Latar Belakang Masalah Efektifitas hakim mediasi dalam menyelesaikan perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan bermasyarakaat merupakan suatu kumpulan orang yang di dalamnya terdapat prilaku dan kepentingan orang yang berbeda, dalam keadaan seperti ini akan sering muncul perselisihan dan persengketaan bahkan konflik. Konflik atau sengketa dapat saja terjadi dalam wilayah publik maupun dalam wilayah privat. Konflik dalam wilayah publik terkait erat dengang kepentingan umum, dimana negara berkepentingan untuk mempertahankan kepentingan umum tersebut. Sedangkan dalam wilayah hukum privatperdata menitikberatkan pada kepentingan pribadi. Dimensi privat cukup luas cakupannya yang meliputi hukum keluarga, kewarisan, kekayaan, hukum perjanjian dan lain-lain. Dalam hukum islam dimensi perdata mengandung hak manusia yang dapat dipertahankan melalui kesepakatan damai antara para pihak yang bersengketa. Kebanyakan yang bersengketa yang terjadi, mengambil jalan dengan cara menyelsaikan sengketanya lewat jalur hukum dipengadilan, untuk dimensi hukum perdata hukum islam maka arahnya ke Pengadilan Agama. Dalam menyelesaikan sengketa atau perkara di pengadilan, maka jalan pertama yang ditempuh disana akan ditawarkan sebuah bentuk perdamaian yang dikenal dengan nama „mediasi’ dalam menyelesaikan sengketa, perkara atau 2 bahkan konflik 1 . Tujuan mediasi adalah untuk menyelesaikan sengketa dengan „win-win solution’ oleh karena itu upaya perdamaian yang diinginkan oleh para pihak harus dihargai. Dengan demikian, jika para pihak menghendaki, walaupun suatu perkara sedang dalam proses banding, kasasi atau Peninjauan Kembali PK sepanjang perkara belum diputus para pihak dapat menempuh mediasi. 2 Efektifitas dan efesiensi proses penyelesaian sengketa para pencari keadilan dipengadilan akan diuji oleh upaya perdamaian yang dilakukan selama proses beracara, baik tahapan pemeriksaan, terlebih upaya mengoptimalkan mediasi saat sebelum pemeriksaan pokok perkara 3 , secara keseluruhan dalam upaya menemukan penyelesaian sengketa harus lebih menemukan rasa keadilan bagi semua pihak win-win solution. Dalam sengketa yang berkaitan dengan status perkawinan perceraian, maka tindakan hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa untuk menghentikan persengketaannya adalah mengupayakan tidak terjadinya perceraian, seperti disebutkan 4 : “keberadaan tahapan acara perdamaian pada hukum acara formil telah diatur dalam pasal 154 RBg jo.Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan dalam sengketa yang berkaitan denagn 1 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2009, h.22. 2 Tim penulis, Buku Komentar Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, Mahkamah Agung JICA, Jakarta, 2008, h.26. 3 Perma NO. 1 Tahun 2008, Pasal 7 ayat 1 jo. Pasal 11 ayat 1. 4 H. A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, h.96. 3 status seseorang perceraian maka tindakan majlis hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa untuk menghentikan persengketannya ialah mengupayaan tidak terjadinya perceraian. Pada sidang pemeriksaan perkara perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dalam sidang tersebut suami istri harus datang pribadi kecuali ada alasan lain yang ditentukan undang-undang, kehadiran prinsipal dalam persidangan dalam acara mediasi tetap harus diartikan menghadap secara pribadi bukan diwakilkan, seperti disebutkan dalam pasal 82 Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama sebagai berikut 5 : 1. Pada sidang pertama gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. 2. Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman diluar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanyayang secara khusus dikuasakan untuk itu. 3. Apabila kedua pihak bertempat tinggal diluar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi. 4. Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Dengan demikian usaha hakim untuk mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat peradilan, yaitu tingkat pertama, tingkat banding maupun kasasi selama perkara belum di putus pada tingkat 5 Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan, Jakarta: Yayasan Al Hikmah, tt, h.206. 4 tersebut, jadi tidak hanya dalam sidang pertama sebagai lazimnya perkara perdata 6 . Mediasi pada dasarnya tertutup, kecuali para pihak menghendaki lain. Semua negara yang mempraktekkan mediasi menganut prinsip tertutup. Prinsip tertutup ini tidak berlaku jika para pihak mengizinkan, misalnya saja kalau ada peneliti yang mau mengamati jalannya mediasi. Rasionya adalah perkara tersebut dapat memberi pelajaran kepada orang lain yang tidak terliabat dalam perkara itu, tetapi pada suatu saat mungkin saja mereka akan mengalami peristiwa yang sama atau mirip dengan perkara yang sedang dimediasi. Oleh sebab itu masyarakat berhak memperoleh akses terhadap perkembangan proses mediasi, wartawan dalam hal ini dapat menghadiri dan mengamati jalannya proses mediasi guna melaporkan masalah yang di bahas, kemajuan dan hambatan dalam proses mediasi. Akan tetapi, para pihak dan mediator berhak meminta wartawan untuk tidak memberitakan dalam media massa hal-hal yang oleh para pihak diminta untuk dirahasiakan 7 . Istilah mediasi mediator pertama kali muncul di Amerika pada tahun 1970-an. Menurut Robert D.Benjamin Director of Mediation and Conflict Services in St. Louis, Missourn bahwa mediasi baru dikenal pada tahun 1970-an dan secara formal digunakan dalam proses Alternative Disopute ADR di 6 Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan, h.206. 7 Tim Penulis, Buku Komentatir Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, Mahkamah Agung Jakarta: JICA, 2008, h.26. 5 California, dan ia sendiri baru praktek menjadi mediator pada tahun 1979 8 . Pada dasarnya munculnya mediasi secara resmi dilatarbelakangi adanya realitas sosisal dimana pengadilan satu-satu lembaga penyelesaian perkara dipandang belum mampu menyelesaikan perkaranya sesuai dengan harapan masyarakat. Kritik terhadap lembaga peradilan disebabkan karena banyak faktor, antara lain penyelesaian jalur letigasi pada umunya lambat waste of time, periksaan sangat formal formalistic, sangat teknis technically, dan perkara yang masuk sudah overloaded 9 . Mediasi berasal bahasa latin yaitu mediare yang berarti brada ditengah. Makna menunjukkan pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antar para pihak, “Berada di tengah” juga berarti bermakna netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa 10 . Ada beberapa batasan mediasi mediation seperti dikemukakan, mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak impaertial dan netral bekerja dengan pihak sengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun dalam hal ini, para pihak 8 Muhammad Saifullah, sejarah dan Perkembangan Mediasi di Indonesia Semarang: WMC, 2007. h. 21 9 Akhmad Arif Junaidi, Mediasi Dalam Perundang-undangan di Indonesia Semarang: WMC, 2007. h. 32 10 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, h.2. 6 menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan diantara mereka. Asumsinya, bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif dan dengan demikian membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan. 11 Mediator harus mempunyai insert based negotiation untuk dapat mengakomodir dari kedua belah pihak yang sedang bersengketa terlebih dapat mengupaya solusi terbaik bagi kedua belah pihak win-win solution. Perdamaian merupakan amanat Unadang-undang bagi para Hakim dalam menyelesaikan perkara, baik secara acuan formil maupun materiil. Pasal 130 HIR154 RBg secara formil telah mengamanatkan dan mengatur proses perdamaian bagi para pihak dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Sedangkan pasal 65 jo. Pasal 82, 83 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo pasal 143 s.d 145 Kompilasi Hukum Islam KHI telah dijadikan pegangan hukum materiil para hakim dalam menyelesaikan perkara. Akibat terlalaikannya proses mediasi dalam penyelesaian suatu perkara, maka putusan akan menjadi batal demi hukum Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 2008. 