karena bila biaya pelayanan kesehatan terkendali maka akan meningkatkan daya saing sektor pelayanan kesehatan Indonesia, sebab pasien hanya diperbolehkan berobat di Rumah Sakit tertentu dan kalaupun pasien berobat keluar negeri maka harus membiayainya dari kantong sendiri. Fenomena yang sering terjadi sekarang ini, banyak pasien Indonesia berobat ke Penang karena biaya pelayanan sekalipun ditambah biaya transportasi dan akomodasi relatif sama dibandingkan berobat di dalam negeri. 2.1.e. Mengisi Kekosongan Segmen Asuransi Hal lainnya yang menjadi pertimbangan pemerintah ialah membentuk Asuransi Sosial seperti yang di amanatkan UU SJSN namun tanpa menyingkirkan peranan asuransi swasta asuransi komersil, agar tidak menimbulkan reaksi keras dari perusahaan asuransi swasta terutama perusahaan asuransi asing yang mendominasi di Indonesia. Asuransi sosial hanya ditujukan untuk menutupi kelemahan dasar dari Asuransi swasta yang menetapkan premi atas dasar resiko yang akan ditanggung paket jaminan, atau risk bassed premium, maka besarnya premi tidak dapat disesuaikan dengan daya beli seseorang, oleh karena itu wajar saja seluruh asuransi yang ada hanya ditujukan bagi kalangan menengah keatas atau yang mampu membayar premi. Universitas Sumatera Utara Sementara itu Asuransi sosial juga hanya mencakup pelayanan kebutuhan mendasar sesuai dengan standar minimum yang layak, dengan begitu akan terjadi sinergi antara asuransi sosial dan asuransi swasta, dimana asuransi swasta dapat memberikan nilai tambah seperti ruang VIP atau pelayanan kesehatan tersier dalam konteks asuransi kesehatan atau memberikan polis atau fasilitas tambahan dalam konteks asuransi jiwa atau asuransi hari tua. Tentu saja ini justru membawa keuntungan pada asuransi swasta karena biaya kesehatan dan klaim polis yang lebih ringan dan bisa di prediksi. Selain itu dengan adanya asuransi sosial juga tidak akan merusak atau justru meningkatkan market share dari asuransi swasta, karena dalam hal asuransi tenaga kerja sudah sejak lama dimonopoli oleh Jamsostek, sementara itu PT Askes tidak lagi boleh mengeluarkan program asuransi komersial seperti Askes Diamond, Askes Platinum, Askes Gold, Askes Silver, Askes Blue, dan Askes Alba. 2.3. Masa Pemerintahan SBY 2.2.a. Meniru Model Amerika Di tahun 2004 Soesilo bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden menggantikan Megawati, SBY juga terpilih kembali pada pemilu 2009 dan akan menduduki kursi kepresidenan hingga tahun 2014. Namun hingga tahun 2010 implementasi UU SJSN belum terlaksana, tetapi justru muncul program-program kesejahteraan baru seperti Askeskin yang kemudian digantikan dengan Jamkesmas serta program BLT sebagai kompensasi kenaikan BBM. Padahal bila diakumulasi, biaya yang dikeluarkan kedua program ini tidak lebih sedikit bila Universitas Sumatera Utara dibandingkan pemerintah melaksanakan SJSN. 113 Perlu dipahami bahwa langkah tersebut tidak bertujuan untuk kepentingan pemilu semata, ada berbagai pertimbangan dan tekanan dari berbagai pihak termasuk lembaga donor. Salah satu contohnya adalah penolakan yang datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia APINDO, pengusaha melalui Ketua Umum APINDO, Sofian Wanandi, merasa keberatan bila harus menanggung iuran jaminan sosial pekerja karena hanya akan menambah deretan panjang pungutan- pungutan yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi pengusaha, akhirnya justru menurunkan minat investasi ke Indonesia. Memang Askeskin Jamkesmas terbilang sukses dalam hal kuantitas, seperti data yang dipaparkan dalam bab sebelumnya di tahun 2007 peserta Jamkesmas telah mencapai 76,4 juta orang, dengan mengawalinya dari golongan tidak mampu maka yang menjadi kesulitan ialah menjaga prinsip kesinambungan dan kualitas dari Jamkesmas itu sendiri. Negara tidak mungkin terus menerus membiayai Jamkesmas karena akan sangat membebani APBN, selain itu sistem jaminan yang terfragmentasi semacam ini akan menimbulkan diskriminasi di lapangan yang pada akhirnya menurunkan kualitas. Padahal awalnya reformasi melalui UU SJSN bertujuan untuk efisiensi dan mencegah defisit anggaran, tetapi jalan yang ditempuh SBY adalah memberikan secara gratis kepada masyarakat miskin dan tidak mampu dengan membebankannya kepada APBN, langkah ini memang terbukti sukses membawa SBY terpilih kembali pada pemilu 2009. 