Problematika Dalam Melaksanakan Perlindungan Terhadap

terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian, lingkungan hidup menjadi pertimbangan inheren dalam setiap kebijakan bisnis, bukan karena pentingnya lingkungan hidup pada dirinya sendiri melainkan karena kelangsungan bisnis tergantung dari kepeduliannya terhadap kelestarian lingkungan hidup. 270 Bahkan, dalam perkembangannya moral sebagai unsur dari tanggung jawab sosial perusahaan telah dijadikan instrument untuk mengendalikan perilaku agar orang tidak melakukan tindakan yang mencemari lingkungan yang disebut dengan moral suasion. 271 Contoh dari pelaksanaan moral suasion adalah apa yang diterapkan oleh perusahaan Volvo 272 dimana perusahaan tersebut membuat laporan terbuka mengenai dampak lingkungan yang diakibatkan oleh perusahaan. Berbagai sarana yang digunakan oleh Volvo untuk mengurangi dampak lingkungan oleh aktivitas perusahaan adalah audit lingkungan, kegiatan daur ulang, kerja sama dengan pihak supplier, dan training program. 273

B. Problematika Dalam Melaksanakan Perlindungan Terhadap

Lingkungan Hidup Pola perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia saat ini dirasakan oleh berbagai pihak belum mencerminkan adanya suatu kesinambungan 270 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Op.Cit., hlm. 59-60. 271 Moral suasion adalah suatu program yang bersifat persuasif dengan cara menyerukan kepada perasaan setiap orang akan nilai-nilai moral atau kewajiban-kewajiban umum agar setiap orang menahan diri untuk melakukan tindakan yang merusak lingkungan. Lihat A’an Efendi, Op .Cit., hlm. 195. 272 Volvo adalah salah satu kelompok industri terbesar di Skandinavia yang kegiatan bisnisnya adalah memproduksi mobil, truk, bus, dan peralatan konstruksi, mesin industri kelautan, serta pesawat terbang. Lihat Ibid. 273 Ibid., hlm. 195-196. antara pengelolaan lingkungan secara lestari dengan pencapaian kemakmuran. 274 Dalam menjalankan kegiatan usahanya, kalangan bisnis tetap harus mempertimbangkan disamping aspek hukum, juga tanggung jawab moral dari kegiatan mereka. Walaupun dunia bisnis mengakui kewajiban untuk berperilaku etis, tetapi menemui kesulitan untuk mengembangkan dan menerapkan prosedur untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Salah satu kesulitannya adalah dari kenyataan yang semakin berkembang bahwa masalah moral muncul dari segala aspek kegiatan bisnis. Menurut tradisi, membicarakan etika bisnis terbatas pada topik tertentu seperti iklan yang menyesatkan, itikad baik dalam negosiasi kontrak, larangan penyuapan. Dewasa ini, masalah yang berkaitan dengan tanggung jawab moral dan bisnis berkembang dari keputusan kepada perusakan lingkungan. 275 Corporate responsibilities terbagi atas dua, pertama, yang sifatnya internal dan kedua, yang sifatnya eksternal. Kalau internal menyangkut transparansi, sehingga ada yang namanya good corporate governance. Di kalangan perusahaan publik diukur dengan keterbukaan informasi. Untuk eksternal, menyangkut lingkungan tempat tempat perusahaan berada, misalnya harus memperhatikan polusi, limbah, maupun partisipasi lainnya. 276 274 Deni Bram, Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Malang: Setara Press, 2014, hlm. 93. 275 Erman Rajagukguk, Loc.Cit., hlm. 5-6. 276 Hendrik Budi Untung, Op.Cit., hlm. 10-11. Kejadian bencana alam yang belakangan ini sering terjadi di Indonesia dan juga berbagai pencemaran serta perusakan lingkungan yang timbul di Indonesia, menurut beberapa ahli, disebabkan karena tidak diterapkannya konsep sustainable development secara holistik. 