hakim di depan persidangan di saat melangsungkan mediasi. Lebih jauh lagi, dampak dari tidak dipahaminya tugas dan fungsi mediator dengan baik, maka
sebagian mediator yang berasal dari hakim sering melontarkan ucapan yang terkesan pesimistik dan antipati terhadap pelaksanaan mediasi. Bahkan sebagian
hakim menganggap tugas sebagai mediator adalah beban dan tanggung jawab baru yang hanya memberatkan dan atau merugikan. Tentu saja hal ini sangat
disayangkan, sebagai refleksi dari ketidakmengertian tentang hakikat dan tujuan mediasi. Namun demikian patut disadari bahwa timbulnya sikap demikian karena
memang dalam jenjang pendidikan formal dan pelatihan-pelatihan tenaga teknis hakim selama ini tidak pernah ada materi pembekalan sekitar mediasi. Di
samping itu, para hakim telah terbiasa dengan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi yang bersifat memutus ajudikatif. Akibatnya, ketika diberikan
tugas untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur non litigasi, terasa asing dan menyulitkan.
Faktanya, sebagian hakim peradilan agama pernah mengikuti pelatihan mediasi, baik di dalam maupun di luar negeri, namun pelatihan itu dirasa masih
kurang terfokus kepada kompetensi peradilan agama, khususnya di bidang perceraian, harta bersama dan hak asuh anak.
B. Hambatan Para Hakim dalam Usaha mendamaikan
Hakim mediasi dalam menjalankan tugasnya mengalami kendala khusunya terkait dengan pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses
mediasi. Konsideran Perma yang paling awal dalam mempertimbangkan
pentingnya mediasi di pengadilan adalah untuk terwujudnya biaya murah dalam proses penyelesaian perkara.
2
Sebelum efektifnya Perma Nomor 1 Tahun 2008, jumlah panggilan untuk perkara cerai talak sebanyak 7 kali sedangkan untuk
perkara cerai gugat sebanyak 5 kali Buku II. Setelah diberlakukannya Perma, sebagian pengadilan membuat kebijakan untuk menambah biaya panggilan
tersebut di atas sebanyak 2 kali untuk panggilan mediasi ketika menaksir panjar biaya perkara.
Dengan praktek mediasi yang hanya untuk perkara-perkara yang dihadiri oleh kedua belah pihak, khususnya praktek di Pengadilan Agama se Sumatera
Utara, maka biaya panggilan untuk mediasi tidak perlu ditaksir diawal pembayaran panjar untuk menghindari pembengkakan panjar biaya perkara.
Apabila pada sidang pertama kedua belah pihak berperkara hadir, maka pada saat itu dapat ditunjuk langsung mediator oleh para pihak atau oleh majelis
hakim bila para pihak tidak ada kesepakatan. Majelis hakim menunda persidangan minimal selama dua minggu untuk pelaksanaan mediasi dengan
ketetapan bahwa sidang berikutnya dibuka kembali untuk mendengarkan laporan mediator. Penundaan persidangan selama dua minggu tersebut dengan
pertimbangan bahwa rentang waktu dua minggu dinilai cukup untuk melakukan mediasi. Apabila pada saat persidangan dibuka kembali ternyata mediator merasa
perlu memperpanjang waktu mediasi, maka mediator dapat meminta kepada
2
Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan
penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
majelis hakim untuk memperpanjang waktu mediasi sepanjang masih dalam batas waktu maksimal yang dibolehkan oleh Perma. Dengan cara ini, persoalan
sekitar waktu tidak menjadi sesuatu yang terkesan memberatkan. Pada hari penunjukan mediator itu, mediator yang ditunjuk dapat
memulai tugasnya dengan mengadakan musyawarah dengan kedua belah pihak berperkara untuk menentukan hari pelaksanaan mediasi. Para pihak tidak perlu
dipanggil untuk menghadiri mediasi pada waktu yang telah disepakati tersebut karena telah mengetahui langsung kapan hari pelaksanaannya. Bahkan apabila
memungkin dapat langsung dimulai mediasi pada hari itu juga dengan syarat mediator dapat mempelajari berkas perkara atau dokumen lain yang diperlukan
seperti dalam perkara-perkara perceraian yang sudah umum dikuasai oleh hakim mediator. Apabila mediator belum dapat mempelajari peta sengketa, disebabkan
jenis kasusnya cukup berat seperti kasus waris, harta bersama, hadhanah, dll, maka hari mediasi dapat ditunda pada hari yang lain.
Selain faktor di atas ada tiga faktor lain yang menyebabkan hakim
kesulitan untuk melakukan mediasi. Sebagaimana juga penelitian yang pernah
dilakukan oleh Zainuddin Fajari,
3
punya hasil penelitian mengenai pelaksanaan mediasi. Sewaktu masih menjadi Direktur Pranata dan Tatalaksana Perkara
Perdata Agama Ditjen Badilag pada tahun 2009, pihaknya pernah membuat survei dengan sampel pengadilan-pengadilan di Jawa dan Sumatera.
“Ternyata keberhasilan mediasi kira-
kira sekitar dari 5 persen,”
3
http:www.badilag.netcomponentcontentarti
Setelah dianalisis, ditemukan tiga faktor yang membuat tingkat keberhasilan mediasi di peradilan agama rendah. Pertama, konflik yang terjadi
kebanyakan adalah perceraian yang menyangkut persoalan harga diri dan martabat.
Kedua, sebelum ke PA, konflik tersebut sudah diselesikan di tingkat keluarga, tokoh masyarakat, dan lain-
lain. “Jadi ada anggapan selama ini, ke PA itu cuma untuk cari surat cerai saja. Mereka tidak menginginkan sidang, apalagi
me diasi,”.
Ketiga, keterampilan mediator. Mediator biasanya menasehati para pihak yang bersengketa dengan menggunakan ayat-ayat suci, hadis, kata-kata bijak
ulama, dan mengingatkan kembali momen-momen indah sebelum pernikahan.
C. Tingkat Keberhasilan Hakim Dalam Mediasi Sengketa Perceraian