114 113 UU SJSN telah mensyaratkan penyelenggaraan jaminan kesehatan sebagai tahap pertama SJSN, tetapi tahapan tersebut diawali dengan keanggotaan seluruh pekerja formal kemudian diperluas kepada sektor informal lalu kepada masyarakat miskin dan tidak mampu. 114 Tempo Interaktif, UU SJSN harus ditinjau kembali, 4 Februari 2004. Hal ini memang sangat Universitas Sumatera Utara penting namun luput dari pertimbangan pemerintahan Megawati, ketika menerbitkan UU SJSN. Indonesia tidak bisa begitu saja meniru sistem jaminan sosial model Bismarck. Di Jerman, pemerintah memiliki intervensi yang kuat terhadap pengusaha dan itu telah terbukti saat perang dunia dimana sebagian besar industri Jerman digunakan untuk memproduksi senjata dan keperluan perang. Bila diterapkan di Indonesia bukan hanya menurunkan minat investasi asing tetapi juga berdampak pada investasi asing yang sebagian besar adalah footlose, 115 “Ketika ekonomi menganut sistem pasar bebas dan pasar tersebut dikuasai oleh kelompok minoritas market dominant minority sedangkan sistem politik menganut sistem demokrasi, maka ada kekhawatiran bahwa kelompok mayoritas akan memenangkan pemerintahan melalui sistem demokrasi dan kemudian menekan kelompok minoritas tersebut melalui berbagai kebijakan.” tingginya biaya bagi pengusaha akan mendorong dipindahkannya investasi ke negara-negara lain. Oleh karena itu wajar saja bila SBY lebih memilih untuk meniru sistem jaminan sosial yang diterapkan di Amerika, karena disatu pihak tidak memberatkan iklim usaha dan di pihak lain telah menarik simpati masyarakat miskin dan tidak mampu. 2.2.b. Mencegah Gejolak Melapangkan Jalan Neoliberalisme Hal lain yang menjadi pertimbangan SBY untuk tetap memberikan jaminan sosial pada masyarakat miskin adalah mungkin terkait dengan teori Gilpin yang mengatakan: 116 115 Footlose ringan kaki adalah istilah yang digunakan bagi perusahaan-perusahaan TNCMNC yang dengan mudahnya memindahkan lokasi produksinya dari satu negara ke negara lain, bila ditemui sejumlah aturan mempersulit atau cost menjadi lebih tinggi. 116 Martin Wolf, Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, hal. 141. Dikutip dari Robert Gilpin dan Jean M. Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic Order, Princeton, NJ: Princeton University Press, 2001 Universitas Sumatera Utara Tekanan tersebut akan mengakibatkan kelompok minoritas tersebut melarikan modalnya ke negara lain, hal ini berkaitan dengan yang dikatakan sebelumnya yakni maraknya industri footlose di Indonesia yang memudahkan investor berpindah-pindah. Karena itu konsekuensinya adalah pemerintah harus tetap menjamin standar minimum kehidupan yang layak bagi setiap warga dari golongan terendah. Dengan demikian tidak akan terjadi gejolak dari bawah dan negara yang menganut pasar bebas tersebut serta pasar yang dikuasai oleh sekelompok minoritas tersebut bisa bertahan. Gejolak tersebut seperti apa yang digambarkan oleh Amy Chua bahwa “pembukaan keran demokrasi secara tiba-tiba yang memberi tenaga bagi kaum mayoritas yang miskin dan penduduk asli yang frustasi, seringkali berakibat membangkitkan kekuatan etnonasionalis dan tekanan-tekanan anti pasar.” 