Potensi antioksidan filtrat dan biomassa hasil fermentasi kapang endofit colletotrichum spp. dari tanaman kina (cinchona calisaya wedd.)

(1)

POTENSI ANTIOKSIDAN FILTRAT DAN BIOMASSA HASIL

FERMENTASI KAPANG ENDOFIT Colletotrichum spp.

DARI TANAMAN KINA (Cinchona calisaya Wedd.)

AYU SEPTIAWAN

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

AYU SEPTIAWAN

1110095000004

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M / 1436 H


(3)

(4)

(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Desember 2014

Ayu Septiawan 1110095000004


(6)

spp.

dari

Tanaman

Kina


(7)

ABSTRAK

AYU SEPTIAWAN. Potensi Antioksidan Filtrat dan Biomassa Hasil Fermentasi Kapang Endofit Colletotrichum spp. dari Tanaman Kina

(Cinchona calisaya Wedd.). Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan

Teknologi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014.

Kapang endofit yang hidup pada suatu tanaman memiliki kemampuan untuk menghasilkan senyawa metabolit yang sama dengan tanaman inang tanpa merugikan inangnya. Kapang endofit Colletotrichum spp. pada tanaman kina (Cinchona calisaya Wedd.) berpotensi menghasilkan senyawa antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ekstrak biomassa dan filtrat kapang endofit Colletotrichum spp. sebagai antioksidan serta mengetahui aktivitas antioksidan yang tertinggi dari keduanya. Ekstrak diuji menggunakan metode 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) dengan pengujian Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan spektrofotometer UV-Vis. Pengujian KLT menunjukkan seluruh ekstrak filtrat dan biomassa Colletotrichum spp. memiliki hasil positif antioksidan yang ditandai dengan perubahan warna pelat menjadi kuning. Terdapat dua isolat yang memiliki nilai Rf yang hampir sama dengan standar vitamin C yaitu ekstrak biomassa Colletotrichum sp. 8 dan ekstrak filtrat Colletotrichum sp. 10 yaitu 0,71. Pengujian spektrofotometer UV-Vis menunjukkan bahwa isolat M1 (Colletotrichum sp. 1) memiliki nilai Inhibition Concentration 50% (IC50)

tertinggi ekstrak biomassa yaitu 1489,565 ppm dan ekstrak filtrat yaitu 837,143 ppm. Hasil identifikasi senyawa menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrophotometry (GCMS) menunjukkan terdapat 4 senyawa dari ekstrak biomassa dan 5 senyawa dari ekstrak filtrat yang memiliki aktivitas antioksidan.

Kata kunci: Antioksidan, Colletotrichum, ekstrak biomassa, ekstrak filtrat, 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH).


(8)

Biology. Faculty of Science and Technology. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014.

Endophytic fungus which lived on a plant can produce a metabolit compound that equal to the host plant without damaging the plant. Endophytic fungus in

cinchona plant (Cinchona calisaya Wedd.) was potentially produce bioactive compound, the example was Colletotrichum spp. The research aimed to know the potential of biomass and filtrate extract of Colletotrichum spp. as an antioxidant with the highest antioxidant activity amongst them. The extract was test with 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl method (DPPH) with Thin Layer Cromatografi (TLC) and UV-Vis spectrofotometry tested. The result from TLC test showed that all of the Colletotrichum spp. filtrate and biomass had positive value antioxidant seen from the color turning to yellow after it extracted with DPPH solution. There are two isolates which has an Rf value that almost equal to the vitamin C standard that is 0.71, those are biomass extract Colletotrichum sp. 8 and filtrate exctract

Colletotrichum sp. 10. UV-Vis spectrofotometry tested showed M1 (Colletotrichum sp. 1) isolate has the highest IC50 (inhibition concentration)

biomass extract value of 1489,565 ppm and filtrat exctract value of 837,143 ppm. The result of compound identification with GCMS showed that were four compound of biomass extract and five of filtrate extract that have antioxidant activity.

Kata kunci: Antioxidant, biomass extract, Colletotrichum, filtrate extract, 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH).


(9)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Potensi Antioksidan Filtrat dan Biomassa Hasil Fermentasi Kapang Endofit Colletotrichum spp. dari Tanaman Kina (Cinchona calisaya Wedd.)

ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat melaksanakan tugas akhir pada Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Agus Salim, M.Si., selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Dasumiati, M.Si., selaku Ketua Jurusan Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan penguji I sidang skripsi yang telah memberikan saran, kritik dan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

3. Etyn Yunita, M.Si., selaku Sekertaris Jurusan Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan penguji II sidang skripsi yang telah memberikan saran, kritik dan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.


(10)

ii

5. Drs. Dede Sukandar, M.Si., selaku pembimbing II yang telah memberikan ilmu, pengarahan, pemahaman, saran dan bimbingan selama melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi.

6. Kedua orang tua yang saya cintai yaitu Jurnalis Chaniago dan Irnawati karena telah memberikan dukungan moril maupun materil, serta keluarga besar saya yang memberikan motivasi dalam menyelesaikan penulisan.

7. Dr. Irawan Sugoro, Dr. Megga Ratnasari Pikoli, dan Adi Riyadhi, M.Si. selaku penguji seminar yang memberikan saran dan kritik.

8. Seluruh dosen Jurusan Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik penulis selama kegiatan perkuliahan.

9. Dalli, Alfida, Ario, Arif, Indina, Irma, Jane, Ima, Ayun, Nisa, Mutia, Sara, Ica, Rini, Mala, Mega serta seluruh rekan-rekan Biologi angkatan 2010 yang memberikan motivasi kepada penulis semoga silaturahmi kita semua terus terjalin sampai akhir hayat.

10.Ami Prawira yang selalu meluangkan waktu dan memberikan motivasi penulis saat penelitian dan penulisan skripsi.

11.Ka Rina dan Ka Kiki yang membantu penulis saat penelitian di PLT UIN Syarif Hidayatullah.


(11)

iii

12.Puji Astuti, S.Si., Ida Farida, S.Pd., Festy Auliyaur R, S.Si., Nur Amaliah Solihat, S.Si., Fitriyah, S.Si., mba Nita, pak Aris, mba ernita, dan staf laboratorium lainnya di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis saat penelitian.

13.Semua pihak yang senantiasa memberikan dorongan serta bantuan moral maupun material sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari dalam penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik dari pembaca yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Jakarta, Desember 2014


(12)

iv

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4. Tujuan ... 4

1.5. Manfaat ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Tanaman Kina (Cinchona calisaya Wedd.) ... 5

2.1.1 Senyawa Bioaktif pada Tanaman Kina (Cinchona calisaya Wedd.) ... . 6

2.2. Mikroba Endofit ... 7

2.2.1 Interaksi Mikroba Endofit dengan Tanaman ... 8

2.3. Colletotrichum spp ... 8

2.4. Radikal Bebas dan Antioksidan ... 10

2.5. Uji DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) ... 12

2.6. Kromatografi Lapis Tipis ... 13

2.7. Spektrofotometer UV-Vis ... 15

2.8. GC-MS ... 15

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 17

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

3.2. Alat dan Bahan ... 17

3.3. Sumber Isolat ... 18


(13)

v

3.4.1.Bagan Kerja Penelitian ... 19

3.4.2.Peremajaan Kapang Endofit ... 20

3.4.3.Pengamatan Kapang Endofit ... 20

3.4.4.Fermentasi Cair Kapang Endofit ... 20

3.4.5.Ekstraksi Hasil Fermentasi dengan Pelarut Organik ... 21

3.4.6.Uji Senyawa Antioksidan dari Ekstrak Hasil Fermentasi ... 22

3.4.6.1 Metode DPPH Menggunakan Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 22

3.4.6.2 Metode DPPH Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis ... 23

3.4.7. Analisis Ekstraksi Metabolit Sekunder dengan GC-MS ... 23

3.5. Analisis Data ... 24

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 Fermentasi Cair Kapang Endofit Coletotrichum spp. ... 25

4.2 Uji Autografi Aktivitas Antioksidan ... 28

4.3 Uji Aktivitas Antioksidan Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis ... 31

4.4 Analisa GC-MS ... 38

BAB V. PENUTUP ... 44

5.1 Kesimpulan ... 44

5.2 Saran ... 44


(14)

vi

Gambar 2. Morfologi Colletotrichum spp A) makroskopis B) mikroskopis ... 9

Gambar 3. Konida dan appresoria dalam skala 10 µm dari genus Colletotrichum A) Colletotrichum crassipes (kiri) dan B)Colletotrichum gleosporoides (kanan) ... 9

Gambar 4. Struktur kimia DPPH ... 13

Gambar 5. Mekanisme reaksi metode DPPH ... 13

Gambar 6. Skema bagan kerja penelitian ... 19

Gambar 7 Nilai Rf (Retardation factor) keterangan: K) kontrol Vitamin C A) intraseluler Colletotrichum sp. 8 B) ekstraseluler Colletotrichum sp. 10 ... 30

Gambar 8. Aktivitas antioksidan ekstrak filtrat Colletotrichum spp. berdasarkan nilai IC50 ... 32

Gambar 9. Aktivitas antioksidan ekstrak biomassa Colletotrichum spp. berdasarkan nilai IC50 ... 34

Gambar 10. Kromatogram hasil GC-MS ekstrak filtrat ... 38


(15)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kode isolat Colletorichum spp. ... 18 Tabel 2. Hasil fermentasi cair kapang endofit Colletorichum spp. pada

medium PDB selama 21 hari pada suhu ruang ... 25 Tabel 3. Hasil uji KLT ekstrak Colletorichum spp. setelah disemprot

DPPH ... 29 Tabel 4. Hasil identifikasi komponen ekstrak filtrat Colletorichum sp. 1

dengan pelarut etil asetat ... 38 Tabel 5. Hasil identifikasi komponen ekstrak biomassa Colletorichum sp.1


(16)

viii

Lampiran 2. Hasil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ekstrak kapang

endofit Colletotrichum spp. ... 58 Lampiran 3. Hasil uji antioksidan ... 62


(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donors). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh (Winarsi, 2007). Senyawa bioaktif antioksidan dapat diperoleh dari beberapa sumber yaitu tanaman, hewan, mikroba dan organisme laut (Prihatiningtias, 2005). Penggunaan senyawa antioksidan saat ini semakin meluas seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang peranan antioksidan dalam menghambat penyakit degeneratif (Tahrir et al., 2003).

Salah satu tanaman obat yang banyak dikenal adalah tanaman kina (Cinchona calisaya Wedd.). Tanaman kina (Cinchona sp.) dapat menghasilkan senyawa alkaloid kuinin, kuinidin, sinkonin, dan sinkonidin yang dapat digunakan sebagai sumber bahan baku obat antimalaria (Simanjuntak et al., 2002). Ekstrak daun tanaman Cinchona ledgeriana diketahui memiliki aktivitas antioksidan serta kadar fenol yang tinggi (Al–Mustafa dan Al–Thunibat, 2008). Tanaman Cinchona officinalis memiliki aktivitas antioksidan dan mengandung senyawa fenolik (Ravishankara et al., 2003).

