Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tanngerang

Realitas Cina Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bagi mereka, wajar kalau perayaan Tahun Baru Imlek menjadi pengharapan agar rezeki di tahun baru ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Wajar pula bahwa meski sudah berakulturasi begitu dalam, mereka tetap membeli bunga sedap malam dan bersembahyang di kelenteng-kelenteng.

4.3 Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tanngerang

Sukubangsa Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang Hokkien , Tengnang Tiochiu , atau Tongnyin Hakka . Dalam bahasa Mandarin mereka disebut 唐 人 Táng rén orang Tang . Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Tiongkok utara menyebut diri mereka sebagai orang Han 漢 人 Hàn rén,orang Han. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Tiongkok sendiri menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Universitas Sumatera Utara Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari daratan Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya. Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Tionghoa atau Zhonghua dalam bahasa mandarin, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Tionghoa di Indonesia. Istilah Zhonghua setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Istilah ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan “Orang Cina”. Sekelompok orang asal Tiongkok yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan Tjung Hwa Hwei Kwan, yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi 中 会馆 Tiong Hoa Hwe Kwan THHK . THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tionghoa, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Universitas Sumatera Utara Belanda. Di daerah kawasan Pasar Lama tepat di Kabupaten Tangerang, Banten, telah lama dikenal sebagai tempat komunitas Tionghoa Ci Ben berkumpul. Konon mereka telah mendiami kawasan ini secara turun temurun sejak tahun 1700-an. Kesenian yang berkembang di Kota Tangerang, terdiri dari beberapa jenis antara lain Kilin, Peking Say, Lang Say, Samujie, dan Barongsai, tetapi yang lebih sering dimainkan adalah barongsai, ini dikarenakan barongsai lebih banyak yang meminati. Kesenian yang menampilkan Singa Batu model dari Cieh Say ini ada bermacam macam, dimana yang utama mengikuti dua aliran, yaitu Aliran Utara dan Selatan yang dimaksud adalah sebelah Utara Sungai Yang Zi, bentuknya garang, badannya tetap, mulutnya persegi seperti yang kita lihat di kelompok Istana Kekaisaran di Beijing, sedangkan aliran selatan adalah terdapat di sebelah Selatan Sungai Yang Zi, bentuknya lebih bervariasi, lebih luwes, tapi kurang gagah. Aliran Selatan, pada umumnya berada di kelenteng-kelenteng Indonesia, khususnya di Kota Tangerang, termasuk bentuk singa ini, sama sekali tidak mirip dengan wujud singa sebenarnya, tetapi diambil dari Anjing Say yang pada waktu itu dipelihara Kaisar dan hanya di Istana saja, karena dianggap suci. Klenteng Boen Hay Bio, tempat ibadah klenteng sudah ada di Indonesia sejak 400 tahun sang lalu. Tempat ibadah ini merupakan tempat ibadah tiga agama etnis Tionghoa, yaitu Buddha, Khonghucu, dan Tao. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak pernah ada fanatisme terhadap salah satu dari tiga agama tersebut. Dengan kata lain, dalam prakteknya ketiga agama tersebut dilakukan bersamaan. Universitas Sumatera Utara Gambang Kromong Kesenian tempo dulu unsur pribumi dengan unsur Tionghoa dalam dunia musik Betawi, dapat kita lihat dalam orkes gambang kromong, yang tampak pada alat-alat musiknya. Sebagian alat seperti gambang kromong, kemor, kecrek, gendang, kempul, slukat, gong enam dan gong kecil adalah unsur pribumi, sedangkan sebagian lagi berupa alat musik gesek ala Tionghoa yakni kongahyan, tehyan, dan skong. Dalam lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tersebut, rupanya bukan saja terjadi pengadaptasian, bahkan pula pengadopsian lagu-lagu Tionghoa yang disebut pobin, seperti Pobin Mano Kongjilok, Bankinhiva, Posilitan, Caicusiu dan sebagainya. Biasanya disajikan secara instrumental. Terbentuknya orkes gambang kromong tidak dapat dilepaskan dari Nie Hu-kong, seorang pemimpin golongan Tionghoa. Universitas Sumatera Utara BAB V PERTUNJUKAN BARONGSAI PADA MASYARAKAT TIONGHOA BENTENG DI KOTA TANGERANG

5.1 Sejarah Barongsai