117 2.2.c. Mengembalikan Kekuatan Sentralistik Bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam menyebarluaskan doktrin Neoliberalisme yakni liberalisasi, privatisasi dan deregulasi secara tiba-tiba di negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah buruh, nelayan ataupun petani miskin dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak, penolakan terhadap pasar bebas dan investasi asing, yang pada akhirnya akan mempersulit penyebarluasan Neoliberalisme dan Kapitalisme. Mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa negara paling Liberal seperti Amerika tetap memberikan Jaminan Sosial bagi kelompok yang kurang beruntung disadvantaged groups, dan Indonesia dibawah kepemimpinan SBY sedang mengupayakan menuju kesana. 117 Martin Wolf, Ibid., hal. 157. Dikutip dari Amy Chua, World on Fire: How Exporting Free-Market Democracy Breeds Ethnic Hatred Global Instability, London: Randow House, 2003 Universitas Sumatera Utara Salah satu ekses bisa positif atau negatif dari pengembangan sistem jaminan sosial pada skala nasional ialah memusatkan kembali kekuatan sentralistis. Dengan dibentuknya UU No.32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah, telah menibulkan fenomena desentralisasi di berbagai bidang, daerah tidak hanya berupaya mendapatkan bagian lebih besar dalam pendapatan tetapi juga melaksanakan berbagai program kearifan lokal, termasuk program perlindungan sosial tingkat daerah Setidaknya ada beberapa daerah yang telah mengembangkan berbagai mekanisme perlindungan sosial bagi rakyatnya sesuai dengan janji-janji kampanyenya dan kearifan lokal di berbagai daerah tersebut, seperti: Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan: Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur; Kabupaten Sleman, Provinsi Jawa Tengah; Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimantan Tengah; dan Kota Padang serta kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Sumatera Barat. 118 Data World Health Statistic mengasumsikan bahwa rata-rata 40 persen dari total biaya kesehatan adalah untuk membeli obat-obatan. Hal ini menjadi daya tarik bagi perusahaan farmasi untuk mengembangkan pasarnya hingga ke negara-negara berkembang, namun masalah yang seringkali ditemui ialah Hal ini tentu saja mengurangi popularitas pemerintahan pusat bagi masyarakat di daerah, karena masyarakat tersebut akan berasumsi bahwa kesejahteraannya diberikan oleh pemerintah daerah bukan pemerintah pusat, dampak paling ekstrimnya ialah mengurangi kontrol pusat terhadap masyarakat di daerah dan menimbulkan antipati terhadap pemerintahan pusat. Untuk itu pemerintah berupaya mengambil alih simpati masyarakat di daerah dengan mengatasnamakan kepentingan nasional dan universal coverage. 2.2.d. Kepentingan Perusahaan Farmasi 118 Sulastomo, Loc. Cit., hal. 29-30 Universitas Sumatera Utara sebagian besar masyarakat negara berkembang adalah miskin dan bahkan tidak mampu untuk membeli obat-obatan yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan farmasi ternama. Sehingga wajar saja bila perusahan-perusahaan farmasi mendukung supaya sistem jaminan sosial mencakup keseluruhan, dengan demikian maka pangsa pasar yang terbentuk akan semakin besar. Cara kerjanya ialah mirip dengan kebijakan pemerintah mengeluarkan KPR, agar masyarakat memiliki daya beli dan pasar sektor properti semakin besar. Hal ini mungkin belum terbukti di Indonesia, namun fenomena yang terjadi di Afrika, Brasil maupun India perlu dijadikan pelajaran agar masyarakat lebih berhati-hati dan kritis terhadap kebijakan pemerintah, mengingat perusahaan-perusahaan farmasi raksasa ini mempunyai keahlian dalam melobi pemerintah ataupun bila lobi gagal mereka ini mampu melakukan tekanan lewat WTO dan lembaga dunia lainnya. Perusahaan-perusahaan farmasi tidak lagi bisa menjalankan fungsi sosialnya dan bertindak dengan otoritas moral untuk melayani masyarakat ketika perusahaan tersebut dimiliki dan dimodali baik dalam riset maupun pengembangan research and development oleh para investor yang sejak awal bertujuan untuk memperoleh