Kapang endofit adalah kapang yang hidup di dalam jaringan tanaman dan mampu membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan tanaman inangnya. Kapang endofit memiliki kemampuan untuk menghasilkan


(18)

senyawa metabolit yang sama dengan tanaman inangnya (Strobel dan Daisy, 2003). Penelitian dari Maehara et al. (2011), menyatakan bahwa kapang endofit

Diaporthe sp. yang diisolasi dari tanaman kina dapat memproduksi senyawa alkaloid yang sama seperti tanaman kina. Penelitian dari Winarno (2006), menyatakan bahwa kapang endofit dari batang C. ledgeriana dan C. pubescens

dapat menghasilkan senyawa alkaloid yang sama seperti tanaman inangnya. Kapang endofit yang hidup pada suatu tanaman telah banyak diteliti sebagai sumber penghasil senyawa bioaktif salah satunya sebagai antioksidan. Kapang Phomopsis sp. dari tanaman obat Mesua ferrea memiliki aktivitas antioksidan dengan pengujian peredaman radikal bebas (Jayanthi et al., 2011). Kapang endofit Phomopsis sp. dan Xylaria sp. dari tanaman Emblica officinalis

memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi (Nath et al., 2012). Kapang genus

Aspergillus dan Colletotrichum dari tanaman Rhizophora sp. memiliki aktivitas antioksidan (Saputri, 2013). Kapang Colletotrichum gleosporioides dari tanaman

Justicia gendarussa menghasilkan senyawa antikanker yang sama seperti tanaman induknya (Gangadevi dan Muthumary, 2008). Kapang endofit Colletotrichum spp. dari tanaman C. calisaya Weed. menghasilkan senyawa kuinin serta senyawa bioaktif lainnya yang berperan sebagai antibakteri (Mutiea, 2014). Kapang endofit yang hidup pada tanaman kina dapat digunakan sebagai salah satu sumber penghasil senyawa antioksidan.

Kapang Colletotrichum termasuk genus yang banyak ditemukan setelah kapang Phomopsis spp. sebagai kapang endofit dari tanaman kina (C. calisaya


(19)

3

Colletotrichum spp. sebanyak 14 morphotype. Kapang Colletotrichum spp. telah diisolasi dari beberapa organ tanaman kina yaitu daun, buah, kulit kayu, petiole, dan akar di Pusat Perkebunan Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Ciwidey, Jawa Barat. Selama ini belum pernah dilaporkan potensi antioksidan isolat kapang endofit Colletotrichum spp. dari tanaman kina karena penelitian kapang endofit dari tanaman kina lebih banyak difokuskan untuk mendapatkan senyawa kuinin sebagai antimalaria. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian potensi antioksidan isolat kapang endofit Colletotrichum spp. dari tanaman kina (C. calisaya Wedd.).

1.2 Rumusan Masalah

1. Isolat ekstrak filtrat dan biomassa kapang endofit Colletotrichum spp. dari tanaman kina (C. calisaya Wedd.) manakah yang berpotensi sebagai antioksidan?

2. Bagaimana aktivitas antioksidan ekstrak filtrat dan biomassa isolat kapang endofit Colletotrichum spp. dari tanaman kina(C. calisaya Wedd.)?

1.3 Hipotesis

1. Seluruh isolat ekstrak filtrat dan biomassa kapang endofit Colletotrichum

spp. dari tanaman kina (C. calisaya Wedd.) berpotensi sebagai antioksidan.


(20)

2. Ekstrak filtrat dan biomassa isolat kapang endofit Colletotrichum spp. dari tanaman kina (C. calisaya Wedd.) memiliki aktivitas antioksidan yang berbeda.

1.4 Tujuan

1. Mengetahui potensi ekstrak filtrat dan biomassa seluruh isolat kapang endofit Colletotrichum spp. daritanaman kina (C. calisaya Wedd.) sebagai antioksidan.

2. Mengetahui aktivitas antioksidan yang tertinggi dari ekstrak filtrat dan biomassa isolat kapang endofit Colletotrichum spp. dari tanaman kina (C. calisaya Wedd.).

1.5 Manfaat

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang potensi isolat kapang endofit Colletotrichum spp. dari tanaman kina (C. calisaya Wedd.) sebagai antioksidan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif sumber senyawa bioaktif alami.


(21)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kina (Cinchona calisaya Wedd.)

Tanaman kina merupakan tanaman obat berupa pohon yang berasal dari Amerika Selatan di sepanjang pegunungan Andes. Tanaman kina masuk ke Indonesia tahun 1852 berasal dari Bolivia (Sultoni, 1995). Tinggi pohon antara 4-15 m, berbulu halus atau lokos. Daun elip sampai lanset, bagian pangkal dan ujung daun lancip, tangkai daun tidak berbulu, panjang tangkai 3-6 mm. Mahkota bunga berwarna kuning agak putih, bentuk melengkung panjang 8-12 mm. Buah lanset sampai bulat telur dengan ukuran panjang 8-12 mm dan lebar 3-4 mm (Tao dan Taylor, 2011). Menurut Tjitrosoepomo (2002), klasifikasi tanaman kina adalah sebagai berikut Kelas : Dicotyledoneae; Suku : Rubiaceae; Genus :

Cinchona; Spesies : Cinchona calisaya Wedd.

Tanaman kina tumbuh baik dengan curah hujan tahunan ideal yaitu 2.000-3.000 mm/tahun dan merata sepanjang tahun, penyinaran matahari yang tidak terlalu terik, temperatur antara 13,5-21°C, kelembaban relatif 68-97% (Tao dan Taylor, 2011). Pengembangan usaha tanaman kina terus berkurang, sehingga kebun yang ada kurang terpelihara dan tidak ada program replanting yang baik. Kondisi tanaman kina koleksi kebun percobaan Gambung rusak berat, minimnya pemeliharaan, dan banyaknya tanaman mati. Pengelolaan diprioritaskan kepada rehabilitasi aksesi tanaman yang hilang (Komisi Nasional Sumber Daya Genetik, 2008).


(22)

Gambar 1. Morfologi Bunga, Daun dan Batang Cinchona calisaya Wedd. (Dokumentasi pribadi, 2013).

2.1.1 Senyawa Bioaktif pada Tanaman Kina (Cinchona calisaya Wedd.)

Tanaman kina merupakan bahan baku farmasi yang sangat bernilai ekonomis dan dikenal lama sebagai obat antimalaria. Khasiat tanaman kina sebagai antimalaria berasal dari senyawa bioaktif berupa alkaloid kinin (C20H24N2O2), kinidin (isomer dari kinin), sinkona (C19H22N2O) dan sinkonidin

(isomer dari sinkona). Beberapa bagian dari tanaman kina (akar, batang, daun dan kulit) mengandung senyawa alkaloid kuinin dalam jumlah yang berbeda (Simanjuntak et al., 2002).

Alkaloid yang sangat penting dari tanaman kina yaitu kinin (C20H24N2O2)

untuk penyakit malaria dan kinidin (isomer dari kinin) untuk penyakit jantung (Sultoni, 1995). Umumnya di dalam ekstrak C. ledgeriana Moens dan C. pubescens VAHL terdapat 12-18% alkaloid (Winarno, 2006). Ekstrak kulit kayu

Cinchona officinalis memiliki komponen fenolik yang berperan sebagai antioksidan (Ravishankara, 2003). Ekstrak daun Cinchona ledgeriana memiliki aktivitas antioksidan dan kadar fenol yang tinggi (Al-Mustafa dan Al-Thunibat, 2008).


(23)

7

2.2 Mikroba Endofit

Mikroba endofit adalah mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman pada periode tertentu dan mampu hidup dengan membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya. Mikroba endofit dapat diisolasi dari jaringan akar, batang, dan daun. Jenis mikroba yang paling umum ditemukan adalah fungi (Strobel dan Daisy, 2003). Menurut Radji (2005), mikroba endofit memiliki kemampuan untuk memproduksi senyawa metabolit sekunder sesuai tanaman inangnya. Menurut Tan dan Zou (2001), hal ini disebabkan adanya pertukaran genetik yang terjadi antara inang dan mikroba endofit secara evolusioner. Kapang diketahui mampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, terpen, steroid, flavonoid, kuinon, fenol dan lain sebagainya. Senyawa-senyawa ini sebagian besar mempunyai potensi sebagai senyawa bioaktif. Menurut Winarsi (2007), flavonoid dan kuinon diketahui merupakan antioksidan non enzimatis larut lemak.

Kapang endofit tidak memerlukan lahan luas untuk tumbuh dan membutuhkan waktu lebih pendek untuk menghasilkan senyawa metabolit aktif dibandingkan bila menumbuhkan tanaman inangnya (Strobel dan Daisy, 2003). Hasil penelitian Azizah (2013), bahwa ekstrak isolat kapang dari tanaman

Avicennia sp. menghasilkan aktivitas antioksidan. Isolat kapang endofit yang menghasilkan aktivitas antioksidan adalah genus Aspergillus. Penelitian dari Winarno (2006), 2 jenis kapang endofit yang diisolasi dari batang kina Cinchona ledgeriana Moens dan Cinchona pubescens Vahl (Rubiaceae) dapat memproduksi senyawa alkaloid kinin dan sinkonin seperti yang dihasilkan pada kulit batang


(24)

kina. Berdasarkan penelitian Simanjuntak et al. (2002), skrining dan identifikasi hasil fermentasi dalam media sintetik menunjukkan bahwa mikroba endofit yang diisolasi dari tanaman Cinchona sp. dapat memproduksi senyawa alkaloid. Hasil penelitian yang dilakukkan oleh Nath et al. (2012) menyatakan bahwa kapang endofit Phomopsis sp. dan Xilaria sp. memperlihatkan aktifitas antioksidan yang tinggi dan juga memiliki tingkat fenol yang tinggi.

2.2.1 Interaksi Mikroba Endofit dengan Tanaman

Hubungan simbiosis mutualisme antara mikroba endofit dengan tanaman inang terutama perannya yang sangat penting dalam melindungi tanaman inangnya terhadap patogen dan predator (Strobel dan Daisy, 2003). Simbiosis antara fungi (mikroba) endofit dengan tanaman obat, fungi (mikroba) dapat membantu proses penyerapan unsur hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis serta melindungi tumbuhan inang dari serangan penyakit, dan hasil dari fotosinteis dapat digunakan oleh fungi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Petrini et al., 1992).

2.3 Colletotrichum spp.

Ciri-ciri umum Colletotrichumsp. yaitu permukaan koloni berwarna putih dengan tepi tidak rata serta ekstur seperti kapas tebal dan bagian belakang koloni berwarna putih dengan bercak merah kekuningan. Konidia berbentuk lonjong, berwarna hialin dan memiliki apresorium berdinding tebal. Spora Colletotrichum

tumbuh baik pada suhu 25-280C, sedang suhu dibawah 50C dan diatas 400C tidak dapat berkecambah (Semangun, 2000).