277 1. prinsip kehati-hatian yang tidak dilaksanakan dengan baik Problem bagi perusahaan publik dalam melaksanakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup saat ini sekurang-kurangnya didasari pada beberapa faktor, yaitu: 278 2. tidak ditaatinya pelaksanaan dari izin lingkungan; ; 3. penegakan hukum lingkungan yang lemah; 4. rendahnya etika perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosial; dan 5. pelanggaran terhadap prinsip full and fair disclosure. Pelanggaran prinsip keterbukaan juga termasuk pernyataan menyesatkan yang disebabkan adanya misrepresentation atau omission akan menciptakan gambaran yang salah tentang kualitas emiten, manajemen, dan potensi ekonomi emiten. 279 Contoh kasus mengenai masalah di atas dapat dilihat pada kasus tumpahan minyak di teluk meksiko oleh British Petroleum pada tahun 2010. Tragedi tumpahan minyak merupakan kelalaian British Petroleum dan bukan yang pertama kalinya menghadapi tuntutan terkait isu lingkungan seperti, tumpahan minyak, ledakan, dan lainnya. 280 277 Deni Bram, Op.Cit., hlm. 94. 278 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penjelasan Pasal 2 huruf f menyebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha danatau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup.” 279 Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, Op.Cit., hlm. 73. 280 Susi Rosmiati, Tesis: Tanggung Jawab British Petroleum dalam Kasus Tumpahan Minyak di Teluk Meksiko , Pekanbaru: Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Riau, 2013, hlm. 1-2. Di dalam kasus tersebut ternyata British Petroleum terbukti telah melakukan berbagai kesalahan, yaitu: 281 1. British Petroleum mengakui kesalahan atas kelalaiannya dan kesalahannya yang menyebabkan 11 orang di Deepwater Horizon ketika kilang meledak dan karam di April 2010; 2. Pelanggaran atas hukum air bersih dan migrasi burung; 3. Berbohong kepada kongres; dan 4. Berbohong kepada SEC dan memberi informasi yang menyesatkan kepada investor mengenai jumlah minyak yang bocor ke laut. Kasus lainnya seperti yang terjadi pada PT Freeport Indonesia dimana bencana-bencana akibat kelalaian operasi PT. Freeport Indonesia terhadap lingkungan hidup dan komunitas juga banyak terjadi. Misal, jebolnya Danau Wanagon sampai tiga kali akibat pembuangan limbah batuan yang sangat besar kapasitasnya dan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan. Peristiwa tersebut merupakan bukti kuat betapa PT. Freeport Indonesia sangat ceroboh dalam kegiatan pertambangannya. 282 Permasalahan ini juga diperkuat dengan pernyataan dari WALHI di dalam gugatannya terhadap PT. Freeport Indonesia. 283 281 Ibid., hlm. 11. 282 Bambang Rudito dan Metia Famiola, Etika Bisnis Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia , Bandung: Rekayasa Sains, 2007, hlm. 100. 283 Menurut WALHI, PT. Freeport Indonesia telah melakukan penyesatan informasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan cara: Pertama, dalam siaran pers tanggal 5 Mei 2000, PT. Freeport Indonesia menyebutkan: “sistem tanda bahaya yang telah dipasang bekerja dengan baik, dan telah menyiagakan seluruh masyarakat di Desa Banti untuk menjauhi sungai dan … banjir di Banti 16 Km dari Wanagon yang tidak memakan korban jiwa karena alarm peringatan dini dibunyikan pada waktunya.” Keterangan itu adalah bertentangan dengan informasi yang diterima WALHI dari masyarakat Banti. Masyarakat Banti mengetahui datangnya banjir dan lumpur justru dari bunyi gemuruh air. Kedua, pernyataan yang disampaikan kepada tergugat dalam siaran pers tanggal 5 Mei 2000, sebagaimana tersebut dalam yaitu, “perlu dicatat bahwa curah hujan yang terjadi beberapa hari sebelum kejadian, berkisar pada 40 mm per hari. Curah Selanjutnya, seperti sengketa kasus tambang yang terjadi di Meksiko mengenai kurangnya perhatian perusahaan tambang terhadap kerusakan lingkungan, keanekaragaman hayati, dan kesehatan penduduk. Di samping itu, perusahaan tambang kurang memberikan informasi tentang program pengembangan masyarakat yang telah dan akan dilakukan oleh perusahaan tambang. 