keuntungan. pemilik perusahaan fasilitas, peralatan, dan jasa harus memaksimalkan penggunaan layanan tersebut dan harga untuk memaksimalkan keuntungan . Ada konflik langsung antara mengejar kesehatan dan mengejar kekayaan. Roy Vagelos, mantan CEO Merck, mengatakan Sebuah perusahaan dengan pemegang saham tidak dapat mencadangkan sebuah laboratorium yang akan fokus pada penyakit Dunia Ketiga, karena akan bangkrut, Universitas Sumatera Utara Itu masalah sosial, dan industri tidak bisa diharapkan untuk memecahkan itu. 119 Memang permasalahannya tidak sesederhana itu, pemerintah atau para pemangku kebijakan stake holder mungkin akan menjawab, “Indonesia memiliki perusahaan farmasi yang bisa diandalkan untuk memproduksi obat-obat generik yang terjangkau.” Tetapi yang perlu ditekankan disini adalah perusahaan- perusahaan multinasional yang mendominasi farmasi dunia seperti Glaxo Smith Kline, Bristol-Myers Squibb, Merck, Pfizer, Roches Avastin, tidak akan berdiam diri menyadari bahwa obat-obatan yang telah mereka patenkan dibajak oleh perusahaan-perusahaan farmasi di negara berkembang. Perusahaan farmasi sering mengklaim mereka perlu penegakan hukum kekayaan intelektual untuk membantu menutup investasi mereka. Melaluli perjanjian TRIPS oleh WTO, perusahaan farmasi telah menjadi bagian penting dari rezim hak kekayaan intelektual, yang benar-benar membuat negara-negara miskin lebih sulit untuk menggunakan versi generik lebih murah dan terjangkau. kewajiban mereka kepada pemegang saham, mereka di tuntut untuk melakukan upaya, mencoba menemukan obat untuk penyakit kemakmuran dan umur panjang seperti penyakit kolesterol, jantung, kanker, Alzheimer. Menyembuhkan penyakit tropis tersebut tidak menguntungkan bagi mereka karena sebagian besar orang dengan penyakit tersebut terlalu miskin untuk membeli obat. Kemiskinan sering kali merupakan akar penyebab, jadi mengatasi kemiskinan perlu diupayakan suatu cara agar masyarakat miskin yang mayoritas itu memiliki daya beli terhadap produk mereka, tanpa harus menjadikan masyarakat miskin itu kaya, dan sistem Jaminan Sosial di bidang kesehatan mampu menjawab masalah itu. 119 Ken Silverstein, Millions for Viagra Pennies for Diseases of the Poor , the Nation, July 19, 1999. Artikel diunduh dari http:www.globalissues.org Universitas Sumatera Utara Menjual obat-obatan mahal di negara yang mayoritas penduduknya memiliki daya beli rendah hanya akan menimbulkan kerugian sedang melarang pembajakan obat-obatan tersebut menjadi obat generik tidak akan membawa keuntungan apa-apa bagi mereka, namun pilihannya hanya satu dengan tidak menjualnya kepada negara-negara miskin akan menimbulkan gerakan sosial yang lebih luas yang pada akhirnya akan mengarah pada Perjanjian TRIPS yang diubah signifikan atau bahkan dihapus dari WTO. 120 Dikhawatirkan perusahaan- perusahaan farmasi dunia ini merupakan dalang dari banyaknya obat generik bermerek di pasaran yakni obat generik yang sengaja dikemas kembali serta diberi merek tertentu layaknya obat yang memiliki paten. “Obat-obat generik bermerek di Indonesia tergolong termahal se- ASEAN, bahkan kabarnya di dunia.” 121 Ketika ekonom Konservatif dan Neoliberal punya Washington Consensus yang merujuk pada hasil konsensus di antara Bank Dunia, IMF dan pemerintah Amerika Serikat. Kecurigaan muncul karena tidak seperti kasus dengan Afrika, Brasil maupun India, perusahaan-perusahaan farmasi dunia justru menutup mata ketika Indonesia melalui PT. Indo Farma dan PT. Kimia Farma membajak obat-obatan dan membuatnya menjadi obat generik, terlebih lagi bila mengingat kedua perusahaan tersebut telah di privatisasi. 