(25)

(26)

dijadikan bahan dalam meningkatkan produksi taxol seperti yang dihasilkan oleh

Justicia gendarussa (Gangadevi dan Muthumary, 2008). Ekstrak kapang endofit

Colletotrichum sp. dari tanaman Piper ornatum memiliki kemampuan sebagai antioksidan (Tianpanich et al., 2011). Ekstrak kapang endofit Colletotrichum dari tanaman Polygala elongata berpotensi sebagai sumber antioksidan (Pawle dan singh, 2014).

2.4 Radikal Bebas dan Antioksidan

Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa berupa oksigen reaktif dan sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan serta memiliki reaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan senyawa oksidan non radikal. Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara yaitu secara endogen (sebagai respon normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel) dan secara eksogen (misalnya dari polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui kulit). Serangan radikal bebas terhadap molekul di sekelilingnya akan menyebabkan terjadinya sebuah reaksi berantai yang dapat menghasilkan senyawa radikal baru. Dampak reaktivitas senyawa radikal bebas yaitu kerusakan sel atau jaringan, penyakit autoimun, penyakit degeneratif, hingga kanker (Winarsi, 2007). Serangan radikal bebas ini dapat diatasi dengan suatu senyawa penangkal yang disebut antioksidan (Salamah et al., 2011).

Senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donors). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan


(27)

11

sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa dihambat. Berdasarkan sumbernya ada dua macam antioksidan yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik). Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan oksigen reaktif dan mampu menghambat penyakit degeneratif (Winarsi, 2007).

Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi 2, yaitu antioksidan enzimatis dan non enzimatis. Antioksidan enzimatis misalnya enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksida. Antioksidan non enzimatis masih dibagi lagi menjadi dua kelompok yaitu antioksidan larut lemak dan antioksidan larut air. Tokoferol, karotenoid, flavonoid, quinon, dan bilirubin tergolong antioksidan larut lemak. Asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein pengikat heme tergolong antioksidan larut air. Vitamin C atau asam askorbat mampu bereaksi dengan radikal bebas kemudian berubah menjadi radikal askorbil. Askorbat dapat langsung menangkap radikal bebas dengan atau tanpa katalisator enzim. Reaksinya terhadap senyawa oksigen reaktif lebih cepat dibandingkan dengan komponen cair lainnya (Winarsi, 2007). Antioksidan tidak hanya digunakan dalam industri farmasi, tetapi juga digunakan secara luas dalam industri makanan, industri petroleum, industri karet dan sebagainya (Tahrir et al., 2003). Senyawa bioaktif berupa antioksidan dapat diperoleh dari beberapa sumber diantaranya dari tumbuhan, hewan, mikroba dan organisme laut (Prihatiningtias, 2005).

Penelitian dari Azizah (2013), senyawa antioksidan yang dihasilkan dari ekstrak filtrat memiliki aktivitas yang paling tinggi dibandingkan yang dihasilkan


(28)

ekstrak biomassa yaitu memiliki IC50 407,407 µg/mL yaitu genus kapang

Aspergillus yang diisolasi dari tanaman mangrove Avicennia sp. Penelitian dari Saputri (2013), aktivitas antioksidan yang dihasilkan genus Colletotrichum yang diisolasi dari tanaman mangrove Rhizophora sp. ekstrak biomassa lebih tinggi yaitu IC50 44,62 µg/mL dibandingkan aktivitas antioksidan genus Aspergillus

ekstrak filtrat yaitu IC50 404,41 µg/mL (Saputri, 2013).

2.5 Uji DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)

DPPH merupakan senyawa radikal bebas. Metode uji DDPH adalah metode untuk mengukur kemampuan suatu senyawa antioksidan dalam menangkap radikal bebas. Penangkapan senyawa radikal bebas berhubungan dengan kemampuan komponen senyawa dalam menyumbangkan elektron atau hidrogen. Setiap molekul yang dapat menyumbangkan elektron atau hidrogen akan bereaksi dan akan memudarkan DPPH. Intensitas warna DPPH akan berubah dari ungu menjadi kuning oleh elektron yang berasal dari senyawa antioksidan. Semakin tinggi konsentrasi sampel yang digunakan maka semakin rendah nilai absorbansi dari larutan DPPH. DPPH memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm dengan warna violet gelap (Molyneux, 2004).

Metode DPPH merupakan metode yang sering digunakan untuk skrining aktivitas antioksidan berbagai tanaman obat. Metode ini didasarkan pada reaksi reduksi dari larutan metanol di dalam radikal bebas DPPH yang berwarna dengan penghambatan radikal bebas. Metode ini melibatkan pengukuran penurunan serapan DPPH pada panjang gelombang maksimalnya, dimana semakin besar konsentrasi semakin besar pula persen penghambatanya (Mailandari, 2012).


(29)

13

Gambar 4. Struktur Kimia DPPH (Molyneux, 2004)

Inhibiton Concentration (IC50) merupakan nilai yang menunjukkan

kemampuan penghambatan proses oksidasi sebesar 50% suatu konsentrasi sampel (ppm). Senyawa murni yang memiliki aktivitas antioksidan tinggi akan memiliki IC50 yang rendah. Aktivitas antioksidan yang sangat kuat memiliki nilai IC50

kurang dari 50 µg/mL begitu juga dengan nilai IC50 vitamin C sebagai kontrol

positif (Pratiwi et al., 2013). Antioksidan dikatakan kuat jika IC50 < 50 ppm, aktif

jika IC50 50-100 ppm, sedang jika IC50 101-250 ppm, lemah jika 250-500 ppm

dan tidak aktif jika IC50 > 500 ppm (Jun et al., 2003).

Gambar 5. Mekanisme reaksi metode DPPH (Molyneux, 2004)

2.6 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi merupakan metode pemisahan yang umum dilakukan untuk suatu campuran senyawa alam secara fisik yaitu dengan mendistribusikan komponen yang dipisahkan diantara dua fase, yaitu fase gerak dan fase diam. Tranfer massa antara kedua fase tersebut terjadi ketika komponen dalam


(30)

campuran terserap pada permukaan partikel atau terbagi kedalam sejumlah cairan yang melewatinya (Khopkar, 2003).

Salah satu jenis kromatografi cair-padat adalah kromatografi lapis tipis (KLT). Prinsip kerja dari KLT adalah perbedaan tingkat kelarutan suatu senyawa diantara dua fase. Metode ini sering digunakan karena sederhana, cepat dalam memisahkan dan sensitif. Metode KLT melibatkan dua sifat fase yaitu fase diam dan fase gerak dengan komposisi berbagi pelarut dimana dapat memisahkan senyawa berdasarkan perbedaan kepolaran. Fase diam yang digunakan adalah senyawa yang dapat menahan pergerakan sampel yang dibawa oleh fase gerak karena memiliki kepolaran yang sesuai dengan komponen yang dipisahkan. Fase diam yang digunakan adalah silika gel GF254. Permukaan silika gel terdiri atas

gugus Si-O-Si dan gugus silanol (Si-OH). Gugus silanol bersifat sedikit asam dan polar sehingga gugus ini mampu membentuk ikatan hidrogen dengan solut-solut yang sedikit polar sampai polar (Rohman dan Gandjar, 2008). Pemisahan yang optimal dapat terjadi apabila fase gerak yang digunakan adalah campuran dua pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut dapat mudah diatur (Rohman, 2009).

Kombinasi yang tepat antara pelarut, absorben, dan eluen penting dalam efisiensi eluasi. Teknik kromatografi lapis tipis sangat bermanfaat untuk menganalisis obat, senyawa-senyawa organik dan bahan lainnya (Harmita, 2006). Menurut Khopkar (2003), sampel diteteskan pada salah satu bagian tepi pelat kromatografi (sebanyak 0,01-10 µl). Pemisahan dengan KLT dapat menentukan plasticiser, tinta, antioksidan, dan formulasi zat pewarna.


(31)

15

2.7 Spektrofotometer UV-Vis

Metode ini didasarkan pada perubahan warna radikal bebas. Absorbansi yang diukur pada metode ini adalah absorbansi larutan DPPH sisa yang tidak beraksi dengan senyawa antioksidan. Spektrofotometer UV-Vis akan mengukur besarnya energi yang diabsorbansi atau diteruskan oleh suatu zat. Larutan yang mengandung zat yang dapat menyerap cahaya monokromatik akan mengakibatkan terjadinya pemantulan, penyerapan atau penerusan dari cahaya tersebut (Harmita, 2006). Panjang gelombang yang digunakan untuk uji antioksidan adalah panjang gelombang maksimum absorbansi. Variasi ukuran λ max yang digunakan adalah

515 nm, 516 nm, 517 nm, 518 nm, dan 520 nm (Molyneux, 2004). Penelitian Azizah (2013), menggunakan λ max sebesar 517 nm untuk mengetahui aktivitas

antioksidan dari ekstrak kapang mangrove Avicennia sp. dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Penelitian Saputri (2013), juga menggunakan λ max

sebesar 517 nm untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari ekstrak kapang mangrove Rhizophora sp. dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.

2.8GC-MS

Kromatografi spektroskopi massa merupakan teknik analisis yang menggabungkan dua metode analisa yaitu kromatografi gas dan spektroskopi massa. Kromatografi gas yaitu untuk menganalisis jumlah senyawa secara kuantitatif dan kedua spektrofotometri massa untuk menganalisis molekul struktur senyawa analitik. Prinsip kerja dari GC yaitu pemisahan campuran berdasarkan perbedaan kecepatan migrasi komponen-komponen penyusunnya. GC biasa


(32)

digunakan untuk mengidentifikasi suatu senyawa yang terdapat pada campuran gas dan juga menentukan konsentrasi suatu senyawa dalam fase gas. Penggunaan GC dapat dipadukan dengan MS sehingga menghasilkan data yang lebih akurat dalam mengidentifikasi senyawa yang dilengkapi standar molekulnya (Pavia et al, 2006).

Pemisahan komponen dalam GCMS terjadi di dalam kolom (kapiler) GC dengan melibatkan dua fase, yaitu fase gerak dan fase diam. Fase gerak merupakan gas pembawa dan fase diam adalah zat yang ada di dalam kolom. Proses pemisahan dapat terjadi karena terdapat perbedaan kecepatan alir dari tiap molekul di dalam kolom. Komponen yang telah dipisahkan masuk kedalam ruang MS sebagai detektor secara intrumentasi (Hermanto, 2008).


(33)

17

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013. Lokasi penelitian yaitu laboratorium Mikrobiologi, laboratorium Lingkungan dan Pangan. Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah autoklaf (ALP), timbangan analitik (Ohaus), Laminar Air Flow Cabinet (ESCI), rotary evaporator (Heidolph Instrument), hot plate (Thermolyne Chimarec ® 1), Magnetik Stirer, shaker, mikropipet 1000 µL dan 100 µL, vortex (Thermolyne), oven (Memmert), corong pisah (Schoot Duran), mortar, spektrofotometer UV-Vis (Perkin Elmer Precisely), mikroskop cahaya (Olympus C 011), mikroskop stereo (Olympus C 011), GC-MS Shimadzu QP 2010, lampu UV dan kamera.