284 Berbagai contoh kasus di atas telah membuktikan akan adanya konflik dari masyarakat yang terjadi akibat pelanggaran tersebut. Rendahnya nilai perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosialnya dianggap sebagai pemicu utama konflik-konflik seperti ini. 285 hujan tersebut adalah empat sampai lima kali dari keadaan normal, yang secara rata-rata berkisar 8 mm sehari.” Secara sengaja memberi kesan bahwa peristiwa longsornya batuan limbah di Danau Wanagon terjadi karena kondisi alam. Ketiga, Pernyataan FIC dalam siaran persnya tanggal 24 Mei 2000, yaitu … “tidak ditemukan adanya ancaman terhadap kesehatan jiwa serta kemungkinan dampak lingkungan jangka panjang yang mungkin terjadi dari kejadian itu” adalah dengan sengaja membohongi publik dalam hal ini bertentangan dengan hasil laporan Bapedal seperti tersebut dalam siaran persnya tanggal 17 Mei 2000, yaitu, “Longsoran tersebut dapat menyebabkan meluapnya material limbah Danau Wanagon” dimana sludge yang dimaksud merupakan bahan beracun dan berbahaya B3, sebagaimana disebutkan Bapedal dakan siaran persnya tersebut yaitu, “Mengingat sludge yang ada di dalam Danau Wanagon dikategorikan sebagai limbah B3 ….” Keempat, Pernyataan FIC lebih lanjut secara sengaja telah memberi kesan bahwa longsornya tumpukan batuan limbah adalah kondisi alam dan dengan demikian menutupi buruknya pengelolaan lingkungan dan kelalaian FIC sebagaimana tersebut dalam laporan hasil investigasi Bapedal pada peristiwa longsornya tumpukan batuan limbah pada bulan Juni 1988, yang menyatakan bahwa, “Disamping itu kejadian tanggal 22 Juni 1988 disebabkan kesalahan prosedur berupa aktivitas dumping yang berlebihan sehari sebelumnya”, dan juga pernyataan konsultan Call and Nicholas Inc ., yang menyatakan bahwa “… The Fact that displacement occurred associated with large dumping rates is sufficient .” Kelima, kesalahan prosedur di atas juga diperkuat oleh konsultan FIC yakni Call and Nicholas Inc., yang menyatakan bahwa, “On the 12, 18, and 19 June the tonnage dumped on the south end of the Wanagon OBS was in the range of 80,000 tons per day .” Di mana batas jumlah pembuangan batuan limbah adalah tidak melebihi 50.000 ton per hari sebagaimana disebutkan oleh konsultan CNI. “Most of the displacement can be correlated to the time periods when the dumping tonnage was greater than 50,000 tpd .” Lihat Bismar Nasution, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, Op.Cit., hlm. 184-185. 284 Salim HS, Op.Cit., hlm. 227. 285 Bambang Rudito dan Metia Famiola, Op.Cit., hlm. 101. Pada saat ini, masalah-masalah lingkungan hidup seperti tidak diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Misalnya, pabrik tekstil meminimalkan ongkosnya dengan cara membuang limbahnya ke sungai atau ke tanah tanpa melalui suatu sistem pengolahan. Tindakan ini dapat mencemarkan badan sungai dan menimbulkan ongkos untuk pembersihannya yang harus diderita oleh masyarakat. 286 286 Surna Tjahja Djajadiningrat, Yeni Hendriani, dan Melia Famiola, Op.Cit., hlm. 6. BAB IV PENGAWASAN TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PUBLIK DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM HUKUM PASAR MODAL INDONESIA

A. Pihak-Pihak Yang Melakukan Pengawasan Atas Pelaksanaan Tanggung