2.2.e. Meninggalkan Model Negara Kesejahteraan Konsensus Jakarta 122 120 Toby Kasper, Developing Countries Must Stand Firm on People Over Patents , South Centre Bulletin 11, 30 April 2001. Artikel diunduh dari http:www.globalissues.org 121 Kompas, Harga Obat Generik Termahal Se-ASEAN, Selasa, 6 April 2010. . Maka Indonesia juga memiliki Jakarta Consensus 122 Konsep pertama kali diperkenalkan oleh ekonom John williamson dari Institute for International Economics, Washington DC. Konsep ini semula di desain untuk menanggulangi krisis ekonomi pada 1980an yang terjadi di Amerika Latin, namun kemudian konsep ini diterapkan di negara-negara berkembang pada Universitas Sumatera Utara Konsensus Jakarta yang pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono di Puri Cikeas, Bogor. Konsensus Jakarta menurut SBY, memiliki enam pilar, yakni: Pilar pertama, adalah menjalankan demokrasi bersama penegakan hukum sekaligus menjaga stabilitas; Pilar kedua, adalah peranan pemerintah dalam ekonomi dijalankan tapi nilai konstruktif dalam kaidah pasar agar kompetitif tidak boleh diabaikan; Pilar ketiga, adalah integrasi ekonomi nasional dengan ekonomi internasional serta perlakuan yang sama antara perusahaan multinasional, usaha kecil dan menengah; Pilar keempat, pertumbuhan ekonomi dan pemeliharaan lingkungan yang baik; Pilar kelima, mendorong pasar domestik dengan meningkatkan daya beli; Pilar keenam, adalah pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai. Bila dicermati, inti dari pilar-pilar tersebut ialah; pilar pertama adalah stabilitas, pilar kedua adalah pemerintah berperan untuk menjaga prinsip suply and demand, pilar ketiga adalah kompetisi antara Wall-Mart, Hyper-Mart dan Carefour dengan pedagang pasar tradisional, pilar kempat adalah Investasi asing yang ramah lingkungan, pilar kelima adalah meningkatkan kredit atau dengan membagi-bagikan BLT supaya masyarakat mempunyai daya beli, pilar keenam adalah memusatkan kekuatan kepada presiden. Dari keenam pilar tersebut tidak satupun yang bisa di tafsirkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya, tidak ada upaya lain untuk menjamin standar hidup yang layak bagi setiap warga negaranya kecuali dengan meningkatkan daya beli, tidak ada komitmen kuat bahwa negara berupaya mereduksi jurang pemisah antara pemenang dan yang kalah dalam globalisasi 1990an. Lihat Tony Prasetiantono, IMF, bab 5. Dalam I. Wibowo dan Francis Wahono ed, Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras, 2003. Universitas Sumatera Utara pasar bebas dengan mendistribusikan kesejahteraan dari si kaya kepada si miskin. Singkat kata, Indonesia sedang meninggalkan sistem negara kesejahteraan welfare state yang sudah usang, karena model tersebut awalnya ditujukan untuk mengatasi kondisi ekonomi dan sosial yang hancur paska perang, dan telah mengalami panggilan jaman-nya. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

Jaminan sosial kesejahteraan sebagai hak masyarakat dalam Undang-undang No. 40 th 2004 (kajian hukum Islam)

0 4 136

Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional - [PERATURAN]

0 2 33

Peran BPJS Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

1 19 104

PELAYANAN DAN PERLINDUNGAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN SEBAGAI PENYELENGGARA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DITINJAU DARI ASAS-ASAS UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL.

0 0 15

Peran BPJS Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

0 0 9

Peran BPJS Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

0 0 1

Peran BPJS Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

0 1 17

Peran BPJS Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

0 0 21

Peran BPJS Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

0 1 3

BAB II PENGATURAN SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL (SJSN) DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004 A. Sistem Jaminan Sosial Nasional - Kedudukan Hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Kesehatan Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

0 0 24