Bahan-bahan yang digunakan adalah isolat kapang endofit Colletotrichum

spp. dari tanaman kina (Cinchona calisaya Wedd.), media Potato Dextrose Agar

(PDA), media Potato Dextrose Broth (PDB), etil asetat p.a, metanol p.a, alkohol 70%, 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), vitamin C, akuades, dan pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) silika gel GF254.


(34)

3.3 Sumber Isolat

Isolat kapang endofit Colletorichum spp. yang telah diisolasi berasal dari berbagai organ tanaman kina sebanyak 14 morphotype.

Tabel 1. Kode Isolat Colletorichum spp.

No Morphotype Kode isolat Hasil blast Sumber isolat 1 M1 3-1-5-B4 Colletotrichum sp. 1 Daun

2 M2 1-7-5-B3 Colletotrichum sp. 2 Buah

3 M3 1-4-5-A1 Colletotrichum sp. 3 Kulit kayu

4 M4 1-1-5-A2 Colletotrichum sp. 4 Daun

5 M5 4-7-5-C1 Colletotrichum sp. 5 Buah

6 M6 1-2-5-B1 Colletotrichum sp. 6 Petiole

7 M7 2-5-1-D1 Colletotrichum sp. 7 Akar

8 M8 5-7-5-B1 Colletotrichum sp. 8 Buah

9 M30 1-7-2-A4 Colletotrichum sp. 9 Buah

10 M37 5-4-2-A3 Colletotrichum sp. 10 Kulit kayu

11 M53 3-5-2-B1 Colletotrichum sp. 11 Akar

12 M57 3-7-4-C3 Colletotrichum sp. 12 Buah

13 M76 1-1-1-A5 Colletotrichum sp. 13 Daun


(35)

19

3.4 Cara Kerja

3.4.1. Bagan Kerja Penelitian

Ekstraksi Ekstraksi etil asetat 3X 3X metanol

Gambar 6. Skema Bagan Kerja Penelitian.

Isolat kapang endofit Colletotrichum spp. dari tanaman kina (C. calisaya Wedd.)

Peremajaan di media PDA

Fermentasi cair (Still culture) di media PDB

Hasil fermentasi

Filtrat Biomassa

Ekstrak etil asetat

Filtrat Biomassa Ekstrak metanol

Ekstrak kering

Ekstrak kering

Analisis Aktivitas Antioksidan

Autografi dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Spektrofotometer UV-Vis Pengamatan makroskopis dan mikroskopis


(36)

3.4.2. Peremajaan Kapang Endofit

Isolat kapang endofit Colletotrichum spp. dari masing-masing morphotype

ditanam pada cawan petri yang berisi media Potato Dextrose Agar (PDA) secara duplo dan disimpan selama 7 hari pada suhu ruang. Isolat yang diremajakan tersebut disimpan sebagai kultur stok dan working culture.

3.4.3. Pengamatan Kapang Endofit

Pengamatan secara makroskopis dilakukkan dengan mengamati warna koloni kapang, bentuk area miselium kapang, bentuk tepi miselium kapang, mengamati ada atau tidaknya bintik jingga dan bintik hitam serta kapang yang terdapat pada cawan didokumentasikan menggunakan kamera digital.

Pengamatan secara mikroskopis menggunakan mikroskop stereo dan mikroskop cahaya. Konidia diambil menggunakan ose secara aseptis. Bagian permukaan koloni diambil dan diletakan diatas gelas objek yang telah ditetesi

shear’s diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 100 sampai 1000

kali menggunakan minyak imersi.

3.4.4. Fermentasi Cair Kapang Endofit

Isolat tunggal yang telah diremajakan dari cawan petri diinokulasikan ke dalam medium fermentasi cair yaitu Potato Dextrose Broth (PDB). Medium PDB yang digunakan yaitu sebanyak 200 ml untuk setiap isolat. Pembuatan medium dilakukan dengan menimbang medium lalu dilarutkan dengan menggunakan akuades. Medium dilarutkan dan dipanaskan diatas hot plate menggunakan


(37)

21

kedalam botol fermentasi yang ditutup sumbat dan disterilisasi pada suhu 121°C selama 15 menit.

Inokulasi dilakukan dengan mengambil 3 cetakan dari isolat kapang yang ada didalam PDA cawan dengan sedotan steril lalu dimasukkan kedalam medium PDB secara aseptis. Medium PDB tersebut diinkubasikan selama 21 hari pada suhu ruang (27°C) tanpa pengocokan. Setelah 21 hari, hasil fermentasi dipisahkan antara filtrat dan biomassa dengan cara disaring untuk uji antioksidan.

3.4.5. Ekstraksi Hasil Fermentasi dengan Pelarut Organik

Hasil fermentasi yang telah disaring dan dipisahkan antara filtrat dan biomassa, kemudian diekstraksi cair cair pada filtrat dengan penambahan etil asetat sedangkan ekstraksi cair cair pada biomassa menggunakan metanol.

a) Ekstraksi cair cair terhadap filtrat (ekstrak filtrat)

Filtrat diberi etil asetat sebanyak 100 ml (v/v). Kemudian dikocok dalam corong terpisah, dan didiamkan beberapa saat sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan atas (lapisan organik) merupakan ekstrak etil asetat yang akan melarutkan senyawa-senyawa organik yang ada pada ekstrak kapang lalu fraksi ini dipisahkan. Lapisan bawah merupakan fraksi air lalu fraksi tersebut ditambahkan etil asetat baru kemudian dikocok dengan corong pisah dan didiamkan beberapa saat sampai terbentuk dua lapisan (pengocokan fraksi air dengan etil asetat dilakukkan sebanyak tiga kali) dan hanya lapisan atas saja yang diambil. Fraksi etil asetat yang diperoleh disatukan dan dikeringkan menggunakan rotary evaporator suhu 40°C sampai didapatkan ekstrak kering untuk uji antioksidan.


(38)

b) Ekstraksi cair cair terhadap biomassa (ekstrak biomassa)

Biomassa hasil saringan diekstraksi dengan metanol sebanyak 100 ml (v/v) dan dihaluskan menggunakan mortar sampai isolat kapang halus kemudian dimaserasi dan di shaker selama 24 jam. Kemudian disaring untuk diambil filtratnya sedangkan biomassanya (ampas) diberi metanol baru (maserasi dilakukan berulang sebanyak tiga kali). Hasil ekstraksi yang diperoleh kemudian dipekatkan menggunakan rotary evaporator suhu 40°C sehingga diperoleh ekstrak pekat untuk dilakukkan uji antioksidan.

3.4.6. Uji Senyawa Antioksidan dari Ekstrak Hasil Fermentasi

3.4.6.1. Metode DPPH Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Ekstrak pekat yang didapatkan dari biomassa dan filtrat sebanyak satu mg dilarutkan dengan 10 ml metanol lalu di vortex sampai larut, setelah itu sampel ditotolkan pada pelat kromatografi lapis tipis (KLT) begitu juga dengan pembuatan vitamin C sebagai kontrol. Pelat KLT dimasukkan ke dalam chamber

yang berisi fase gerak etil asetat: metanol : air dengan perbandingan (100:13,5:10) ml. Pelat yang telah mencapai garis akhir dikeluarkan dari chamber dan dikeringkan. Kromatogram disemprot menggunakan larutan DPPH (Tamat et al., 2007). Larutan stok DPPH disimpan kedalam botol gelap (pembuatan larutan DPPH selalu baru untuk setiap pengujian) lalu diamkan selama 20 menit (Saputri, 2013). Intensitas warna DPPH akan berubah dari warna ungu menjadi kuning yang disebabkan oleh elektron yang berasal dari senyawa antioksidan (Molyneux, 2004). Menurut Listiandiani (2011), bercak pada KLT diamati di bawah sinar UV


(39)

23

pada λ 254 nm dan λ 366 nm. Bercak pada pelat diamati dan dihitung nilai Rf (retardation factor) dengan rumus :

3.4.6.2. Metode DPPH Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis

Pengujian dilanjutkan dengan uji persentasi yaitu untuk menentukan kadar antioksidan menggunakan spektrofotometer dengan cara ekstrak dilarutkan didalam metanol dan dibuat stok untuk pengenceran. Seri pengenceran dibuat dari larutan stok sebanyak lima variasi konsentrasi. Ekstrak kapang dari berbagai variasi konsentrasi sebanyak 2 ml ditambahkan 2 ml DPPH 0,002% didalam metanol. Ekstrak didiamkan selama 30 menit di dalam botol gelap (Bendra, 2012). Larutan stok DPPH disimpan kedalam botol gelap (pembuatan larutan ini selalu baru untuk setiap pengujian) lalu diamkan selama 20 menit (Azizah, 2013). Pembanding (kontrol) yang digunakan adalah larutan vitamin C dalam metanol dengan berbagai variasi konsentrasi. Absorbansi dari kedua larutan tersebut diukur menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada λ maksimum 517 nm. Pengukuran absorbansi dilakukan 2 kali pengulangan. Aktivitas antioksidan diukur dari penurunan absorbansi larutan DPPH akibat penambahan ekstrak hasil fermentasi (Molyneux, 2004).

3.4.7. Analisis Ekstraksi Metabolit Sekunder dengan GC-MS

Ekstrak kapang endofit yang memiliki nilai IC50 yang tertinggi secara


(40)

untuk dianalisis menggunakan GC-MS Shimadzu QP 2010 untuk mengetahui komponen senyawa yang terdapat pada kedua ekstrak tersebut. Sampel sebanyak 1 µl diinjeksikan ke dalam GC-MS yang dioperasikan menggunakan kolom kaca panjang 25 m, diameter 0,25 mm dan ketebalan 0,25 µl dengan fase diam CP-Sil 5 CB dengan temperatur 10oC/menit, gas pembawa helium bertekanan 12 kPa, total laju 30 mL/menit dan split rasio sebesar 1:50 (Sastroamidjojo, 2001).

3.5 Analisis Data

Data hasil uji aktivitas antioksidan dibuat dalam bentuk kurva dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007. Pembanding (kontrol) yang digunakan adalah vitamin C. Persentase inhibisi ekstrak kapang terhadap larutan DPPH dihitung menggunakan rumus :

Hasil pengujian didapat nilai absorbansi sampel uji dan absorbansi kontrol, dari nilai absorbansi tersebut dihitung nilai % inhibisi dari berbagai konsentrasi kemudian disajikan dalam bentuk kurva regresi linier yang diplotkan antara konsentrasi pada sumbu X dengan aktivitas peredaman DPPH (% inhibisi) pada sumbu Y. Nilai IC50 ditetapkan dari persamaan regresi linier Y = ax+b dengan

memasukkan nilai 50 kedalam Y. Konsentrasi ini merupakan konsentrasi ekstrak hasil fermentasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan penghambatan radikal DPPH sebesar 50% (Azizah, 2013; Saputri, 2013).


(41)

25

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Fermentasi Cair Kapang Endofit Colletotrichum spp.