11 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, h.79. 7 Konsekuensi pada Pasal 2 perma No. 1 Tahun 2008, barulah dipahami sebagai landasan formil dalam melakukan tahapan persidangan, sehingga setiap perkara wajib dilakukan mediasi, sementara disisi lain “intisari” atau ”tanggung jawab rasa keadilan ” belum dioptimalkan oleh pengadilan itu sendiri meskipun pihak pengadilan bersifat pasif, sebagai salah satu bahan pemikiran adalah data pada Pengadilan Agama dilihat dari internet, dengan sebuah ilustrasi bagaimana pihak pengadilan akan berhasil dalam mengatasi penyelesaian sengketa perkawinan kalaulah prosentase terbanyaknya dan perkara yang telah diregistrasi, salah satu pihak tidak pernah hadir, meskipun Perma No. 1 Tahun 2008 telah mangatur dan menyatakan bahwa mediasi di nyatakan “gagal”, namun misi “perdamaian” dan “tanggung jawab” menyelesaiakan sengketa tidak dapat dilakukan tanpa “pemaksaan”. Dalam hal tersebut di atas, kita belumlah mendapatkan informasi lengkap, apakah salah satu pihak benar-benar tidak mau hadir, atau salah satu pihak bersikap pesimis atas “penyelesaian” yang dilakukan pengadilan yang prosentase terbesarnya seringkali penyelesaian dilakukan dengan “putusan” atau atau bersifat ajudikasi. Pengamatan pada kondisi riil yang terjadi pada pengadilan agama, berpegang pada pasal 7 Perma Nomor 1 Tahun 2008 yang disebutkan bahwa: 1 Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. 2 Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak mengahalangi pelaksanaan mediasi. 3 Hakim, melalui kuasa 8 hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. 4 Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. 5 Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. 6 Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa. Berdasarkan Pasal 7 di atas, sehingga medapatklan suatu pemahaman bahwa mediasi hanya wajib disaat kedua belah pihak yang berperkara hadir di persidangan. Pemahaman ini muncul dengan dasar bahwa mediasi hanya logis dilaksanakan apabila kedua belah pihak berperkara hadir dipersidangan. Karena hanya dalam kondisi hadirnya kedua belah pihak tersebut permufakatan dan kesepakatan perdamaian dapat dilakukan bahkan tidak disyaratkan harus dihadiri oleh pihak prinsipal. Adapun kaitannya dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 adalah bersifat pengkhususan. Adapun Pasal 2 dan Pasal 4 bersifat umum sedangkan Pasal 7 bersifat lex spesialis ketentuan tersebut. 12 12 Pasal 2 Perma No. Tahun 2008 1. Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses perkara di Pengadilan 2. Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Perkara ini. 3. Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. 4. Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. 9 Hanya saja, dari penelitian terhadap jumlah perkara yang diterima pengadilan tersebut ternyata hanya 17,3 setiap tahun dari perkara yang diterima tersebut dihadiri oleh kedua belah pihak perkara contradictoir, adapun sisanya 82,7 diperiksa secara verstek dan perkara voluntair. Pada kondisi seperti diuraikan dai atas maka sangat sedikit jumlah perkara yang dapat dilakukan mediasi dengan maksimal. Akibatnya tugas pengadilan khususnya hakim pengadilan agama melalui tahapan mediasi sebagaimana yang disebutkan untuk mengutuhkan kembali keretakan dalam suatu rumah tangga, tidak dapat diharapkan, belum lagi masuk pada ranah pada metode mediasi yang dilakukan oleh para mediator. 13 Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan diatas maka penulis atau peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian tentang “EFEKTIFITAS HAKIM MEDIASI DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN SEBELUM PUTUSAN PENGADILAN ”.

A. Indentifikasi Masalah