Sejarah Singkat Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tangerang

4.2 Sejarah Singkat Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tangerang

Nama China Benteng berasal dari kata Benteng, nama lama kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane, difungsikan sebagai post pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan Benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat Cina Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga kotakabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Warga Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik. Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah warga Cina Benteng. Bahkan meja abu, yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut dicuri. Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Rosihan Anwar dalam Harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan warga Cina Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrim. Terlebih setelah Poh An Tuy, kelompok pemuda Cina Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat Cina Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh An Thuy dan tentara Kolonial Belanda. Universitas Sumatera Utara Saat itu, semua etnis Cina Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan tanah diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah rata dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar peraturan daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat. Secara ekonomi, masyarakat tradisional Cina Benteng hidup pas-pasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil. 4 Ny Jo Siang Ing 39 yang tinggal di Jalan Raya Serpong,Desa Cilenggang, RT 02 RW 03 Kabupaten Tangerang misalnya, setiap hari harus bangun pagi-pagi untuk membawa dagangan kue ke pasar. Fenomena Cina Benteng, kata 5 Suma Mihardja, merupakan bukti nyata betapa harmonisnya kebudayaan Cina dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan Cina Benteng seakan menegaskan bahwa tidak semua orang Cina memiliki posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan tak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi. Beliau lebih melihat fenomena Cina Benteng sebagai contoh dan bukti nyata proses pembauran yang terjadi secara alamiah. Masyarakat Cina Benteng hampir tidak pernah mengalami friksi dengan etnis lainnya. Kenyataan ini membuat Suma yakin, persoalan sentimen etnis lebih bernuansa politis yang dikembangkan oleh orang-orang yang punya kepentingan politik. 4 Wawancara dengan Ny Jo Siang Ing pada 01 Desember 2013 5 Wawancara dengan Suma Mihardja pada 01 Desember 3013 Universitas Sumatera Utara Realitas Cina Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bagi mereka, wajar kalau perayaan Tahun Baru Imlek menjadi pengharapan agar rezeki di tahun baru ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Wajar pula bahwa meski sudah berakulturasi begitu dalam, mereka tetap membeli bunga sedap malam dan bersembahyang di kelenteng-kelenteng.

4.3 Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tanngerang