Fermentasi cair kapang endofit Colletotrichum spp. bertujuan untuk mendapatkan metabolit sekunder dari kapang tersebut. Medium Potato Dextrose Broth (PDB) adalah medium yang umum digunakan untuk menumbuhkan jamur, kapang dan khamir karena media ini mengandung sumber nutrisi yang mendorong sporulasi kapang, produksi zat warna dan pertumbuhan jamur secara subur (Pelczar dan Chan, 2010). Media PDB mengandung sumber karbon yang berasal dari kentang dan dextrose. Sumber karbon merupakan komponen terpenting dalam medium pertumbuhan, karena sel-sel mikroba sebagian besar terdiri dari unsur-unsur karbon dan nitrogen (Pratiwi, 2008).

Tabel 2. Hasil fermentasi cair kapang endofit Colletotrichum spp. pada medium PDB selama 21 hari pada suhu ruang.

No Kapang Tampak fisik Karakteristik

1 Medium PDB (kontrol) Medium berwarna kuning bening.

2 M1

(Colletotrichum sp.1)

Miselium berwarna putih seperti beludru. Warna medium mengalami perubahan menjadi kuning kecoklatan.

3 M2

(Colletotrichum sp.2)

Miselium berwarna putih keabuan seperti kapas. Warna medium berubah menjadi kuning kecoklatan.


(42)

Tabel 2. (lanjutan)

No Kapang Tampak fisik Karakteristik

4 M3

(Colletotrichum sp. 3)

Miselium berwarna putih seperti kapas. Warna medium berubah menjadi kuning keruh.

5 M4

(Colletotrichum sp. 4)

Miselium berwarna putih seperti beludru. Warna medium berubah menjadi kuning agak kecoklatan.

6 M5

(Colletotrichum sp. 5)

Miselium berwarna putih seperti beludru dengan sedikit miselium yang mengandung konidia berwarna jingga. Warna medium berubah menjadi kuning kecoklatan

7 M6

(Colletotrichum sp. 6)

Miselium berwarna putih agak krem dengan bercak abu-abu. Warna medium berubah menjadi kuning sedikit keruh.

8 M7

(Colletotrichum sp. 7)

Miselium berwarna abu-abu dengan sedikit warna putih seperti kapas. Warna medium berubah menjadi kuning keruh.

9 M8

(Colletotrichum sp. 8)

Miselium berwarna putih seperti beludru dengan sedikit miselium yang mengandung konidia berwarna jingga. Warna medium berubah menjadi kuning kecoklatan.

10 M30

(Colletotrichum sp. 9)

Miselium berwarna putih seperti beludru. Warna medium berubah menjadi kuning keruh agak kecoklatan.

11 M37

(Colletotrichum sp. 10)

Miselium berwarna putih seperti kapas. Warna medium berubah menjadi kuning agak kecoklatan.


(43)

27

Tabel 2. (lanjutan)

No Kapang Tampak fisik Karakteristik

12 M53

(Colletotrichum sp. 11)

Miselium berwarna putih keabuan seperti kapas. Warna medium berubah menjadi kuning lebih bening.

13 M57

(Colletotrichum sp. 12)

Miselium berwarna putih seperti kapas dengan sedikit miselium yang mengandung konidia berwarna jingga. Warna medium berubah menjadi kuning kecoklatan.

14 M76

(Colletotrichum sp. 13)

Miselium berwarna putih seperti beludru seperti kapas. Warna medium berubah menjadi kuning keruh.

15 M82

(Colletotrichum sp. 14)

Miselium berwarna putih dengan sedikit abu-abu dibagian tepi. Warna medium berubah menjadi kuning agak kecoklatan.

Miselium kapang endofit Coletotrichum spp. terbentuk pada bagian permukaan atas medium fermentasi cair (Tabel 2). Terbentuknya miselium karena adanya pertumbuhan dari kapang. Miselium yang terbentuk pada bagian permukaan atas medium diakibatkan karena saat fementasi medium tidak dikocok (still condition). Menurut Gandjar et al. (2006), proses pertumbuhan kapang dimulai dari konidia atau spora lalu berkecambah membentuk hifa kemudian membentuk miselium. Pertumbuhan kapang pada medium yang tidak dikocok akan mengakibatkan miselium tumbuh pada bagian permukaan atas medium berupa lapisan yang semakin lama akan menebal.


(44)

Warna medium PDB mengalami perubahan menjadi kuning kecoklatan yang awalnya kuning bening, seperti yang terjadi pada sampel M1, M2, M4, M5, M8, M30, M37, M57, dan M82. Warna medium menjadi kuning keruh yang awalnya kuning bening terjadi pada sampel M3, M6, M7, dan M76 sedangkan pada sampel M53 warna medium berubah menjadi kuning lebih bening (Tabel 2). Perubahan yang terjadi diduga karena adanya aktivitas dari kapang dalam memanfaatkan nutrisi yang terdapat pada medium PDB selama proses fermentasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Jauhari (2010), yang menyatakan bahwa perubahan warna substrat dapat dikarenakan adanya aktivitas kapang endofit atau proses metabolisme kapang dalam memanfaatkan nutrisi yang terdapat di dalam medium. Kapang diduga menghasilkan metabolit primer dan metabolit sekunder. Menurut Gandjar et al. (2006), pertumbuhan fungi dapat diketahui dari penambahan massa sel dan proses metabolisme kapang yang menyebabkan perubahan pada substrat yaitu timbulnya perubahan warna atau kekeruhan pada suatu substrat cair. Medium yang semula bening akan berubah menjadi keruh tetapi medium yang semula tidak terlalu bening menjadi bening karena adanya aktivitas dari kapang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kapang endofit

Colletotrichum spp. mengalami pertumbuhan dan menghasilkan metabolit dalam medium fermentasi PBD.

4.2 Uji Autografi Aktivitas Antioksidan

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) digunakan sebagai uji pendahuluan untuk mengetahui aktivitas antioksidan ektrak filtrat dan biomassa Colletotrichum spp. Aktivitas antioksidan dari ekstrak filtrat dan biomassa Colletotrichum spp.


(45)

29

ditandai dengan perubahan warna pada pelat KLT dari ungu menjadi kuning setelah disemprot larutan 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) (Mailandari, 2012). Keberadaan aktivitas antioksidan ditandai dengan hasil positif dan sebaliknya. Hasil uji KLT dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji KLT ekstrak Colletotrichum spp. setelah disemprot DPPH. No Sampel Filtrat Biomassa

1 M1 (Colletotrichum sp.1) + +

2 M2 (Colletotrichum sp.2) + +

3 M3(Colletotrichum sp.3) + +

4 M4 (Colletotrichum sp.4) + +

5 M5 (Colletotrichum sp.5) + +

6 M6 (Colletotrichum sp.6) + +

7 M7 (Colletotrichum sp.7) + +

8 M8 (Colletotrichum sp.8) + +

9 M30 (Colletotrichum sp.9) + + 10 M37 (Colletotrichum sp.10) + + 11 M53 (Colletotrichum sp.11) + + 12 M57 (Colletotrichum sp.12) + + 13 M76 (Colletotrichum sp.13) + + 14 M82 (Colletotrichum sp.14) + + 15 Vitamin C (kontrol) + + Keterangan: (+) memiliki senyawa aktif antioksidan (warna kuning)

(-) tidak memiliki senyawa aktif antioksidan

Hasil uji KLT memperlihatkan bahwa seluruh ekstrak filtrat dan biomassa

Colletotrichum spp. positif memiliki senyawa aktif antioksidan (Tabel 3). Hasil positif ditandai dengan adanya bercak kuning berlatar ungu yang semakin memudar setelah disemprot larutan DPPH (Lampiran 2). Hal ini sesuai dengan penelitian (Azizah, 2013), yang menyatakan bercak kuning berlatar ungu yang semakin memudar setelah disemprot DPPH menandakan adanya keberadaan senyawa antioksidan dari ekstrak sampel. Menurut Molyneux (2004), suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut


(46)

mampu mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan dengan DPPH ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu menjadi kuning pucat. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh ekstrak filtrat dan biomassa Colletotrichum spp. berpotensi sebagai antioksidan yang ditandai dengan hasil positif pada uji KLT.

Gambar 7. Nilai Retardation factor (Rf) K) kontrol Vitamin C A) ekstrak biomassa Colletotrichum sp.8 B) ekstrak filtrat Colletotrichum sp. 10 Nilai Retardation factor (Rf) digunakan untuk mengetahui komponen senyawa yang terdapat pada ekstrak filtrat dan biomassa yang akan dibandingakan dengan vitamin C. Nilai Rf standar vitamin C dengan menggunakan eluen etil asetat, metanol dan air adalah 0,74. Nilai Rf sampel yang mendekati nilai Rf standar vitamin C adalah ekstrak biomassa Colletotrichum sp. 8 dan ekstrak filtrat

Colletotrichum sp. 10 yaitu 0,71 dengan eluen yang sama (Gambar 7). Eluen yang digunakan untuk standar vitamin C sama dengan sampel. Nilai Rf antara bercak ekstrak biomassa Colletotrichum sp. 8 dan ekstrak filtrat Colletotrichum sp. 10 dengan standar vitamin C hampir sama. Menurut Rohman (2009), menyatakan bahwa suatu senyawa dapat dikatakan identik apabila mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi KLT yang sama. Menurut Margiono (2008),


(47)

31

apabila dua bercak memiliki nilai Rf yang hampir sama maka kemungkinan besar komponen tersebut berasal dari kelompok senyawa yang sama. Hal ini diduga bahwa bercak ekstrak biomassa Colletotrichum sp. 8 dan ekstrak filtrat

Colletotrichum sp. 10 dengan standar vitamin C diduga merupakan kelompok senyawa yang sama.

Nilai Rf dari seluruh sampel bervariasi ada yang nilainya lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan standar vitamin C yaitu dari 0,2 sampai 0,82 (Lampiran 2). Nilai Rf menunjukan keberadaan suatu senyawa yang terdapat di dalam suatu sampel. Senyawa yang terkandung antara satu sampel dengan sampel yang lain memiliki perbedaan. Menurut Lasmaria (2011), sampel yang memiliki nilai Rf yang lebih tinggi atau lebih rendah dapat dikarenakan adanya senyawa lain yang terkandung pada masing-masing ekstrak sehingga menghasilkan nilai Rf yang berbeda. Nilai Rf merupakan nilai yang sangat sensitif karena banyak faktor yang dapat menyebabkan nilai Rf berubah. Menurut Robinson (1995), nilai Rf berubah karena faktor suhu, eluen, dan banyaknya senyawa yang ditotolkan. Oleh karena itu, nilai Rf tidak dapat diandalkan untuk identifikasi senyawa sehingga perlu adanya pengujian lanjutan.

4.3 Uji Aktivitas Antioksidan Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis.

Pengujian aktivitas antioksidan metode 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) menggunakan spektrofotometer uv-vis melibatkan pengukuran nilai absorbansi pada panjang gelombang maksimum 517 nm dengan berbagai variasi konsentrasi yaitu 150 ppm, 300 ppm, 600 ppm, 1200 ppm dan 2400 ppm. Nilai absorbansi


(48)

akan menurun apabila konsentrasi sampel semakin besar yang mengakibatkan semakin besarnya persen penghambatan. Aktivitas antioksidan dari sampel akan merubah warna larutan DPPH dalam metanol yang semula berwarna ungu menjadi kuning (Molyneux, 2004; Lasmaria, 2011). Aktivitas antioksidan dinyatakan dengan nilai Inhibition Concentration 50% (IC50). Nilai IC50 dihitung

berdasarkan persen penghambatan terhadap radikal DPPH dari masing-masing konsentrasi larutan sampel secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Aktivitas antioksidan ekstrak filtrat Colletotrichum spp. berdasarkan nilai IC50

Hasil analisis regresi menunjukan bahwa seluruh ekstrak filtrat memiliki aktivitas antioksidan yang bervariasi. Ekstrak filtrat Colletotrichum sp. 1 memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dengan nilai IC50 837,143 ppm dan ekstrak filtrat

Colletotrichum sp. 11 memiliki aktivitas antioksidan terendah dengan nilai IC50

2017,2 ppm (Gambar 8). Aktivitas antioksidan dinyatakan dengan nilai IC50

dimana aktivitas antioksidan akanberbanding terbalik dengan nilai IC50. Semakin

tinggi aktivitas antioksidan suatu sampel maka semakin rendah nilai IC50 dan 0

500 1000 1500 2000 2500

IC

50

(ppm

)

ekstrak filtrat


(49)

33

sebaliknya (Pratiwi et al., 2013). Aktivitas antioksidan tertinggi dari seluruh ekstrak filtrat memiliki nilai IC50 sebesar 837,143 ppm. Hal ini menunjukkan

bahwa seluruh ekstrak filtrat Colletotrichum spp. tergolong tidak aktif sebagai antioksidan. Menurut Jun et al. (2003), aktivitas antioksidan dikatakan tidak aktif jika memiliki nilai IC50 > 500 ppm.

Aktivitas antioksidan seluruh ekstrak filtrat Colletotrichum spp. jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan vitamin C yang memiliki IC50 sebesar 3,793

ppm (Gambar 8). Rendahnya aktivitas antioksidan pada seluruh ekstrak filtrat

Colletotrichum spp. karena vitamin C merupakan senyawa murni yang umum digunakan sebagai pembanding karena memiliki aktivitas antioksidan kuat terbukti dengan nilai IC50 yang kecil (Arindah, 2010). Ekstrak filtrat

Colletotrichum spp. yang diuji pada penelitian ini masih berupa ekstrak kasar (crude extract) dan bukan senyawa murni. Menurut Hanani et al. (2005), apabila ekstrak masih berupa ekstrak kasar masih ada kemungkinan senyawa murni yang dikandung suatu sampel memiliki aktivitas peredaman radikal bebas lebih kuat dibandingkan ekstrak kasarnya.

Aktivitas antioksidan yang dihasilkan setiap ekstrak filtrat Colletotrichum

spp. bervariasi (Gambar 8). Perbedaan aktivitas antioksidan yang dihasilkan setiap ekstrak filtrat Colletotrichum spp. diduga karena setiap spesies kapang memiliki kemampuan yang berbeda dalam memproduksi senyawa metabolit. Menurut Pratiwi (2008), spesies mikroorganisme tertentu mungkin mampu memproduksi beberapa macam metabolit sekunder, sedangkan spesies yang lain hanya memproduksi satu atau dua macam metabolit sekunder saja. Oleh karena itu,


(50)

kemampuan setiap ekstrak filtrat kapang endofit Colletotrichum spp. berbeda dalam menghasilkan senyawa metabolit berupa antioksidan terlihat dari aktivitas antioksidan yang bervariasi.

Ekstrak filtrat Colletotrichum sp. 1 memiliki aktivitas antioksidan tertinggi apabila dibandingan seluruh ekstrak filtrat spesies lainnya (Gambar 8). Tingginya aktivitas antioksidan dari ekstrak filtrat Colletotrichum sp. 1 diduga karena spesies kapang endofit tersebut memiliki kemampuan memproduksi metabolit tertentu yang berperan sebagai antioksidan dibandingkan spesies lainnya. Menurut Strobel dan Daisy (2003), endofit dengan spesies yang sama diisolasi dari tanaman yang sama tetapi hanya salah satu endofit yang akan menghasilkan senyawa bioaktif sangat tinggi pada suatu kultur. Menurut Dewick (2002), produksi metabolit sekunder tertentu hanya ditemukan pada organisme spesifik, atau terdapat pada strain (galur) yang spesifik serta hanya diproduksi pada kondisi-kondisi tertentu.

Gambar 9. Aktivitas antioksidan ekstrak biomassa Colletotrichum spp. berdasarkan nilai IC50

0 500 1000 1500 2000 2500

IC

50

(ppm

)

ekstrak biomassa


(51)

35

Aktivitas antioksidan yang dihasilkan seluruh ekstrak biomassa

Colletotrichum spp. bervariasi. Hasil analisis regresi menunjukkan ekstrak biomassa Colletotrichum sp. 1 memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dengan nilai IC50 1489,565 ppm. Aktivitas antioksidan terendah terdapat pada ekstrak

biomassa Colletotrichum sp. 7 dengan nilai IC50 2351,157 ppm (Gambar 9). Hal

ini menunjukkan bahwa seluruh ekstrak biomassa Colletotrichum spp. tergolong tidak aktif sebagai antioksidan. Menurut Jun et al. (2003), aktivitas antioksidan dikatakan tidak aktif jika memiliki nilai IC50 > 500 ppm.

Ekstrak biomassa Colletotrichum sp. 1 memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dari seluruh ekstrak biomassa dengan nilai IC50 1489,565 ppm tetapi

memiliki aktivitas antioksidan yang sangat rendah (Gambar 9). Kapang endofit

Colletotrichum sp. 1 diisolasi dari organ daun tanaman kina (Chinchona calisaya

Wedd.) (Tabel 1). Berdasarkan penelitian sebelumnya ekstrak daun Chinchona ledgeriana memiliki aktivitas antioksidan dengan metode DPPH–TEAC sebesar 84,2 ± 1,9 mg g– pada ekstrak metanol dan 17,1 ± 0,6 mg g– pada ekstrak akuades (Al–Mustafa dan Al–Thunibat, 2008). Mikroba endofit diketahui memiliki kemampuan memproduksi senyawa metabolit sekunder yang sama dengan tanaman inangnya. Metabolit sekunder yang dihasilkan mikroba endofit kemungkinan karena adanya transfer genetik dari tanaman inang kedalam mikroba endofit (Radji, 2005). Hal ini diduga Colletotrichum sp. 1 dari tanaman kina (Cinchona calisaya Wedd.) memiliki aktivitas antioksidan tertinggi karena mampu menghasilkan metabolit seperti organ daun tanaman kina.


(52)

Kapang endofit Colletotrichum sp. 4, Colletotrichum sp. 10, dan

Colletotrichum sp. 14 diisolasi dari organ yang sama yaitu organ daun tetapi memiliki aktivitas antioksidan yang berbeda serta seluruh ekstrak biomassa

Colletotrichum spp. yang diisolasi dari organ tanaman yang berbeda memiliki aktivitas yang berbeda pula (Gambar 9). Hal ini menunjukan bahwa setiap spesies

Colletotrichum spp. memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan senyawa antioksidan. Penelitian Petrini et al. (1992), menyatakan bahwa kapang endofit dengan spesies yang sama pada satu tanaman yang sama namun diisolasi dari organ tanaman yang berbeda memiliki kemampuan untuk memproduksi metabolit sekunder yang berbeda. Menurut Srikandace et al. (2007), kapang endofit memiliki kemampuan untuk menghasilkan senyawa metabolit yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, ekstrak biomassa Colletotrichum spp. dalam penelitian ini memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan senyawa antioksidan.

Ekstrak biomassa Colletotrichum sp. 1 memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan seluruh ekstrak biomassa dengan nilai IC50 1489,565

ppm (Gambar 9). Penelitian Saputri (2013), menyatakan bahwa ekstrak biomassa kapang genus Colletotrichum yang diisolasi dari tanaman Rhizophora sp. memiliki nilai IC50 sebesar 44,62 µg/ml. Menurut Jun et al. (2003), aktivitas

antioksidan dikatakan aktif jika IC50 50-100 ppm dan tidak aktif jika IC50 > 500

ppm. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak biomassa Colletotrichum dari

Rhizophora sp. lebih aktif sebagai antioksidan apabila dibandingkan ekstrak biomassa Colletotrichum spp. dari tanaman kina terlihat dari nilai IC50 yang kecil.


(53)

37

Seluruh ekstrak biomassa Colletotrichum spp. memiliki aktivitas antioksidan yang sangat rendah dibandingkan standar vitamin C. Vitamin C sebagai kontrol positif memiliki nilai IC50 sebesar 3,793 ppm (Gambar 9).

Rendahnya aktivitas antioksidan yang dihasilkan ekstrak biomassa Colletotrichum

spp. dibandingkan vitamin C diduga karena ekstrak yang diuji masih merupakan ekstrak kasar (crude extract) dan bukan senyawa murni. Apabila ekstrak masih berupa ekstrak kasar masih ada kemungkinan senyawa murni yang dikandung suatu sampel memiliki aktivitas peredaman radikal bebas lebih kuat dibandingkan ekstrak kasarnya (Hanani et al., 2005).

Tingginya aktivitas antioksidan vitamin C karena vitamin C merupakan senyawa murni. Vitamin C memiliki aktivitas antioksidan kuat terbukti dengan nilai IC50 yang kecil (Arindah, 2010). Vitamin C mudah mengalami oksidasi oleh

radikal bebas karena mempunyai ikatan rangkap serta terdapat 2 gugus –OH yang terikat pada ikatan rangkap tersebut. Vitamin C mampu menangkap radikal bebas dengan atau tanpa katalisator enzim. Reaksinya terhadap senyawa oksigen reaktif lebih cepat dibandingkan dengan komponen cair lainnya (Winarsi, 2007).

4.4 Analisis GC-MS

Analisa GC-MS bertujuan untuk mengetahui komponen senyawa yang terkandung didalam ekstrak kapang endofit Colletotrichum spp. terpilih yaitu sampel M1 (Colletotrichum sp. 1). Pemilihan sampel untuk diuji GC-MS berdasarkan hasil aktivitas antioksidan tertinggi dari ekstrak filtrat dan biomassa. Hasil GC-MS ekstrak filtrat dapat dilihat pada Gambar 10 dan Tabel 4.


(54)

Gambar 10. Kromatogram Hasil GC-MS Ekstrak Filtrat

Tabel 4. Hasil identifikasi komponen ekstrak filtrat Colletotrichum sp.1 dengan pelarut etil asetat.

No Nama Komponen % area

1 Etilbenzena 3.86

2 p-Dimetilbenzena 3.28

3 o-Silena 21.38

4 1-metiletil-Benzena 0.67

5 1,4-dikloro-Benzena 1.61

6 Cis-Limonen Oksida 1.34

7 Naptalen * 5.55

8 Metil Salisilat* 1.34

9 4-kloro-Fenol* 2.09

10 Sikloundekanon 0.72

11 9,10-dihidroksi-Asam oktadekanoat* 1.25 12 1,2,4-Trihidroksi-p-metana 1.00 13 2,4-bis(1,1-dimetiletil)-Fenol * 1.42 14 3,4-dihidro-8-hidroksi-3-metil 1H-2-Benzopiran-1-one* 24.44 15 1,1'-(2,6-dimetil-3,5-piridindiyl)bis- Etanon 23.12

16 Benzopenon 1.30

17 2-Asam karboksilat, 5-(1-heksinil)-Furan 3.50 18 3-metoksi-2,4,6-trimetil-Fenol, * 1.47 19 bis(2-metilpropil) ester 1,2- Asam Benzendikarboksilat 0.67 *) Memiliki aktivitas antioksidan.


(55)

39

Hasil GC-MS senyawa bioaktif yang terkandung didalam ekstrak etil asetat kapang endofit Colletotrichum sp. 1 sedikitnya terdapat 19 komponen senyawa yang termasuk kedalam golongan senyawa fenol, aromatik, ester, keton, dan alkana. Senyawa naftalen memiliki % area 5.55. Senyawa fenol banyak ditemukan dengan % area yang berbeda yaitu 2.09, 1.42, 1.47. Senyawa asam oktadekanoat memiliki % area 1.25. Senyawa benzopiran memiliki % area 24.44. Persen area yang paling tinggi terdapat pada komponen senyawa benzopiran (Tabel 4).

Senyawa naptalen, metil salisilat, fenol, asam oktadekanoat dan benzopiran memiliki aktivitas antioksidan. Kemampuan senyawa-senyawa tersebut telah dibuktikan oleh beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian Vijayavel et al. (2007), senyawa naptalen dari ekstrak

Chorola vulgaris mempunyai efek anti radikal bebas. Menurut Sutrisno (2012), senyawa metil salisilat termasuk golongan senyawa fenolik. Senyawa fenolik memiliki struktur khas yaitu terdapat satu atau lebih gugus hidroksil yang terikat pada satu atau lebih cincin aromatik benzena sehingga senyawa ini memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Penelitian Gul et al. (2011), metabolit sekunder seperti komponen fenolik (asam fenolik, flavonoid, kuinin, dan kumarin), komponen nitrogen (alkaloid dan amina), vitamin, terpenoid dan metabolit sekunder lainnya terbukti memiliki aktivitas antioksidan. Penelitian Nath et al. (2012), kapang endofit Phomopsis sp. dan Xylaria sp. memiliki aktifitas antioksidan dan tingkat fenol yang tinggi. Penelitian Swantara dan Parwata (2011), senyawa yang paling aktif bersifat antioksidan pada Gracilaria


(56)

coronopifolia yaitu 1-nonadekena; asam heksadekanoat; asam 9-oktadekanoat. Penelitian Seo et al. (2006), senyawa benzopiran dari ganggang coklat Sargasum thunbergii terbukti efektif meredam radikal bebas. Penelitian Tianpanich et al. (2006), menyatakan bahwa senyawa benzopiran atau isokumarin yang dihasilkan kapang endofit Colletotrichum sp. dari tanaman Piper ornatum memiliki aktivitas antioksidan.

Hasil GC-MS memperlihatkan bahwa pelarut etil asetat mampu mengekstrak komponen senyawa lebih banyak apabila dibandingkan pelarut metanol (Tabel 4 dan 5). Hal ini diduga karena pelarut etil asetat bersifat semi polar dimana mampu mengekstrak senyawa polar dan non polar yang terdapat pada sampel. Menurut Oyi et al. (2007), pelarut etil asetat mampu mengekstrak senyawa polar dan non polar karena pelarut ini bersifat semi polar. Pelarut akan melarutkan senyawa yang sesuai dengan tingkat kepolarannya. Pelarut etil asetat memiliki kemampuan melarutkan senyawa sterol, terpenoid, saponin, flavonoid, dan senyawa fenol. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dimana pelarut etil asetat dapat mengekstrak senyawa fenol dari ekstrak filtrat Colletotrichum sp.1. Senyawa fenol memiliki kemampuan menyumbangkan atom hidrogen yang menyebabkan radikal DPPH dapat terduksi menjadi bentuk yang lebih stabil. Aktivitas peredaman radikal bebas oleh senyawa fenol dipengaruhi oleh jumlah dan posisi hidrogen fenolik dalam molekulnya dimana semakin banyak jumlah gugus hidroksil pada senyawa fenol maka semakin besar aktivitas antoksidan yang dihasilkan (Pratiwi et al., 2013). Senyawa fenol memiliki aktivitas


(57)

41

antioksidan, antitumor, dan antibiotik. Kandungan total fenol memiliki korelasi yang kuat dan berbanding lurus dengan aktivitas antioksidan (Widiastuti, 2010).

Gambar 11. Kromatogram Hasil GC-MS Ekstrak Biomassa

Tabel 5. Hasil identifikasi komponen ekstrak biomassa Colletotrichum sp.1 dengan pelarut metanol.

No Nama Komponen % area

1 N,N-Dimethyl-3-metoksipropilamin 3.26

2 2-butoksi Etanol 4.78

3 Siklotetrasiloksan 12.83

4 Asam butanedioat, dimetil ester 6.84

5 4-metoksi Fenol* 4.21

6 Etanol, 2-butoksi (CAS) (2-Asam Butoksietil asetat) 5.16 7 Siklopentasiloksan-dekametil 6.43 8 1,2-dihidro-1,1,6-trimetil Naptalen* 9.72

9 Korlumidin 7.06

10 Asam heksadekanoat* 11.51 11 Metil ester 8,11-Asam oktadekanoat * 7.50 12 13-Asam oktadekanoat, metil ester (CAS) Metil

Oktadec-13-Enoat *

15.32 13 Asam oktadekanoat, metil ester (CAS) Metil stearat * 5.38 *) Memiliki aktivitas antioksidan.


(58)

Hasil analisis GC-MS menunjukan bahwa dalam ekstrak metanol kapang endofit Colletotrichum sp.1 terdapat sedikitnya 13 komponen senyawa yang termasuk kedalam golongan senyawa fenol, aromatik, ester, alkana, alkohol, dan amina. Senyawa fenol memiliki % area 4.21. Senyawa naftalen memiliki % area 9.72. Senyawa asam heksadekanoat memiliki % area 11.51. Senyawa asam oktadekanoat banyak ditemukan dengan % area yang berbeda yaitu 7.50, 15.32, 5.38. Persen area yang paling tinggi terdapat pada komponen senyawa asam oktadekanoat (Tabel 5).

Senyawa fenol, naptalen, asam heksadekanoat dan asam oktadekanoat diperkirakan memiliki aktivitas antioksidan pada ekstrak metanol (Tabel 5). Kemampuan senyawa-senyawa tersebut telah dibuktikan oleh beberapa penelitian. Menurut Liu et al. (2007), ekstrak metanol fungi endofit Xylaria sp. dari tanaman

Ginkgo biloba memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi karena keberadaan senyawa fenol. Penelitian Swantara dan Parwata (2011), menyatakan bahwa senyawa yang paling aktif bersifat antioksidan pada Gracilaria coronopifolia

yaitu 1-nonadekena, asam heksadekanoat, dan asam 9-oktadekanoat. Persen area dari komponen senyawa asam oktadekanoat memiliki persen area yang tertinggi dibandingkan senyawa lain yang berperan sebagai antioksidan (Tabel 5). Hal ini diduga komponen senyawa asam oktadekanoat yang banyak berperan dalam meredam radikal bebas dari larutan DPPH sebagai antioksidan. Penelitian Miryati

et al. (2011), menyatakan kandungan asam heksadekanoat dalam ekstrak kulit buah mangis berperan sebagai antioksidan. Menurut Setyaningsih et al. (2014), senyawa asam heksadekanoat pada ekstrak daun dan ranting tanaman jarak pagar


(59)

43

(Jatropha curcas L.) memiliki efek antioksidan. Penelitian Vijayavel et al. (2007), menyatakan senyawa naptalen dari ekstrak Chorola vulgaris memiliki efek anti radikal bebas.

Menurut Nimah et al. (2012), pelarut metanol secara efektif dapat mengekstrak senyawa flavonoid, fenolik, dan saponin. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dimana pelarut metanol dapat mengekstrak senyawa fenol dari ekstrak biomassa Colletotrichum sp. 1. Menurut Tamat et al. (2007), senyawa fenol dengan gugus hidroksil yang terikat pada cincin aromatik merupakan senyawa yang efektif sebagai antioksidan karena senyawa tersebut mampu meredam radikal bebas dengan cara memberikan atom hidrogen (donor proton) dari gugus hidroksil kepada radikal bebas.


(60)

44

5.1 Kesimpulan

1. Seluruh ekstrak kapang endofit Colletotrichum spp. dari tanaman kina (C. calisaya Wedd.) memiliki potensi antioksidan ekstrak biomassa dan ekstrak filtrat yang ditandai dengan perubahan warna pelat KLT menjadi kuning setelah disemprot DPPH dan nilai IC50 dari masing-masing ekstrak

filtrat dan biomassa.

2. Ekstrak kapang endofit Colletotrichum sp. 1 dari tanaman kina (C. calisaya Wedd.) memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dari ekstrak filtrat yaitu sebesar 837,143 ppm dan ekstrak biomassa sebesar 1900,46 ppm. 3. Senyawa hasil GC-MS Colletotrichum sp. 1 yang berperan sebagai

antioksidan dari ekstrak biomassa adalah senyawa fenol, naptalen, asam heksadekanoat dan asam oktadekanoat sedangkan senyawa ekstrak filtrat yang berperan sebagai antioksidan adalah naptalen, metil salisilat, fenol, asam oktadekanoat dan benzopiran.

5.2 Saran

Perlu dilakukan optimasi kondisi fermentasi, pengujian tambahan untuk memperkuat hasil pengujian dengan uji fitokimia, perhitungan rendemen hasil ekstraksi dan uji total fenol.


(61)

45

DAFTAR PUSTAKA

Al–Mustafa, A.H., dan O.Y. Al–Thunibat. 2008. Antioxidant Activiity of Some Jordanian Medicinal Plants Used Traditionally for Treatment of Diabetes.

Pakistan Journal of Biological Sciences. 11(3):351–358.

Aly, A., A. Debbab, dan P. Proksch. 2011. Fifty Years of Drug Discovery from Fungi. Fungal Divers. 50: 3–19.

Andayani, R., Y. Lisawati, dan Maimunah. 2008. Penentuan Aktivitas Antioksidan, Kadar Fenolat total dan Likopen pada Buah Tomat (Lycopersicum L.). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 13: 9

Arindah, D. 2010. Fraksinasi dan Identifikasi Golongan Senyawa pada Daging Buah Pepino (Solanum muricatum Aiton) yang Berpotensi Sebagai Antioksidan. Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi. UIN Malang.

Azizah, S.K. 2013. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Isolat-Isolat Kapang dari Tanaman Mangrove Avicennia sp. Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Bendra, A. 2012. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Premma oblongata

Miq. dengan Metode DPPH dan Identifikasi Golongan Senyawa Kimia dari Fraksi Teraktif. Skripsi. FMIPA. Universitas Indonesia.

Cano, J., J. Guarro, dan J. Gene. 2004. Molecular and Morphological Identification of Colletotrichum Species of Clinical Interest. Journal Of Clinical Microbiology. 42(6): 2450–2454.

Dewick, M. D. 2002. Medicinal Natural Product: A Biosynthetic Approach. Edisi 2. John Wiley dan Sons LTD. England.

Gandjar, I., W. Sjamsuridzal, dan A. Oetari. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Gangadevi, V., dan J. Muthumary. 2008. Isolation of Colletotrichum gloeosporioides, a Novel Endophytic Taxol-Producing Fungus From the Leaves of a Medicinal Plant (Justicia gendarussa). Mycologia Balcanica.

5: 1–4.

Gul, M.Z., L.M. Bhakshu, F. Ahmad, A. K Kondapi, I.A. Qureshi, dan I. A Ghazi. 2011. Evaluation of Abelmoschus Moschatus Extracts for Antioxidant, Free Radical Scavenging Antimicrobial and Antiproliferative Activities Using in Vitro Assays. BMC Complementary & Alternative Medicine. 11:46


(62)

Hanani, E., A. Mun’in, dan R. Sekarini. 2005. Identifikasi Senyawa Antioksidan dalam Spons Callyspongia sp dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2(3): 127-133.

Harmita. 2006. Buku Ajar Analisis Fisikokimia. Departemen Farmasi FMIPA UI. Depok.

Hermanto, S. 2008. Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi dan Spektofotometri. Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Jauhari, L.T. 2010. Seleksi dan Identifikasi Kapang Endofit Penghasil Antimikroba Penghambat Pertumbuhan Mikroba Patogen. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Jayanthi, G., S. Kamairaj, K. Karthikeyan, dan J. Muthumary. 2011. Antimicrobial and Antioksidan Activity of Cassia siamea Flowers

Phomopsis sp. GJJM07 isolated from Mesua ferrea. International Journal of Science. 1:85-90.

Jun, M.H.Y., Yu, J., Fong, X., Wan, C.S., dan Yang, C.T. 2003. Comparison of Antioxidant Activities of Isoflavones from Kudzu Root (Pueraria labata Ohwl). Journal Food Science. 68(6): 2117– 2122.

Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press. Jakarta.

Komisi Nasional Sumber Daya Genetik. 2008. Lokakarya Penyusunan National Report on Plant Genetic Resources : Warta Plasma Nutfah Indonesia No 20 Tahun 2008. http://indoplasma.or.id. Diakses pada 8 Oktober 2013 pukul 20.13 WIB

Lasmaria, C. 2011. Antioksidan yang Dihasilkan Kapang Aspergillus spp. dan pengaruhnya Terhadap Perbaikan Jaringan Hati Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Sprague Dawley. Tesis. Program Pascasarjana. UI. Depok.

Listiandiani, K. 2011. Identifikasi Kapang Endofit ES1, ES2, ES3,DAN ES4 dari

Broussonetia papyrifera Vent. dan Pengujian Aktivitas Antimikroba.

Skripi. FMIPA. Universitas Indonesia.

Liu, X., M. Dong, X. Chen, M. Jiang, X. Lu, dan G. Yan. 2007. Antioxidant Activity and Phenolics of an Endophytic Xylaria sp. from Ginkgo biloba.

Food Chemistry. 105(2): 548–554.

Maehara, S., P. Simanjuntak, C. Kitamura, K. Ohashi, dan H. Shibuya. 2011.

Cinchona Alkaloids are Also Produced by an Endophytic Filamentous Fungus Living in Cinchona Plant. Chem Pharm Bull. 59(8): 1073-1074.


(1)

61

Kode isolat Filtrat Biomassa

Rf Setelah disemprot

DPPH

UV λ 254

UV λ 366 Rf Setelah disemprot

DPPH

UV λ 254 UV λ 366 M76 (Colletotrichum sp.13) Rf=0,82

Rf=0,28

Rf=0,6

M82 (Colletotrichum sp.14) Rf=0,51 Rf=0,57


(2)

A. Tabel hasil uji antioksidan kapang Colletotrichum spp. ekstrak etil asetat (ekstraseluler)

Kode isolat Konsentrasi

(ppm)

Absorbansi

% Inhibisi

Persamaan regresi linear

IC50

(ppm)

M1 150

300 600 1200 2400

0,147 0,139 0,125 0,113 0,066

39,506 43,004 48,560 53,704 72,840

y = 0,014x + 38,28 R² = 0,989

837,143

M2 150

300 600 1200 2400

0,181 0,176 0,142 0,099 0,051

20,485 22,467 37,445 56,608 77,753

y = 0,026x + 18,75 R² = 0,963

1201,923

M3 150

300 600 1200 2400

0,170 0,148 0,129 0,114 0,062

13,706 25,125 34,772 42,893 68,782

y = 0,022x + 16,30 R² = 0,961

1531,818

M4 150

300 600 1200 2400

0,118 0,107 0,099 0,084 0,062

28,788 35,455 40,303 49,091 62,424

y = 0,014x + 30,17 R² = 0,966

1416,423

M5 150

300 600 1200 2400

0,165 0,150 0,127 0,091 0,043

12,963 20,635 32,804 52,116 77,513

y = 0,028x + 13,07 R² = 0,976

1318,929

M6 150

300 600 1200 2400

0,145 0,139 0,125 0,109 0,058

7,962 11,783 20,382 30.892 63,057

y = 0,024x + 4,405 R² = 0,995

1899,792

M7 150

300 600 1200 2400

0,116 0,107 0,096 0,086 0,048

5,328 12,705 21,311 29,508 60,656

y = 0,023x + 4,251 R² = 0,986


(3)

Lampiran 3. (Lanjutan)

Kode isolat Konsentrasi

(ppm)

Absorbansi

% Inhibisi

Persamaan regresi linear

IC50

(ppm)

M8 150

300 600 1200 2400

0,187 0,174 0,148 0,118 0,080

10,952 17,381 29,762 43,810 62,143

y = 0,022x + 12,29 R² = 0,954

1714,091

M30 150

300 600 1200 2400

0,178 0,171 0,155 0,120 0,082

9,898 13,452

21,32 39,086 58,629

y = 0,022x + 8,058 R² = 0,981

1906,454

M37 150

300 600 1200 2400

0,181 0,156 0,126 0,096 0,031`

15,258 26,995 40,845 55,164 85,446

y = 0,029x + 17,48 R² = 0,969

1121,379

M53 150

300 600 1200 2400

0,171 0,159 0,145 0,122 0,083

9,524 15,873 23,280 37,037 56,085

y = 0,020x + 9,656 R² = 0,981

2017,2

M57 150

300 600 1200 2400

0,117 0,107 0,100 0,084 0,046

4,508 12,705 18,443 31,148 62,295

y = 0,024x + 2,937 R² = 0,993

1960,958

M76 150

300 600 1200 2400

0,145 0,139 0,123 0,114 0,062

12,952 16,566 26,205 31,627 62,952

y = 0,021x + 10,09 R² = 0,980

1900,46

M82 150

300 600 1200 2400

0,137 0,137 0,123 0,086 0,055

12,739 13,057 21,656 45,541 65,287

y = 0,024x + 8,611 R² = 0,966


(4)

B. Tabel hasil uji antioksidan kapang Colletotrichum spp. ekstrak metanol (intraseluler)

Kode isolat Konsentrasi

(ppm)

Absorbansi

% Inhibisi

Persamaan regresi linear

IC50 (ppm)

M1 150

300 600 1200 2400

0,145 0,130 0,111 0,087 0,050

13,988 22,917 33,929 48,512 70,238

y = 0,023x + 15,74 R² = 0,965

1489,565

M2 150

300 600 1200 2400

0,197 0,177 0,159 0,120 0,076

5,529 14,904 23,798 42,548 63,702

y = 0,025x + 6,881 R² = 0,966

1724,760

M3 150

300 600 1200 2400

0,198 0,174 0,163 0,145 0,094

11,435 21,973 26,906 34,978 57,848

y = 0,018x + 13,17 R² = 0,969

2046,111

M4 150

300 600 1200 2400

0,195 0,168 0,154 0,125 0,069

10,959 23,516 29,680 43,151 68,493

y = 0,023x + 13,16 R² = 0,972

1601,739

M5 150

300 600 1200 2400

0,155 0,149 0,133 0,093 0,061

13,687 17,039 25,978 48,324 66,201

y = 0,024x + 11,91 R² = 0,961

1587,083

M6 150

300 600 1200 2400

0,178 0,164 0,162 0,123 0,087

7,772 15,026 16,062 36,269 54,922

y = 0,020x + 6,649 R² = 0,971

2167,55

M7 150

300 600 1200 2400

0,118 0,107 0,100 0,084 0,062

3,689 12,705 18,443 31,148 49,180

y = 0,019x + 5,328 R² = 0,969


(5)

Lampiran 3. (Lanjutan)

Kode isolat Konsentrasi

(ppm)

Absorbansi

% Inhibisi

Persamaan regresi linear

IC50 (ppm)

M8 150

300 600 1200 2400

0,168 0,159 0,142 0,115 0,087

9,189 14,324 23,514 38,108 53,243

y = 0,019x + 9,729 R² = 0,959

2119,526

M30 150

300 600 1200 2400

0,143 0,132 0,125 0,115 0,068

8,917 15,924 20,382 26,752 56,688

y = 0,019x + 7,258 R² = 0,975

2249,579

M37 150

300 600 1200 2400

0,120 0,111 0,103 0,089 0,059

6,589 13,953 20,155 31,395 54,651

y = 0,020x + 6,395 R² = 0,990

2180,25

M53 150

300 600 1200 2400

0,187 0,175 0,164 0,138 0,094

2,865 8,854 14,844 28,125 51,302

y = 0,021x + 1,671 R² = 0,995

2301,381

M57 150

300 600 1200 2400

0,166 0,153 0,142 0,127 0,071

6,497 13,559 19,774 28,531 59,887

y = 0,022x + 4,649 R² = 0,987

2061,409

M76 150

300 600 1200 2400

0,184 0,170 0,153 0,122 0,091

4,427 11,458 20,573 36,719 52,865

y = 0,021x + 5,718 R² = 0,955

2227,15

M82 150

300 600 1200 2400

0,142 0,131 0,114 0,087 0,058

5,034 12,081 23,490 41,946 61,409

y = 0,024x + 5,928 R² = 0,959


(6)

y = 13.89x - 2.3521 R² = 0.9913

0 10 20 30 40 50 60

0 2 4 6

%

In

h

ib

isi

Konsentrasi (ppm)

Series1 Linear (Series1)

Konsentrasi (ppm) ∑ Absorbansi % Inhibisi IC50 (ppm)

0,25 0,229 1,986

3,769

0,5 0,220 6,525

1 0,212 9,929

2 0,181 22,837

4 0,107 54,610